Suara jam berdentang satu kali terdengar dari dalam kamarnya. Matanya masih menatap langit-langit kosong, pikirannya mengembara entah kemana. Dia lelah, namun setiap kali ia mencoba memejamkan mata sekelibat pikiran hadir dalam benaknya.
Kenapa? Satu kata tanya, namun bermakna. Dia tidak mengerti mengapa ia harus bertanya tentang hal itu. Dia, bukan sosok yang terlalu memusingkan hal-hal remeh - dia lebih perduli mengenai mengapa dunia ini begitu banyak dengan orang yang selalu mau tahu mengenai urusan pribadi lainnya.
Kenapa dia tidak bisa? Kenapa hanya dia yang tidak mampu? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Pikiran itu selalu terngiang dalam kepalanya selama satu minggu ini. Terlalu banyak kata tanya itu dalam isi kepalanya. Sebetulnya ia tahu jawabannya, namun dalam hari-hari terburuknya - layaknya malam ini, dia seakan tidak mampu untuk menjernihkan pikirannya.
Ini benar-benar malam terburuk. Dia tahu jawabannya, dia jelas tidak perduli juga dengan hal itu. Dia muak dengan isi kepalanya yang menciptakan pertanyaan gila itu di dalam kepalanya. Dia lelah, dia ingin terpejam dan terlelap untuk sebentar saja.
Dia menguap, pertanda baik. Matanya mulai sayu dan terpejam perlahan, meninggalkan pikirannya yang entah menguap kemana. Namun harapannya adalah semoga ide pertanyaan itu tidak akan menghantui dirinya kembali.
***
Sebodo amat. Dia menanamkan ide itu di dalam kepalanya kuat-kuat. Mau bagaimana pun, dan dalam situasi apa pun, dia sudah tahu bagaimana menghadapi situasi seperti saat ini.
"Kapan nih kalian semua punya pacar?" Dia hanya mampu tersenyum mendengar pertanyaan mama temannya. Danisa, teman baiknya tertawa dan Stevie - yang secara jelas mamanya bertanya hanya berkata mereka masih menikmati masa-masa menjadi jomblowati yang bahagia.
Ini adalah salah satu situasi yang tidak dapat terhindar apabila ia bertemu dengan orang tua temannya. Tidak, mereka tidak tua - mereka masih delapan belas tahun. Namun menjadi jomblo selama delapan belas tahun bukanlah hal yang umum untuk sebagian orang bukan.
Selepas berpamitan pada orang tua Stevie, ia dan Danisa berjalan pulang sambil tertawa mengenai percakapan jomblo itu.
"Tuh, kapan punya pacar?" Dia tertawa, enggan menjawab. "Single happy ya kan?" Danisa menambahkan.
"Yup. Kan motto nya single and very happy." Mereka melakukan tos dan kemudian tertawa. "Lagian nggak ada masalah juga jadi jomblo, yang jomblo dari lahir kaya gue aja ga komplain, tetep happy."
Itulah dia dan pikirannya. Rhea jelas paham bahwa hidup itu tidak harus dipusingkan dengan masalah punya pasangan atau tidak. Dia, seorang yang pernah berpikir bahwa hidup sendiri toh bukan suatu hal yang harus dipusingkan.
Dia pernah mengutarakan pada Danisa bahwa dia ingin hidup selibat dan tidak masalah dengan tiada sosok lelaki dalam hidupnya. Danisa yang mendengarnya hanya berkata bahwa dia sangat aneh dengan pemikirannya, dan memastikan bahwa ada masanya untuk semua itu.
Dia, sosok yang sudah menerima bahwa dirinya bukan orang yang terlihat menarik dan mampu memikat kaum Adam tersebut. Rhea jelas paham bahwa pikirannya itu mampu membuatnya melangkah menjalani hari dengan lebih mudah.
Tidak ada stres berlebih akibat punya atau tidak punya pasangan bagi dirinya. Namun, Rhea tidak pernah menduga bahwa suatu hari di dalam hidupnya akan muncul sebuah badai - badai yang dinamakan lelaki.
Disinilah segala cerita hidupnya dimulai.
ns 18.68.41.177da2