Johan Surapraja, pria berusia 52 tahun, badannya sangat gemuk dan kepalanya sudah mulai botak, cuma tinggal rambut-rambut tipis menutupi bagian kepala belakangnya. Pria ini dulu sempat jadi rekan kerjaku, saat menjabat sebagai salah satu manajer keuangan. Namun tahun lalu Johan mengajukan resign dengan alasan kesehatan, sejak saat itulah aku tak lagi mendengar kabar dari pria yang usianya hampir sama dengan usia Ibuku tersebut.
Kata Jenie, Johan sekarang lebih banyak menghabiskan masa pensiun di rumah mewahnya. Lewat Jenie pula aku jadi tau kalau Johan sering mengadakan pesta di villanya, bukan pesta biasa, tapi pesta sex. Aku sempat tercengang mendengar itu, meskipun dulu aku mengenal sosok Johan sebagai pria mesum karena sering melontarkan joke receh selangkangan ketika acara gathering kantor, tapi mengadakan pesta sex adalah level yang berbeda.
Alih-alih mengajukan gugatan cerai atau menunjukkan bukti video perselingkuhan Astrie pada mertua atau Ibuku, aku memilih untuk memanfaatkan tubuh Astrie sebagai pemuas fantasi sexku. Ide ini datang dari Jenie saat kami ngobrol setelah melakukan hubungan badan di apartemennya. Menyaksikan Astrie disetubuhi oleh pria lain nyatanya membuat birahiku terpacu ke titik tertinggi, apalagi kalau istriku itu dijadikan budak sex oleh banyak pria mesum yang sama sekali tak kukenal sebelumnya.
Aku akan bisa melihat lagi bagaimana kepolosan Astrie yang selama ini diperlihatkan padaku berubah menjadi kebinalan di luar nalar. Dendam sekaligus fantasi seksualku akan terpenuhi sekaligus, ibarat pepatah mendayung satu dua tiga pulau terlampaui. Aku hanya harus mencari cara bagaimana semua ini bisa terjadi, dan Johan lah satu-satunya orang yang bisa membantuku mewujudkannya.
Maka setelah jam pulang kantor aku membuat janji dengan pria tua itu. Jenie lah yang membantuku untuk bisa kembali berhubungan dengan Johan, sekretaris pribadiku itu memang sangat bisa diandalkan. Sudah hampir lima belas menit aku menunggu Johan di sebuah restoran di dekat kantorku, letaknya yang tak jauh dari pusat kota dan pusat perkantoran membuat restoran ini terlihat cukup ramai pengunjung. Aku memilih tempat duduk di bagian ujung ruangan agar lebih privasi.
Beberapa saat kemudian sosok yang kutunggu akhirnya datang juga. Johan yang memakai celana pendek dan kaos polo melambaikan tangannya padaku. Senyumnya melebar sembari berjalan mendekati meja yang kutempati. Entah kenapa aku merasa pria tua ini jadi lebih ceria dibanding satu tahun lalu saat masih bekerja di perusahaan yang sama denganku.
“Halo Don, apa kabar? Wah makin gagah aja kamu! Hahahaha!” Johan mendatangi kursiku, dengan akrab kami saling bersalaman.
“Baik Pak, mari silahkan duduk.” Kataku.
“Jangan panggil Pak dong, Johan aja.” Sahutnya berseloroh.
“Ah siap…siap..!”
“Kantor apa kabar? Lancar semua kan?” Tanya Johan setelah pria tua itu duduk tepat di hadapanku.
“Ya begitulah, masih kayak dulu.”
“Hahahahaha! Aku sudah menikmati masa pensiun sekarang. Bersantai di rumah dan menikmati hidup.” Dari caranya berbicara dan bersikap sepertinya memang Johan sedang menikmati hidup, seolah tanpa beban dan berusaha untuk tetap bahagia.
“Mau pesan apa?” Tanyaku.
“Nge-beer sore-sore gini kayaknya enak.”
“Boleh..Boleh..” Sahutku seraya memanggil pelayan restoran.
Setelah memesan makanan dan minuman pada pelayan restoran, kami berdua terlibat obrolan ringan. Johan menceritakan kesibukannya sehari-hari setelah memutuskan untuk pensiun dari pekerjaan lamanya. Banyak pesta, dan tentu saja banyak wanita muda yang mengelilingnya saat ini. Bahkan dengan bangganya Johan sempat pula menunjukkan beberapa “koleksi” wanita mudanya.
Bisnis crypto lah yang memutar balikkan kehidupan ekonomi Johan saat ini. Dari seorang manager keuangan dengan gaji belasan juta rupiah per bulan, kini berubah menjadi ratusan juta per minggu karena keahliannya membaca pergerakan pasar crypto. Maka di usianya yang beranjak senja, pundi-pundi uang mengalir deras ke kantong pria bertubuh tambun itu dan dia bisa dengan bebas menggunakannya untuk berfoya-foya.
