Ketakutan yang ia rasakan semalam sedikit memudar. Ia tahu, waktu belum habis. Ia masih punya kesempatan untuk mendekati Laras dan menunjukkan bahwa ia datang untuk memperbaiki segalanya—meskipun jalan yang harus ia lalui tidak akan mudah.
Reza berdiri di depan gerbang kampus, menatap para mahasiswa yang berlalu lalang. Ia menunggu dengan sabar, matanya terus mencari sosok yang sangat ia rindukan. Setelah sekian lama, akhirnya ia melihat Laras, berjalan dengan langkah cepat, mengenakan tas selempang merah dan membawa beberapa buku di tangannya.
“Laras!” seru Reza.
Laras tertegun, menoleh dengan ekspresi terkejut. Ia segera mempercepat langkahnya, jelas tidak ingin berurusan lagi dengan pria aneh yang mengganggunya kemarin. Namun, Reza tak menyerah. Ia mengikuti Laras, menjaga jarak agar tidak membuat gadis itu semakin panik.
“Laras, tunggu! Aku cuma mau bicara sebentar. Kumohon,” katanya dengan nada memohon.
Laras tidak menggubris. Ia terus berjalan hingga mencapai perpustakaan kampus. Reza tetap mengekor, kali ini dengan lebih hati-hati. Ia tidak ingin membuat situasi semakin buruk.
Setelah Laras selesai meminjam buku dan keluar dari perpustakaan, Reza mendekatinya lagi.
“Laras, tolong dengarkan aku. Aku tahu ini aneh, aku tahu aku terlihat gila, tapi aku benar-benar perlu bicara denganmu,” ucapnya, suaranya penuh kesungguhan.
Laras menghentikan langkahnya, berbalik dengan tatapan tajam. “Apa yang kamu mau? Kenapa kamu ngikutin aku terus? Kalau kamu terus-terusan begini, aku laporin kamu ke pihak kampus.”
Reza menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Aku nggak berniat menyakitimu. Aku cuma ingin kamu beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Aku nggak punya banyak waktu, Laras. Ini satu-satunya cara untuk memperbaiki semuanya.”
Laras mengerutkan kening, tampak ragu. Namun, sesuatu dalam nada suara Reza membuatnya berpikir dua kali sebelum benar-benar pergi. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mendesah.
“Baiklah. Lima menit. Setelah itu, jangan ganggu aku lagi,” ujarnya tegas.
Mereka duduk di bangku taman kampus yang cukup sepi. Laras menatap Reza dengan curiga, sementara Reza mencoba menyusun kata-kata.
“Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku datang dari masa depan,” ujar Reza akhirnya.
Laras langsung tertawa kecil, namun ia tetap mendengarkan.
“Aku tahu kamu nggak akan percaya, tapi dengarkan dulu. Di masa depan, kita bertemu. Kita saling jatuh cinta, meskipun aku sudah menikah. Aku tahu itu salah, aku tahu situasinya rumit, tapi aku nggak pernah merasa hidup sampai aku bertemu kamu.”
Laras mengangkat alis, jelas mulai merasa tidak nyaman. “Terus?”
Reza melanjutkan, nadanya semakin putus asa. “Aku nggak tahu bagaimana, tapi aku dikirim kembali ke masa lalu ini. Aku pikir ini adalah kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Mungkin aku bisa memperbaiki keputusan yang aku buat di masa lalu, supaya kita punya kesempatan yang lebih baik di masa depan.”
Namun, alih-alih tersentuh, Laras tertawa keras. Ia menggelengkan kepala, matanya memancarkan rasa tak percaya.
“Jadi maksud kamu, kamu dari masa depan, dan kita ini… apa? Punya hubungan rahasia? Selingkuh?” tanyanya sinis.
Reza mengangguk pelan, merasa malu tetapi juga putus asa untuk menjelaskan.
Laras berdiri, menatap Reza dengan tatapan iba bercampur kesal. “Kamu ini gila. Benar-benar gila. Kalau aku jadi kamu, aku bakal langsung ke psikiater atau rumah sakit jiwa. Kamu butuh bantuan.”
“Laras, tunggu!” seru Reza, berdiri dengan panik.
Namun, Laras sudah berjalan menjauh, meninggalkan Reza yang hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan hancur.
