Gelap sekali. Hanya ada hitam sejauh mataku memandang. Sudah cukup lama aku berlari menyusuri kegelapan tak berujung ini. Namun apa yang kulakukan amatlah sia-sia. Saat aku berhenti, yang terdengar hanya deru napasku dan detakan jantungku yang seakan menggema di sekelilingku. Aku takut, tentu saja. Siapa yang tidak takut jika berada sendirian di tempat aneh yang tidak dikenalinya?
Di tengah keheningan yang membingungkanku, entah bisa disebut keberuntungan atau apa, aku mendengar sayup-sayup suara isak tangis. Semakin lama suara itu semakin jelas, hingga aku menyadari bahwa sumber suara itu berada tepat di belakangku. Aku pun spontan menoleh, dan apa yang kudapati adalah sebuah sofa abu-abu gelap yang melintang membelakangiku. Seorang gadis duduk meringkuk di atasnya, menangis terisak-isak sambil memeluk kedua lututnya yang kurus.
Kulit putihnya dan gaun hitam yang ia kenakan seakan berseri dalam kegelapan. Rambut hitam sepunggungnya dibiarkan tergerai dan tampak berkilau dalam kegelapan ini. Mengingatkanku pada kilau batu obsidian. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa wanita ini bisa muncul disini? Padahal jelas-jelas posisi sofa itu adalah tempatku datang tadi. Ilusikah?
“Pembohong...” dia mengatakan sesuatu di sela-sela tangisannya. Alhasil aku memfokuskan pendengaranku karena suaranya tidak terdengar jelas. “Yang mereka lakukan sepanjang waktu hanya menipuku...”
“Mereka tidak pernah menyayangiku...”
Untuk sebuah alasan yang bahkan tidak kuketahui, dadaku seperti tersentak keras mendengar kata-kata itu. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya, membuat keringatku bercucuran. Aku tidak habis pikir, perasaan menyebalkan macam apa yang tiba-tiba menyerangku ini? Rasanya begitu sakit seakan menusuk-nusuk dadaku dari dalam, membuat napasku mulai sesak. Apa aku akan segera mati?
Ketakutan menyergapku karena memikirkan kemungkinan itu. Langsung saja tubuhku bergerak maju tanpa perintah dari otakku. Hanya dalam beberapa langkah, tanganku menarik pundak wanita itu hingga kepalanya menoleh sempurna padaku dan lagi-lagi aku tersentak dibuatnya.
Air mata hitam membasahi wajah cantiknya, mengalir dari matanya yang menghitam seperti warna rambutnya. Ekspresi sedihnya seketika berubah geram setelah melihat wajahku, bersamaan dengan kemunculan sepasang biji matanya. Warnanya merah menyala yang bersinar terang dalam kegelapan.
Dapat kulihat dengan jelas kemarahan di wajahnya yang kian keruh seiring dengan tubuhku yang kian membeku. Bibir pucatnya perlahan terbuka, hendak mengatakan sesuatu. Membuat bulu kudukku meremang heboh. Belum sempat aku bergerak dari tempatku, dia berteriak parau dari tempat duduknya dan melemparkanku keluar dari dunia mengerikan itu.
Saat kubuka mataku kembali, rupanya aku masih berada di kafe. Sepertinya aku ketiduran, padahal aku telah memesan kopi untuk menemaniku sambil menunggu seseorang. Apa kafeinnya kurang ya?
Aku menyesap perlahan espresso pesananku dan menatap wajahku yang terpantul di permukaannya. Hah... benar-benar mimpi yang mengerikan. Meski sudah bertahun-tahun, tetap saja aku tidak bisa menyesuaikan. Mimpi buruk itu selalu saja terlampau berat untukku, sampai aku memutuskan untuk tidak tidur selama yang aku bisa.
Memanglah sebuah keputusan yang sangat bodoh, tapi untungnya tidur bukan kegiatan vital untuk seorang setengah vampir sepertiku. Jadi tidak perlu ditanya, aku sudah lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak dan bagaimana rasanya tidur dengan nyaman. Karena setiap aku menutup mata untuk berpindah ke alam mimpi, maka wanita berwajah menakutkan itulah yang akan menyambutku dengan teriakan pilunya. Sampai kapan pun kata-kata itu terus terngiang-ngiang di dalam pikiranku.
‘Aku membencimu.’ Itulah yang dia katakan saat berteriak tepat di depan wajahku.
