MAAFKAN AKU SAYANG..
Sudah lama aku jadi penggemar cerita-cerita dewasa seperti ini. Dulunya sih aku juga tidak tau tentang yang seperti ini, hobi ini mulai menjangkitiku sekitar beberapa bulan yang lalu, di tahun 2020. Awalnya aku juga merasa jijik, tapi lambat laun aku mulai ketagihan. Hanya saja saat itu aku tak terlalu tertarik dengan video-video bokep, aku lebih suka baca cerita-cerita dewasa karena lebih memancing imajinasiku. Dan tulisan Ukhti Rinda merupakan salah satu favoritku karena berupa sekuel yang selalu membuatku antusias untuk menanti update berikutnya, dan mashaaAllah Allah pertemukan langsung diriku ini dengan beliau, Ukhti Rinda, di majelis yang sama. Benar-benar tak menyangka, meskipun di awal sempat ragu-ragu ternyata banyak juga teman-teman waktu dauroh yang memiliki kisah-kisah privasi mereka dan itulah yang membuat ikatan di antara kami semakin kuat.
Oh iya, namaku Faridah (bukan nama asli). Aku kelahiran jawa barat, tapi sudah lama tinggal di Jogja. Awal perkenalanku dengan suamiku yang sekarang, juga waktu aku kuliah di Jogja. Semenjak aku kecil, orangtua ku selalu mendidikku dengan ajaran agama islam yang baik. Selalu memberi nasihat kalau perempuan itu harus pintar-pintar jaga diri. Dan kedua orangtua ku pun mencontohkan dengan baik bagaimana seorang wanita menjaga dirinya, apalagi kalau keluar rumah. Alhamdulillah, aku dikaruniai orangtua yang taat beragama. Ayahku salah seorang penggerak di salah satu pergerakan dakwah islam di Indonesia. Hari-hari ia selalu mengenakan jubah dan bersurban. Begitu pula ibuku, gamis dan jilbab hitam lebar dan cadar selalu menutup rapat auratnya meskipun hanya keluar rumah untuk keperluan yang remeh. Alhasil, karena pendidikan orangtua yang penuh perhatian, kini hari-hari aku pun berpakaian serba lebar, baik khimar, gamis, meski aku belum bercadar dan hanya mengenakan masker saja.
“Serius Rida mau ke jogja buat kuliah?? Tapi itu jauh lhoo”, kata ayah yang mengkhawatirkan ku.
“Iyaa, Ibu masih belum siap buat lepasin Rida sendirian di Jogja. Apalagi Rinda ini kan anak perempuan ibu satu-satunya”, timpal ibu yang datang membawa gelas besar teh hangat untuk ayah.
“InshaaAllah Farida nanti akan cari teman-teman yang baik Ayah, Ibu. Kalau bisa juga kontrakan Farida nanti yang dekat masjid supaya tetap terjaga iman Farida”, jawabku berupaya meyakinkan orangtuaku.
“Trus Rida disana sama siapa aja? Ayah ngga kenal temen-temen Rida disana”, jawab Ayahku yang mulai menikmati teh nya.
Singkat cerita akhirnya kedua orangtuaku membolehkan aku untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas swasta disana. Begitu khawatirnya orangtuaku dengan masa depanku di Jogja, keduanya pun ikut mendampingiku hingga akhirnya aku dapat kos-kosan di daerah sekitaran kampus. Lokasinya pun dekat dengan masjid.
Seiring berjalannya waktu, selama menjalani perkuliahan, Alhamdulillah Allah beri kemudahan bagiku untuk bergaul dengan teman-teman akhwat yang sama-sama belajar mendalami agama. Hingga akhirnya aku mantab mengenakan cadar di tahun kedua ku kuliah. Melihat perubahanku, kedua orangtuaku begitu senang. Aku pun semakin semangat dalam menjalani kehidupan ku sebagai mahasiswa di Jogjakarta, meskipun tidak sedikit juga uang yang memandang sinis diriku.
3,5 tahun sudah berlalu, kini tiba masanya aku harus berangkat KKN di daerah Cangkringan Jogjakarta. Sekitar 15 mahasiswa dari berbagai jurusan di kampusku pun berkumpul dalam satu kelompok KKN dan hanya aku saja yang bercadar dari 6 orang mahasiswi di kelompokku. Tapi Alhamdulillah semuanya mendukung bahkan menjagaku sebaik mungkin. Sekitar 1 bulan lamanya kami melaksanakan KKN sebagai syarat kelulusan. Benar kata orang-orang, kalau istilah KKN sebenarnya adalah singkatan dari Kisah Kasih Nyata. Di sanalah aku mengenal suamiku yang sekarang.
Pertama kali aku terpikat adalah saat ia diminta untuk menjadi imam sholat Maghrib oleh warga di kampung tempat kami KKN. Aku benar-benar tak menyangka kalau ia memiliki suara yang merdu nan menyejukkan saat melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Aku pun mulai terpikat meski tetap menjaga jarak dengannya.
“Kenapa Rida? Cieee.. udah mulai ada rasa yaa?? Kok nanya-nanya??”, goda Yeni sambil sibuk bermain HP.
“Apaan sih.. pengen tau aja aku tuh.. jarang-jarang ada ikhwan kayak Fahmi”, jawabku sambil mencubit Yeni karena salting.
“Aww.. iya iyaa.. kalo ga salah sih emang sering kok dia ngaji-ngaji gitu. Napa ngga kamu aja tanya langsung sama dia?? Haha”, jawab Yeni sambil tertawa.
“Ahhh.. susah ngomong sama kamu Yen”, jawabku.
Meski aku tak terlalu menunjukkan rasa takjubku padanya, tapi Allah tidak diam saja. Beberapa kali Fahmi berusaha untuk mendekatiku, namun aku nya saja yang memang kurang peka. Hingga akhirnya KKN kami pun selesai. Rasa dalam hatiku pun bercampur baur antara senang dan sedih. Senang karena sebentar lagi akan bisa segera lulus, sedih karena akan berpisah dengan Fahmi.
Hari-hari pun mulai berjalan seperti biasa. Kenangan tentang KKN pun masih membekas erat dalam ingatanku. Dalam hati kecilku, aku masih berharap kalau bisa bertemu dengan Fahmi lagi. Hingga suatu hari aku dikejutkan dengan chat WA dari nomor yang tak kukenal.
“Assalamu’alaykum.. benar nomer Ukhti Farida?”, tanya nomer itu.
“Wa’alaykumsalam warahmatullahi wa barakatuh.. benar, afwan ini nomer siapa?”, balasku.
“ Alhamdulillah.. afwan ganggu, ana Fahmi, dulu kita sempat KKN bareng”, jawabnya.
Aku pun terdiam beberapa saat. Hatiku bergolak dengan kebahagiaan yang meluap. Tanganku tak berhenti bergetar. Penantianku selama ini akhirnya di ijabah Allah. Selama beberapa saat aku tak membalas chat dari Fahmi karena terlalu senangnya.
“Ohh akhi Fahmi.. ada yang bisa ana bantu?”, jawabku yang masih jaim.
“Gapapa sih Ukh.. Cuma pengen tau kabar aja.. udah selesai buat laporan KKN nya?”, tanya akhi Fahmi mencoba membuka pembicaraan.
“Ini masih proses akhi. Banyak materi yang lupa ngga di catat.. eh iya, akhi masih ingat catatan tentang kegiatan-kegiatan waktu KKN kemarin?”, tanyaku.
“Alhamdulillah masih ada Ukh. Butuh yang mana ukh? Meetup sekalian aja Ukh biar gampang ntar ukhti pilihnya..”, balas Fahmi.
“Boleh juga akhi, meetup dimana ya?”, tanyaku yang mengiyakan tanpa sadar karena sudah kelabakan dengan deadline laporan.
Dan dari pertemuan itulah kemudian aku dan Fahmi semakin dekat bahkan beberapa teman-teman kampusku pun sering menjadikanku dengan Fahmi menjadi bahan ejekan. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan yang dijaga oleh jarak karena aturan agama, akhirnya Allah pun persatukan aku dan Fahmi di tahun 2015 lalu. Saat itu aku berumur 22 tahun dan Fahmi di umur 23 tahun. Penantian panjang ku selama ini terbayar sudah. Kata pepatah, sabar itu berbuah manis. Dan mashaaAllah semuanya di mudahkan dalam proses pernikahanku dengan Fahmi. Mulai dari kedua orangtua kami yang langsung merestui, teman-teman yang siap bantu-bantu, sampai akhirnya semuanya berjalan begitu lancar di hari pernikahan kami.
Hari-hari kami jalani dengan penuh kesenangan dan kebahagiaan. Aku pun mulai memanggilnya dengan panggilan ‘mas’. Seperti halnya Rasulullah yang mengajarkan untuk memanggil orang yang kita sayangi dengan panggilan sayang. Mas Fahmi memiliki fisik yang lumayan tinggi sekitar 175cm, tubuhnya tegap dan atletis. Ia pun memiliki jiwa pemimpin keluarga yang baik dan selalu menafkahiku dengan sangat baik, bahkan bagiku hampir sempurna. Jarang sekali terjadi cekcok diantara kami, dan kalaupun aku marah, mas Fahmi pasti selalu minta maaf terlebih dulu. Hampir tak pernah mas Fahmi menyalahkanku meskipun itu kesalahan yang ku buat.
Urusan ranjang pun mas Fahmi juga ‘memuaskan’ menurutku. Bagiku yang masih sangat awam saat itu untuk urusan seks, mas Fahmi bisa tetap membuatku enjoy saat pertama kali aku melepaskan keperawanannku untuknya. Ia begitu pintar menghadirkan suasana yang bisa menggugah libidoku. Malam itu aku pun tak tau harus bagaimana memulainya. Untung saja mas Fahmi perlahan melakukan pendekatan dengan memelukku, kemudian mulai mencumbuiku dibagian-bagian sensitif, terutama di telingaku yang saat itu masih tertutup khimar jumbo. Aku paham kalau aku sudah menjadi istri sah suamiku mas Fahmi, tapi ini pengalaman pertamaku satu kamar dengan lelaki. Tetap saja berat untukku menunjukkan bagian privasi tubuhku seperti payudara dan selakangan.
“Maaf mas.. Rida masih belum kebiasa telanjang di depan laki-laki”, kataku sambil tertunduk menahan gamis dan khimarku yang berwarna pink muda senada dengan kulit putihku.
“Iya gapapa kok sayang.. mas juga masih latihan.. bismillah yaa..”, kata mas Fahmi yang kemudian mendorongku perlahan hingga terlentang di ranjang.
Kembali mas Fahmi menciumi ku dibagian telinga. Aku bisa benar-benar merasakan hembusan nafas mas Fahmi yang mulai terdengar berat. Tangannya pun perlahan mulai meraba-raba tubuhku. Hatiku bergolak merasakan sensasi ini. Ingin rasanya menolak, tapi entah kenapa tubuhku justru menikmatinya. Sensasi geli bercampur enak pun mengalir cepat ke seluruh bagian tubuhku. Aku pun coba memantabkan diri untuk pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya.
“Ahh.. Shhh.. Mas Fahmiihh.. Mmhh..”, lenguhan dan desisan pun tak terasa keluar dari mulutku.
Dan Cupphh.. itulah pertama kalinya aku merasakan ciuman. Pengalaman pertamaku melakukan ciuman dengan lelaki. Entah apa yang kurasakan saat itu. Tapi yang pasti ciuman itulah yang membuka gerbang hasrat dalam diriku. Perlahan lidah mas Fahmi mencoba menelusuri mulutku. Rasa penasaran akan seks pun mendorongku untuk membalas apa yang mas Fahmi lakukan. Pikiranku pun sudah tak jernih lagi. Semuanya semakin bertambah lepas saat kurasakan gunung kembarku mulai diremas-remas kedua tangan mas Fahmi yang berada di atasku. Awalnya pasti aku akan menolaknya, tapi entah kenapa aku justru ingin merasakan lebih.
