Bahwa yang kita lakukan sekarang adalah salah satu adegan paling klise dalam sebuah sekuel. Di mana kau datang dengan elegan, lalu aku menawarkan mejaku agar kau duduk berhadapan denganku seperti yang terencana bahwa malam ini kita akan makan malam berdua saja. Lampu restaurant berwarna sepia, juga kerlip kunang-kunang listrik yang membentuk pola tertentu pada dinding mendukung instrumen yang menderu terdengar romantis. “Apakah sekarang kaumengenakan kaus kaki itu lagi?” Kau bertanya. Aku tertawa, “Tentu, Amira. Kamu pernah katakan kaus kaki ini serasi denganku”. Lalu kau tersenyum. Entah apa. Pesanan telah sampai di meja kita: dua piring beef steak dan satu botol wine.481Please respect copyright.PENANAoDKYki1efe
“Apa yang bagus dari kaus kaki ini, Amira? Lagi pula, semua kaus kaki tentu saja sama di seluruh benua bumi.”
“Pemikiranmu tidak pernah berubah, Yassona.” Amirasedikit tertawa sebelum menjejal steak ke mulutnya yang lembab itu. “Sembilan bulan tidak berjumpa rupanya tidak membuatmu memikirkan apa-apa yang aku suka tentang kau.”
Aku menatap matanya dalam-dalam. “Amira. Masih sajakau menggodaku.”
“Yassona, hidup tidak pernah sesederhana itu. Tuhan menciptakan segalanya dengan kompleksitasnya sendiri.”
“Kenapa membahas Tuhan? Aku hanya bertanya perihalkaus kaki.”
“Lagi-lagi. Cara pikirmu terlalu sederhana. Berpikirlahlebih jauh, tuan.”
“Ah, kau sudah tahu jawabannya. Baiknya beritahukansaja.”
“Cobalah perhatikan kaus kaki itu, Yas.”
Aku melepas garpu dan pisau makanku lalu menyingsing celana hingga betis untuk mengikuti ucapan Amira. “Hanya bermotif dua garis melingkar di bagian atas”. Amira menghela nafas. “Perhatikan lebih detail”. “Garis bawah sedikit lebih tipis dari garis atas”. “Perhatikan lagi”. “Warna garis atas hitam, garis bawah biru tua, dan dasarnya putih”, aku menjelaskan dengan enggan, “Ada lagi yang luput”, aku menatap wajahnya. Dia tidak tertawa, artinya dia sedang serius. Tertawa adalah ekspersi bercanda bagi Amira, itu yang aku tahu selama enam tahun mengenalnya. “Apa lagi, Ra? Tidak ada motif lain lagi.”
“Ah, pantas saja kau terus gagal mengatur perusahaanmu itu, Yas. Kau tak pandai memerhatikan secara detail. Kauhanya melihat keindahan. Kau hanya memerhatikan dari jauh, jika bagus ya bagus, jika buruk ya buruk. Demikian matamu menipu otakmu selama ini.”
Aku berhenti sibuk memerhatikan kaos kakiku. Aku menegakkan badan lagi. Dia tidak tertawa sama sekali kemudian melanjutkan makan. Amira memang mengenalku sudah lama, sejak berkuliah dulu. Dia salah satu teman dekatku di kampus. Aku dan dia saling mengetahui bahwa ada cinta di antara kami. Namun kami memilih untuk tetap berteman saja. Itu lebih baik katanya. Dialah yang menyemangatiku agar bisa mengusaikan skripsi juga memerhatikan hal-hal sepele tentangku. Termasuk kaus kaki yang aku gunakan sembilan bulan lalu untuk mengantarnya kebandara. Hari itulah dia mengatakan menyukai kaus kaki ini.
“Dan kau juga tidak berubah, Amira. Masih saja rumit seperti biasanya”. Sekarang dia tersenyum. “Jadi, apasebenarnya maksudmu?” Amira meneguk wine-nye, kemudian berkata, “Jika kau bisa tahu apa maksudku, kauakan bisa memecahkan permasalahan perusahaanmu yang hampir bangkrut itu”, dia tertawa, “Sebesar itukah efeknya?” Dia mengangguk kecil serta mengedipkan mata, “ Begitulah. Ini akan menjadi latihan untuk otakmu yang tidak bekerja sepenuhnya”, tangannya menutupi tawanya yang melebar, “Kau benar-benar bercanda”, kataku ikut tertawa.