Ponselku tiba-tiba bersiul singkat, bunyi notifikasi dari aplikasi sosial media yang kugunakan. Nama Seo Dong-ha tertulis pada bilah notifikasinya sebagai salah satu pengirim pesan terbaru. Di bawahnya terdapat isi pesan yang dia kirim. Cukup pendek sehingga aku tidak perlu membuka pesannya di aplikasi.
183Please respect copyright.PENANA1wnn082Api
SEO DONG-HA
Aku sudah ada di depan.
Lonceng kecil di atas pintu berdenting merdu tepat sedetik setelah aku menghapus semua notifikasi yang masuk di ponselku. Kupikir itu adalah partner baruku yang bernama Seo Dong-ha, tau-taunya seorang wanita muda berparas anggun bak model. Tinggi badannya kira-kira sebatas telingaku atau mungkin di bawahnya lagi. Rambutnya bergelombang sepundak, berwarna hitam dengan shading kemerahan dari tengah hingga ke ujung.
“Cantik dan manis,” pikirku, berusaha menahan senyum atas keindahan yang tidak biasa tersebut. Asal tau saja, bukan hanya di Karasuga, rambut berwarna hitam adalah gen yang sangat langka di seluruh belahan dunia. Biasanya hanya dimiliki oleh keturunan tertentu dari setiap negara, baik dari pihak manusia atau pihak vampir seperti kami. Dan legenda yang paling terkenal mengatakan bahwa seluruh vampir murni berambut hitam di dunia ini berasal dari satu leluhur yang sama.
Aku sendiri memiliki warna rambut yang cokelat keemasan seperti serat tembaga dan salah satu tipe yang sama langkanya dengan para pemilik rambut hitam. Kalaupun ada manusia yang memiliki warna rambut seperti kami, biasanya mereka hanya iseng mewarnainya. Gadis itu pun pasti demikian, mewarnai rambut untuk fashion atau karena kepengen saja. Berbeda denganku yang memang sengaja mewarnainya menjadi lebih ke cokelat alami seperti warna rambut kebanyakan.
“Ah, itu dia!” aku sedikit terkejut mendengar seruan heboh dari arah pintu. Walau suaranya cukup rendah, pendengaranku masih cukup tajam.
Dia berdiri menjulang di depan pintu, dengan senyum sumringah yang menghangatkan hati. Tanpa pikir panjang, aku pun balas tersenyum sambil melambaikan tangan. Dialah Seo Dong-ha, partner baru yang dikirim Momoka untukku sekaligus tetanggaku sewaktu masih di bangku SMP. Aku sudah dikirimi fotonya sejak kemarin sebagai persiapan, mengingat sudah bertahun-tahun kami tidak pernah bertukar kabar. Seingatku dulu, dia adalah salah satu siswa dengan postur tubuh paling mungil di lingkungan kami. Tak kusangka kini dia lebih besar dari yang kubayangkan. Sepertinya tinggi badan kami sama persis.
Dugaanku benar tatkala sosoknya telah berdiri tepat di depanku. Kami berjabat tangan, sekali lagi saling melempar senyum sumringah satu sama lain. Setelah sedikit basa-basi sambil sesekali mengenang masa lalu, aku mengetahui bahwa Dong-ha adalah teman SMA Raika yang bekerja untuk Momoka selama beberapa tahun terakhir. Raika sendiri merupakan adik laki-laki Momoka yang lebih muda tiga tahun dariku. Mereka bertemu saat orangtua Dong-ha pindah ke Mahiru karena tuntutan pekerjaan.
Kami pun memutuskan untuk pergi ke apartemenku untuk lanjut mengobrol setelah mampir ke toko sebentar. Dong-ha adalah seorang manusia, jadi aku harus menyediakan makanan yang layak untuk tamuku ini. Kami pun beranjak pergi, dan tanpa sengaja pandanganku kembali terpaut pada sosok gadis yang sama. Tempat duduknya hanya terhalang dua meja dari kami, ditemani secangkir green tea latte dan sepotong cheesecake strawberry. Tampak dia sedang menelepon seseorang dan sesekali menoleh keluar jendela kafe, sepertinya ada janji.
Saat kukembalikan pandanganku ke depan, kulihat seorang gadis yang memakai topi di kepalanya baru saja datang mendekati pintu masuk kafe sambil menjejalkan ponselnya ke dalam tas selempang. Aku dan Dong-ha masih melangkah santai menuju pintu keluar sampai seorang pengendara sepeda motor muncul dari arah datangnya gadis itu dan merampas tasnya dengan kasar.
