Chapter 1
Aku malam ini sedang asik menonton video porno di laptop. Bukan video porno buatan negara barat atau jepang. Tapi video amatiran bikinan lokal. Kualitas gambarnya lumayan bagus. Sebab diambil dengan kamera ponsel mahal yang terkenal dengan kualitas rekaman video dan fotonya yang istimewa.
Saat menonton aku telanjang bulat di kamarku. Anak-anakku Dini dan Dion biasanya sudah pada tidur jam segini. Karena besok masih hari sekolah. Mereka berdua baru duduk dibangku SMP. Sedang istriku Nurain biasa disapa Ain seperti biasa sedang keluar rumah. Dia sedang mencari kepuasannya sendiri. Sementara aku memuaskan diri dengan nonton bokep. Tapi yang aku tonton pemeran utamanya adalah istriku sendiri. Tentu aneh bukan. Tapi itulah aku.
Namaku Arya Dirgantara, tapi orang lebih sering memanggilku Dirga. Usiaku menjelang 35 tahun. Aku bekerja sebagai pejabat di kantor Departemen Agama di kota ini, sebuah posisi yang terhormat di mata kerabat dan orang yang mengenalku. Tapi di balik semua itu, aku tahu, ada sesuatu yang salah dalam diriku. Orang mungkin melihatku sebagai sosok yang berwibawa, penuh prinsip, dan tegas dalam memegang nilai agama. Namun, dalam kehidupan rumah tanggaku dengan Ain, aku tahu, aku hanyalah seorang pecundang.
Ain adalah wanita yang luar biasa. Cantik, cerdas, lembut, dan penuh perhatian. Usianya 29 tahun. Di mata orang lain, kami mungkin terlihat seperti pasangan ideal, namun di balik pintu kamar kami, kenyataan jauh berbeda. Aku tak mampu membahagiakannya. Di ranjang, aku selalu merasa gagal, tidak pernah bisa memberikan Ain kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Semakin hari, rasa rendah diriku semakin menggerogoti, hingga akhirnya aku menyerah pada kenyataan yang menyakitkan.
Bukannya mencoba memperbaiki keadaan, aku malah mengambil keputusan yang lebih aneh dan tak terduga. Aku mulai menerima bahwa aku memang tak bisa menjadi pria yang diinginkan Ain, dan dalam kekacauan pikiranku, aku justru menawarkan sesuatu yang tak biasa. Kebetulan aku tak sengaaj membaca Chatnya dengan seorang pria. Dari situ aku mengetahui bahwa Ain sering dirayu melalui chatting WA oleh mantannya yang bernama Lukas.
Malam itu, setelah hubungan suami istri yang singkat dan lagi-lagi tidak bisa memuaskan istriku, aku terbangun di tengah malam. Suara detak jam di dinding terasa lebih keras dari biasanya, seolah mengingatkanku akan semua yang tidak berjalan baik dalam rumah tanggaku. Di sampingku, Ain terlelap dengan damai, namun hatiku dipenuhi kegelisahan.
Keesokan harinya, saat sarapan, aku menatapnya dalam-dalam.
“Ain, aku pengen ngomong,” kataku, suara terpaksa terdengar keluar.
Dia mengangguk, mengunyah sepotong roti. “Tentang apa, mas?”
“Aku tahu kamu masih sering chat dengan Lukas,” ungkapku, langsung dan tanpa basa-basi.
1045Please respect copyright.PENANAfG5G5ZF5tB
Dia menghentikan gerakan mengunyahnya, matanya melebar. “Dirga, itu bukan kayak yang kamu pikirkan...”
“Gapapa sayang, Yang penting kamu cerita ke aku.” tanyaku, sedikit mengangkat nada.
Ain menatapku, dan aku bisa melihat kebingungan di wajahnya. “Ceritain? Apanya sih yang mau aku ceritain mas. Emang yang mas baca di chat itu kenapa mas?”
“Yah gitu sih. Tapi gapapa kamu terusin chat ama dia. Kalau kamu mau ketemuan ama dia juga gapapa ko,” kataku, berusaha terdengar tenang. Namun, sejujurnya, aku bingung dengan diriku sendiri; bagaimana bisa aku berkata demikian?
Ain terdiam, seolah mencerna semua kata-kataku. Setelah beberapa detik, senyumnya muncul, tetapi senyum itu terasa berbeda. “Beneran? Kamu gak keberatan? Gak cemburu ?”
“Kalau itu bikin kamu senang, kenapa enggak? Cemburu ada sih, tapi aku lebih senang bila itu bikin kamu seneng.” jawabku, meski dalam hati aku merasakan gelombang emosi yang sulit diungkapkan.
1045Please respect copyright.PENANAZzTDXwpfU0
Dia terlihat lebih bersemangat. “Aku... gak tahu harus ngomong apa. Tapi terima kasih, Mas. Kamu sangat pengertian.”
1045Please respect copyright.PENANAyTFTrLX1y0
Sejak saat itu, aku melihat perubahan dalam diri Ain. Ada semangat baru yang tampak jelas di wajahnya. Dia mulai merias diri lebih sering, mengenakan pakaian yang lebih menarik daripada biasanya. Mungkin, dalam pikirannya, penawaran yang aku berikan membuatnya merasa bebas.
