351Please respect copyright.PENANAO6NNax70aM
(DKx)
Jejak langkah meninggalkan resah tak bertuan, lalu hanyut dalam riak kehidupan berpaut harapan dalam genggaman dan warna ilahiah.
****
Lampu jalan berpendar sampai jauh temaram, menyelinap masuk disela dedaunan dan berkejaran dengan angin malam. Malam begitu setia kepada detik waktu yang melingkar kaku di pergelangan tangan. Saat ramai orang-orang pulang ke pangkuan dia turun dari angkutan dengan pijakan pasti di trotoar disusul langkah bersekian resah yang terlepas.
“Trotoar ini rapih dan panjang” dia bilang itu pelan. Kemudian dia berhenti di persimpangan jalan yang jadi tambatan dan melihat daun pintu kaca tak malu buka tutup memanjakan matanya. Dibalik pintu itu ada kisah berjuta kata tak tertuliskan, lembaran-lembaran kosong berterbangan dilangit-langit hatinya. Kemudian dia berjalan menuju tepi jembatan besar, kokoh peninggalan zaman kolonial ber-cat merah. Dibawahnya air mengalir disela bebatuan besar, yang tidak pupus keindahan. Dias duduk menatap sampai batas pandangan di temaram lampu kota, dibelakagnya lalu sesekali orang-orang berjalan pulang.
“Dingin sekali malam ini...” dia bergumam, tak lama tukang sekoteng hangat lewat sambil bunyikan tawaran dagangannya.
“Bang pesen satu, makan disini”
“Sendiri aja bang?” tanya tukang sekoteng
“Iya” Dias jawab sambil menatap ujung trotoar
“Bang, dibawah jembatan itu tempat apaan?” Sambil menunjuk kerumunan kecil
“Itu posko peduli lingkungan, seminggu sekali buka sampai malam, disana biasanya ngumpul aktivis lingkungan gitu, ada orang bulenya juga bang” tukang sekoteng bicara dengan antusias sambil buatkan porsi spesial dari jualannya.
“Oh gitu…” Dias sepertinya sangat tertarik dengan aktivitas itu. Setelah menikmati sekoteng hangatnya, dia langsung kunjungi booth peduli lingkungan yang dia perhatikan lama.
****
Sementara ditempat yang berbeda, dari jauh terlihat cahaya lampu minyak di teras rumah, cahayanya berpendar ke ruang-ruang hati, tak berjelaga, mencipta bayangan lembut kepada secangkir kopi di meja kayu. Dari tubuh cantik ciptaan Yang Maha Cinta. Kain batik coklat tua padu dengan baju putih hadirkan nuansa lembut tak berkesudahan. Larasati duduk di teras rumah kayu di sebuah tempat konservasi. Dia adalah seorang aktivis lingkungan hidup dari lembaga konservasi alam di Asia-Eropa.
“Non.., mau pisang goreng… ibu ambilkan ya…?” ibu Nena pemilik rumah bertanya sambil lari kecil dari dapur ke teras rumah.
“Wiiihh…beneran bu? Asik…mau..mau…yang masih panas ya…” Larasati berdiri dari kursi kayu dan ikutan lari kecil ke dapur. Pisang goreng diwajan menguning harum bercampur aroma asap kayu bakar di tungku, pokoknya malam itu malam yang cocok untuk ngopi dan makan kudapan ringan. Suasananya betul-betul hangat walaupun hanya berdua bicara segala hal sambil tertawa.
“Bu.., udah malem aku mo tidur duluan ya, tapi mau ditemenin ibu ya…hee..hee”
“Duh manja bener nih anak cantik….” sambil cubit pipi Laras
“Aw..aww…sakit ibu ih…” jawab Laras sambil pergi ke kamar tidur menggandeng ibu Nena. Malam pun kian larut suara burung malam di pedesaan kian jelas terdengar, nuansanya memeluk erat malam dalam impian. Wajah Laras pun terbenam di bantal kapuk dalam tidurnya.