“Oh ya, aku sudah dengar dari Jenie tentang rencanamu. Belum semuanya sih, tapi aku sudah bisa memahaminya. Sekarang, aku mau tanya, apa kamu sudah yakin Don? Karena sekali kamu setuju, kamu nggak akan bisa berubah pikiran lagi. Acara yang aku adakan bukan pesta biasa, tamu-tamuku orang terkenal, kamu nggak bisa main-main dengan hal itu karena jika batal di tengah jalan resiko yang aku tanggung bakal berat banget.” Aku menyimak tiap ucapan Johan dengan serius. Inilah saatnya.
“Ya, aku sudah yakin.” Jawabku mantab.
“Kamu sudah tau konsekuensinya kan? No hurt feeling, jangan pernah libatkan perasaan dalam pestaku.” Ujar Johan sembari menatapku serius.
“Oke, aku setuju.”
“Hahahaha! Aku tidak mengira kita akan bisa sedekat ini Don! Aku dulu melihatmu sebagai playboy kelas kakap, aku sempat iri padamu karena banyak wanita mengantri. Dulu, jangankan makan bareng, cewek kalo liat aku udah ilfeel duluan.” Cerocos Johan sebelum menenggak beer.
“Yah, hidup selalu berputar kan?” Sahutku santai.
“Hmmm, seperti juga istrimu. Wanita yang kita pikir selalu menjaga kehormatannya ternyata tidak seperti yang kita kira.” Dadaku seketika bergemuruh mendengar Johan membicarakan istriku.
“Kenapa Don? Apa ada yang salah dengan ucapanku?” Tanya Johan seolah bisa membaca perubahan raut wajahku.
“Oh nggak, santai.” Kataku berusaha untuk tetap tenang.
“Saranku lebih baik kamu pikirkan ulang rencanamu ini Don. Karena di tempatku nanti kamu tidak hanya mendengar perkataan tentang istrimu saja, tapi kamu juga akan melihat dia bersetubuh dengan orang lain, bisa jadi malah lebih dari satu orang. Apa kamu siap menghadapi itu semua? Apa ini sebanding dengan sakit hatimu pada Astrie?” Darahku berdesir membayangkan apa yang diucapkan oleh Johan barusan. Kutatap wajah pria tua itu lekat-lekat.
“Acara pesta akan diadakan sabtu malam, kalau memang kamu tetap ingin join hubungi aku sebelum hari itu. Dengan senang hati aku akan menyiapkan tempat untukmu.” Lanjut Johan seraya menghabiskan botol beernya.
Kami sempat ngobrol ringan beberapa saat sebelum kemudian Johan pamit dan pergi meninggalkanku di restoran. Selepas kepergian Johan, kepalaku terus berputar untuk mempertimbangkan keputusan yang akan aku buat. Benarkah jalan yang aku ambil untuk menuntaskan dendamku pada Astrie dan Ustadz Hanan?
6168Please respect copyright.PENANAKM5zL1KS4l
***
6168Please respect copyright.PENANAG0VIJe7C1l
Astrie membukakan pintu pagar rumahku saat aku memencet klakson mobil, sebuah kebiasaan dariku untuk memberi tanda padanya kalau aku sudah sampai di depan rumah. Setelah memeakirkan mobil di garasi, aku langsung turun, sebelumnya aku sudah menyiapkan mental agar bersikap biasa saja meskipun pagi tadi aku telah menyaksikan Astrie bersetubuh dengan Ustadz Hanan.
“Tumben pulang malem Mas? Lembur ya?” Tanya Astrie saat aku melangkah ke dalam rumah.
“Iya, ada kerjaan mendadak tadi dari bos.” Kataku beralasan.
“Oh gitu, aku siapain makan ya Mas. Tadi aku masak sayur lodeh kesukaanmu.” Entah kenapa dadaku terasa begitu sakit disajikan sikap lemah lembut dan manis seperti ini. Astrie begitu pintar menyembunyikan bau busuk dari keheningan rumah tangga kami selama ini.
“Nggak usah, aku tadi udah makan di kantor. Aku mau mandi aja.” Kulihat ada gurat kekecewaan di wajahnya. Aku tak begitu mempedulikannya dan terus melangkah menuju kamar tidur.
Memasuki kamar tidur seperti mengulang memori busuk pagi tadi saat aku melihat Astrie berubah jadi binal dan sesat dalam rengkuhan seorang Ustad bejat. Tubuhku sempat bergetar menjejaki lantai kamar tidur yang dijadikan Astrie sebagai tempat perbuatan zinanya bersama laki-laki lain. Kutahan sekuat mungkin emosiku agar tak meledak, karena jika sampai itu terjadi maka rencana balas dendamku akan berantakan. Setelah melepas pakaian kerja, aku bergegas menuju kamar mandi, guyuran air hangat akan membuatku lebih rileks.