“Mmhhh.. Sshhh.. Gelihh.. Mashh.. Ahhh..”, aku pun tak mampu menahan lenguhan dan desisan nikmat saat putingku yang sudah keras mencuat di balik gamis dan bra mulai di remas-remas.
Toketku yang berukuran 38C terasa begitu keras dan sensitif. Aku hanya bisa pasrah saat mas Fahmi mulai membuka perlahan resleting gamisku hingga menunjukkan bukit kembarku yang terlihat sesak oleh bra warna marun berenda. Beberapa saat mas Fahmi tertegun melihat toketku.
“MashaaAllah sayang.. bagus banget dada kamu..”, ucap mas Fahmi sembari berupaya melepaskan ikatan bra ku.
“Ahh.. Masa sih mass.. jangan diliatin.. Rida malu..”, jawabku sambil terpejam namun dalam hatiku aku berharap mas Fahmi untuk melanjutkan aksinya.
“He’mhh.. mas serius ini.. bulat, kencang, trus putingnya coklat muda gini.. bikin mas jadi ga tahan..”, kata mas Fahmi yang berbisik mesra di telinga kiriku.
“Sshhh.. Aahh.. Iyakah masshh?? Mas Fahmii sukaahh?? Mmhh.. Gelihh Mashh..”, jawabku yang sudah mulai terangsang.
“Gelih kenapah sayang?? Mau nya digimanain??”, tanya mas Fahmi yang kini jemarinya mulai memilin-milin lembut putingku yang sudah mencuat keras dan sangat sensitif.
“Aawhh.. Sshhh.. Gelihh.. Gatauh.. Enakk Mashh.. Ahhh.. Gatau Ridahh.. Terserah mas ajahh.. Pasrahh..”, kataku yang sudah terbius oleh syahwat yang menjalar cepat di otakku.
Kata-kataku itu sudah tentu menjadi pemicu hasrat dalam diri mas Fahmi. Kedua tangan kekarnya memeras lembut toket bulat milikku, terkadang jemarinya memilin nakal putingku yang sudah menjulang tinggi. Aku pun hanya bisa mendesah merasakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dalam hatiku masih bergolak tentang semua ini. Sebagian hati kecilku masih belum bisa menerima hal ini karena beranggapan mas Fahmi sebagai seorang yang bukan mahramku. Bukan karena aku tidak paham dengan ilmu agama, tapi lebih ke belum terbiasanya aku di sentuh lelaki. Tapi sebagian besar hatiku yang sudah mulai terbuai oleh kenikmatan pun mengiyakan apapun yang nantinya akan mas Fahmi lakukan.
“Unnghhh.. Mhhhh.. Aahhh.. Shhh.. Awhhh.. terushh Mashh.. Ahhh..”, lenguhku manja karena sengatan nikmat yang tiada tara bertepatan dengan lidah mas Fahmi yang menyapu lembut putingku.
Aku tak pernah menyangka kalau dijamah lelaki akan senikmat ini. Selama ini pelajaran tentang seks masih begitu tabu bagiku. Lebih sering aku menghindar kalau ada orang ataupun teman yang membicarakan hal itu. Kata orangtuaku pembicaraan tentang hubungan suami-istri tidak perlu dibicarakan terlalu sering, justru pembicaraan pentingnya iman-amal sholeh harus dibicarakan hari-hari. Alhasil aku pun hanya bisa menggigit kuat bibir bawahku dan memejamkan mata karena intensnya sensasi kenikmatan yang dihantarkan melalui permainan mulut mas Fahmi di kedua bukti kembarku yang tampak ranum.
Mas Fahmi pun begitu sabar dalam merangsang tubuhku. Ia juga tak serta merta menyerang putingku, namun secara perlahan mencupangi mesra di sekeliling toketku yang justru semakin membuatku bergairah. Aku pun hanya bisa blingsatan menahan terpaan birahi yang begitu deras menghantam sementara mas Fahmi tak kunjung ke ‘menu utama’ yaitu putingku. Kedua tanganku meremas-remas rambut mas Fahmi karena tak sabar. Tapi itu semua berujung kenikmatan yang tiada tara saat akhirnya putingku tenggelam dalam mulutnya. Kehangatan, kelembutan, geli, nikmat, semuanya bercampur padu menjadi satu bersama mengirim gelombang lendir yang mulai membanjiri selakanganku.
“Kenapa sayang..?? Enak yah??”, tanya mas Fahmi di sela-sela jilatannya yang lihai membelai putingku dengan nada menggoda.
“Aahh.. Ahhh.. Shhh.. E’emhh.. Mashh.. Uwwhh.. Kok bisa sih enak bangethh ginih.. Mmhh..”, jawabku sambil menahan malu.
Mas Fahmi pun hanya tersenyum melihatku yang kelabakan dengan aksinya. Aku pun pasrah saat mas Fahmi mulai melepas perlahan gamisku. Sudah kuambil keputusan untuk memasrahkan diriku padanya malam itu. Dalam satu tarikan pun hilang sudah kain yang sedari tadi menutupi keindahan lekuk tubuhku. Mata mas Fahmi kembali menatapi tubuhku dengan penuh kekaguman. Bagaimana tidak? Aku selalu melakukan perawatan sederhana pada tubuhku termasuk secara rutin mencukur bulu ketiak dan kemaluanku. Setiap minggu jogging di sekitar boulevard kampus selalu menjadi rutinitasku.
“Cantiknya istriku ini..”, kata mas Fahmi yang terkesima dengan tubuhku.
“Udah ahh mass.. maluuhh.. jangan diliatin mulu..”, jawabku yang berupaya menutupi lekuk tubuhku dengan kedua tanganku.
Mas Fahmi pun hanya tersenyum dan mulai melepas kaos yang ia kenakan. Aku pun terpana melihat tubuhnya yang cukup atletis dengan dada bidang dan perut yang menawan. Belum selesai aku memandangi tubuhnya, mataku kembali dikejutkan saat melihat kontol mas Fahmi yang sudah tegak mengacung sesaat setelah ia melepas sirwalnya. Tak pernah kubayangkan kalau akan sebesar dan sepanjang itu dengan panjang 16cm dan diameter 3,5cm. Pernah aku melihat kemaluan laki-laki dari adikku yang masih SD, kukira kalau ukuran kemaluan akan tetap seperti itu sehingga wajar saja kalau nantinya akan dimasukkan ke kemaluanku. Tapi yang di hadapanku saat ini benar-benar berbeda, ibarat kacang dan terong, sesuatu yang diluar ekspektasi ku.
“Hem? Knapa sayang?? Kaget yah liat punya mas??”, tanya mas Fahmi yang mulai mengocok perlahan kontolnya.
“E’emhh.. itu ntar mau diapain mas..??”, tanyaku yang benar-benar masih polos saat itu.
“Ini? Dimasukin sini lah sayang..”, jawab mas Fahmi yang meraba lembut bibir memekku yang masih rapat dan berwarna coklat tua.
“Ehh.. Gak mungkin muat mass.. masa iya sihh..??”, jawabku yang mulai ragu.
“Tenang aja sayang.. Muat kok.. yang penting sayangku rileks ajah.. ntar mas pelan-pelan kok..”, kata mas Fahmi sambil menggosokkan jemarinya membelah bibir memekku.
Kesabaran mas Fahmi untuk membuatku terangsang penuh berakhir manis. Aku yang tadinya mulai panik saat menyaksikan besarnya kontol mas Fahmi, kini berangsur-angsur mulai menikmati permainan jemarinya di bibir memekku. Geli bercampur nikmat yang lebih daripada saat ia bermain di putingku, rasa itu kini menjalar dan menguasai tubuhku. Desahan dan lenguhanku menikmati fingerplay mas Fahmi kembali menghiasi kamar tidur kami. Apalagi saat kepala kontol mas Fahmi yang kini bertugas menggesek mesra bibir memekku hingga ke itil, ledakan kenikmatan pun melayangkan tinggi diriku.
“Ahhh.. Mmhhh.. Mhhh.. Masshh.. Nghhh.. Enakhh.. Mmhhh..”, desahku yang merem melek keenakan.
“Oke sayang.. mas masukin yaahh.. tahan dikit, ntar juga enak kok..”, kata mas Fahmi berbisik mesra di kupingku yang tertutup khimar.
Aku pun mengangguk dan pasrah saat diminta mas Fahmi untuk membuka lebar kedua paha putihku. Tangan kanan mas Fahmi menggenggam batang kontol beruratnya yang berwarna sawo matang. Perlahan tapi pasti kepala kontol mas Fahmi mulai membelah masuk memekku. Mataku terbelalak saat merasakan selakanganku serasa terbelah. Rasa panas dan perih pun tak terelakkan meskipun dinding memekku sudah banjir bandang oleh lendir birahiku.
“Aaaghh.. Sakiittt masshh.. ssshhh..”, rintihku menahan pedih.
Mas Fahmi pun dengan sigap segera kembali melumat bibirku sementara tangan kirinya sibuk meremas dan memilin-milin puting kiriku. Begitu perih rasanya padahal baru separuh saja kontol mas Fahmi yang masuk. Meski aku kesakitan, mas Fahmi tetap saja meneruskan penetrasinya secara perlahan hingga akhirnya seluruh kontolnya terbenam di dalam liang peranakanku. Air mata pun tak terasa mengalir karena rasa perih yang luar biasa. Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas ada bagian dalam tubuhku yang robek beberapa saat yang lalu.
Mas Fahmi pun mendekap diriku dengan eratnya. Beberapa saat ia menghentikan gerakan penetrasinya karena tak tahan melihat tangisanku. Ia pun terus mencumbu leherku dengan kedua tangannya terus merangsang kedua bukit kembar yang menghias dadaku. Perasaan mengganjal begitu terasa di bagian bawah sana. Aku tak menyangka kalau benda sebesar itu akan benar-benar bisa muat ke dalam kemaluanku yang sempit.
“Ahhh.. Sshhh.. Masshh.. Mmmhhh.. Udaahh.. Udaahh ga sakitt koo..”, kataku yang sudah mulai nyaman dan kembali terangsang oleh cumbuan mas Fahmi.
“Ahh.. iyah.. maaf yah sayang.. mas tadi kurang sabaran..”, jawab mas Fahmi sambil memandangi wajahku.
“Iyahh mas.. gapapa kok.. yukk.. lanjuthh.. Rida udah enakan kok..”, kataku padahal sebenarnya aku sudah tak sabar untuk merasakan seks yang sebenarnya hanya saja aku malu untuk mengungkapkan perasaan itu.
Mas Fahmi pun tersenyum dan dengan posisi missionary, ia mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur. Meski sesak penuh, rasa sakit itu sudah tak kurasakan lagi. Padahal tadi terasa begitu pedihnya seperti disayat pisau. Tapi entah apa yang terjadi, yang kurasakan kini hanya nikmat. Bahkan begitu nikmatnya yang membuatku kehilangan akal sehatku.
“Ahh.. Ahhh.. Mhhh.. Ahhh.. Masshh.. Ohhh.. Ohhh.. Terushh.. Ahhh.. Ohhh..”, desahku yang tak karuan merasakan kenikmatan baru yang tiada tara.
Mataku terpejam sembari menggigit kuat bibir bawahku sementara kedua tanganku mencengkram bantal dan sprei tempat kami bersetubuh. Kedua kakiku mengangkang lebar, seolah-olah pasrah menyerahkan bagian paling berharga di tubuhku itu untuk dinikmati oleh lelaki. Toketku berayun-ayun mengikuti irama sodokan mas Fahmi yang mulai makin kencang. Aku pun tak mampu lagi mengendalikan suara desahanku. Benar-benar kenikmatan yang luar biasa. Kontol mas Fahmi begitu jelas terasa di perut bawahku. Seluruh tubuhku terasa meleleh merasakan kenikmatan yang tak pernah terbayangkan olehku. Rasa nikmat akan seks telah merasuki pikiranku. Kini kedua tanganku beralih mencengkram pinggang mas Fahmi berupaya untuk mendekap tubuhnya. Mas Fahmi pun paham dan kini membungkukkan tubuhnya sehingga bisa kudekap kuat.