****
Di sekretariat kegiatan kampus, ada Dias yang sedang persiapan perbekalan penelitian lingkungan di konservasi penanaman hutan bakau. Acara anual kerjasama Himpunan mahasiswa dengan Lembaga pemerhati lingkungan, sangat padat di bulan-bulan itu sepertinya. Riuh suara orang-orang bicara jelas terdengar di ruangan itu.
“Kak Dias kapan kita adakan pertemuan lagi, kita harus pastikan lagi format acara kita” Uki bilang itu ke Dias sambil menumpuk buku-buku panduan konservasi lingkungan ke dalam dus besar.
“Besok pagi jam sembilan, kita siapkan pertemuannya di sekretariat Himpunan, jangan lupa kasih tau seluruh pengurus supaya hadir tepat waktu, soalnya banyak bahasan kaya nya” gestur Dias serius sampaikan pesan ke Uki sekretaris kegian tahun ini.
“ Ok Kak, aku mo sampein ke anak-anak skarang , kalo yg gak hadir skarang paling nanti aku titipin pesan” sambil sesekali Uki lirik Dias ditengah kesibukannya.
“OK, makasih”
Nampaknya seluruh persiapan acara harus sempurna dan proyek konservasi tahun ini harus lebih baik dari tahun sebelumnya karena tahun ini, dilaksanakan secra kolektif dan dapat dukungan kegiatan dari beberapa lembaga swadaya pemerhati lingkungan. Seluruh persiapan tim sudah dilakukan agenda kegiatan mulai dilaksanakan satu persatu. Tiba saatnya tim Dias berangkat menuju desa sasaran konservasi di Pulau burung ujung Jawa. Sebuah tempat yang luarbiasa memiliki pemandangan indah dengan beberapa bukit dan pantai dengan hutan bakau disekitarnya. Sepertinya kegiatan tahun ini adalah kegiatan paling ditunggu tim Dias, kelihatan seluruh anggota begitu menikmati perjalanan menuju kampung impian.
****
Disebuah pancuran bambu riang tawa beberapa wanita terdengar sayup, mencuci pakaian sambil mandi dipinggiran kali. Ada Laras dan teman kerjanya disana sambil pegang kamera dan data cek observasi.
“Kak Laras gak ikut mandi?” tanya seorang wanita dekat pancuran bambu
“Gak ah nanti aja dingin ih” jawab Laras
“Gak dingin ayo coba dulu seger kak…ayo….” tangan Laras ditarik sampai mendekati sungai.
“Beneran gak dingin? Trus aku ganti bajunya di mana?
“ Itu di rumah aku di atas tuh, yuk aku anter dulu….”
Larasati coba mengganti baju dengan kain mandi sambil ajak Rini teman kerja di lembaga konservasi, benar-benar pengalaman pertama dan sepertinya akan menyenangkan. Merekan menuruni pematang sawah, berpagar bunga liar menuju pancuran bambu lagi, tempat mereka mandi dan mencuci . Senda gurau berbalut kecantikan alam desa yang terindukan setiap orang bersatu di fikiran Laras saat itu.
Tak berapa lama mereka mandi terlihat di kejauhan ada iring-iringan truk mengangkut barang dan beberapa orang terlihat mengendarai sepeda motor.
“Rin, siapa mereka ya?”
“Kayanya itu rombongan tim Mahasiswa yang mau penelitian itu, di agenda dua hari lagi kita pertemuan kan…”
“iya apa ya!?” Kerut dahi terlihat bertumpuk di wajah lembut Laras.
Gemulai lembut berbalut kain berpendar cahaya pagi di atas kulit tubuh mereka, mewarnai pagi menghias nuansa tak bertepi di cakrawala.
