******
Chapter 2 :
The Hell Inside My Head11Please respect copyright.PENANAPzTDnLIYHs
******
11Please respect copyright.PENANAiWGAUpuGvF
HEA mendorong pisau yang ia gunakan untuk menggores bagian pergelangan tangannya itu ke bawah, bergerak untuk menciptakan sobekan yang lebih lebar. Tatkala darah dari pergelangan tangannya itu benar-benar memuncrat dalam jumlah yang besar, menciptakan pendarahan yang masif, tepat saat itu jugalah Hea terbaring di lantai kamarnya yang gelap. Ia berbaring menyamping. Tangan kurus Hea tergeletak di depan kepalanya dan ia bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana darah terus mengucur keluar dari pergelangan tangannya.
Mata Hea telah kehilangan binarnya sepenuhnya. Kelopak matanya sudah setengah tertutup. Penglihatannya mulai kabur. Berbayang-bayang. Sementara itu, darah terus mengucur dari pergelangan tangannya. Tubuh Hea terdiam kaku dan tak berdaya; ia tak memiliki tenaga untuk bergerak lagi.
11Please respect copyright.PENANAgSNRTeDjPm
Sebentar lagi.
Sedikit lagi.
Beberapa saat lagi aku akan menyusul Ibu.
11Please respect copyright.PENANADypDtttq4T
Kedua mata Hea hampir saja tertutup tatkala tiba-tiba, dengan samar-samar Hea mendengar ketukan di jendelanya. Ketukan itu agaknya…bukan hanya sekali. Akan tetapi, bisa jadi itu hanyalah halusinasi Hea belaka sebab telinga gadis itu saat ini terasa berdengung. Ia sudah tak percaya lagi dengan pendengarannya. Semua suara sudah tidak benar-benar bisa ia dengarkan dengan normal. Matanya tak mampu melihat segala sesuatu dengan jelas, telinganya pun tak mampu mendengar segala suara dengan jelas. Semuanya kabur. Berdengung. Ganda. Mengalami distorsi. Entah mana yang benar.
Ketukan di jendelanya itu sepertinya terdengar semakin keras, tetapi tubuh Hea sudah tak kuasa untuk merespons apa pun yang ada di balik jendela itu. Hea tetap berada pada posisinya, kedua matanya kembali memaksa untuk terkatup sepenuhnya tatkala tiba-tiba, ada sebuah suara teriakan yang masuk ke telinga Hea. Teriakan itu terdengar lebih kencang daripada suara-suara dengungan yang lain di telinganya.
11Please respect copyright.PENANAOdqcjB3sw2
“HEA!!!”
11Please respect copyright.PENANAaZJHfisSjK
Sesaat setelah teriakan itu terdengar, Hea benar-benar tak tahu lagi tentang apa yang terjadi pada dirinya. Hal terakhir yang Hea rasakan adalah: ia merasa bahwa ada seseorang yang menarik bahunya ke samping, membuatnya berbaring telentang dengan gerakan cepat. Dari pandangan matanya yang kabur dan berayun-ayun itu, Hea melihat orang itu terus mengguncang-guncang tubuh Hea, menarik tangan Hea yang mengucurkan darah, dan tampaknya ia terus meneriakkan nama Hea, meskipun suaranya terdengar seperti suara orang yang berusaha berbicara di dalam air. Telinga Hea kini menjadi bingung menafsirkan sumber bunyinya. Wajah orang itu berbayang-bayang di pandangan mata Hea; teriakan orang itu juga mulai terdengar menjauh, tetapi Hea bisa melihat kedua mata orang itu yang agaknya terbuka lebar. Orang itu terlihat panik dan kalut.
Namun, Hea sepertinya kenal siapa orang ini.
Ini Park Jimin.
Ah…apa pemuda itu tadi melompat masuk ke dalam kamar Hea melalui jendela? Jadi, dialah orang yang mengetuk jendela Hea tadi.
Oh, ya… Jendela Hea tidak terkunci.