“Ahh.. kalau tau seks akan senikmat ini, aku mau nikah lebih muda lagi..”, gumamku dalam hati.
Nafas mas Fahmi yang menderu cepat bisa kurasakan di telingaku. Begitu pula mas Fahmi yang semakin bersemangat menggempur selakanganku karena desahan dan lenguhanku. Malam itu aku belajar akan kenikmatan baru yang seharusnya aku bisa rasakan dari dulu. Putingku yang tergencet oleh dada mas Fahmi justru menambah kenikmatan yang kurasakan karena bergesekan dengan tubuh mas Fahmi. Kurang lebih sekitar 7 menit kemudian aku merasakan rasa layaknya orang kebelet buang air kecil, tapi rasa ini berbeda. Yang kurasakan saat itu lebih aku ingin segera mencapainya, beda kalau orang kebelet buang air kecil yang justru ingin ditahan.
“Ahh.. Ahhh.. Sayang.. Mas mau keluarhh.. Ahh.. Ahhh..”, kata mas Fahmi.
“Mmhh.. Ahh.. Ohh.. Shhh.. Masshh.. Iyaahh.. Rida mau pipis jugaahh.. Ahh.. Ahhh..”, jawabku menikmati sodokan kencang mas Fahmi.
Saat itu aku tak paham maksud mas Fahmi mau keluar itu gimana. Yang pasti aku pun merasakan hal yang sama hingga akhirnya aku tak kuasa membendung datangnya klimaks bersamaan dengan erangan mas Fahmi memancarkan seluruh spermanya di rahimku.
“Arrrrghhhhh..!”, erang mas Fahmi.
“Mmmhh.. Nnngghhhhhhh..”, erangku bersamaan dengan mas Fahmi.
Creet.. Crreett.. Creeetttt..
Aku pun melenguh panjang, jemariku mencengkram erat punggung mas Fahmi sementara tubuhku mengejang bagaikan disengat listrik saat merasakan nikmatnya orgasme untuk pertama kalinya. Sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan olehku. Perut bagian bawahku terasa hangat karena dibanjiri sperma kental mas Fahmi. Mas Fahmi sendiri terdengar ngos-ngosan, tubuhnya basah oleh keringat. Tapi tampak dari wajahnya kepuasan yang sama seperti halnya diriku.
“Hhh.. Hhh.. Capek banget sayang.. tapi enak yah.. hahah.. dek Rida sayang gimana? Enak atau sakit??”, tanya mas Fahmi yang masih tengkurap di atas tubuhku sambil memandangi wajahku yang sayu dengan beberapa helai rambutku keluar dari sela-sela khimar yang kupakai.
“Hhh.. Mmmhh.. E’emhh mass.. Enaakk.. Shhh.. Rida ga pernah.. bayangin kalau jima’ seenak ini.. uwhh..”, jawabku sedikit malu.
“Ahahah.. Alhamdulillah kalo sayangku juga keenakan.. besok-besok mau lagi..??,” tanya mas Fahmi sambil mencubit mesra hidungku.
“E’emhh.. terserah mas Fahmihh ajah..”, jawabku yang sudah mulai ketagihan akan seks.
Hari-hari berikutnya pun kami jalani layaknya sepasang kekasih yang baru di mabuk cinta. Ya memang karena kami baru mulai ‘berpacaran’ layaknya orang lain pada umumnya setelah menikah. Benih-benih cinta yang selama ini kami pendam mulai tumbuh kuat mengakar dan berbunga indah. Ditambah kegiatan baru kami yang begitu ‘menyenangkan’ membuat kami hampir lupa waktu. Bahkan intensitas persetubuhan kami pun bisa lebih dari 3x dalam sehari. Memang saat itu kami masih sangat awam dalam seks sehingga tak banyak gaya seks yang kami ketahui.
Kehadiran agama dalam kehidupanku dan mas Fahmi lah yang paling banyak menjaga hubungan kami berdua. Masing-masing dari kami saling menjaga hak dan kewajiban antara suami-istri seperti yang diajarkan dalam agama. Banyak pasangan muda yang baru saja menikah tak bisa bertahan lama karena minimnya pengetahuan agama dalam berkeluarga. Dan Alhamdulillah setelah beberapa bulan, kini mas Fahmi pun mulai lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan dakwah Islam. Sifatnya yang lembut terhadap perempuan mulai tampak setelah ia ikut dakwah dengan ayahku selama 40hari. Meski berat untuk melepasnya berangkat dakwah, tapi kini aku akan merasakan hasil manis dari pengorbananku melepasnya berangkat dakwah.
Rasa rindu yang amat sangat dikarenakan rasa cinta yang mulai tumbuh ditambah lagi mas Fahmi dilarang membawakan Handphone ketika dalam kegiatan dakwah sungguh begitu menguji keimananku. Untungnya mas Fahmi pengertian sehingga untuk sementara waktu aku dibawa pulang ke rumah ortu di jawa barat sehingga aku tak terlalu kesepian. Tapi tetap saja, selakanganku meronta-ronta karena sudah begitu dahaga akan nikmatnya sodokan kontol mas Fahmi. Saat hasrat seksual mulai menerpaku, masturbasi pun menjadi jalan keluar utama yang bisa kulakukan. Tapi karena minimnya pengetahuan tentang tata cara masturbasi dan saat itu aku belum mengenal video porno, akhirnya masturbasi ku pun tidak maksimal.
“Aahhh.. kok gak kayak waktu sama mas Fahmi sihh.. uhh.. pengen ehh..”, gumamku dalam hati yang baru saja masturbasi sebisaku.
Waktu 40hari terasa sangat lama bagiku. Hari berganti hari, kalender pun menjadi benda yang paling sering ku datangi di rumah. Hingga akhirnya 40hari selesai sudah dan aku pun sudah tak sabar menanti pengeranku kembali. Pesan ibuku agar aku berias dengan riasan terbaik saat nantinya menyambut kepulangan suami. Meluaplah kebahagiaanku saat mendengar suara salam mas Fahmi di ruang tamu. Bagaikan magnet, tubuhku bergerak sendiri dan langsung mendekap erat mas Fahmi. Kedua orangtuaku pun tertawa melihat tingkahku yang mengingatkan mereka akan dulu saat ayahku pertama kali berangkat 40hari dakwah setelah menikah dengan ibuku. Dan sudah jelas apa yang terjadi malam harinya, kerinduan tubuh kami untuk menjadi satu harus segera di penuhi. Jalan-jalan malam sebagai alasan saja untuk kami keluar meninggalkan rumah, padahal hanya ingin mencari ruang khusus dimana aku dan mas Fahmi bisa mendesah sepuasnya tanpa khawatir akan di dengar oleh orang lain.
“Ahh.. Ahhh.. Mass.. Ohhh.. Enaknyahhh.. Ahhh.. Rida kangen banget sama mas Fahmi sayanghhh.. Ohhh.. Ohhh.. Terushh Masshhh..”, desahku keenakan merasakan kontol keras mas Fahmi kembali mengobok-obok liang memekku.
“Ahh.. Shhh.. He’mhh.. Mas juga kangen bangethh.. Ahh.. Ahh..”, jawab mas Fahmi yang begitu bersemangat menggempurku dengan doggy.
Aku dan mas Fahmi yang sama-sama sudah menahan hasrat seks kami selama 40hari, membuat ku tak sempat untuk melucuti pakaianku secara menyeluruh. Jilbab syar’i jumbo dan cadar hitam serta kaos kaki sepaha berwarna hitam saja yang masih melekat di tubuh putih seksiku. Dengusan nafas mas Fahmi yang begitu liar menyusuri tubuhku dengan lidahnya, terasa hangat membelai ku dan menghantarkan nafsuku memuncak. Terlebih lagi putingku yang kemudian menjadi santapan malam mas Fahmi, telah menghujamkanku ke dalam lembah kenikmatan surga dunia.
“Ouhh.. Terusshh Mashhh.. Ahh.. Ahhh.. Nakall siihh.. Batang mass Fahmihh enak bangethh.. Ohh.. Gedehh.. Uhhh.. sodok Ridaahh teruss..”, kataku yang sudah hilang akal.
Pinggulku bergerak liar maju mundur, kadang berganti naik-turun mengocok kontol mas Fahmi dengan posisi WOT di ronde 2. Aku benar-benar menggila malam itu, ingin rasanya semalaman penuh tubuhku dinikmati oleh mas Fahmi. Toket 38C ku berayun-ayun mengikuti irama pinggulku menari di perut mas Fahmi. Kontol mas Fahmi yang berukuran 16cm, memang tak terlalu panjang, tapi mentok mantab mengganjal saluran rahimku yang membuatku melayang tinggi dalam dekapan kenikmatan seks.
“Ahhh.. Ahh.. Ahhh.. Ridahh mau pipiss masshhh.. Ahhh.. Aaahnnnnnggh...”, lenguhku panjang seraya mengangkat pinggulku hingga kontol mas Fahmi terlepas.
Ceerrrrr... Ceeerrrrr... Ceeerrrrr...
Kepalaku menengadah dengan kedua mataku terpejam merasakan nikmatnya orgasme yang entah sudah berapa kali kualami malam itu. Untung saja sleeping bag yang biasa digunakan mas fahmi terbuat dari material sintetik sehingga bisa melapisi ranjang hotel agar tidak basah kuyup oleh cairan orgasmeku. Sekitar jam 11.30 malam kami berdua terlelap tidur dengan kondisi mas Fahmi hanya mengenakan kaos yang sudah basah kuyup oleh cairan orgasme akhwat sementara jilbab dan cadar yang kupakai terlihat kusut berantakan.
“Kapan mas berangkatnya..??”, tanyaku sambil merapikan jubah mas Fahmi pagi hari itu.
“InshaaAllah sekitar bulan Agustus ini inshaaAllah sayang. Tapi mas Fahmi juga masih nunggu kepastian jama’ahnya”, jawab mas Fahmi yang selalu tampil menawan dengan pakaian full-sunnah nya.
“Adek tunggu kabarnya yah mas sayang”, ucapku sambil melepas mas Fahmi untuk berangkat ke musyawarah harian di salah satu masjid pusat dakwah di Jogjakarta.
Hampir sekitar 1 tahun lamanya setelah terakhir kalinya mas Fahmi berangkat dakwah 40hari. Aku pun mulai terbiasa dan nyaman jika ada panggilan dakwah datang pada mas Fahmi. Bukan hanya karena itu adalah panggilan agama, tapi juga karena sikap mas Fahmi yang semakin hari semakin membuatku nyaman dengan kasih sayangnya.
Meski begitu, dalam perihal ranjang memang kami tak terlalu banyak ada perubahan. Saat itu aku pun juga tak berpikir tentang variasi dalam urusan seks. Yang kutahu hanyalah sebatas apa yang selama ini aku lakukan bersama mas Fahmi. Kemampuan mas Fahmi yang hanya bisa bertahan sekitar kurang dari 20 menit pun aku anggap biasa saja karena dalam 10 menit pun aku sudah bisa mencapai klimaks.