Suatu sore, saat aku baru pulang kerja, aku melihatnya duduk di sofa dengan ponsel di tangan. Dia tampak ceria, sesuatu yang tidak aku lihat dalam beberapa waktu terakhir.
“Hey, sayang. Kamu kelihatannya kayak lagi happy,” kataku, berusaha menyemangati.
“Ya, aku barusan chat ama temen lama,” ujarnya, sambil tersenyum lebar.
“Siapa?” tanyaku, meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.
“Lukas,” jawabnya, dan aku merasakan jantungku berdegup lebih kencang. “Dia mengajak ketemu minggu ini.”
“Bagus, semoga kamu menikmati pertemuan itu,” kataku, berusaha tetap tenang, meski hatiku berdebar.
1045Please respect copyright.PENANAoCZHNwbQ5w
Hari-hari berlalu, dan aku melihat Ain semakin percaya diri. Dia bukanlah wanita yang alim-alim banget, meski dia berhijab. Ada sisi binal yang terlihat muncul, dan aku tidak bisa menghindari rasa cemburu yang menyelinap dalam diriku. Tawaran yang aku berikan padanya sepertinya telah membuka pintu yang tak terduga.
“Mas, kamu beneran gak marah kan jika aku ketemu Lukas?” tanyanya suatu malam, seolah ingin memastikan persetujuanku.
“Gak, aku bakal marah. Ini kan demi kamu,” jawabku, meski sebenarnya hatiku terasa berat.
Ain tersenyum, dan seolah menerima dorongan yang aku berikan, kehadiranku dalam hidupnya tampak semakin tidak berarti. Dia mulai berbagi cerita tentang pertemuannya dengan Lukas, dan aku hanya bisa mendengar sambil menyimpan rasa penasaran di hati.
Malam itu, saat aku berbaring di sampingnya, ada yang berbeda. Ain terbangun, menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti. “Mas, kamu baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku, meski dalam diriku, segalanya mulai terasa tidak beres. Ketidakpastian ini seperti badai yang mengancam akan menghancurkan kami.
Namun, aku merasa semakin tidak berdaya. Sepertinya, tawaran yang aku berikan itu justru mengubah Ain menjadi sosok yang lebih binal, menggugah sisi liar yang selama ini terpendam. Dalam hatiku, aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar melakukan hal yang benar?
Setiap kali Ain kembali dari pertemuannya dengan Lukas, aku selalu menunggu dengan rasa penasaran.
“Bagaimana pertemuanmu? Kalian ngapain saja?” tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap santai, meskipun di dalam hati, rasa cemburu menggerogoti.
Ain akan menceritakan setiap detail dengan antusiasme, bercerita tentang makanan yang mereka nikmati, tempat yang mereka kunjungi, dan tawa yang mereka bagi.
“Dia mengajak aku ke kafe baru, dan kita ngobrol banyak hal. Rasanya seperti dulu lagi,” katanya dengan senyum lebar.
1045Please respect copyright.PENANAfvgpdIbX9T
“Apa kamu senang?” tanyaku, berusaha untuk tidak menunjukkan perasaanku yang sebenarnya.
1045Please respect copyright.PENANACW8kNRGUKh
“Ya, sangat!” jawab Ain, matanya bersinar. “Kadang aku merasa nyaman berbicara dengannya.”
1045Please respect copyright.PENANAyZYgp03GUd
Semakin aku mendengarkan cerita itu, semakin aku merasa terjebak dalam labirin emosi yang sulit dipahami. Tak puas dengan cerita lisan, aku mulai meminta Ain untuk mengabadikan momen-momen itu dengan foto-foto.
“Ain, kirimkan fotomu saat bersama Lukas, ya! Aku ingin tahu bagaimana suasananya,” pintaku dengan penuh harapan.
Dia hanya tersenyum, “Baiklah, Mas. Nanti aku ambil beberapa foto.”
Hingga akhirnya, keinginan itu terus berkembang dalam diriku. Aku mulai berpikir, kenapa tidak meminta rekaman video? Agar lebih nyata, agar aku bisa merasakan momen itu seolah aku juga ada di sana.
“Ain, bagaimana kalau kamu merekam video saat kalian bersama? Mungkin bisa lebih menyenangkan untuk ditonton,” saranku, dan kali ini, Ain tampak sedikit terkejut.
“Rekaman video? Hmm, itu baru ide yang aneh,” jawabnya dengan tawa kecil. “Tapi, kenapa tidak? Aku akan coba.”
Setiap kali dia pulang setelah pertemuan dengan Lukas, aku menyambutnya dengan senyuman, seolah tak ada yang salah. Dalam pikiranku, aku mencoba menampik semua rasa cemburu yang menggelora. Aku ingin terlihat mendukung, agar Ain merasa nyaman berbagi.
Saat dia menyerahkan ponselku dengan rekaman video yang telah dia buat, ada perasaan campur aduk di dalam diri ini. “Ini dia, Mas. Rekaman saat kita di kafe,” katanya, wajahnya berseri-seri.