Hea tak lagi terpikir untuk melakukan apa pun, termasuk mengunci jendela kamarnya. Tak ada satu pun benda yang ia sentuh, kecuali pisau. Ia hanya ingin mati.
Suara teriakan Jimin mulai menghilang perlahan di telinga Hea. Tatkala Hea merasa bahwa tubuhnya mulai diangkat ke atas, kesadaran Hea pun semakin menipis.
Setelah itu, semuanya jadi gelap.
11Please respect copyright.PENANAoaZPPrWt7C
******
11Please respect copyright.PENANAGVPd4y6Qa3
Kedua kelopak mata Hea pelan-pelan bergerak. Kelopak mata itu bergetar, lalu mulai terbuka perlahan…hingga akhirnya terbuka sepenuhnya.
Ketika kedua matanya sudah terbuka, Hea pun mengerjap. Satu kali. Dua kali. Sinar matahari seakan langsung memelesat masuk ke matanya setelah itu dan Hea kontan mengernyitkan dahi.
Tunggu.
Mengapa…ada cahaya matahari?
Bukankah…seharusnya Hea sudah berhenti berurusan dengan dunia? Dunia ini termasuk bumi, bulan, bintang, dan matahari, bukan?
Namun, Hea masih bernapas. Sinar matahari pun masih datang untuk menyinarinya sekaligus mengganggunya.
Hea lantas kembali membuka kedua matanya dengan sempurna. Setelah itu, ada aroma yang mulai menyeruak ke hidungnya. Bau obat-obatan.
Tunggu sebentar. Jika dipikir-pikir lagi, tubuh Hea kini agaknya berbaring di atas sebuah ranjang. Hea bisa berpikir demikian sebab tempat ia berbaring saat ini terasa lebih lembut daripada lantai kamarnya yang dingin. Ruangannya juga jauh lebih terang dan hangat daripada kamar Hea yang suasananya terasa mencekam. Tubuh Hea yang tadinya hampir kehilangan kemampuan untuk merasakan sesuatu, kini kembali mampu merasakan hangatnya sinar matahari. Mampu merasakan lembutnya ranjang tempatnya berbaring. Mampu merasakan bahwa tubuhnya sedang memakai selimut. Hidungnya pun mampu mencium aroma ruangan rumah sakit.
Sebentar. Rumah sakit?
Kontan saja Hea terlonjak. Ia terduduk di ranjang tempatnya berbaring itu dengan kedua mata yang membulat penuh. Napasnya tertahan; jantungnya seakan berhenti berdegup.
Ini di mana?!
Tepat ketika Hea sudah terduduk sepenuhnya, gadis itu lantas melihat ada sesosok pemuda yang sedang duduk di hadapannya. Pemuda itu tampak tengah duduk dengan siku yang bertumpu pada ranjang Hea. Pemuda itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Akan tetapi, mungkin karena merasakan pergerakan dari Hea, pemuda itu langsung membuka wajahnya. Ia spontan menoleh ke arah Hea, matanya melebar sempurna, lalu ia berdiri dan langsung mendekati Hea dengan wajah paniknya. Ia langsung bergerak dengan sangat cepat; ia mendekati Hea secepat kilat.
“HEA!!” teriaknya. Ia langsung memegang kedua bahu Hea dengan sangat erat. Sangat kencang. Kedua matanya tampak memerah. “Hea, ya Tuhan, kau baik-baik saja?!!”
Hea mendongak perlahan. Memperhatikan pemuda itu yang tampak sangat khawatir. Pemuda itu tampak sangat terkejut. Sangat gentar.
Wajah Hea blank. Gadis itu masih kelihatan minim ekspresi. Ia tampak begitu lelah dan pucat, meskipun masih bernapas.
Hea bungkam.
11Please respect copyright.PENANADOvMgPyZ6S
Ah, rupanya Hea telah diselamatkan dari kematian.