Tahun ini mas Fahmi akan berangkat dakwah selama 4 bulan. Bagiku yang sudah terbiasa di tinggal mas Fahmi berdakwah, setelah tahu akan berangkat selama 4 bulan pun masih terasa berat bagiku. Tapi semuanya terasa sedikit lebih ringan saat aku dipertemukan dengan istri-istri dari anggota jama’ah yang lain yang juga akan berangkat dakwah selama 4 bulan. Meski umur mereka tak lagi muda, rata-rata hampir berusia 40tahunan, tapi semangat mereka dalam mendukung suami-suami mereka untuk berangkat berdakwah membuatku takjub. Sama sekali tak terlihat dari diri para ummahat di hadapanku itu rasa sedih akan ditinggal oleh kekasihnya selama 4 bulan. Aku benar-benar dibuat takjub, bahkan dari pembicaraan yang selalu mereka bicarakan pasti tak jauh-jauh dari pembicaraan tentang kebesaran Allah. Belum pernah kurasakan suasana iman yang begitu kuat seperti saat ini. Targhib dan nasihat yang disampaikan terdengar dalam dan mengena dihatiku meski dibalut dengan bahasa yang santai dan mudah dicerna bahkan bagi orang ‘awam’ sepertiku.
“Ahahah.. ya emang gitu mba Rida, dulu saya waktu pertama juga sedih gitu, kok harus 4 bulan?? Tapi setelah beberapa waktu berlalu ternyata suami-suami kita berangkat 4 bulan untuk dakwah memang kebutuhan paling minimum untuk mengamalkan ayat Kuu Anfusakum Wa Ahlikum Naaraa..”, kata bu Mirna.
“Iya sih bu.. Dulu aku juga awal-awal gitu.. tapi mashaaAllah, umat dimana-mana sedang lalai ini, kalau da’inya malah santai-santai di rumah, apa jawaban kita waktu jumpa sahabat atau sahabiyah nanti??”, timpal bu Retno yang memang lebih senior.
Aku pun hanya tertegun dan terdiam mendengar jawaban dari para ummahat yang baru saja kukenal. Aku yang sudah dididik oleh orangtuaku selama ini ternyata tak ada apa-apanya dibandingkan dengan para ummahat sejati di hadapanku ini. Aku masih saja berpikiran sempit dan hanya mengkhawatirkan tentang diriku dan keluargaku, sementara ibu-ibu solihah ini sudah berpikiran jauh hingga umat di ujung dunia. Alhasil aku pun semakin semangat untuk mendorong mas Fahmi berangkat dakwah selama 4 bulan di bulan Agustus 2020 ini.
“Trus biasanya gimana bu ya tinggalnya? Apa semuanya balik ke rumah orangtua??”, tanyaku polos.
“Ohh iya ya.. kalo mba Rida kan masih muda jadi masih ada orangtua, kalau kita-kita sih udah biasa ditinggal gitu aja sama anak-anak di rumah.. inshaaAllah nanti Allah yang akan jaga dan penuhi keperluan kita..”, jawab bu Retno dengan penuh semangat.
“Iya sih bu, tapi kan mba Rida masih baru pertama kali ini mau ditinggal 4 bulan.. kalau saya sih ada fikir gimana kalau kita tinggal bareng-bareng di pondok Abah Mahmud? Sekalian biar bisa belajar sama ummah Hawa di sana”, kata bu Sinta yang tetap terlihat cantik menawan di usianya yang memasuki umur 42 tahun.
“Boleh juga tuh.. kita semua aja nih berlima nginep di sana, toh kemarin ummah Hawa juga nawarin tempat buat kita nginep..”, tukas bu Mirna.
“Mmm.. kalau saya sih ga masalah, toh anak-anak juga udah mandiri.. tergantung mba Rida aja.. gimana mba Rida? Biar makin asik ntar ngobrolnya..”, kata bu Retno yang malam itu juga langsung menjadi idola di hatiku.
“Boleh juga bu..”, jawabku tanpa pikir panjang karena sudah tersuasana oleh pembicaraan luar biasa ibu-ibu ummahat di hadapanku.
Singkat cerita waktu yang ditentukan pun datang. Mas Fahmi pun sangat senang saat mengetahui aku mendorongnya untuk berangkat dakwah 4 bulan tanpa adanya paksaan. Bahkan aku mengusulkan kalau ingin tinggal di pondok Abah Mahmud bersama ibu-ibu lainnya.
“Ehh.. beneran dek Rida sayang mau?? Ntar betah nggak disana??”, tanya mas Fahmi yang mengkhawatirkan keadaanku ke depannya.
“inshaaAllah ngga masalah mas.. udah mas Fahmi dakwahnya yang serius yaa.. tolong doain Rida juga biar bisa istiqomah dan selalu menjadi istri Solihah buat mas Fahmi sayang..”, jawabku dengan mantab sambil merapikan rompi hitam yang mas Fahmi kenakan.
“MashaaAllah.. Alhamdulillah.. kalau gitu mas berangkat dulu ya.. jaga amalannya yah dek Rida sayang.. inshaaAllah kita saling do’a di sepertiga malam terakhir..”, jawab mas Fahmi seraya mencium mesra bibirku yang terbalut cadar hitam.
Mas Fahmi pun mengantarku hingga sampai di pondok Abah Mahmud bersama mertuaku. Jarak antara rumah kami dengan pondok Abah Mahmud sekitar 1 jam perjalanan. Sesampainya di lokasi pondok, aku terkejut dengan suasana yang sangat asri penuh dengan pepohonan dan sawah yang semuanya berwarna hijau. Suasana khas pedesaan dengan udara segarnya pun segera membelai diriku. Hatiku pun langsung jatuh cinta dengan pandangan pertama desa tempat pondok Abah Mahmud berada. Jauh berbeda dengan suasana kota dimana kami tinggal. Hiruk pikuk kendaraan beserta orang-orang yang selalu memikirkan keduniaan selalu mewarnai setiap detik waktu yang berjalan. Tapi disini semuanya berbalik 180 derajat, ditambah lagi sambutan para santriwati yang lalu lalang mengenakan pakaian serba hitam dan bercadar semakin menguatkan suasana ukhrowi di desa itu. Para santriwan pun mengenakan gamis dan berjubah, dan yang pasti semuanya mengenakan kopyah khas Bangladesh. Memang tak salah ketika aku memutuskan untuk tinggal disini selama 4 bulan ke depan.
“Baik-baik disini yah sayang.. tetap jaga amalannya.. mas berangkat dulu..”, ucap mas Fahmi setelah memberikan kecupan mesra di dahiku.
“Iyahh.. mas Fahmi juga yaahh..”, jawabku singkat sambil melepas mas Fahmi pergi menuju stasiun bersama mertuaku.
“Ehmm.. Ehmm.. jadi iri sama darah mudaa.. ahhh.. bikin semangat..”, celetuk bu Retno yang tiba-tiba sudah berada di belakangku dengan setelan serba hitam termasuk cadarnya.
“Ehh.. Ahh.. bu Retnooo.. bikin kaget aja lhoo..”, jawabku yang terkejut dengan kehadiran bu Retno.
“Hahah.. yuk ahh masuk.. belum pernah ketemu ummah Hawa kan??”, tanya bu Retno yang langsung menggandeng tangan kananku sementara tangan kiriku masih menggenggam koper tempat semua kebutuhan ku berada.
Aku pun memasuki ruangan khusus pondok putri bersama bu Retno. Bangunan pondok putri begitu sederhana seperti rumah tua di bagian luarnya. Tapi begitu masuk di dalamnya, suasana kental khas pondok tahfidz Qur’an yang menenangkan hati langsung menerpa. Santriwati yang berasal dari berbagai daerah dan berbeda-beda usia tengah sibuk membaca Qur’an, ada juga yang sedang muroja’ah hafalannya. Sebagian juga ada yang mengikuti setoran akbar bersama santriwati yang lebih senior.
“Nah, ini ummah Hawa..”, kata bu Retno yang kemudian mendudukkanku di hadapan seorang ummahat.
Sekali saja memandangnya, seluruh hatiku langsung luluh lantak. Bagi orang awam sekalipun langsung bisa menilai kalau beliau ini orang yang istimewa. Selain karena keilmuannya dan juga hafalannya, juga kesholihan yang terpancar begitu jelas tapi tetap terbalut dengan ketawadhu’an beliau sebagai istri seorang kyai di pondok itu. Setelah beberapa saat, ummah Hawa pun memandangku dan membuatku semakin terkejut. Mas Fahmi sempat bercerita kalau Abah Mahmud berusia sekitar 60an tahun, bagiku umur segitu sudah termasuk tua. Tapi ummah Hawa tak terlihat tua sedikitpun. Bahkan aku bisa menebak kalau umurnya masih sekitar 35an tahun. Hampir tak tampak kerutan karena usia di wajahnya yang putih bersih kenyal dan ‘glowing’ itu. Celak hitam menghiasi matanya yang lentik dan jeli yang meningkatkan kecantikan alami seorang ummahat. Bibirnya terlihat pink mengkilap dengan senyuman manis yang sudah pasti meluluhkan hati setiap lelaki yang melihatnya. Postur tubuh yang ideal, tidak kurus dan juga tidak gemuk, yang menjadi idaman setiap akhwat pun ia memilikinya. Ditambah lagi kedua gunung kembarnya yang masih nampak menonjol meski sudah ditutupi jilbab jumbo dengan bahan yang tidak terlalu lemas menjadi poin lebih yang membuat ummah Hawa adalah sosok seorang istri yang sempurna idaman setiap lelaki sholih.
“Mba Rida yaa?? Kok nglamun aja mba..??”, tegur ummah Hawa.
“Ahh.. Iya ummah.. hahah.. ga nyangka kalau ummah secantik ini..”, jawabku tersipu malu karena malah sibuk kagum dengan fisik ummah Hawa.
“Iya yah.. udah lama ga jumpa tspi ummah tetep stay beauty ginih..”, ujar bu Mirna yang memang sudah akrab dengan ummah Hawa.
“Iya nih.. bikin kita-kita jadi insecure lhoo ummah.. ahahah..”, timpal bu Sinta yang juga seumuran dengan bu Retno.
“Ahh.. Ngga lho.. masa sih bu?? Kayaknya saya ngga pernah perawatan lhooh..”, jawab Ummah Hawa merendah yang justru semakin menunjukkan keanggunannya.
Ummah Hawa yang lebih muda dari ibu-ibu yang lain, membuatku merasa memiliki kakak dan memang ummah Hawa lebih banyak memberikan perhatiannya padaku daripada ibu-ibu yang lain. Setelah ngobrol santai untuk saling kenal satu sama lain, kemudian aku diajak oleh Ummu Hawa untuk berkeliling area pondok sekaligus mengenalkan kondisi pondok padaku dan ibu-ibu yang lain. Ada kurang lebih 15 santriwati sementara untuk santriwannya sekitar 25 orang. Antara pondok putra dan putri terpaut jarak sekitar 70an meter dan memang pondok putri sangat tertutup. Kalaupun santriwati keluar dari lingkungan pondok putri paling hanya yang bertugas untuk khidmat (tugas belanja untuk memasak). Itupun hanya sekitar 3-4 santriwati saja. Untuk pondok putri sendiri memang tak terlalu luas, hanya seperti rumah biasa yang terdiri dari 5 kamar yang cukup besar. Meski sederhana tapi lingkungan yang masih sangat alami memberikan kesan yang begitu melekat.
Tak lama berselang, saat aku dan ibu-ibu yang lain tengah berjalan-jalan di sekitar sungai arah menuju pondok putra, aku pun di colek oleh bu Retno.
“Nah itu tuh mba Rida, itu kyai disini.. Abah Mahmud yang juga suami Ummah Hawa yang super cantik ini..”, kata bu Retno yang langsung membuat Ummah Hawa tersipu malu.
Aku pun terkejut ketika melihat sosok abah Mahmud. Tak kusangka kalau beliau masih keturunan arab. Hidung mancung dengan wajah khas timur tengah serta jenggot yang lebat semakin mengesankan kalau beliau keturunan arab. Postur tubuh yang tinggi, gempal, besar menjadi ciri khas orang-orang dari daerah sana. Meski sudah berumur 60 tahun, tapi fisiknya masih tegap dan segar tak seperti orang-orang tua pada umumnya. Aura seorang ustad yang berilmu agama tinggi begitu terasa serta kesholihan yang kuat memancar jelas dari dalam diri beliau. Senyum ikhlas menghiasi wajah teduhnya yang membuatku tak sanggup untuk memandang wajahnya yang penuh nur itu. Benar-benar pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya bisa berjumpa dan bertemu langsung dengan orang yang seperti itu.
