******
Chapter 1 :
If Heaven Exists12Please respect copyright.PENANAZQiBssk9ZT
******
12Please respect copyright.PENANAicK0tRCENh
DULU sekali, Hea pernah bermimpi.
Kira-kira sekitar sepuluh tahun yang lalu, beberapa tahun sebelum ibunya meninggal dunia. Hea ingat, malam itu perutnya terasa begitu hangat karena baru saja memakan semangkuk sup rumput laut. Ibu menemaninya makan malam, tersenyum kepadanya, dan mengucapkan ‘Selamat Ulang Tahun’ kepadanya.
Meski kedua laki-laki yang seharusnya ada di rumah tersebut tengah pergi bersenang-senang, mabuk-mabukan, dan berjudi, Ibu tetap memberikan Hea senyuman yang tulus, memasakkannya sup hangat, dan menemaninya makan malam. Rasanya malam itu adalah malam terhangat untuk Hea di sepanjang tahun itu, meskipun ia dan ibunya menghabiskan waktu di dalam sebuah rumah yang atapnya bocor, furniturnya sudah layak dibuang, dan dinding-dindingnya tampak kusam.
Sup buatan Ibu rasanya enak. Enak sekali.
Saking enaknya, Hea rasanya ingin menangis. Kedua matanya pedih, berasa seperti ada air yang ingin keluar dan jatuh melalui kelopak matanya. Melihat Ibu yang mengambilkannya semangkuk nasi dengan pakaian yang sudah robek di beberapa bagian serta menghitam bekas terkena alat-alat dapur, Hea sungguh ingin bersujud kepada Tuhan, meminta kehidupan yang lebih baik untuk ibunya. Namun, jika tidak ada kehidupan yang baik di dunia ini, mungkin saja bisa di dunia yang lain. Hea sungguh ingin wanita yang melahirkannya itu merasakan kebahagiaan yang tak ada habisnya setelah semua yang ia hadapi di dunia ini.
Malam itu berakhir dengan Hea yang berbaring di kasur dengan perut yang hangat dan wajah yang tersenyum bahagia. Ibu baru saja mematikan lampu kamarnya dan keluar dari kamar itu setelah menyelimuti tubuh Hea dan mengucapkan selamat malam.
Singkatnya, malam itu Hea bermimpi. Mimpinya sederhana: di dalam mimpi itu Hea tengah berlari di sebuah padang rumput yang amat luas. Padang rumput itu dipenuhi dengan ilalang, tetapi tidak terlalu tinggi. Cuaca di dalam mimpi tersebut tidak panas, tidak pula hujan. Cuacanya mendung, awannya mulai menghitam, berangin, dan itu terasa sangat sejuk. Rambut Hea yang sepunggung itu dibiarkan terurai; Hea berlari menikmati angin seraya merentangkan kedua tangannya agar bisa menyentuh ilalang-ilalang tersebut seraya berlari. Kepalanya terdongak dan ia memandangi langit mendung itu, menikmati cuaca tersebut sepuas-puasnya sebab itu adalah cuaca favoritnya.
Tatkala Hea berlari, gaun putih selutut yang ia kenakan tampak begitu indah tatkala tertiup angin. Ia merasa tubuhnya begitu ringan, tanpa beban apa-apa yang mengganjal di punggung ataupun di otaknya. Ia juga berasa seperti sedang berada di taman surga, tanpa dosa, dan tanpa keburukan apa-apa. Hea menikmati anginnya, pemandangannya, langitnya, dan merasa hatinya begitu bahagia hingga senyuman pun tanpa sadar terbit di wajahnya. Ia menghela napas lega, tertawa, berputar-putar….lalu berhenti dan mulai menutup matanya. Menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.
12Please respect copyright.PENANAckYGc78kak
Andai mimpi itu berlangsung selamanya…
12Please respect copyright.PENANAqNLGQQCr7S
Setetes air mata jatuh melalui ujung kedua mata Hea. Untuk sejenak, tatkala mengingat mimpi itu, jantung Hea terasa seolah tertohok benda tajam. Untuk apa Hea mengingatnya, mimpi sesederhana itu, sesaat sebelum kematiannya seperti ini?
