x
760Please respect copyright.PENANAuFB07FtTo7
“Za, pernahkan kau jatuh cinta?”, Pertanyaan iseng dari sahabatku yang bernama Ira kembali melayang-layang di kepalaku. “Cinta?”, pertama kali aku mengenalnya saat aku duduk dibangku taman kanak-kanak. Walaupun level cintanya masih cinta monyet atau bahkan bisa dikatakan level cinta anak monyet, tapi itu cukup membuat hati geli saat mengenangnya.
Aku masih ingat saat itu, setiap kali melihat anak laki-laki itu, entah dari mana perasaan malu dan bahagia yang tak terkira muncul begitu saja memenuhi dadaku. Setiap kali dia datang bermain ke lapangan komplek depan rumahku, entah dari mana kegilaan untuk tampil cantik merasukiku. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju kaca yang ada di kamar ibu dan mengacak-acak meja rias ibu untuk menemukan jepit rambut andalan yang menurutku dapat menyulapku menjadi gadis tercantik sekomplek.
Namun, setelah berhasil tampil cantik aku tetap saja malu untuk mengajaknya bermain denganku. Aku hanya berani mengintip dari sela-sela gorden yang menutupi kaca jendela rumahku. Padahal saat itu umurku masih 5 tahun dan aku sudah merasakan cinta. Ini membuatku malu membagi kisah ini pada sahabatku.
“kring, kring, kring” dering handphone menyadarkanku dari memori kecil itu. Cepat-cepat ku raih hp yang sejak tadi berada di sampingku. Panggilan dari Ira, aku pun langsung mengangkatnya.
“Halo, Assalamu’alaikum” terdengar suara Ira dari seberang sana.
“Wa’alaikumussalam Ra. Ada apa?” jawabku.
“Apa sudah kau pikirkan jawaban dari pertanyaanku yang di kampus tadi?” tanyanya.
“Ooo jadi kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini, aku kira ada sesuatu yang penting. Aku masih belum memikirkannya!” jawabku gugup.
“Ya nih aku penasaran apakah kamu pernah jatuh cinta, hehehe. Kamu ini ya tinggal jawab ya atau nggak aja perlu dipikir dulu!” ungkapnya kesal.
“Oke oke, aku jawab deh, dari pada kamu neror aku terus. Ya! Aku pernah jatuh cinta” Jawabku sambil berbisik.
“Waaaaaaaaaaaaa, beneran ni? Kapan? Dimana? Siapa orangnya?” teriaknya penuh girang.
“Udah deh jangan seheboh itu. Kamu mau tau? RA-HA-SI-A” ledekku seraya berharap ira tak mengorek cinta masa kecilku lagi.
“Mmmmmmm, ya udah deh aku gak mau maksain kamu cerita, yang penting aku tau kalo sahabatku ternyata normal. Hehehe” ledeknya balik.
“Dasar! Ternyata selama ini kamu nganggap sahabatmu ini gak normal ya? Jahaaaat!” ucapku kesal, namun dalam hati aku senang karena ira tak melanjutkan rasa penasarannya itu.
“Hehehe becanda, abis aku gak pernah ngeliat kamu tertarik sama lawan jenis. Kamu tertarinya cuma sama lembaran buku-buku di perpustakaan kampus. Kita lanjut sesi curhatnya besok di kampus aja ya, pulsaku limit nih, makasi udah jawab pertanyaan sahabatmu ini. Cieeeee Wassalamu’alaikum” ungkapnya penuh tawa.
“gak janji ya, Wa’alaikumussalam” Jawabku lega.
Aku tersenyum mendengar perkataan ira mengenai diriku. Aku mulai mengingat-ingat apakah benar aku seperti itu? Menurutku tidak. Inginku katakan pada sahabatku itu, bahwa:
“Bagaimana pun aku menurutmu, aku tetaplah seorang wanita yang memiliki hati. Dan menurutku tak ada hati yang tak punya cinta Ra. Hanya saja setiap hati punya haknya sendiri untuk menyimpan perasaan itu atau mengungkapkannya begitu saja”
ns 15.158.61.46da2