“mashaaAllah yaa Ummah.. entah kenapa saya pas lihat Abah kok kerasa gimanaa gitu.. ga kuat sih sama nur beliau”, kataku sesaat setelah Abah Mahmud tersenyum pada kami dan berlanjut menuju pondok putra.
Ummah Hawa pun hanya tersenyum mendengar pendapatku soal Abah Mahmud. Memang aku tak terlalu tahu soal kedalaman ilmu agama beliau, tapi cukuplah kesan pertama tadi membuatku merasa seperti kerikil di hadapan gunung. Hari-hari pun kami lalui dengan suasana kebersamaan meski berbeda umur. Bu Retno dan bu Sinta lah yang paling ribet kalau sudah mulai pembicaraan. Tapi sifat humble keduanya membuat kami pun tak merasa sumpek ketika bergaul dengan keduanya. Bu Mirna sendiri punya sifat humoris yang tiada duanya yang selalu membuat malam-malam kami menjadi berwarna. Para santriwati pondok pun cepat akrab dengan kami sehingga bisa meredam rasa rinduku pada mas Fahmi.
“Ehemm.. Ehemm.. yang manten baru.. gimana nih kesannya?? Udah semingguan ga ketemu kekasih lhoo..”, celetuk ummah Hawa yang mengenakan daster lengan panjang hitam motif bunga tulip sambil ia merapikan baju-baju anaknya.
“Ehh.. Ummah.. kok tiba-tiba tanya gitu sih?? Jadi keinget kann..”, jawabku.
“Ahahah.. yaa saya penasaran aja sama mba Rida nih, kan pengalaman pertama ditinggal 4 bulan kan??”, lanjut Ummah.
“Mmm.. iya sih Umm, biasa sih Umm.. kalau jujur yaa kangen sebenernya. Tapi kan harus bersabar..”, jawabku sambil menghela nafas.
“Hemm.. inshaaAllah mba Rida, setiap kesusahan yang kita alami untuk mendukung suami kita berdakwah di jalan Allah maka Allah pasti akan gantikan dengan surga-Nya. Masih ingat kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar kan?? Istri beliau yang ta’at dengan kata-kata suaminya, maka Allah muliakan dengan ibadah haji sebagai pengingat mujahadah Siti Hajar..”, jelas Ummah Hawa untuk menyemangatiku.
Hampir setiap malam atau kalau ada waktu-waktu senggang di luar kesibukan beliau mengajar, aku selalu menyempatkan mengobrol santi dengan Ummah Hawa. Meski sudah sering bicara-bicara santai, tetap saja rasa hormatku pada beliau tak berubah. Terkadang malah beliau, Ummah Hawa, menegurku untuk menggunakan bahasa biasa saja layaknya kakak-adik. Tapi tetap saja hal itu masih belum bisa kulakukan melihat kuatnya pancaran kesholihan dari dalam dirinya.
“Hihihih.. iya sih ya bun.. gimana yaahh?? Mumpung udah pada nikah mah bahas-bahas dikit gapapa kaan??”, celetuk bu Sinta malam itu.
“Iya sih, mumpung Ummah ga ada.. takut aja ntar kena teguran.. tapi harusnya gapapa sih..”, timpal bu Mirna mengiyakan.
“Apa sih bu..?? Kok Rida ga paham yaa..??”, tanyaku polos yang baru saja ikut nimbrung setelah selesai dari toilet.
Yaa seperti yang sudah kuduga sebelumnya, akhirnya meski cadar dan abaya selalu menutupi aurat kami, kami tetaplah perempuan yang juga membutuhkan kontol untuk memenuhi hasrat kami. Dan dimulailah pembicaraan tentang ranjang diantara kami berempat. Mulai dari pembahasan ringan tentang tips-tips seks agar bisa memuaskan suami tapi tetap kita para wanita juga mendapatkan kepuasan, berlanjut hingga fantasi seks kita masing-masing. Aku pun terpana dengan kata-kata vulgar yang keluar dari mulut para ummahat yang kukagumi itu. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata sesuatu yang bagiku terasa ‘tabu’ begitu mudah mengalir dari bibir suci mereka yang hari-hari membicarakan pentingnya dakwah di kalangan wanita.
“Kenapa mba Rida?? Bingung yah kok bisa gitu kita-kita ngomongin kayak ginian?? Kontol lah, memek lah, atau ngentot lah..?? Sama-sama belajar ya mba Rida.. dulu saya awal-awal nikah juga kayak gitu, tapi seiring berjalannya waktu ternyata mempelajari ilmu ‘ranjang’ juga penting untuk keharmonisan keluarga..”, kata bu Mirna yang selalu menjaga penampilannya, bahkan ia membawa tas khusus untuk paket skin-carenya.
“Ohh gitu ya bun.. afwan Rida blom pernah sih denger istilah-istilah gitu..”, jawabku dengan agak tersipu karena memang aku baru banget mendengar istilah-istilah seperti itu.
“Gapapa kok mba.. coba besok deh kata-kata, afwan yaa.. penis gitu diganti kontol.. atau vagina diganti memek.. mmmhhh.. pasti suami mba Rida langsung deh makin ganass..”, lanjut bu Mirna.
“Aahahah.. iya sih.. apalagi kalo mba Rida ngomongnya sambil agak ndesah gitu di telinga suami mba Rida ntar.. “Mashh.. sodok memek akuhh.. pake kontolh perkasah masshh.. mmhh” gituhh..”, timpal bu Sinta yang malah makin membuat suasana malam itu semakin ‘panas’.
Aku yang mendengar pembahasan ‘panas’ tentang ranjang di antara para ummahat itu malah terangsang sendiri. Memekku berkedut saat aku mulai mengkhayal membayangkan kontol mas Fahmi yang panjang berurat itu kembali menusuk-nusuk cepat memekku. Tanpa kusadari posisi dudukku pun mulai gelisah. Terlebih lagi saat bu Retno mulai membicarakan tentang posisi-posisi seks yang paling ia suka. Untungnya pembicaraan itu tak berlangsung lama karena sudah terlalu larut malam yang kemudian ketiga ibu-ibu binal itu pun tidur. Aku pun mencoba untuk bisa tidur dengan memejamkan paksa mataku. Ahh tapi kesan dari pembicaraan yang baru saja masih terngiang-ngiang di pikiranku. Aku pun tak tahan ingin masturbasi, terlebih lagi memekku sudah becek parah bahkan hingga membasahi CD yang kupakai. Alhasil aku pun segera meninggalkan ruang tidur khusus tamu dan menuju toilet sekitar jam 23.30 malam itu.
Meski terdapat sekitar 8 toilet umum santri, tapi aku khawatir kalau aksi masturbasiku diketahui orang lain. Aku pun teringat pesan Ummah Hawa kalau ada 2 toilet lagi yang terpisah dari pondok putri dan bisa dipakai khusus tamu seandainya toilet pondok putri tidak memadai. Aku pun memutuskan untuk menuju toilet itu yang mana terletak sekitar 15 meter dari pondok putri dan sangat dekat dengan rumah Ummah Hawa. Saat kubuka pintu belakang pondok, jalanan menuju toilet dan rumah Ummah Hawa hanya disinari oleh 2 buah lampu seadanya. Tentu saja suasana sekitar yang masih pepohonan rindang membuat nyaliku sedikit turun. Tapi hasrat birahi dalam diriku memaksaku untuk tak menghiraukan keadaan.
“Ahh.. bodo amat.. bismillah aja.. “, gumamku dalam hati.
Aku pun berlari sekencangnya menuju toilet itu dan segera masuk dan mengunci pintu toilet. Ukuran toilet yang tak terlalu luas namun cukup nyaman membuatku bisa bermasturbasi sepuasnya. Tembok toilet memang hanya berupa galvalum saja, bahkan ada bagian tembok yang sedikit pecah, tapi untungnya bagian itu tak bisa diakses oleh orang sehingga aman dari pengintip.
Abaya hitam yang kupakai pun mulai kutanggalkan. Suasana dingin khas pedesaan pun mulai membelai tubuhku yang sudah bugil dan hanya menyisakan bergo dongker yang menutupi kepalaku. Bukit kembar 38C ku pun terasa begitu kencang dan keras. Putingku pun sudah mencuat tinggi seakan ingin lepas.
“Ahh.. masshh Fahmiihh.. kangennhh.. pengen di iseph lagihh..”, gumamku sambil mulai meraba-raba kedua toketku.
Bak kamar mandi yang terbuat dari cor semen pun menjadi tumpuan ku untuk melepas hasratku malam itu. Biarpun tak terlalu nyaman duduk di pinggiran bibir bak, yang penting birahiku bisa tersalurkan. Mataku merem melek sementara dari mulutku mengalir desahan lembut saat jemariku mulai menyentuh dan memilin perlahan kedua puting coklat mudaku. Kubayangkan di hadapanku kini mas Fahmi sedang berlutut bugil sambil membenamkan wajahnya di kedua gunung putih indahku.
“Ahhh.. Shhh.. Mass Fahmiihhh.. Mmhhh.. Isephh.. Ahhh.. Enakkhh..”, desahku menikmati permainan jemariku sendiri.
Suasana yang baru, outdoor, dan hanya disinari cahaya lampu remang-remang semakin membuat birahiku meluap. Aku penasaran bagaimana rasanya disetubuhi mas Fahmi di toilet ini. Semakin kubayangkan mas Fahmi yang liar menjilati setiap bagian tubuhku, semakin deras hasrat yang membakar diriku. Aku pun tak mampu menahan lagi gejolak di selakanganku. Kaki kiriku pun menyandar di tiang galvalum kamar mandi sementara kaki kananku sedikit mengangkang dan menapak di lantai. Posisi ini meng-ekspos jelas memek coklat ku yang mulus tanpa bulu.
“Ooohhhhh.. Shhh.. Enaknyahhh.. Mmmhh.. Aahh.. Mmhhh.. Shhh..”, desahku nikmat merasakan jemariku yang menari liar menggesek-gesek bibir memekku.
Kepalaku mendongak, mulutku menganga lepas merasakan kenikmatan yang menjalar ceoat sampai ke ubun-ubun. Apalagi saat jemariku mulai melesak masuk menggesek G-spot ku, serasa seluruh sendi tubuhku lemas karena hentakan kenikmatan yang luarbiasa. Bayangan akan kontol mas Fahmi terus menerus membiusku.
“Ohh.. Mas.. Ohh.. Mas Fahmiihhh.. Iyahh Sodok terushh.. Ahhh.. Ridah kangen kontol mas Fahmiihh..”, ucapku bercampur dengan erangan dan rintihan.
Tanganku pun semakin cepat mengobok-obok liang senggamaku. Aku pun sudah tak peduli lagi kalau nantinya ketahuan orang lain. Yang kupikirkan saat itu hanya ingin segera mencapai puncak kenikmatan yang kudambakan.
Creepp.. Creepp.. Creepp.. decak becek lendir birahi yang mengucur deras dari memekku mulai membasahi tanganku. Meski tak senikmat kontol suamiku, mas Fahmi, tapi lumayan untuk menghilangkan syahwatku yang sudah memuncak.
“Ahhh.. Ahhh.. Awwhh.. Masshh.. Ahhh.. NNGGHHHHHH..!!!”, Desahanku berakhir dengan erangan kuatku menyambut datangnya klimaks.
Ceerrr.. Ceeeerrrrr.. Cceeerrrkkkk..