****
Iring-iringan kendaraan pengangkut terus melaju, Dias dan kawan-kawan ada diantara iring-iringan itu, setelah perjalanan 5 Jam yang melelahkan akhirnya mereka sampai di tujuan, sebuah desa indah denga beberapa bukit cantik, lepas memandang hamparan pantai pasir putih dan hutan bakau. Mereka sampai di penginapan rumah penduduk dan kantor desa jadi posko kegiatan.
“Temen-temen kita harus petemuan besok dengan tim dari perwakilan luar negeri” Dias bicara didepan teman-temannya, sambil minum secangkir kopi hitam diantara bentang langit berbatas hamparan laut luas.
“Ya kita siapkan berkasnya nanti malam” teman-teman Dias menjawab sama, menunjukan keseriusan kerja. Sebuah tim yang kompak dan penuh komitmen dengan tugas serta hasil yang akan diperoleh selepas kegiatan.
“OK”
Pertemuan yang dijadwalkan pun dilaksanakan di posko kegiatan Desa itu, setiap koordinator dan utusan mempresentasikan cetak biru acara unggulan mereka. Termasuk Larasati, ia presentasikan kegiatan pemetaan hutan mangrove dan bentang alam Desa tujuan. Disetiap lirikan mata dan helaan nafas sangat terperhatikan oleh Dias. Sepertinya Laras berbicara begitu meyakinkan seluruh peserta rapat sore itu.
“Pinter banget …….mudah-mudahan agenda tim aku cocok dengan program dia” Gumam Dias di keramaian rapat.
Hari menjelang senja tapi matahari sepertinya enggan meninggalkan buana. Terang lebih lama sore itu. Rapat pun bubar, seluruh peserta pergi menuju rumah singgah mereka. Dias pun berjalan sendiri sambil merasakan lelah yang masih ada. Tak lama gerimis turun, cahaya senja berpendar diantara gerimis yang jatuh. Dias terpaksa pakai papan data untuk halangi hujan. Seperti halnya air hujan yang terindukan bumi, dipersimpangan pematang terlihat gadis cantik dengan rambut panjang sedikit basah terhempas gerimis, berlari kecil.
“Tunggu…..”
“Ah iya…ada apa?” langkah Laras terhenti sesaat teralihkan suara panggilan Dias. Tanpa berfikir panjang Dias langsung memayungkan jaketnya diatas kepala mereka.
“Hujan, bagaimana kalo kita barengan , kebetulan arah kita sama, aku Dias dari perwakilan tim mahasiswa tadi aku simak semua penjelasanmu” Dias perkenalkan diri sambil bersalaman dengan Larasati, sentuhan berarti di senja itu, tatapan keduanya bertemu satukan harapan dalam perkenalan singkat.
“Aku Laras…..Larasati, dari tim inti konservasi, panggil Laras saja, oh iya rumah singgah ku di sana” Larasati menunjuk rumah singgahnya sambil ajak Dias mampir karena tau sore itu dingin dan basah.
“Duh gak apa-apa kali ya kalo aku suguhi kopi panas dulu, kasian juga Dias bajunya basah” fikir Laras.
“Aku mo ajak kamu minum kopi dulu sebentar saja biar lebih hangat” Laras menatap Dias diantara hujan sore itu.
“Iya terimakasih, boleh…boleh…” jawab Dias senang.
“Bu…. aku pulang nih di depan…” Laras teriak riang memanggil bu Nena.
“Iya tunggu, sama siapa non?” teriak juga bu Nena menjawab Laras, sambil tiup selongsong angin di tungku dapurnya, yang berlantai tanah dan bilik bambu di dindingnya, dihias papan-papan kayu diselingi galar besar sebagai penopang rumahnya.
“Sama temen bu, aku mau suguhin kopi hangat dulu hujan nih….”
Dias membuka sepatunya dan duduk di kursi kayu di teras rumah itu, perkenalan pun berlanjut dengan bahasan ringan, ritme pembicaraan sore itu semakin cepat dan luas. Aksen bicara Larasati yang berbeda dengan kebanyakan orang pun dikenali jelas oleh Dias. Aksen Indo Eropa yang kuat kental menempel di keseharian Larasati.