Aku dan Dong-ha yang melihat kejadian itu berhamburan keluar kafe. Gadis itu sudah terkapar di jalan dengan genangan darah di bawah kepalanya saat kami berada diluar. Pasti terbentur pinggiran trotoar saat jatuh tadi. Kuraih salah satu kursi outdoor yang tertata di depan kafe sementara Dong-ha membawa gadis itu ke atas trotoar dibantu beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar saat kejadian.
***
Hayato menyeret kursi di tangannya ke tengah jalan. Pengendara motor besar itu semakin menjauh dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tas hijau tua milik korban juga masih berada di tangan mereka. Kalau dia berlari sekarang pasti tidak akan sempat. Satu-satunya harapan hanyalah kursi di tangannya.
“Anak muda, mau kau apakan kursi itu?” seorang wanita prauh baya di lokasi menghampirinya dengan raut khawatir.
Hayato menoleh padanya dan tersenyum. “Aku pinjam kursinya sebentar, aku pasti akan menggantinya kok,” ujarnya ramah. “Sebaiknya Nyonya menepi dulu, karena kita harus menghentikan mereka secepatnya.”
“Ba-baiklah,” kata wanita itu sembari mengambil beberapa langkah mundur ke sisi Dong-ha, bersamaan dengan Hayato yang mulai memasang posisi seakan hendak melemparkan sebuah bola besi. “Hati-hati, Nak.”
Dong-ha dan semua orang yang berada di sekitar Hayato kala itu terdiam begitu kursi di tangannya melesat di udara dengan kecepatan tinggi. Gerakan kepala mereka seirama dengan posisi kursi malang tersebut yang sempat melambung tinggi di udara sebelum jatuh menimpa para penjambret nun jauh disana.
Sosok Hayato menghilang begitu terdengar suara gedubrak jatuh si motor dan pengendaranya. Dong-ha yang masih serius dibantu warga sekitar untuk menghentikan pendarahan di kepala korban menyempatkan diri untuk melihat kondisi pelaku penjambretan. Hayato sudah berdiri tepat di dekat mereka, dengan tenangnya memungut tas milik korban sementara para pelaku diringkus oleh warga.
“Aku mendapatkan tasnya,” kata Hayato sambil meletakkan tas tersebut di sisi pemiliknya. “Bagaimana kondisinya? Sudah panggil ambulans?”
Dong-ha mendongak, sisa kepanikan masih terlihat jelas di wajah tampannya. “Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tapi aku tidak yakin,” balasnya setengah ngos-ngosan. “Kita hanya bisa berdoa semoga ambulansnya segera tiba. Kalau tidak...”
“Hubungi ambulansnya. Suruh putar balik saja,” celetuk seorang wanita di antara mereka.
Dong-ha dan Hayato melongo karena korban penjambretan yang harusnya sedang kritis karena kekurangan darah itu malah menatap mereka dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Beberapa warga pun berlarian karena ketakutan, sementara sisanya turut setia melongo di tempat seperti kedua pemuda itu. Mereka masih bergeming bahkan ketika gadis itu bangkit duduk dan melepaskan sweater Dong-ha yang sebelumnya digunakan untuk menahan perdarahan di kepalanya.
“Apa yang kalian lakukan? Cepat hubungi ambulansnya sebelum mereka datang sia-sia kesini,” ulang gadis itu sedikit memaksa. Sesekali mengelus luka di kepala yang telah berhenti mengeluarkan darah.
“Tunggu dulu,” sergah Hayato seakan baru saja mengingat sesuatu. “Anda... anda Suguha ‘kan?”
“Suguha?” Dong-ha memandang Hayato dengan muka bingung.
“Iya. Suguha yang itu loh. Masa tidak tau sih?!” desis Hayato jengkel. “Soloist dari Stellar Entertainment! Kudet kali kau ternyata!”
“Hah?! Masa?! Beneran Suguha yang itu?! Suguha-nya Stellar?!!” Dong-ha malah lebih heboh. Biji matanya seakan mau meloncat keluar saat menatap wajah gadis itu dengan seksama.
“Benar, itu aku,” jawab yang bersangkutan malu-malu. “Padahal tadi penyamaranku sudah sempurna. Tapi ya sudahlah.”