Setelah beres membersihkan badan dan menenangkan diri aku keluar dari kamar mandi. Di atas ranjang Astrie sudah menunggu dengan mengenakan daster tipis sebatas lutut bercorak bunga matahari. Pakaian itu sering dia gunakan ketika akan melakukan hubungan suami istri denganku. Aku bergeming dan pura-pura tak mempedulikannya. Saat kubuka lemari pakaian Astrie menghampiriku, memeluk tubuhku dari belakang.
“Mas Doni capek ya? Biar Astrie pijitin habis ini ya.” Ujar Astrie dengan nada bicara manja.
“Nggak usah, aku mau langsung tidur aja habis ini. Besok aku harus ke kantor pagi-pagi.” Jawabku dingin.
“Ehhmmm, Mas Doni nggak mau itu dulu? Sekarang malam Jumat, sunnah rosul Mas.” Astrie memberi kode untuk melakukan hubungan badan.
“Nggak dulu ya, aku beneran ngantuk. Pengen tidur aja.” Kataku sambil mengambil kaos polos dan langsung memakainya. Astrie melepas pelukannya dari tubuhku. Saat aku berbalik badan kulihat ekspresi cemberut di wajahnya.
“Mas Doni masih marah ya sama Astrie?” Tanyanya sekali lagi. Kutatap wajahnya, sungguh ini hal yang begitu sulit kulakukan saat ini, bayangan ekspresi binalnya saat menenggak kencing Ustadz Hanan masih terarsir jelas di kepalaku. Aku tengah berperang dengan rasa cemburu dan kemuakan.
“Nggak sayang, Mas nggak marah kok. Besok aja ya.” Kataku sebelum mengecup pipinya dengan lembut. Sebuah keterpaksaan demi melancarkan rencana balas dendamku.
Sikapku yang kembali mesra dan lembut akhirnya sedikit membuat hilang cemberut di wajahnya. Astrie tersenyum lalu menggandengku menuju atas ranjang. Aku merebahkan badan, sementara Astrie memelukku dari samping. Ada keheningan beberapa saat di antara kami. Di luar terdengar suara gerimis yang mulai turun. Sebenarnya ini adalah waktu yang tepat untuk kami bercinta, tapi aku tak bisa mengaburkan fakta jika sakit hatiku lebih besar dibanding syahwatku.
“Dek, aku tadi ketemu Pak Johan.” Kataku membuka obrolan. Astrie yang sedari tadi merebahkan kepalanya di dadaku berpindah posisi ke sampingku.
“Pak Johan yang mana Mas?” Tanya Astrie penasaran.
“Itu loh, yang dulu semept ngobrol bertiga waktu acara gathering kantor. Orangnya gemuk dan botak.” Astrie seperti mengingat sesuatu, lalu kemudian matanya berbinar karena ingatan itu dia dapatkan.
“Ah! Aku inget, yang suka becanda jorok itu kan? Bukannya dulu Mas Doni pernah cerita kalo dia udah nggak kerja di kantor lagi ya?” Dari nada bicaranya, aku bisa menerka jika Astrie tak begitu nyaman dengan sosok Johan.
“Hmmm, aku tadi ketemu dia di restoran deket kantor.” Kataku.
“Johan mengundang kita ke acara pestanya besok Sabtu. Kamu bisa kan?” Lanjutku.
Astrie mengrenyitkan dahi. Selama usia pernikahan kami, memang tak sekalipun aku mengajaknya untuk menghadiri pesta atau acara yang bersifat privat. Satu-satunya acara keramaian yang pernah dihadiri oleh Astrie adalah acara gathering kantor satu tahun yang lalu.
“Pesta?”
“Iya, Johan sedang merayakan sesuatu dan ingin mengundang mantan rekan kerjanya di kantor dulu. Kamu mau kan?” Tanyaku, Astrie terlihat ragu, namun aku tau dia tidak akan berani menolakku lagi karena itu sama saja kembali memancing pertengkaran.
“Ehhmm, iya deh. Asal sama Mas Doni, aku mau.” Jawab Astrie sembari tersenyum.
Satu langkah sudah kucapai untuk mempermulus recana balas dendamku. Kini tinggal menghubungi Johan kembali dan menanyakan beberapa detail yang perlu aku tau nantinya. Aku sudah tidak sabar menyaksikan lonte berhijab ini jadi budak seks!
6168Please respect copyright.PENANArp3bSaKbyF
BERSAMBUNG
Cerita "ISTRI SOLEHOT" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.46da2