Lepas magrib hujan masih belum berhenti, kemudian Dias paksakan diri untuk undur diri menjaga etika bertamunya. Walaupun banyak waktu yang dia harapkan untuk lebih lama berbicara berbagi pengalaman dan cerita.
“Laras, maaf… aku harus pamit pulang ya…” Dias berdiri sambil menatap Laras
“Maaf cuman disuguhin kopi saja, kita malah asik ngobrol tadi” Laras sedikit malu saat itu.
“Gak apa-apa cukup, aku juga menikmati obrolan kita tadi, seruuu…, aku harap nanti kita bisa share pengalaman lagi ya….” salam pun terucap dari keduanya, Dias pulang ke rumah singgahnya dan Laras pun masuk kamar tidurnya.
Sepanjang malam itu hujan turun, berhenti saat subuh datang, segar pagi sudah menyambut insan yang sedang bercengkrama menunggu matahari datang. Anak-anak tim konservasi siap-siap kerja sesuai tugasnya. Dias sengaja berangkat pagi-pagi sekali bersama teman-temannya, arah jalan pun sengaja melewati rumah singgah Laras, harapannya bertemu lagi dengan Laras. Karena sejak perkenalan itu mereka jadi sering diskusi pekerjaan dan hal-hal lain untuk mengisi hari-hari mereka.
“Kok dia gak ada ya…” gumam Dias saat melewati rumah itu. Terlihat bu Nena saja yang sedang jemur pakaian di halaman rumah.
“Permisi bu …numpang lewat..”
“Iya..iya silahkan nak.., oh non Laras juga sudah berangkat tadi pagi-pagi katanya mau lihat burung di bukit itu….” bu Nena bicara itu sambil menunjuk bukit kecil tak jauh dari rumahnya.
“Oh iya bu makasih, kami jalan dulu…” Mereka semua melanjutkan perjalanan menuju tempat konservasi hutan bakau.
Dari kejauhan Laras jelas mengamati ke arah pantai, dari atas bukit itu semuanya indah. Lukisan alam terbentang luas warisan masa lalu. Rombongan Dias pun terlihat sedang observasi objek hutan bakau. Mereka sepertinya sangat menikmati pekerjaannya, lewat tengah hari mereka pulang ke posko untuk melaporkan hasil.
****
Di posko yang sama terdengar riuh suara orang-orang diskusi mengenai kegiatannya, ditemani makan siang dan air kelapa segar.
“Laras..” Dias berjalan menghampiri Larasati sambil bawa data observasi.
“Eh Dias…ayo gabung di sini…” Laras menggeser tempat duduk kayu di sampingnya. Saat itu Dias membawa data observer, tak sengaja ada lembaran kertas bergambar jatuh dari map. Gambar sketsa bukit dari arah pantai.
“Wah bagus itu gambarnya, ini kan bukit di tepi pantai itu” Laras mengambil gambar itu di lantai. Dia amati dan nikmati gambarnya seksama.
“Iya indah sekali bukit itu, eh..,kata bu Nena kamu tadi observasi di sana ya?” tanya Dias
“Iya di bukit itu, setengah jam kalo jalan kaki, kita bisa sampai di sana…”
“Kapan kamu ke sana lagi, aku mau ikut, boleh kan?”
“Besok aku mau ke sana lagi tapi…. cuma kita berdua saja….hahaha..aku tunggu jam 4 sore di dangau itu ya…” Laras berdiri dan pamit duluan.
“Hey…serius nii…., dangau yang mana…??” Dias kaget juga saat itu, tidak percaya jawaban Laras serius apa cuma bercanda.
“Itu dangau diujung pelangi….” Larasati menunjuk sebuah dangau diantara bias cahaya pelangi sambil pergi berlari.