Hayato mengerutkan kening. Melakukan penyamaran seperti tadi memang merupakan sesuatu yang lumrah bagi para entertainer untuk menjaga privasi dan keamanan mereka selama keluyuran bebas di luar. Tapi kalau mau dibilang suatu kebetulan, ini benar-benar tidak terduga.
“Dan bicara soal luka Anda...” Hayato pun kepikiran. “Kalau Anda bisa pulih seperti ini, itu berarti...”
“SUGUYA??!!!” perkataan Hayato terpotong oleh kedatangan seorang pemuda yang tidak kalah gantengnya dengan personel grup idol andalan Stellar Entertainment.
Pemuda tinggi berambut cokelat pendek itu segera berlari menghampiri Suguha. Wajahnya panik luar biasa. Hayato dan Dong-ha memilih untuk diam kalau tidak ditanya. Hm... siapa pemuda ini? Manajernya? Asistennya? Atau guardiannya?
“Padahal aku hanya terlambat beberapa menit karena macet...” ucapnya penuh sesal. “Ayah akan membunuhku kalau sampai terjadi sesuatu padamu.”
“Tapi aku baik-baik saja kan?” sergah Suguha mencoba menenangkan pemuda itu. “Jangan khawatir lah.”
“Jangan khawatir apanya?! Kalau luka di kepalamu berbekas, akulah satu-satunya orang yang akan menjadi bulan-bulanan kakak!”
“Ayah? Kakak?” Dong-ha berpikir keras.
“Kalian saudara ya?” sela Hayato mewakili kebingungan rekan barunya.
“Benar, dia kakakku,” jawab Suguha. “Maaf, dia memang suka over begini. Harap maklum.”
Hayato dan Dong-ha tertawa awkward mendengar penjelasan itu.
“Harap maklum apanya? Aku memang khawatir, tauk!”
Puas menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pemuda itu menoleh kepada Dong-ha. Entah sejak kapan ekspresi menyedihkannya berubah seserius ini. Mereka berdua sampai terbengong parah melihat perubahan mendadak itu.
“Kita belum berkenalan. Namaku Eiji, kakaknya Suguya,” ucap pemuda itu memperkenalkan diri. Dong-ha dan Hayato menjabat tangannya bergantian. Hayato sampai keheranan, kenapa juga dia memanggil Suguha dengan nama yang berbeda?
“Perasaan dari tadi dia manggilnya Suguya terus. Nama aslinya kah?” pemuda itu kepikiran.
“Seo Dong-ha.” Dong-ha membalas uluran tangan Eiji, disusul oleh Hayato.
“Kanda Hayato.”
“Kalian yang menolong adikku?”
“Aku hampir tidak melakukan apa-apa,” Dong-ha menunjuk Hayato di sebelahnya. “Dia yang menghentikan penjambret itu dan mendapatkan tasnya kembali.”
“Hah?” Eiji memandang Hayato dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Dalam perjalanan tadi, dia memang mendengar bisik-bisik heboh orang-orang yang mengatakan kalau seorang pemuda berkekuatan super berhasil menghentikan para penjambret berbekal sebuah kursi.
Dari jarak sedekat ini, Eiji bisa merasakan aura yang tidak biasa dari Hayato. Sebuah aura yang cukup kuat, dengan karakteristik yang sama dengan aura miliknya. Aura kelam seorang vampir yang belum sempurna.
“Kanda. Kau...” gumamnya hati-hati. “Seorang dhampir....??”
***
“Dhampir ya....”
Hayato menatap deretan pohon yang berbaris sepanjang jalan melalui kaca jendela mobil. Sudah lebih dari tiga puluh menit sejak mereka meninggalkan pemukiman dan memasuki sisi terpencil kota. Sebelumnya Eiji sudah menginformasikan kalau rumah tujuan mereka berada di pinggir kota yang cukup jauh dari pemukiman manusia. Jadi dia tidak boleh berharap agar segera tiba di tujuan.
Setelah kurang lebih satu jam meliuk-liuk di sela-sela bukit dan menyusuri deretan pepohonan, mobil yang mereka tumpangi memasuki gerbang sebuah mansion megah. Keadaan mansion dan sekitarnya tampak sangat terawat untuk ukuran sebuah mansion yang ditinggali para vampir. Dengan memperhitungkan ukuran serta kondisi mansion dan banyaknya penjagaan, bergabung di Stellar Entertainment sebagai seorang soloist di era kejayaannya pasti bukanlah sesuatu yang sulit bagi Suguha.