Tapi, jika benar menemukan jawaban tentang kaus kaki ini bisa membantuku memecahkan permasalahan perusahaan, aku akan benar-benar berterimakasih kepada Amira. Mengingat perusahaan ini belum dikelola dengan baik sejak meninggalnya ayah pada tahun terakhir perkuliahanku.Sementara ibu tidaklah pandai mengelola perusahaan, juga tidak gampang percaya terhadap siapa saja, membuatnya tidak mau menyerahkan perusahaan itu kepada keluarga dekat sambil menunggu aku benar-benar siap memimpin. Sejak wisudaku itulah masalah-masalah besar mulai bermunculan dibawah kepemimpinan amatirku. Padahal aku masih mempekerjakan sekretaris ayah agar dapat membantuku memimpin perusahaan itu dengan baik, dan tidak ada PHK ataupun penerimaan karyawan baru, namun tetap saja masalah akan tetap muncul jika pemimpinnya adalah orang sepertiaku, yang lebih suka melakukan hal-hal membahagiakan dan menghabiskan dua tahun terakhir untuk memikirkan bagaimana menikahi perempuan di hadapanku ini.
“Yassona, tanggungjawabmu sangat besar. Kamu harus mulai lebih serius dan dewasa. Aku serius.” Tatapan Amira kali ini mengingatkanku tentang tatapannya pada ciuman kami yang gagal di taman kota karena kedatangan pengamen sewaktu masih berkuliah dulu: dalam, teduh, dan hendak membawaku kepada seluruh tubuhnya.
“Experience is the best teacher”, aku mengutip pepatah populer itu, “Dengan lebih banyak pengalaman, lambat launaku akan makhir. Ini hanya soal waktu”, lanjutku.
“The best preparation for good work tomorrow is to do good work today”, dia ikut mengutip, “Jadi, bagaimana kamu bisa melakukan yang terbaik hari ini kalau kamu belum juga bersikap dewasa, lanjutnya.”
“Baiklah, seperti biasa aku akan mengalah untukmu.”
“Jangan merayu, jangan bercanda. Kita sedang bicaraserius.”
“Berarti kita sama-sama sedang serius, Amira.”
Aku tertawa. Dia meneguk wine satu kali lagi. “Jadi, bagaimana kau akan mengetahui lebih jauh tentang perusahaanmu jika kau bahkan kesulitan untuk benar-benar mengenali kaus kakimu.”
“Aku mengenal kaus kaki ini. Aku tidak akan salah pilihjika kaus kaki ini berada dalam setumpuk kaus kaki lainnya.”
“Iya, bagaimana jika kaus kaki ini memiliki kemiripan dengan setumpuk kaus kaki lain?”
Aku diam.
“Kau harus menemukan karakter kaus kakimu, yang membuatnya berbeda dari jutaan kaus kaki dengan tampilan yang persis dengannya.”
Amira selalu begitu. Caranya menuntunku menemukan jawaban membuatku tidak kemudian harus terus bermanja terhadap bocoran-bocoran. Pantas saja dia mengenakan selempang cumlaude pada saat wisuda. Dan malam ini, selainbahwa dia terlihat lebih anggun, pemikirannya juga ternyata semakin dalam. Bahagia sekali menjadi otak Amira sebab tidak tercipta sia-sia.
***
Melihatku tidak juga mengerti, Amira akhirnya bangkit, “Ah, sudahlah Yassona. Sudah larut, aku harus kembali kehotel.”
“Secepat itukah? Kita belum hanyut untuk kemudian berciuman”, aku menggodanya lagi.
“Percayalah, ciumanku masih terasa sama sepertibiasanya.”
Dia mendekatiku, kemudian mencium bibirku. Sedikit dan terburu-buru. Aku bahkan tidak sempat menutup matauntuk menikmatinya.
“Besok kau akan pulang lagi?”
“Iya, tidak ada yang mengurusi rumah.”
“Biar aku antarkan ke bandara.”
“Tidak, suamiku bisa mengomel lagi jika mengetahuinya seperti waktu itu”, dia tertawa.
“Baiklah, puan.”
“Katakan kepada istrimu agar jangan mencuci kaus kaki itu di laundry, nanti bisa tertukar. Kau harus mengetahui jawabannya sebelum ia tidak dapat lagi kau kenakan.”
Aku dan Amira tertawa sebelum dia menjauh dari meja makan kami.
Selong, 2020
ns 15.158.61.20da2