Setelah mengeluarkan satu tetes air mata itu, pandangan mata Hea kembali terlihat kosong. Hampa. Persis seperti mata ikan yang sudah mati. Namun, anehnya, meski Hea sudah terbaring di dalam kamar yang gelap dalam keadaan terlentang dan tangan yang berdarah-darah, Hea masih bernapas.
Kepala Hea bergerak dengan perlahan. Terkesan sedikit enggan. Namun, dia pelan-pelan tetap memutuskan untuk melihat ke sebelah kanan tubuhnya. Tempat tangan kirinya tergeletak.
Dengan mata yang sudah sedikit mengabur dan kepala yang pusing akibat kurangnya asupan nutrisi, Hea pun mengangkat tangan kanannya dan di sana ia melihat luka-luka goresan yang selalu ia buat lagi dan lagi setiap harinya. Namun, yang kali ini, agaknya goresan kecil sudah tak lagi mempan. Hea mendengar bisikan untuk merobek lebih besar. Lebih kuat. Di bagian bawah pergelangan tangan.
Hea tidak tahu dia berhasil atau tidak.
Namun, rasanya kepalanya jadi sedikit ringan. Ia merasa untuk sementara, dia seperti tidak memiliki beban.
Hea meletakkan tangannya kembali ke samping tubuhnya. Ia pun melihat ke arah jendela yang gordennya terbuka sebagian. Cahaya matahari menembus masuk melalui jendela tersebut, membuat Hea merasa sedikit silau.
Ah, matahari selalu punya cara untuk tetap menyinari hari seluruh manusia. Cahayanya masuk dari mana saja, meskipun jiwa orang tersebut sudah berwarna hitam kelam. Sudah lama mati.
Tergeletak di sana selama beberapa detik dengan wajah yang pucat pasi dan tatapan kosong, Hea pun mulai berpikir. Apa ia akan segera menyusul Ibu?
Namun, ternyata lamunannya hanya dibiarkan berlangsung sesingkat itu. Dia baru saja merasakan sedikit perasaan senang dan lega tatkala menyadari bahwa ia bisa bertemu Ibu, tetapi ternyata dunia memang tak pernah mengizinkannya untuk beristirahat dari kegilaan barang sejenak saja. Sudah dalam keadaan sekarat seperti itu pun, dia masih dipaksa dan dicekoki dengan kenyataan yang penuh dengan penyimpangan. Keabnormalan. Perilaku-perilaku sinting. Itu semua ternyata masih saja meneror Hea di akhir-akhir hidupnya sebab tiba-tiba, Hea mendengar pintu kamarnya terbuka.
Mendengar itu, secara perlahan—dengan sisa-sisa kekuatan tubuhnya yang saat itu masih berfungsi—Hea pun menoleh ke samping kiri. Ke arah pintu kamarnya.
Di sana terlihat kakak laki-lakinya, Daejung, tengah menatap ke arahnya seraya menyeringai. Kedua tangan pemuda itu bertumpu di kosen pintu dan meski tubuh Hea sudah terlalu lemah untuk bergerak, indra penciumannya masih bisa mencium aroma alkohol yang menguar kuat dari tubuh Daejung.
Ah. Haha. Ternyata Hea akan mati dalam keadaan menyimpan sperma dari kakak kandungnya. Hea kira, setidaknya di hari kematiannya, dia akan bersih dari sperma kakak atau ayahnya yang menjijikkan itu. Amat menjijikkan hingga Hea tetap merasa kotor, meskipun ia sudah menggosok seluruh tubuhnya sampai kulit arinya terkelupas seraya menangis putus asa. Menangis hingga dadanya sesak dan sakit. Hingga sulit bernapas. Hingga tubuhnya bergetar.
Kotor.
Kotor.
Tetap kotor.
Masih kotor.
Namun, hari ini, Hea sudah tidak bereaksi apa-apa. Dia benar-benar kosong. Matanya menatap Daejung dengan tatapan kosong. Mati. Hampa. Wajahnya tak berekspresi. Dia terlihat hanya menatap Daejung…atau mungkin tidak menatapnya sama sekali. Tubuhnya pun tak bergerak barang satu inci pun. Dia bagaikan patung atau boneka yang menatap Daejung dengan tatapan kosong.
Berteriak, berekspresi, atau apa pun itu, semuanya sudah tidak ada gunanya lagi.