Dari posisi duduknya di kursi penumpang, Hayato dan Dong-ha bisa melihat setiap pengawal mengenakan setelan dominan hitam baik yang dalam bentuk formal maupun kasual ala gangster. Melihat mereka bergantian membungkuk hormat kepada Suguha dan Eiji membuat perasaan Hayato tidak tenang. Entah dimana dia pernah melihat etiket seperti itu sebelumnya.
Mobil yang dikemudikan Eiji berbelok mengambil posisi di depan beranda utama. Belum juga mereka selesai melepas safety belt, dua orang pengawal membukakan pintu mobil untuk Eiji dan Suguha. Mereka kembali membungkuk hormat begitu keduanya keluar dari dalam mobil, membuat Hayato semakin yakin bahwa orangtua Suguha pasti ada kaitannya dengan dunia bisnis dan pemerintahan.
“Paman Raku, Ayah sudah pulang?” tanya Eiji kepada seorang lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari pintu depan, bertepatan dengan Hayato dan Dong-ha yang turun dari mobil.
Jantung Hayato sempat berdesir aneh saat menatap pria bernama Raku tersebut. Sebuah indikator alami yang telah dia miliki sejak tubuhnya mengalami perubahan. Sebagai seorang dhampir, Hayato memiliki kemampuan untuk membedakan manusia dan vampir. Semakin kuat getaran yang dia rasakan pada pertemuan pertama dengan seseorang, maka semakin besar kekuatan orang tersebut. Tapi di antara vampir murni, ada yang memiliki kemampuan untuk menyamarkan auranya hingga tidak terasa sama sekali. Dan Hayato mencurigai Suguha yang kemungkinan melakukan hal serupa sehingga dia tidak dapat menyadarinya. Kalau bukan karena lukanya yang tiba-tiba menutup, dia tidak akan pernah tau bahwa penyanyi cantik multitalenta itu adalah seorang vampir.
Dari reaksinya barusan pun, Hayato tau kalau Raku adalah seorang vampir yang sangat kuat. Usianya pun pasti tidak semuda kelihatannya. Dan jika dibandingkan dengan semua vampir di sekitar mereka, getarannya lumayan besar sampai bisa membuat dadanya bergejolak tidak nyaman. Mau tidak mau dia jadi penasaran dengan posisi Raku di rumah ini.
“Iya, Tuan Muda. Beliau sedang berada di ruang kerja,” jawab Raku santai.
“Baguslah.” Eiji tersenyum. “Kebetulan aku membawakan tamu penting untuknya.”
“Tamu penting?” Raku membulatkan mata selama beberapa saat sebelum melihat ke belakang Eiji. Dia hanya tersenyum ketika Hayato dan Dong-ha membungkuk sopan untuk menyapanya. “Harusnya kalian belum kembali dari kota. Ada kejadian menarik ya?”
Eiji melirik Raku dan tersenyum penuh arti. “Menurut paman?”
Tanpa basa-basi, langsung saja Eiji mengajak kedua pemuda yang baru saja ditemuinya menuju ruang kerja sang ayah setelah menyuruh Suguha untuk membersihkan diri di kamar. Ruang kerja ayah mereka berada di lantai tiga, hanya terhalang satu lantai dengan ruang tamu depan tempat mereka tiba pertama kali. Tidak heran kalau beliau sudah memperkirakan kedatangan mereka.
Sepanjang perjalanan, Hayato terus terdiam. Padahal dalam hatinya, dia sedang mengagumi keindahan interior mansion yang sederhana namun elegan. Perabotan dan furniturnya pun tidak main-main, milenial dan berkelas. Hayato bisa mengenali sebagian besar dari furnitur dan perabotan yang ada berasal dari beberapa merk dagang terkenal sedunia.
Setelah kurang lebih sepuluh menitan menyusuri lorong-lorong temaram, mereka akhirnya tiba di depan sepasang pintu mahogani setinggi lebih dari dua meter. Dipercantik oleh ukiran-ukiran menyerupai gerbang pepohonan yang sangat mendetail namun tampak menakutkan. Eiji mengetuk pintu lima kali dengan irama tertentu. Tak perlu menunggu lama, seseorang membuka pintu dari dalam. Ternyata seorang pria tua dalam setelan jas pelayan. Dia tersenyum ramah hingga keriput di sekitar mata dan bibirnya tampak jelas.