Malam pun menyapa mereka, lelap tidur mendekap kuat tanpa ragu. Hingga tiba pagi lagi, orang-orang sibuk dengan aktifitasnya, Dias pun menepati janji pertemuan dengan Larasati di sebuah dangau untuk pergi ke bukit kecil tambatan hati.
“Mana dia ya…, katanya jam empat sore, apa boong aja gitu ya...?”
“Hayooo…nungguin aku ya? Larasati kagetkan Dias dari belakang sambil memegang erat tangan Dias.
Candaan ringan terjadi di dangau itu dan merekapun melanjutkan pergi ke bukit tepi pantai itu. Tak butuh waktu lama merekapun sampai di tujuan. Bukit hijau penuh warna bunga-bunga liar mewangi di tepian hati. Dengan cahaya senja yang berpendar dalam gerimis sore itu.
“Dias.., aku mau cerita …..,kalo boleh n mau dengerin…, kamu senyum ya…” Larasati tidak melepaskan tatapan matanya dari wajah Dias. Dias pun senyum balas pertanyaan itu. Larasati cerita panjang sampai senja berakhir.
“Dias, buat aku pertemuan ini sangat berarti, aku mau semua ini tak berakhir, kamu merubah sudut pandangku tentang semua yang aku alami selama ini”.
“Laras, walaupun nanti kamu jauh dan tidak berkabar bukan berarti kehilangan debar ….” Dias bicara itu sambil menatap cahaya senja yang hampir hilang dikejauhan, seolah tak merelakan perpisahan itu. Air mata Larasati berkaca kemilau di mata indahnya tak terasa jatuh lembut di semesta. Gerimis menahan mereka beranjak pergi dari pelangi senja di bukit itu.
“Dias, boleh aku peluk kamu sesaat…. ?.” Larasati berdiri membalikan badan ke arah Dias. Larasati pun peluk Dias dalam gerimis itu, rambut basahnya terurai tertiup angin dingin. Harum bunga liar berhamburan menuju batas cakrawala senja.
“Laras, liat itu ….lampu minyak sudah menyala di rumah-rumah penduduk, ayo kita pulang” Dias memeluk di pundak Larasati dan turun dari bukit itu. Mereka larut dibentangan senja terhempas rasa tak berujung tapi terkurung masa yang tak bertaut di waktu itu.
****
Di ruang kamar dengan langit-langit kayu dan lampu minyak menemani tautan kenangan , Dias menatap kosong mengingat pertemuan tadi. Tak terkira semuanya begitu cepat dan begitu menyentuh hati dan fikirannya. Wanita luar biasa berharap jadi tambatan hati, harus berpisah secepat itu. Larasati harus segera pindah divisi atas kebijakan pimpinan lembaga dan ditempatkan di negara lain. Sementara agenda konservasi hutan bakau pun masih tiga pekan lagi. Masa yang cukup panjang untuk Dias dan tim untuk menyelesaikan seluruh pekerjaanya. Membuat laporan dan pengimbasan data penelitian pun menunggu terealisasi secepatnya.
****
Tiga pekan berlalu menuai masa dan harapan dari semua kejadian yang terlewati. Malam itu Dias kembali datang ke jembatan besar di kotanya, jembatan angkuh peninggalan kolonial. Duduk di trotoar batu sambil memandang air sungai yang berkilau bertegur sapa dengan temaram cahaya lampu kota.
“Laras….Larasati, singkat sekali pertemuan kita, kamu sedang apa di sana skarang?” angan Dias melayang jauh berharap sampai di kampa suci Larasati. Dalam kenang Dias yang bersekian resah, harapan terindukan datang bersambut senyum manis dan genggaman hangat.
“Dias…., aku di sini…, tak sanggup rasanya aku lepas semuanya” tiba-tiba Larasati berdiri di belakang tubuh Dias, menatap pasti sosok terindukan.
“Laras…!”
Rasa berhamburan ke langit-langit hati dan terkumpul kembali disudut masa yang terkekang kuat, di atas trotoar batu dan malam sepenuh hati.