Tubuhku mengejang hebat saat memekku menyemburkan kencang cairan kenikmatan yang tertahan sedari tadi. Kugigit kuat bibir bawahku sementara mataku terpejam menikmati setiap detik klimaks yang kualami malam itu. Tubuhku tersentak-sentak beberapa saat sebelum kemudian rasa lemas menyerang setiap sendi tubuhku. Capek, tapi puas.. itulah yang kurasakan malam itu. Awalnya aku berniat untuk sebisa mungkin selama 4 bulan akan bertahan dari masturbasi, tapi baru seminggu saja sudah seperti ini.
Sekitar jam 23.45an aku pun kembali mengenakan pakaianku tanpa mengenakan dalaman. Bergo instan dongker kembali menghiasi kepalaku dan menutupi rambutku yang cukup panjang hingga se-punggung. Karena suasana yang dingin malam itu, aku pun menunda mandi junubku karena sunnah untuk mandi di sepertiga malam terakhir. Sesaat setelah syahwat dalam tubuhku mereda, kembali rasa takut akan suasana yang gelap di sekitar toilet mulai mendatangiku. Aku pun bersiap berlari setelah membuka pintu toilet, tapi entah kenapa pandanganku justru tertuju ke rumah Abah Mahmud yang masih menyala terang dari balik pintu samping yang sedikit terbuka. Seingatku tadi tak ada sedikitpun cahaya yang tampak dari rumah beliau saat aku datang ke toilet untuk masturbasi. Rasa penasaranku semakin kuat setelah mendengar sayup-sayup suara erangan dan desahan yang terdengar dari balik pintu itu.
“Sst.. Jangan.. Haram liat isi dalam rumah orang lain tanpa izin..”, gumamku dalam hati.
Tapi memang sudah kerjaan setan untuk menghasut anak turun nabi Adam. Meski hati menolak, tapi entah kenapa kakiku begitu mudahnya melangkah mendekat ke arah rumah abah Mahmud meski gelap yang begitu pekat di sekitarku. Jarak antara toilet luar dan rumah abah Mahmud hanya sekitar 10 meteran saja. Semakin ku mendekat, semakin jelas suara desahan yang datang dari dalam sana. Mataku pun terbelalak saat melihat ke celah pintu samping rumah abah Mahmud dan disuguhi pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Benar-benar sesuatu yang menghantam dan menghancurkan pandanganku selama ini pada kedua orang yang begitu kumuliakan.
“Aaahhmm.. Mmhh.. Abaahhh.. Mmmchh.. Mmcchhh..”, desah Ummah Hawa yang tengah berpagutan liar dengan Abah Mahmud.
“Aahh.. Ahhh.. Terusshh Abahh.. Ohhh.. Ohhh.. Sshhh.. Gede banget Abaahh..”, rintih seorang akhwat lain yang ternyata adalah ustadzah Khansa.
Entah apa yang sedang terjadi dihadapanku malam itu. Ustadzah Khansa tampak sedang doggy sementara kontol besar Abah Mahmud menyodoknya dari belakang. Ummah Hawa sendiri begitu bernafsu melumat bibir Abah Mahmud yang begitu mantab menggempur bokong putih mulus ustadzah Khansa dengan posisi berlutut. Yang semakin membuatku tak habis pikir adalah ketiganya ngentot di mushola rumah Abah Mahmud. Terlebih lagi Ummah Hawa dan ustadzah Khansa hanya mengenakan atasan mukena sementara bagian bawah tubuh mereka yang aduhai putih dan mulus itupun terekspos sempurna tanpa cela.
Aku tau kalau ustadzah Khansa adalah salah satu santriwati senior di pondok Abah Mahmud dan berumur hampir sama denganku sekitar 22 tahun. Ustadzah Khansa selain sudah hafal 30 juz juga merupakan wanita yang begitu sholihah dan selalu menjaga pandangannya. Meski ia berstatus yatim-piatu, tapi tak membuatnya patah semangat untuk berprestasi dalam menjadi huffaz Qur’an. Kini sebagai syarat kelulusan dari pondok, memang diwajibkan bagi santriwan dan santriwati untuk berkhidmat di pondok sekitar 2 tahun agar terbentuk adab-adab dalam dirinya, tapi tak kusangka khidmat yang dimaksud adalah melayani sang Abah dengan kesucian tubuhnya.
“Apa-apaan nih!? Itu dosa!! DOSAA BESAARR!! NA’UDZUBILLAH MIN DZALIKKK..!!!”, ucapku dalam hati yang geram melihat tingkah seorang kyai pondok yang tak sepatutnya dilakukan.
Tapi meski hati kecilku berteriak seperti itu, ntah kenapa selakanganku malah bereaksi sebaliknya. Bisa kurasakan dengan jelas lelehan lendir syahwat mulai membasahi paha mulusku. Desahan tertahan pun mulai mengalir lembut dari mulutku yang berusaha menahan diri. Mataku pun tak bisa berkedip sedikitpun, apalagi kini aku dibuat menahan nafas saat melihat Ummah Hawa melahap kontol Abah Mahmud yang begitu besar dan panjang.
“Aaaahhhh.. Ssshhhh.. Mmmmhhh.. Glekk.. Glekk..”, desahku tertahan sambil menelan ludah ketika menatap Ummah Hawa yang begitu lahap menikmati terong raksasa itu menyumpal mulutnya.
18cm dan mungkin diameter sekitar 4cm, berwarna pink kecoklatan, berurat, dan dihiasi bulu yang begitu lebat. Tenggorokanku pun serasa begitu kering dan berharap kontol Abah Mahmud yang kini menyumpal tenggorokan Ummah Hawa berpindah di mulutku. Pikiranku berkecamuk antara mengutuk perbuatan Abah Mahmud ataukah mengiyakan setiap detil kenikmatan yang dipertunjukkan oleh ketiga manusia itu. Badanku pun bergidik kencang saat menyaksikan ustadzah Khansa melenguh keras dan panjang sambil menyemburkan deras orgasmenya hingga membasahi wajah cantik Ummah Hawa yang sudah bersiap melahap selakangan santriwatinya itu. Posisi Ustadzah Khansa yang kini terlentang di karpet mushola dengan kedua kakinya mengangkang ditekuk hingga menyentuh perutnya memudahkan ibu angkatnya, Ummah Hawa untuk menikmati sajian lezat minuman pelepas dahaga yang disediakan sang ustadzah. Saat Ummah Hawa yang sedang membenamkan wajahnya di selakangan Ustadzah Khansa dengan posisi doggy, abah Mahmud yang keturunan arab dan terkenal dengan libido mereka yang begitu besar, langsung mengambil posisi di hadapan bokong bulat Ummah Hawa. Blesh.. kontol besar panjang itu melesak masuk dengan mudahnya tanpa hambatan. Tak tampak kelelahan dalam diri abah Mahmud padahal ia baru saja meluluhlantakkan seorang akhwat yang jauh lebih muda hingga menggelepar lemas. Usia 60 tahun sepertinya bukan penghalang untuknya menyalurkan nafsu syahwatnya ke muslimah muda di rumahnya malam itu. Bahkan seorang ummah Hawa yang sudah menjadi istri sah beliau pun tak mampu bertahan dengan dahsyatnya libido sang suami yang akhirnya juga tumbang setelah sekitar 20an menit bertahan. Cairan sperma kental pun memancar kencang di kedua wajah putih cantik ustadzah Khansa dan Ummah Hawa yang duduk bersimpuh dan mendongakkan wajahnya menanti facial gratis dari sang kyai.
Aku sendiri yang menyaksikan kejadian itu pun sempat klimaks saat menyaksikan Ummah Hawa melepaskan orgasmenya dengan deras. Tangan kananku begitu sibuk bergerilya dan mengobok-obok selakanganku sendiri sembari berfantasi kalau aku ikut bersama ustadzah Khansa dan Ummah Hawa menikmati kontol Abah Mahmud di mushola malam itu. Melihat ketiganya sudah selesai beraksi, aku pun buru-buru kembali menuju kamar tamu di pondok putri. Seluruh pikiranku penuh dengan banyak pertanyaan akan kejadian yang baru saja kulihat. Ingin rasanya aku berteriak, tapi disisi lain aku pun bersalah karena juga menikmati apa yang terjadi saat itu dan hanya bisa terdiam tak mencegahnya. Meski sudah kurebahkan diriku, tapi tetap saja sulit buatku untuk tidur setelah melihat adegan barusan.
“Itu kan statusnya masih Santriwatinyaa.. kok Abah tega?! Padahal itu dosaa!! Ehh, tapi kayaknya asik jugaa.. uhh.. kontol Abah gedeenyaa.. Ssshh!! Setan!! Otak gak beres!! Jelas-jelas kemungkaran kenapa kamu malah enjoy!? Ahh.. gimana!?? Kan aku juga pengen kontol.. normal kan kalo perempuan doyan kontol???”, pikirku yang terus-menerus dibuat pusing antara haruskah ku biarkan ataukah ku luruskan perkara itu.
“Mba.. Mba Rida..?? Bangun mbaa.. udah jam 5 lhoo..”, ucap bu Mirna yang terdengar sayup-sayup karena rasa kantuk yang masih amat sangat.
“Ohh.. Emm.. Iyahh bunn..”, jawabku sambil membenahi posisi tidurku dan berupaya untuk tidur lagi.
“Eeehhh.. kok malah bobo lagii?? Udah siang ini mbaa.. ga malu sama santriwati yang lain kahh??”, kata bu Mirna dengan nada agak tinggi sambil menggoyangkan tubuhku lebih kuat.
Terpaksa aku pun harus bangun karena memang aku sudah terlambat sekali dari waktu sholat subuh. Samar-samar kulihat jam dan mencoba mengingat jam berapa semalam tadi aku terlelap tidur. Ahh sekitar jam 1.30an mungkin gumamku dalam hati. Hari itu pun kulalui seperti biasanya meski tiap kali aku berjumpa dengan Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa, ada perubahan dalam sikapku. Aku pun mulai sedikit cuek dan tak terlalu peduli dengan kehadiran mereka. Yang biasanya aku humble dan sering mengumbar tawa, kali ini lebih ke menahan pembicaraan. Entah kenapa ada rasa yang mengganjal dalam hatiku kalau ingin berbicara lebih dengan keduanya.
Meski begitu, hasrat akan kontol lelaki sudah merasukiku semenjak pembicaraan tentang ‘ranjang’ di antara ibu-ibu malam lalu. Bahkan pertunjukan ‘panas’ abah Mahmud yang tak sengaja ikut ‘kunikmati’ pun semakin kuat mendorong gejolak birahi yang sudah tertidur hampir 2 mingguan ini. Malam-malam berikutnya pun, setiap jam 23.30an aku selalu bangun dan sengaja menuju rumah Abah Mahmud. Memang benar kata hadits Rasulullah kalau umat akhir zaman kondisi imannya kalau pagi dia beriman, kalau malam dia kafir, begitupun sebaliknya, kalau malamnya beriman maka paginya kafir. Dan itulah yang terjadi dalam diriku. Panjangnya abaya dan jilbabku, serta istiqomahnya aku bercadar pun tak mampu menutupi keaslian diriku yang haus akan hantaman kontol lelaki di pintu rahimku. Ditambah rasa rindu akan kenikmatan yang biasa diberikan mas Fahmi selepas kami menikah menambah kuatnya seruan setan yang menjadi pengawalku tiap malam untuk menghalalkan apa yang tiap malam kulakukan.
Namun tak setiap malam kujumpai Abah Mahmud ngentot dengan Ummah Hawa ataupun Ustadzah Khansa. Kalau malam itu tak kujumpai, maka tangan pun menjadi pelampiasan hasrat seksualku dan toilet luar pondok kembali menjadi saksi liarnya diriku saat birahi menerpa.
“Aawhh.. Ahh.. Ahhh.. Sshh.. Abaaahh.. Awwhh.. Iyaahh.. Hawaa anjingnya Abaahh.. nikmati Hawa sepuas Abaahh..”, racau Ummah Hawa yang merem melek keenakan digenjot Abah Mahmud dengan posisi digendong.
