Aku duduk di tepi ranjang, meresapi dinginnya malam yang merayap pelan di setiap pori kulitku. Di depan sana, cermin memantulkan bayangan seseorang yang kukenal dengan begitu baik—atau mungkin, justru tak kukenal sama sekali. Bayangan itu adalah aku, Alisha, istri seorang pria yang dihormati. Namun, di balik pandangan mata yang kosong, ada sesuatu yang mulai berteriak, mengusik perasaan tenang yang selama ini kuterima begitu saja.
Fahri terbaring di sampingku, napasnya tenang, teratur, seolah setiap tarikan napasnya adalah perwujudan dari kehidupan yang sempurna. Dia seorang ustadz yang dihormati banyak orang, dan sebagai istrinya, aku sering kali dipandang sebagai wanita yang beruntung. Tapi, apakah benar aku merasa seberuntung itu? Sejenak, aku memejamkan mata, mencoba meresapi perasaan yang tak mau hilang. Ada kekosongan yang mengintai di sela-sela kedamaian yang dipaksakan.
Pernikahan kami, perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua, selalu kuanggap sebagai takdir yang harus diterima. Aku tumbuh dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi tradisi, dan sebagai anak yang patuh, aku tak pernah berani menolak. Maka, ketika Fahri hadir, aku menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa pernah bertanya apakah hati ini sungguh-sungguh ikut terbuka.
Fahri selalu bersikap baik. Pria yang sabar, penuh perhatian, dengan tutur kata yang lembut dan tingkah laku yang terpuji. Di mata banyak orang, mungkin dia adalah suami sempurna. Tapi bagiku, ada sesuatu yang terus menggantung di udara, sesuatu yang tak bisa kujelaskan—sebuah jarak yang tak kasat mata namun kian terasa.
Hubungan kami di ranjang pun berjalan dengan cara yang sama—sederhana, seperti rutinitas yang kami jalani dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab. Tak ada percikan, tak ada gejolak yang menggetarkan. Aku berpikir, mungkin begitulah cinta seharusnya—tidak melulu tentang hasrat, tapi lebih kepada saling menghormati dan menjalankan peran sebagai suami istri dengan penuh tanggung jawab. Bukankah begitu yang selalu diajarkan? Bahwa cinta bukan sekadar api yang menyala-nyala, tapi api kecil yang menyala dengan stabil, cukup untuk memberikan kehangatan yang konsisten?
Namun, malam ini berbeda. Keheningan malam yang biasanya terasa menenangkan, kini justru terasa seperti beban yang menghimpit dadaku. Aku menatap cermin lebih lama, menantang bayangan diri yang menatap balik kepadaku. Ada sesuatu di sana, di balik mata itu—sesuatu yang selama ini kututupi, atau mungkin, sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar kusadari. Sebuah kerinduan, entah pada apa, namun begitu nyata.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir kekalutan yang menyusup ke dalam pikiranku. Tapi semakin kucoba, semakin ia bertahan. "Apakah cinta sejati itu ada?" tanyaku dalam hati, bertanya-tanya apakah yang kurasakan ini hanyalah hasil dari terlalu banyak membaca kisah cinta di novel-novel, atau mungkin, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata, yang selama ini kusembunyikan di balik status dan peran yang kugenggam.
Fahri tetap terlelap, tak terganggu oleh gelisahku. Tapi aku? Aku merasa tersesat dalam diriku sendiri. Mungkin inilah bagian dari menjadi istri, pikirku getir, belajar mencintai seseorang yang telah dipilihkan untukku. Tapi bagaimana jika yang kutemukan adalah bayanganku sendiri, yang selama ini menunggu untuk kuakui keberadaannya?
Bayangan di cermin tersenyum tipis—bukan senyum bahagia, melainkan senyum penuh tanya. Apakah cukup menjalani hidup tanpa gairah, tanpa cinta yang menggelora, hanya dengan mengandalkan rasa hormat dan tanggung jawab? Apakah benar perasaan ini hanyalah sebentuk ketidakpuasan yang bisa kulupakan esok pagi? Atau mungkin, aku telah lama hidup dalam kebohongan yang kusebut sebagai takdir.