11Please respect copyright.PENANAB9cv27tXCB
Kelopak mata Hea sedikit turun. Ia memperhatikan wajah pemuda itu dengan sendu selama beberapa detik.
Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya suara Hea pun mulai terdengar.
11Please respect copyright.PENANApxwrOLMDCN
“Ji…min...”
11Please respect copyright.PENANAOvt8dTazFb
“Hmm,” deham Jimin begitu Hea memanggil namanya. Pemuda itu langsung memegang wajah Hea dengan kedua tangannya yang agak bergetar, lalu mendekatkan wajah Hea dengan wajahnya. Dia menempelkan kening mereka berdua. Jimin lantas menutup kedua matanya kuat-kuat, alisnya menyatu dan dahinya berkerut. Napasnya terdengar memburu. “Syukurlah. Syukurlah. Oh, Tuhan. Syukurlah. Kau masih hidup.”
Tepat setelah mengatakan itu, Jimin langsung melepaskan wajah Hea dan beralih memeluk tubuh gadis itu dengan erat. Pelukannya begitu hangat, begitu menenangkan, tetapi di sisi lain, ada sebuah getaran pada pelukan itu: getaran yang bersumber dari rasa takut. Hea dapat merasakan degupan jantung Jimin; jantung pemuda itu berdegup dengan sangat kencang.
“Aku takut aku takkan sempat.” Jimin semakin mengeratkan rengkuhannya. Ia menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Hea. “Aku takut aku terlambat. Aku kira aku takkan bisa melihatmu lagi.”
Jemari Jimin yang tengah memeluk Hea—dan ada di punggung Hea—itu terasa semakin bergetar. Satu isakan lolos dari bibir Jimin, lalu pemuda itu mulai melepaskan rengkuhannya. Ia kembali memegang wajah Hea dengan kedua tangannya, kedua matanya tampak memerah dan berkaca-kaca. Ia menatap Hea dalam-dalam. Mencoba untuk mencari jawaban dari kedua bola mata Hea yang telah kehilangan cahayanya.
Tiga detik setelah itu, Jimin akhirnya berbicara, “Mengapa, Hea? Mengapa kau memutuskan untuk pergi secepat ini?”
Hea bungkam. Gadis itu tertunduk.
Hea sesungguhnya tidak punya kewajiban untuk memberitahukan semuanya, baik itu tanggal kematiannya, rencana bunuh dirinya, maupun alasan bunuh dirinya kepada Park Jimin. Kalau ditelaah lagi, sebenarnya Park Jimin bukanlah siapa-siapa di dalam kehidupannya. Pemuda itu bukan kerabatnya, bukan kekasihnya, dan juga bukan temannya. Bahkan bukan tetangganya.
Park Jimin hanyalah pemuda yang Hea temui dua bulan yang lalu, tepat sebelum Hea berhenti bekerja di sebuah restoran yang ada di kota kecil itu. Kota kecil, slow city minim penghuni yang ada di Korea Selatan. Kota kecil tempat mereka tinggal.
Hari itu, dua bulan yang lalu, Hea bertemu dengan Jimin beserta kedua temannya yang masuk ke restoran tempat Hea bekerja. Pemuda itu beradu tatap dengan Hea yang sedang berdiri di balik meja kasir…dan tatapan itu berlangsung selama beberapa detik. Lamanya pandangan mata itu terasa bagai menemukan sesuatu yang serupa dengan diri sendiri. Bagai melihat sesuatu yang familier, sesuatu yang juga ada di dalam diri…
….yaitu keputusasaan.
Pandangan mata mereka terkunci; ada sesuatu yang terasa ‘klik’ di dalam benak. Setelah itu, satu pikiran terlintas di dalam kepala.
Orang ini memancarkan getaran yang sama.
Mungkin atas dasar itulah Jimin berinisiatif untuk mengajak Hea berbicara tatkala membayar tagihan restoran. Tatkala sudah mengobrol sejenak, akhirnya Hea tahu bahwa Jimin tinggal tidak jauh dari rumahnya, tetapi juga tidak terlalu dekat seperti halnya tetangga.