Dengan hati yang berdebar, aku menonton rekaman itu sendirian di kamarku. Melihat Ain tertawa, berbagi cerita, dan menikmati waktu bersama Lukas membuatku merasa terjebak dalam fantasi yang aneh. Di satu sisi, aku tahu ini tidak sehat, tetapi di sisi lain, ada sensasi yang tak bisa kuingkari—sebuah rasa memiliki yang luar biasa saat melihatnya bersenang-senang.
Setelah menonton rekaman itu, aku merasakan campuran perasaan yang aneh, ada rasa cemburu sekaligus gairah. Aku terjebak dalam bayangan tentang bagaimana rasanya jika aku bisa memberikan kebahagiaan itu padanya. Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa memberikan apa yang dia butuhkan di dalam hubungan kami.
Malam-malam setelah itu, saat semua sudah tenang, aku akan terjebak dalam pikiran tersebut. Melihat kembali foto-foto dan video-video itu, membiarkan semua emosi mengalir. Seolah aku terperangkap dalam permainan yang kubuat sendiri, menanti momen-momen yang aneh dan sekaligus menyakitkan.
“Aku membuka jalan bagi diriku sendiri untuk terjebak dalam hubungan mereka,” bisikku pada diri sendiri, “meskipun aku tahu ini bukan jalan yang benar.”
1045Please respect copyright.PENANAaJR4n7iVTs
Setiap detik yang berlalu, aku semakin merasa asing dalam hidupku sendiri, seolah aku hanya pengamat dalam kisah cinta yang tidak sepenuhnya milikku. Namun, entah mengapa, aku terus melanjutkan permainan ini, terjebak dalam fantasi yang tidak bisa kujelaskan.
Ain tak pernah membicarakan perasaannya padaku soal ini. Mungkin ia merasa iba, atau mungkin ia tak lagi peduli. Bagiku, selama dia bahagia dan merasa puas, aku merasa sudah melakukan sesuatu yang benar, meski aku tahu, di mata dunia, ini adalah bentuk kejatuhan terendah seorang suami.
Aku sadar bahwa ini semuanya aneh tapi aku menikmatinya. Keanehanku semakin menjadi. Setiap kali Ain kembali dari pertemuannya dengan Lukas, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul di kepalaku. Pertanyaan itu semakin meresap dalam pikiranku. Aku mulai penasaran, apakah mereka sudah berhubungan intim layaknya dua manusia dewasa? Rasa ingin tahuku semakin menggelora. Setelah aku tahan-tahan akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan itu kepada istriku.
Suatu malam, saat kami berdua duduk di sofa, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ain, aku mau nanya sesuatu. Aku pengen kamu jujur, ya?”
Dia menatapku dengan bingung. “Emang mau nanya apaan, Mas?”
“Hmmmmm, Aku pengen tau, apa kamu ama Lukas udah... gituan?” tanyaku, berusaha mengucapkan kata-kata itu dengan hati-hati.
Wajah Ain seketika memerah. “Mas, itu bukan hal yang pantas kamu tanyakan!”
“Iya sih tapi gapapa kan kalau aku pengen tau. Kan aku udah izinin kamu deket ama Lukas. Kalau benar udah lakuin itu, aku gak akan marah kok. Aku hanya pengen tau,” kataku, berusaha meyakinkan.
Dia terdiam, tampak berjuang antara kejujuran dan rasa malu.
“Baiklah kalau kamu pengen tau, Mas.” akhirnya dia menghela napas, “iya, kami udah lakuin itu.”
Kepalaku terasa bergetar, dan jantungku terasa berdegup kencang. Sebuah perasaan aneh menyelimutiku—sebuah gairah yang tidak bisa dijelaskan.
“Wah beneran? Ceritain dong Ain! Aku pengen tahu kayak gimana?”
Ain menatapku dengan mata yang mulai melembut. “Mas, kamu yakin? Ini mungkin bikin kamu merasa gak nyaman.”
“Gapapa, ceritain aja. Justru sebaliknya. Aku pengen banget dengar cerita itu dari kamu,” kataku, berusaha bersikap tenang.
Dia mengangguk pelan, lalu mulai menceritakan.
“Kami bertemu di hotel kecil setelah makan malam. Suasana sangat romantis, dan kami berbicara tentang banyak hal. Lalu, kami... kami saling berciuman.”
Aku merasakan desiran rasa ingin tahu dan gairah dalam diriku.
“Teruskan, Ain. Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Kami... kami mulai lebih intim,” katanya, suara semakin pelan. “Dia... dia menyentuhku, dan aku merasa bergetar. Rasanya beda banget.”
“Apa yang kamu rasakan saat itu?” tanyaku, berusaha menahan rasa cemburu yang datang bersamaan dengan gairah itu.
“Aku merasa melayang, Mas. Seolah semua beban hilang, dan aku hanya fokus pada Lukas,” jawabnya dengan tatapan kosong, seolah mengingat kembali momen itu.
“Ini semua sangat menarik,” kataku, dengan penuh gairah.
Bersambung
ns 18.68.41.179da2