Tubuh putih mulus Ummah Hawa yang tergolong tinggi, 163cm, tetap terlihat kecil di dalam dekapan Abah Mahmud yang begitu tinggi besar. Bisa kulihat dengan jelas kontol 18cm Abah Mahmud begitu gagah melesak masuk di memek sempit Ummah Hawa. Malam itu Ummah Hawa tampil cantik dengan rias sederhana dan hanya mengenakan jilbab segi empat jumbo dan cadar tali warna putih. Aku pun mulai berpikir apakah kalau ngentot bagi seorang wanita tetap harus mengenakan jilbabnya. Lebih dari 2x Ummah Hawa klimaks dan membasahi karpet mushola dengan cairan orgasmenya. Tubuhku pun terasa panas karena ledakan syahwat yang mulai membakar diriku. Bagian selangkanganku pun terasa sangat gatal dan sangat becek yang memanggil tangan kananku untuk segera beraksi di bawah sana.
“Mmmhh.. Sshh.. Aahhh.. Ahhh.. Mmhh.. Aawwhh.. Mauuhh..”, desahku perlahan tertahan agar tak diketahui oleh Abah Mahmud.
PLAK! PLAK! PLAKK!! Suara hantaman pinggul Abah Mahmud begitu jelas di telingaku yang terdengar bak harmoni. Ummah Hawa pun terpaksa mendongak dengan posisi doggy karena jilbabnya ditarik kuat oleh Abah Mahmud yang menggempur bokong putihnya dari belakang hingga kemerahan. Kedua gunung kembar Ummah Hawa yang seperti pepaya itu pun terlihat berayun anggun mengikuti irama sodokan Abah Mahmud yang begitu kuat dan mantab.
“Aahh.. Ahhh..!! Abaaahh!! Hawaahh.. Ahhh.. Anjing inihh mau keluarhh..!! Ahh.. Enak Abahh.. Ahh.. Ahhh.. Aaaahhhhh..!!!”, erang Ummah Hawa menikmati liang peranakannya di sesaki kontol besar perkasa Abah Mahmud.
Plop.. Ceeerrrrrrr..
Derasnya cairan orgasme Ummah Hawa membanjiri karpet mushola yang berwarna putih bersih. Seluruh tubuhnya mengejang hebat sementara kedua tangan Ummah Hawa meremas kuat karpet mushola. Dan persenggamaan keduanya pun berakhir dengan Abah Mahmud duduk di bantal besar sementara Ummah Hawa terus mengenyot kontol Abah Mahmud dengan bersimpuh di selakangan Abah Mahmud.
“Aaarrghhhh..!!”, geram Abah Mahmud menggelontorkan sperma kentalnya membanjiri mulut suci Ummah Hawa yang kesehariannya untuk melantunkan ayat-ayat Al Qur’an itu.
Nafasku pun tersengal-sengal setelah 30 menit menyaksikan keperkasaan Abah Mahmud menggagahi Ummah Hawa, seorang Hafidzah 30juz yang selalu menjaga marwahnya di hadapan orang lain. Saat aku sadar, posisiku tengah membungkuk berlutut sementara abaya kremku dari mulai paha ke bawah basah kuyup oleh cairan orgasmeku. Rasa letih pun meliputi diriku seusai aku beranjak meninggalkan pintu samping rumah Abah Mahmud malam itu.
“Mmm.. Ummah, Penting banget yah kalau seorang istri itu.. afwan.. puasin suami waktu jima’..??”, tanyaku sambil tertunduk malu membuka pembicaraan ba’da maghrib beberapa hari berikutnya.
“Kenapa mba Rida malu-malu tanya kayak gitu? Ahahah.. saya udah nebak kok suatu saat mba Rida pasti bakal tanya tentang itu..”, jawab Ummah Hawa dengan senyum manis cantiknya.
“Kok bisa tau Ummah..?? Kayaknya Rida ga pernah ngomong ke siapa-siapa lhoo..”, jawabku yang sedang membantu Ummah Hawa merapikan ruang utama pondok putri sementara ibu-ibu yang lain sibuk mempersiapkan makan malam dengan para santriwati.
“Hihihih.. Iya dong mba.. kan saya udah lama tinggal disini, dan sering banget ibu-ibu ummahat kalo pas ditinggal dakwah suaminya tuh pada ngobrolin tentang jima’.. terlebih lagi saya juga tau kok kalau mba Rida sering masturbasi sambil liatin saya sama Abah jima’ kaan..??”, jawab Ummah Hawa dengan tenangnya.
Bak disambar petir, seluruh badanku langsung mengucur deras keringat dingin. Panik.. itulah yang kurasakan malam itu. Tak kusangka ternyata kegiatan dosaku yang kurasa aman karena gelapnya malam bisa diketahui oleh seorang Nyai. Takut, panik, malu, semua perasaan bersalah itu bercampur padu dalam diriku. Mulutku serasa terkunci rapat, ingin sekali aku menangis sejadi-jadinya karena teringat akan dosaku yang bahkan diketahui oleh Ummah Hawa.
“Pukk.. Pukk.. Udah.. Gapapa kok mba Rida.. Normal.. bukan salah mba Rida kayak gitu.. semua ibu-ibu yang ditinggal suaminya akan merasa seperti itu.. dan memang kok saya sama Abah sengaja ngga ngunci pintu..”, lanjut Ummah Hawa sambil tertawa kecil tanpa beban seraya menepuk perlahan pundakku.
“Ehh ya.. mba Rida bisa jaga rahasia ngga? Kalau iya.. nanti saya kasih sesuatu yang pasti bikin mba Rida bahagia dehh.. tapi kalo ngga, yaa afwan ntar aib mba Rida bisa jadi bahan pembicaraan di kalangan ibu-ibu se-Jogja..”, timpal Ummah Hawa yang kini duduk santai sambil sandaran di tembok ruang utama.
“Ahh.. Duhh.. Afwan Ummah.. Rida ga ada maksud buat nonton Ummah sama Abah.. cumaa.. Afwann..”, jawabku tak sanggup melanjutkan kata-kataku dan hanya bisa menunduk.
“Udaahh.. ga masalah kok mba Rida.. itu aja, bisa ngga mba Rida jaga rahasia??”, tanya Ummah Hawa sambil mengedipkan mata sebelah kanannya.
“Emm.. inshaaAllah bisa Ummah.. kenapa yaa..??”, tanyaku agak kebingungan.
“Wallahi ya mba?? Jadi.. emang itu fantasi nya Abah dari dulu.. beliau paling seneng kalau pas lagi jima’ gitu di tempat terbuka, trus kitanya pake paling ngga jilbab atau mukena gitu, trus bawahnya telanjang.. hihihih.. apalagi kalau di tonton orang lain, beliau makin senang n semangat..”, jawab Ummah Hawa yang tanpa beban menceritakan rahasia ranjangnya.
Aku pun hanya terbengong mendengar penuturan jujur dari sang Nyai. Tak kusangka beliau akan mengungkapkan secara blak-blakan apa yang selama ini beliau tutup rapat-rapat. Entah karena percaya atau karena hal lain. Bahkan ia juga cerita kalau Abah juga pernah memintanya untuk muroja’ah hafalan dengan hanya mengenakan jilbab dan cadar sambil Abah mensetubuhinya.
“Seriusan Ummah..?? Bukannya itu..”, kataku.
“Dosa?? Kalau dipandang Cuma dari segi syari’at umum memang gitu.. Cuma kan kembali lagi, dimana sih letak surga kita mba?? Ridho suami kan? Dan juga tanggungjawab kita sebagai seorang istri, apalagi yang diberi kefahaman agama, untuk lebih sempurna lagi dalam pelayanan pada suami..”, lanjut Ummah Hawa berterus terang.
Memang selama ini hal yang kupelajari adalah bagaimana kita membentuk keluarga yang sakinah mawadah rahmah tapi tanpa melanggar aturan agama sedikitpun. Pola pikirku pun mulai berubah setelah mudzakarah dengan Ummah Hawa maghrib itu hingga menjelang isya.
“Waktu sama Ustadzah Khansa juga liat yah mba?? Coba masih inget ngga gimana ekspresi ustadzah Khansa waktu itu.. atau detil kejadiannya..??”, tanya Ummah Hawa.
Antara Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa mendapatkan gilirannya masing-masing, dan di hari ketiga dari seminggu mereka akan ber-threesome ria (istilah ini kudapat setelah membaca karya ukhti Rinda). Suatu malam, kudapati suara yang muncul dari balik pintu adalah suara ustadzah Khansa. Terlihat lebih seperti seorang kakek tengah asik menikmati tubuh cucunya. Berbeda dengan Ummah Hawa, kalau dengan Ustadzah Khansa malam itu, Abah Mahmud lebih pasif dan membiarkan Ustadzah Khansa melepas fantasi terliarnya.
“AHHH.. AHHH.. SSHHH.. ENAK BANGETH ABAAHH.. KONTOLHH.. MMHHH.. SSHH.. OHHH..”, racau Ustadzah Khansa yang begitu lepas tak peduli akan suasana disekitarnya.
Tubuh kencang langsing Ustadzah Khansa yang berkulit kuning langsat dihiasi toket 38C itu pun menari indah seirama dengan pinggulnya yang maju mundur cepat menjepit kuat kontol sang kyai di liang kenikmatan miliknya. Biarpun tak sebesar milik Ummah Hawa yang berukuran 38E, tapi terlihat serasi dengan bentuk tubuhnya yang seksi. Jujur saja, Ustadzah Khansa jauh lebih binal daripada Ummah Hawa, mungkin karena umurnya yang jauh lebih muda daripada Ummah Hawa. Pakaian yang ia kenakan pun membuatku geleng-geleng kepala. Fishnet body lingerie warna hitam menghiasi tubuhnya dengan handsock dan kaos kaki overknee yang senada semakin menambah ke-eksotisan santriwati senior itu. Jilbab instan non-pet mini warna hitam dan cadar yaman long hitam menutupi wajah putih cantiknya. Perpaduan syar’i dan seksi justru membuat suasana yang ada semakin menggugah libido setiap ikhwan sholeh yang melihatnya.
Posisi favorit setiap wanita, WOT menjadi andalan Ustadzah Khansa malam itu. Beberapa kali ia mengibaskan kepalanya menampakkan keanggunan cadar yaman long yang elok dan kontras dengan warna kulitnya yang indah. Abah Mahmud pun hanya terlentang santai menikmati pelayanan liar sang santriwati. Namun tetap saja, kedua tangan Abah Mahmud tak bisa tinggal diam ketika dihadapkan dengan puting ranum kecoklatan Ustadzah Khansa dan langsung ia pilih-pilih perlahan. Sontak hal ini membuat Ustadzah Khansa semakin blingsatan dan meningkatkan tempo goyangan pinggulnya dengan tubuhnya yang sedikit condong ke belakang dan disangga oleh kedua tangannya.
“AWWHH.. AWHHH.. SHH.. AHH.. ABAHH NAKALHHH.. AHH.. OHH.. AHH.. ENAK ABAHH.. AHH.. AUNNGHHHH..!!!”, desah ustadzah Khansa yang diakhiri dengan lenguhan panjangnya menyambut datangnya klimaks.
SERRRR.. SEEERRR....
Ustadzah Khansa segera mengangkat tinggi pinggulnya yang membuat kontol Abah Mahmud terlepas. Segera memek coklat ustadzah Khansa memompa deras cairan orgasmenya yang membuat Abah Mahmud cekikikan. Tubuh sang hafidzah 30 juz itu mengejang kuat selama beberapa saat sebelum kemudian ia melanjutkan kembali goyangannya.