Pemuda itu tampan, tetapi ternyata di balik wajah tampan itu, ia menyimpan banyak luka. Wajahnya menawan, senyumnya sangat manis, tetapi hatinya memiliki bercak-bercak hitam di berbagai titik. Otak dan mentalnya juga tidak sehat, tidak normal, sama seperti Hea. Mereka mengenali perasaan itu dan hal tersebut sukses menarik mereka bagaikan magnet.
Setelah pertemuan singkat itu, sesekali Jimin akan datang ke rumah Hea. Pemuda itu akan mengetuk jendela kamar Hea dan mengajak gadis itu ke luar. Hea jadi bisa kabur sebentar dari penderitaan yang seakan merangkak ke seluruh sudut rumahnya. Setelah itu, dengan menggunakan mobilnya, Jimin akan membawa Hea ke sebuah lapangan luas—bekas lapangan sepak bola—yang ditumbuhi dengan tanaman alang-alang di beberapa sudutnya.
Di sana mereka berdua akan berdiri di samping satu sama lain, memandang langit di lapangan luas yang penuh dengan tanaman alang-alang itu, lalu menghabiskan waktu hanya untuk bercerita dan berbagi. Dengan melakukan itu, untuk sesaat mereka dapat bernapas dengan nyaman. Mereka dapat melepaskan rasa sakit, meski hanya sekejap mata.
Dengan hubungan yang sulit dijelaskan seperti itu, jelas Hea tidak memiliki kewajiban untuk memberitahu Jimin soal kematiannya.
Akan tetapi, mengapa…hati kecil Hea tidak berkata demikian? Mengapa Hea justru tertundukdan tak mampu menyalahkan apa yang Jimin katakan?
Jimin menghela napas, pemuda itu lantas menggeleng dan langsung berbalik ke belakang. Ia berjalan untuk mengambil kursinya tadi, lalu mendekatkan kursi itu agar lebih dekat dengan posisi duduk Hea. Setelah itu, pemuda itu langsung duduk di kursi itu dan menatap ke arah Hea kembali, kedua tangannya langsung memegang tangan kiri Hea. Ia menggenggam jemari Hea dengan erat, mengelus punggung tangan gadis itu dengan lembut.
Kedua matanya yang memerah itu kini menatap Hea dengan penuh tanda tanya. “Hea. Bukankah kau bilang padaku bahwa kau akan bertahan, setidaknya sedikit lebih lama lagi?”
Hea masih tertunduk. Masih diam seribu bahasa.
Jimin menenggak ludahnya dengan sulit. Terasa berat dan pahit; ludahnya tersekat di tenggorokan. Jimin lalu menghela napas dan menggeleng. “Kalau aku tidak datang ke rumahmu hari ini dan masuk melalui jendelamu, niscaya kau akan pergi, Hea. Kau akan—”
Jimin melipat bibirnya, tak sanggup melanjutkan perkataannya sendiri. Pemuda itu tertunduk dan kembali meneguk ludahnya dengan sulit. Napasnya memburu; tanpa sadar ia mengeraskan rahangnya. Isi kepalanya mendadak jadi kalut akibat memikirkan bermacam-macam kemungkinan yang paling buruk.
Akhirnya, Jimin kembali menghela napas. Pemuda itu pun mengangkat kepalanya kembali dan ia menatap Hea dalam-dalam. Matanya terlihat sendu.
Ia tak berharap Hea mau meresponsnya. Ia sudah cukup bersyukur dapat menyelamatkan Hea sebelum terlambat.
Jimin lalu berbicara lagi.
“Saat ini kau sudah ada di ruang rawat inap, Hea. Kau sudah dipindahkan dari IGD. Kedua keparat itu sedang tidak ada di rumah tatkala aku menemukanmu. Jadi, aku menggendongmu ke luar melalui pintu depan rumah kalian dan langsung membawamu ke rumah sakit,” ujar Jimin. Pernyataannya itu sukses membuat Hea sedikit melebarkan matanya. Jimin telah menjawab seluruh pertanyaan yang bergumul di dalam benak Hea sejak tadi.