“Memang pas sekali untuk tempat pembuangan,” ujar Daejung, lalu pemuda itu tertawa kencang. Ia langsung menjilat bibirnya dan menyeringai kembali, lalu ia langsung masuk ke dalam kamar Hea dengan langkah yang tak sabaran, seolah nafsu binatangnya sudah melesat sampai ke ubun-ubun. Wajahnya yang dipenuhi dengan seringai itu membuat Hea kembali ingat, mengapa ia menganggap mimpi simpel beberapa tahun yang lalu sebagai mimpi yang indah.
Itu karena seluruh mimpinya terasa seperti mimpi yang buruk. Menjijikkan. Membuatnya muntah-muntah setiap baru bangun tidur.
Dia selalu bermimpi tentang munculnya wajah ayah dan kakaknya yang menatapnya dengan penuh seringai, penuh nafsu sinting, tengah menyetubuhinya membabi buta seperti alat. Seperti tempat sampah.
“Daripada keluar uang untuk menyewa pelacur, ya, ‘kan?” ujar Daejung lagi, ia telah memosisikan dirinya di dekat tubuh Hea, menarik sebelah kaki gadis itu agar mengangkanginya. Dia lalu merobek paksa rok serta celana dalam Hea. Dengan cepat, Daejung membuka ritsleting celana jeans kotornya yang berwarna hitam, bau alkohol bercampur bau dari tubuhnya menguar dan semuanya tercium oleh Hea. Mengobok-obok isi perut Hea yang sesungguhnya sudah dibiarkan kosong selama dua hari. Namun, Hea benar-benar kelihatan seperti mayat. Dia tidak merespons apa-apa layaknya boneka atau bahkan layaknya onggokan daging semata.
“Dasar tolol,” umpat Daejung. Pemuda yang sesat akal itu langsung mengentakkan kemaluannya ke dalam milik adik kandungnya sendiri. Napasnya terdengar seperti napas anjing. “Setidaknya dengan menjadi tempat pembuangan sperma, kau akan berguna. Sial, kau lacur sialan. Harusnya kau jadi pelacur saja. Kesinikan uangnya untukku bermain judi.”
Namun, selama Daejung melakukan itu padanya, selama Daejung memerkosanya, Hea hanya diam. Mulutnya bungkam sepenuhnya. Dia tidak bereaksi apa-apa. Boneka seks mungkin lebih terlihat berwarna daripada dirinya. Hea menerima perlakuan itu dengan kepala kosong. Matanya tidak berkedip; terbuka lebar dan hampa. Tidak ada cahaya di sana. Tidak ada tanda kehidupan. Tubuhnya terentak-entak, terlonjak karena kegiatan sinting itu, bajunya robek-robek, dan tangannya berdarah-darah.
Namun, tidak, dia belum juga mati.
Napasnya belum juga berhenti.
Hingga tatkala sperma menjijikkan itu masuk lagi ke dalam vaginanya dari persetubuhan inses tersebut, Daejung tertawa puas dan memukul kepala Hea dengan kencang. Dia meritsleting celananya kembali seraya menghina Hea, yang sebetulnya suaranya hanya terdengar seperti dengungan di telinga Hea. Bagaikan mendengar suara orang dari dalam air. Hea tidak berfungsi dengan benar lagi.
Kemudian, Daejung meninggalkan Hea di sana, yang terbaring kaku dengan kaki yang mengangkang; wajah, rambut, tangan, serta pakaiannya, semuanya kacau. Pahanya kotor akan sperma dan ternyata ada sisi bajunya yang terkena darah dari tangannya.
Akan tetapi, meskipun begitu, pandangan mata gadis itu tetap terlihat kosong. Ia tetap menunggu kapan napasnya terhenti.
Meski otak serta mentalnya telah porak poranda, ada selintas permohonan yang lewat di dalam benak Hea. Satu permohonan terakhir yang mungkin saja juga berada di detik-detik terakhir sebelum otaknya malfungsi.
Permohonan itu sungguh sederhana. Demikian bunyinya:
12Please respect copyright.PENANAa9TenS7f6C
Tuhan,
jika Engkau ada,
jika surga itu nyata adanya,
maka tolong, pertemukan aku dengan Ibu di sana,
hari ini. []
12Please respect copyright.PENANAZ9qr5wj7mn