“Selamat datang, Tuan Muda Eiji. Tuan Besar sudah menanti kedatangan Anda,” ucap pria tua itu lembut.
Eiji masuk lebih dulu setelah mengisyaratkan agar Hayato dan Dong-ha menunggu dulu di luar. Langkah kakinya hampir tidak terdengar saat ia melangkah menghampiri satu-satunya meja kerja berukuran besar yang ada di dalam ruangan tersebut. Dimana seorang lelaki sepantaran Raku sedang serius memeriksa tumpukan dokumen di hadapannya. Namun penampilannya terkesan berbeda dibandingkan dengan Raku yang rada gondrong dan sedikit berantakan, pria ini justru sebaliknya. Selain daripada setelan jas dan kemeja yang rapi nan elegan, rambut hitamnya terpotong rapi layaknya pria seusianya. Wajahnya pun bersih dari kumis dan jenggot, membuatnya sekilas tampak tidak jauh lebih tua dari Eiji yang berdiri di depannya sekarang.
“Bagaimana ceritanya adikmu bisa mengalami kejadian seperti itu?” celetuk pria itu tiba-tiba. Tau-tau dia sudah menatap Eiji sambil bertopang dagu, dokumen yang tadinya berada di tangannya entah sejak kapan diletakkan di atas meja. Bilah violetnya menatap tajam seakan sedang mengebor jidat Eiji.
“Tadinya kami janjian dengan kakak di cafe yang biasa, tapi saya terlambat karena jalanan macet. Sementara Suguya sudah sampai duluan,” jelas Eiji hati-hati.
“Dan adikmu terluka saat itu?” tanya sang ayah tajam dan dibalas anggukan pelan oleh putranya.
“Ma-maafkan saya!” seru pemuda itu sambil membungkuk penuh penyesalan. Reaksi berlebihan itu sampai membuat ayahnya merasa bersalah.
“Tu-tuan Muda....” si pelayan berusaha mencegahnya bertindak lebih jauh. “Anda tidak perlu seperti ini....”
Sementara di sisi Hayato dan Dong-ha, Suguha baru saja datang ditemani seorang pemuda berambut ikal pendek dan berwarna gelap. Poninya sampai menutupi kedua matanya sehingga Hayato dan Dong-ha tidak bisa melihat ke arah mana dia memandang. Tinggi badannya kurang lebih 1,80 sentimeter, dan kulitnya tidak sepucat vampir pada umumnya. Sikapnya yang kaku membuatnya terlihat norak meski tubuh tingginya dibalut setelah jas rapi dengan dasi. Berbeda dengan aura Suguha yang kini terasa agak pekat, sepertinya dia seorang setengah vampir seperti dirinya dan Eiji.
“Kalian belum masuk?” tanya Suguha keheranan.
“Eiji baru saja masuk, katanya kami harus menunggu sampai dipanggil,” jawab Dong-ha.
“Hm? Sepertinya kalian akan jadi surprise untuk ayah.”
“Hah?” tanda tanya besar muncul di atas kepala Hayato dan Dong-ha.
Tiba-tiba saja pemuda berambut ikal di belakang melangkah maju ke sisi Suguha dan berbicara pelan. “Mereka yang menolongmu?” Suaranya terdengar dalam dan lembut di saat yang sama.
Tanpa sadar Hayato mengerutkan kening karena suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Otaknya bekerja keras memutar memori, dimana gerangan dia pernah mendengar suara yang terbilang langka dan indah ini. Pandangannya tidak kunjung lepas dari pemuda berpenampilan aneh yang sedang mengobrol dengan Suguha tersebut.
“Benar, mereka membantu mendapatkan tasku kembali. Aku tidak tau harus bagaimana kalau tidak ada mereka disana waktu itu,” ujar Suguha sambil tersenyum lega.
“Benarkah?” pemuda itu membulatkan mata di balik poninya sebelum menegakkan kembali tubuhnya. Kepalanya mengarah kepada Hayato dan Dong-ha bergantian. Dalam satu kesempatan ketika angin yang masuk lewat jendela bertiup, Hayato tidak melewatkan bilah perak kusam yang tengah menatap kosong padanya dari celah poni yang tersibak.
“Kalau begitu, aku harus berterima kasih atas kebaikan mereka.”
183Please respect copyright.PENANAbj9WVg13gR