Hea lantas mengangkat sebelah tangan kirinya. Tangan yang tadinya sudah ia gores dan robek dengan menggunakan pisau. Tangan yang tadinya terus mengucurkan darah.
Sekarang sobekan di tangan itu sudah dijahit.
Luka-luka Hea yang ada di sekujur tangannya itu juga telah diperban. Semua luka itu ditutupi perban.
11Please respect copyright.PENANAqZMuDGNIff
Andai luka hati juga bisa diobati seperti ini.
Andai obatnya bisa dicari.
11Please respect copyright.PENANAv4rMkH48LQ
Kedua mata Hea menatap pergelangan tangan kirinya itu dengan tatapan sedih. Sedih, kecewa, sakit…
Hea berkedip beberapa kali. Matanya mulai berkaca-kaca.
11Please respect copyright.PENANAm67V6rJv8q
Bu, hari ini aku belum jadi ke sana.
11Please respect copyright.PENANAg6QO0nopQ0
Air mata Hea pun akhirnya jatuh. Gadis itu merasa bahwa ada sesuatu yang tengah menohok jantungnya dengan sangat kuat. Rasa sakitnya ternyata sudah mengantarkannya sampai kepada tahap terakhir, yaitu membunuh dirinya sendiri. Ia hampir mati. Ia seharusnya sudah mati.
Akan tetapi, Jimin menyelamatkannya.
Sebelah tangan Jimin terangkat ke atas, pemuda itu menggerakkan jempol tangan kanannya untuk menghapus air mata Hea. Tatkala Hea merasa bahwa Jimin tengah menghapus air matanya, gadis itu pun perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Ia menoleh ke arah Jimin; menatap langsung ke kedua bola mata Jimin yang terlihat begitu jernih di bawah sinar matahari. Bola mata cokelat gelapnya milik pemuda itu tengah menatap Hea dengan tatapan iba. Penuh pengertian. Ia seakan bisa merasakan sakit yang Hea rasakan sebab Ia dan Hea sejak awal memang memiliki kerusakan mental yang sama.
Tepat ketika Jimin menjauhkan tangannya dengan perlahan dan menggenggam jemari Hea kembali, Hea pun mulai duduk bersandar. Tubuh Hea refleks mencari sandaran karena di luar dari semua yang telah Jimin lakukan, tubuhnya tetap terasa tak berdaya. Ia masih kehilangan semua harapan untuk hidup.
Hea menatap Jimin dengan mata lelahnya; ia menatap Jimin dengan wajah yang tanpa eksresi. Bagaikan air yang tak beriak, bagaikan manusia yang telah direnggut seluruh jiwanya.
“Apa suara bisikan di dalam kepalamu itu semakin mengganggu?” tanya Jimin. Jimin menyatukan alisnya, ia benar-benar ingin tahu. “Apakah suara itu semakin terdengar menuntutmu?”
Hea mendengar seluruh pertanyaan Jimin. Namun, tak disangka-sangka, tiba-tiba Hea tersenyum miring. Gadis itu tersenyum, tetapi yang bergerak hanya bibirnya. Ekspresinya masih sama. Tatapan dari kedua matanya masih sama. Akan tetapi, dia tersenyum.
Jika yang ada di hadapan Hea sekarang bukanlah Park Jimin, orang itu pasti akan bergidik. Jimin sedikit melebarkan mata, kemudian pemuda itu melihat Hea yang mulai mengarahkan tatapannya ke depan. Benar-benar ke depan, bukan ke arah Jimin. Hea menatap lurus dari posisinya saat ini, yaitu tepat ke arah pintu masuk ruang rawat inapnya.
Senyuman Hea kini berubah menjadi senyuman tipis. Senyumannya itu sangat tipis, tetapi masih kentara. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Wajahnya juga tidak memiliki rona.