Reza berdiri di sudut jalan, menatap Laras yang berjalan menjauh. Kali ini, dia tidak mengejar.
Hatinya teriris, tapi dia tahu bahwa jika dia terlalu memaksakan diri, itu hanya akan membuat semuanya semakin buruk. Laras sudah cukup terganggu, dan dia tidak bisa memaksakan penjelasan yang bahkan dia sendiri tak sepenuhnya bisa jelaskan.
Reza menghela napas panjang, berbalik arah dan berjalan perlahan. Matanya terus mengikuti langkah Laras yang semakin jauh. Meskipun begitu, ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa dia untuk terus memantau, meskipun tanpa keterlibatan langsung. Dia harus tahu lebih banyak. Seperti potongan puzzle yang belum terungkap.
Hari-hari berikutnya, Reza mulai mengamati Laras dari kejauhan. Dia tidak mendekat, hanya mengikuti dengan diam-diam. Setiap gerak-gerik Laras, setiap langkah yang ia ambil, Reza amati dengan seksama. Dia mencoba mencari cara untuk masuk ke dunia Laras, sesuatu yang bisa membuat mereka bisa saling terhubung lagi tanpa harus merasa terbebani atau saling menyakiti.
Dan kemudian, sesuatu yang mengejutkan Reza terjadi. Dia melihat Laras sedang bekerja sebagai barista di sebuah kafe kecil yang terletak tak jauh dari kampus. Tangan Laras tampak cekatan, melayani pelanggan dengan senyum ramah, meskipun di matanya terlihat kelelahan. Reza berdiri dari kejauhan, menatap sosok itu yang tak pernah ia bayangkan akan berakhir di tempat seperti itu. Laras yang dulu selalu penuh dengan semangat, kini terlihat begitu berbeda, terperangkap dalam dunia yang jauh dari yang ia kenal.
Reza berjalan mendekat, mencoba mencari sudut yang lebih baik untuk mengamati. Lalu, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat jantungnya serasa terhenti. Laras meninggalkan kafe di akhir jam kerja, berjalan dengan langkah gontai menuju sebuah kos-kosan kecil yang tampaknya jauh dari kesan nyaman. Kosan itu tampak kumuh, dengan cat tembok yang sudah mulai mengelupas, dan pagar yang tak terawat. Tak ada keluarga, tak ada teman-teman dekat yang menyambutnya.
Pikiran Reza langsung kembali ke masa lalu. Dia teringat bahwa Laras memang sudah tidak tinggal bersama orang tuanya sejak SMP, tapi melihat kondisi Laras yang seperti ini, rasanya mengiris hatinya. Dia ingat betul bagaimana Laras selalu terlihat ceria dan penuh semangat, tapi dia tak pernah tahu seberapa besar kesulitan yang harus Laras hadapi dalam hidupnya.
Melihat semuanya dari kejauhan, Reza merasa kesal. Bukan hanya pada keadaan yang membuat Laras terjebak dalam kehidupan seperti ini, tapi juga pada dirinya sendiri. Dia merasa tak cukup berani untuk menjadi bagian dari hidup Laras yang mungkin lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Tapi Reza memutuskan untuk tidak mengganggu Laras kali ini. Dia tahu, jika dia terlalu terburu-buru, semuanya hanya akan semakin rumit. Apa yang dia rasakan sekarang, perasaan yang begitu kuat ini, bisa saja justru memperburuk keadaan. Jadi, dia memilih untuk mundur sejenak, memberi ruang bagi Laras untuk bernafas.
Dengan sejuta pikiran yang mengelilingi kepalanya, Reza kembali ke rumahnya. Meski tubuhnya lelah, pikirannya tak pernah berhenti berputar. Bagaimana caranya dia bisa masuk kembali ke kehidupan Laras? Apa yang harus dia lakukan agar Laras bisa memahami situasi mereka tanpa merasa terbebani? Reza tahu ini bukan hal yang mudah, dan waktunya semakin sempit.
Ketika pintu rumahnya tertutup di belakangnya, Reza merasa seolah dunia ini terlalu besar untuk dipahami dengan cepat. Tapi dia juga tahu satu hal: dia tak akan berhenti berusaha.
ns 15.158.61.7da2