Aku melangkah keluar dari stasiun MRT Dukuh Atas dengan langkah yang cepat dan mantap, meskipun hatiku terasa seperti tertinggal di rumah. Suasana pagi di kawasan bisnis SCBD terasa seperti mesin raksasa yang terus bergerak tanpa henti—orang-orang dengan kemeja rapi, dasi, dan sepatu hak tinggi berlalu lalang tanpa peduli, mengejar mimpi atau sekadar tenggat waktu. Aku mengikuti arus mereka, menyesuaikan ritme langkahku, meski ada sesuatu dalam diriku yang bergerak lebih lambat, seolah terseret oleh pikiran yang tak bisa kulepaskan.
Hijab pastel yang kukenakan dan blus longgar ini melambangkan sosokku yang selalu terlihat sempurna di luar—rapi, tenang, dan tertutup, seperti harapan banyak orang terhadap seorang istri ustadz. Aku selalu berusaha tampil seperti yang diharapkan. Tapi di dalam, badai kecil berputar-putar. Langit Jakarta mungkin cerah pagi ini, tapi hatiku tidak sepenuhnya bisa merasakannya.
Di antara deru mobil, suara klakson, dan langkah-langkah cepat orang-orang yang bergegas menuju kantor, pikiranku terus melayang, kembali ke percakapan dengan Fahri tadi pagi. Suamiku, seorang ustadz yang dihormati, sosok yang selalu kutatap dengan rasa kagum dan cinta. Dia pria yang bijak, selalu tahu hal yang benar untuk dikatakan, untuk dilakukan. Dan selama ini, aku merasa beruntung memilikinya. Tapi, akhir-akhir ini, percakapan kami terasa berbeda. Ada kekhawatiran dalam suaranya yang tak biasa.
Fahri selalu menyambutku di rumah dengan senyuman hangat, tapi akhir-akhir ini senyum itu sering diiringi dengan tatapan yang berat.
"Bagaimana kerjaanmu?" tanyanya setiap kali aku pulang, suaranya lembut namun ada yang mengganjal di sana. Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaanku, lebih besar dari percakapan sehari-hari tentang laporan dan deadline.
Aku menyusuri trotoar menuju gedung kantor, mencoba menepis bayangan Fahri yang masih mengisi pikiranku. Aku tahu dia resah dengan pekerjaanku di kantor. Dia tak pernah mengatakannya secara langsung, tapi sebagai suami istri, aku bisa merasakan keraguan yang ia pendam. Mungkin dia merasa pekerjaan kantorku menjauhkan kami, atau mungkin dia khawatir aku terlalu tenggelam dalam dunia yang berbeda dengan kehidupannya sebagai seorang ustadz. Dunia yang penuh dengan target, ambisi, dan tekanan—sesuatu yang berlawanan dengan kehidupan spiritual yang tenang dan damai yang dia jalani.
"Alisha, kamu tahu kan apa yang terpenting dalam hidup?" Suara Fahri kembali bergema di benakku. Tentu saja aku tahu. Keluarga, agama, dan keimanan. Itu semua hal yang selalu dia tekankan. Tapi, di sisi lain, aku juga memiliki kebutuhan untuk meraih sesuatu di luar itu, untuk mengejar mimpi dan ambisiku sendiri. Apakah salah jika aku menginginkan keduanya—memiliki kehidupan spiritual yang seimbang, tapi juga berkarier dan menjadi mandiri?
Pertanyaan itu terus bergulir dalam pikiranku seperti riak di atas permukaan air. Aku menghela napas panjang, merasa terjebak di antara dua dunia yang seolah tak bisa kujalani secara bersamaan. Di satu sisi, ada cinta dan rasa hormatku kepada Fahri, kepada peran yang kumainkan sebagai istrinya. Tapi di sisi lain, ada aku—Alisha—dengan segala mimpi dan ambisi yang masih ingin kuraih.
Saat kakiku menyentuh lantai lobi kantor, aku mendongak, menatap kaca-kaca tinggi gedung yang menjulang ke langit. Dunia ini adalah bagian dari diriku, namun aku tahu, setiap kali pulang, aku harus meninggalkannya di sini, di balik pintu kaca ini, untuk kembali menjadi sosok yang berbeda—sosok yang seharusnya menjaga keharmonisan, yang seharusnya taat dan tenang di sisi Fahri.
Tapi berapa lama aku bisa terus melakukannya tanpa kehilangan diriku sendiri? Aku tak tahu jawabannya, namun yang pasti, pertanyaan itu kini terus menghantuiku lebih dari sebelumnya.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2