“Hea…” panggil Jimin pelan. Ia menunggu jawaban Hea.
Diam selama tiga detik…hingga akhirnya, Hea pun mulai merespons Jimin.
Akan tetapi, gadis itu tidak sama sekali menolehkan kepalanya ke arah Jimin. Ia masih memandang lurus ke depan.
“Jimin.” Hea bernapas samar. Senyuman tipis itu masih setia menghiasi wajah pucatnya, tetapi itu bukanlah jenis senyuman yang mengajakmu untuk ikut tersenyum. Senyuman itu justru adalah jenis senyuman yang mampu membuatmu jadi kasihan dan menangis. Senyuman itu terlihat menyakitkan. Pedih.
Jimin mengangguk. “Iya, Hea. Katakan padaku.”
“Jimin,” panggil Hea lagi. Ia berucap dengan suara yang lirih, perlahan-lahan. “meskipun bisikan itu mengganggu atau menuntutku, aku yakin bahwa kali ini, bukan bisikan itu yang membuatku ingin mengakhiri hidupku. Aku sendirilah yang ingin mati.”
Mendengar itu, Jimin pun tertunduk. Dahinya berkerut. Matanya kembali memerah, mengerjap dua kali. Ia menahan getir. Ia terlihat frustrasi karena sialnya, ia tahu apa yang Hea maksud. Ia paham seutuhnya.
Setelah itu, tanpa menunggu respons dari Jimin, Hea pun kembali berbicara. Masih tanpa semangat. Tanpa harapan. Tanpa motivasi.
“Aku memerangi isi kepalaku setiap saat, Jimin,” ujar Hea. Gadis itu menenggak ludahnya dengan susah payah. Ia seakan tengah menelan seluruh kepahitan di dalam hidupnya. “tetapi aku akhirnya sadar bahwa isi kepalaku tidak akan kacau apabila hidupku sedikit lebih baik. Kekacauan di dalam kepalaku tidak akan ada apabila aku sedikit lebih baik.”
Jimin kembali menatap ke arah Hea.
Hea lalu melanjutkan, “Aku sudah menyimpan banyak sekali hal di dalam kepalaku dan akhirnya aku kehilangan kewarasanku sendiri.”
“Hea,” panggil Jimin pada akhirnya. “Tidakkah kau sadar bahwa kau dan aku memiliki satu sama lain? Sejak awal, kau seharusnya membiarkanku membantumu. Seharusnya kau biarkan aku—”
“Katakan padaku, Jimin,” potong Hea. Perlahan-lahan…akhirnya gadis itu menatap ke arah Jimin. Pandangan mata mereka pun bertemu. Di antara cahaya matahari yang masuk melalui jendela ruangan rawat inap itu, mereka tampak fokus kepada satu sama lain.
Tatapan itu penuh dengan rasa sakit yang bercampur dengan iba serta afeksi.
“Katakan padaku,” lanjut Hea lagi. Namun, kali ini gadis itu pelan-pelan memiringkan kepalanya ke sisi.
Dia…tersenyum lagi kepada Jimin. Namun, kedua matanya berkaca-kaca. Ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Ketika aku membuka mataku untuk melihat dunia yang kita tinggali ini, neraka yang ada di dalam kepalaku terasa semakin menjadi-jadi, Jimin. Aku selalu berpikir bahwa mungkin saja, jika aku berhenti melihat dunia, neraka di kepalaku akan hilang,” ujar Hea. Dia menggeleng pelan, matanya melebar tak habis pikir, tetapi senyumnya masih ada. Ia agaknya betul-betul sudah kehilangan segalanya, termasuk sebagian besar kewarasannya. “Jadi, tolong katakan padaku, Jimin… Mengapa tatkala aku hampir saja mencicipi kematian, hatiku berkata bahwa setelah aku mati nanti…aku tetap takkan melihat surga?” []
11Please respect copyright.PENANAIIy7R4c07J