Bleshh.. kontol panjang Abah Mahmud kembali tenggelam ke memek sempit muslimah umur 22 tahun itu. Kali ini kedua tangan ustadzah Khansa bertumpu di dada Abah Mahmud dan dengan posisi jongkok ia mulai menggerakkan pinggulnya naik turun. PLOK! PLOK! PLOK! Sebuah harmoni yang begitu membakar syahwat berpadu apik dengan erotisnya cadar syar’i yang menutupi wajah sang hafidzah. Aku hanya mampu mendesah tertahan melihat bokong bulat Ustadzah Khansa yang mulus tanpa cela seperti ditusuk benda besar di sela-selanya. Begitu jelas memeknya merekah lebar karena ukuran kontol lelaki arab yang memuaskan dahaga selakangan setiap wanita yang mencicipinya. Gerakan itu sudah tentu melesakkan kontol Abah Mahmud deras menggempur pintu rahim ustadzah Khansa. Jeritan kecil terdengar dari balik cadar hitam yang menutupi mulut suci hafidzah 30 juz itu. Deraan kenikmatan yang meluap membuatnya lupa akan besarnya dosa yang ia tengah nikmati. Tak lama, hanya sekitar 2 menitan saja ustadzah Khansa mampu bertahan sebelum ia kembali membanjiri perut buncit Abah Mahmud dengan cairan kenikmatannya.
Bukan Abah Mahmud namanya kalau ia akan mudah muncrat hanya dari goyangan santriwatinya, bahkan seorang Ummah Hawa pun hanya bisa tunduk pasrah menjadi lubang kenikmatan pemuas nafsu Abah. Tentu saja 20 menit ke depan Ustadzah Khansa hanya bisa pasrah merasakan sodokan kontol keras perkasa Abah Mahmud di selakangan putihnya yang kini mulai kemerahan. Bahkan tampak mata Ustadzah Khansa yang mulai nanar karena letih bercampur nikmat yang terus-menerus ia rasakan. Kedua tangan Ustadzah Khansa harus berpegangan pada sesuatu agar tubuhnya tidak terlalu bergoncang menahan dahsyatnya gempuran lelaki umur 60 tahun keturunan arab itu. Mataku kembali dimanjakan dengan gagahnya kontol Abah Mahmud melesak cepat dan memekarkan memek Ustadzah Khansa dimana ustadzah Khansa terlentang dengan kedua kakinya ditekuk dan dibuka lebar hingga lututnya hampir menyentuh perut sementara Abah Mahmud yang ada di atas Ustadzah Khansa menahan kedua kaki putih mulus Ustadzah Khansa dengan kedua lengannya.
SPLOK! SPLOK! SPLOK!
“AAGHH.. AGHH.. ABAHH.. OHHH.. MENTOK.. MMHHH.. ENAK ABAHH.. AHHH.. KHANSA MAU KELUARRHH.. AHH.. OWHH.. MMHH.. AAANNGHHHHH..!!!”, erang ustadzah Khansa yang tak lagi mampu menahan orgasme ke-10 nya malam itu.
Abah Mahmud pun mencapai klimaksnya di saat yang sama dan dengan cepat mencabut kontolnya kemudian mengangkangi wajah ustadzah Khansa yang tengah mengejang menyemburkan deras cairan orgasmenya.
“AAARRGGHH.. NIH KESUKAAANMUHH!!”, geram Abah Mahmud seraya membanjiri wajah Ustadzah Khansa yang tertutup cadar dengan cairan kental putih hangat.
“Ahh.. iyah Ummah.. emmhh.. ekspresi Ustadzah Khansa..?? Keenakan gituhh..”, jawabku malu-malu.
“Coba dipikir.. kan Ustadzah Khansa berilmu banyak iya kan?? Masa iya dia mau nglakuin kayak gitu kalo Cuma pengen enak?? Pasti ada yang lain sampe-sampe Ustadzah Khansa se-liar itu kan?? Hihihih..”, jawab Ummah Hawa mencoba mengubah mindset ku.
“Tapi.. Ummah.. Oke deh.. Cuma Rida juga pernah liat waktu sabtu malem ituuhh.. Ummah sama Ustadzah Khansa maen bertiga sama Abahh..”, ucapku.
“Oohh.. iyaa.. he’emh.. emang tiap sabtu malam Abah pasti pengen maen bertiga.. soalnya pasti Abah minum obat, jadinya kalo cuma Ummah sendirian.. waahh.. ga puas dong Abah..”, jawab Ummah Hawa ringan tapi tetap anggun.
“ii.. iya sih Ummah.. tapi bukan ituhh.. Rida penasaran.. kan itu mainnya juga dimasukin ke lubang dubur Ummah.. kan dosa Ummah.. lagian apa ngga sakit Ummah..??”, jawabku mencoba membela diri.
“Ohhh.. Anal yaah..?? Kalo sakit sih dulu waktu awal ajah.. sama kayak waktu diperawanin gitu mba.. abis itu.. sisanya enaaaakk terushh.. hihihih.. balik lagi ke tujuan awal kita mba Rida.. buat siapa sih?? Kan buat nyari surga, sementara surga kita para istri Sholihah ada di ridho suami.. Nah makanya kita harus lakuin apa aja asal suami Ridho.. udah deh, jaminan banget ntar masuk surganya..”, jawab Ummah Hawa dengan penuh keyakinan.
Iya memang seperti itu kejadiannya. Setiap sabtu malam pasti adegan threesome menjadi menu wajib malam minggu Abah Mahmud. Dan malam itu seperti biasa Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa berpakaian hanya cadar dan jilbab saja. Jilbab instan non pet dan cadar tali warna pink peach pun menyelimuti cantik Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa sementara yang menutupi bagian bawah tubuh mulus tanpa cela mereka hanyalah kaos kaki overknee putih yang membalut kedua kaki jenjang keduanya. Saat aku tiba dilokasi, Abah Mahmud sedang asik menyodok memek Ustadzah Khansa yang terlentang di meja ngaji beliau dengan kedua kaki Ustadzah Khansa mengangkang lebar dan menjadi tumpuan tangan Abah Mahmud. Setiap sodokan pinggul Abah Mahmud begitu deras dan mantab membuat mata Ustadzah Khansa mendelik ke atas karena kenikmatan yang amat sangat. Desahan dan erangan keras pun terdengar jelas dari mulut sucinya yang tertutup cadar. Gunung kembar berputing kecoklatan Ustadzah Khansa berayun-ayun karena goncangan persetubuhan keduanya. Ummah Hawa sendiri tengah asik memeluk Abah Mahmud dari belakang hingga toket jumbo 38E miliknya tergencet di punggung Abah Mahmud dan tampak seakan hendak pecah. Jemari lentik kiri Ummah Hawa begitu lihai membelai dan meremas zakar Abah Mahmud yang membuat Abah Mahmud mendesis nikmat merasakan double attack.
“Ahh.. Ahhh.. Cuhh.. Memek edan punya Khansa lacur yaa.. Behh.. bikin Abah keenakan.. Mmhh.. Nghh.. Nghhn.. Sinih kamu anjing syar’i.. bersihin nih..”, ucap Abah Mahmud yang sedang asik menggenjot memek Ustadzah Khansa yang kemudian mencabut kontolnya.
Melihat kontol Abah Mahmud yang mengkilat oleh lendir memek justru membuat Ummah Hawa semakin dahaga dan dengan liarnya ia melahap habis kontol 18cm itu. Kepala Ummah Hawa maju mundur cepat dibarengi dengan lidahnya yang lihai menyapu setiap bagian batang berurat Abah Mahmud. Aku pun tak kuasa menahan syahwatku dan segera duduk di kursi yang sudah kusiapkam sebelumnya. Jarak antara pintu samping dengan mushola hanya sekitar 7 meter saja, Cuma karena ruangan mushola jauh lebih terang daripada diluar sehingga posisi dudukku yang kini tengah mengangkang dengan kedua kakiku ku sandarkan di handrest kursi tak begitu tampak. Aku yang sudah sangat terangsang segera melesakkan jemariku ke liang kenikmatanku sendiri. Saat aku mencoba kembali melihat ke arah musholla, mataku pun dikejutkan saat kontol Abah Mahmud diarahkan ke anus Ustadzah Khansa. Dan parahnya lagi, justru Ustadzah Khansa menawarkan liang anusnya dan merengek-rengek seperti halnya pelacur.
“Ahhh.. sini Abahh.. Masukin kesinih.. ke bokong Khansa yang lacur inihh.. Ahh.. kontol Abah perkasa banget sihh.. Ayukk Bahh.. Udah ga tahan pengen di anal sama Abahh yang kasarrrhh..”, rengek Ustadzah Khansa dengan kedua tangannya menarik bokongnya sehingga anusnya sedikit terbuka.
Ummah Hawa pun membantu dengan meludahi anus Ustadzah Khansa dan Sleebb.. Blesshh.. liang sempit itu meregang disesaki kontol keras Abah Mahmud. Lenguhan panjang melepas nikmat keluar lembut dari mulut Ustadzah Khansa yang sepertinya memang sudah menantikan anusnya di sesaki kontol Abah.
“AGHH.. AGHH.. ABAHH.. AGHH.. ENAKKHH.. AGHH.. ENAKNYAHH..”, desah dan racau Ustadzah Khansa yang merem melek menikmati sodokan kencang Abah Mahmud di anusnya.
Aku pun tak habis pikir, bagaimana bisa seorang ustadzah yang hafal Qur’an tak merasa bersalah dengan yang ia lakukan saat ini. Tak hanya menikmati zina, bahkan malam itu ia mempersembahkan anusnya untuk dinikmati oleh sang Kyai yang jelas-jelas itu melanggar kaidah agama. Namun pikiranku yang sudah terlanjur dipenuhi virus syahwat tak lagi mengindahkan bisikan malaikat yang berusaha mempertahankan imanku. Apalagi melihat Ustadzah Khansa yang kini mengerang dan mengejang hebat saat merasakan klimaks karena anal-seks.
“AGHH.. AMPUNNHH ABAHH.. ENAK BANGETHH.. AGHH.. OHH.. SHHH.. AAANNGHHHH..!!”, pekik Ustadzah Khansa menyerah akan keperkasaan sang Kyai.
SSSEEEERRRRRR.. SEEERRR...
Tubuh mulus kuning langsat Ustadzah Khansa melengkung ke atas sementara memeknya tak henti-hentinya memompa habis seluruh cairan orgasmenya membanjiri lantai musholla. Ummah Hawa yang paham kalau Abah tak mungkin puas hanya dengan itu segera melahap kembali kontol Abah yang masih mengkilap itu.
“Ahhh.. Kayaknya enak.. Mmmhh.. Pengen punya mas Fahmihh..”, batinku membayangkan kontol mas Fahmi di mulutku.
Meski aku tak pernah melakukan oral-seks sebelumnya, tapi ekspresi Ummah Hawa sudah cukup bagiku untuk tau kelezatan kontol sesungguhnya. Ummah Hawa kini segera mengambil posisi doggy di atas Ustadzah Khansa yang masih kelelahan setelah 15an menit menahan gempuran Abah Mahmud di anusnya. Tanpa berlama-lama, bokong bulat putih bersih Ummah Hawa yang dihiasi anus dan memek coklat tua menjadi sasaran berikutnya.
“OUNGHHHH.. AAAHH.. MMHH.. AHHH.. ABAHH.. AHHH.. TERUSHH.. AHHH.. ALLAHH.. KONTOL ABAH GEDEH.. AHH.. ENAK BAHH.. ABAHH.. YANG KENCENGHH..”, racau Ummah Hawa yang kini merasakan liang bo’olnya melar maksimal disumpal kontol berurat Abah Mahmud.
Aku yang melihat adegan itu sudah tak lagi bisa berpikir jernih. Desahan, erangan, racauan yang kudengar jelas bersatu padu membakar syahwat dalam diriku. Alhasil, banjir bandang tak terhindarkan mengalir deras dari memekku. Bisa kurasakan jemariku begitu becek oleh lendir khas memek Akhwat. Aku pun sudah tak peduli lagi berapa kali aku orgasme malam itu. Kontol Abah Mahmud tampak begitu gagah dan merajai semua liang kenikmatan Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa. Layaknya pesta seks, Abah Mahmud sesuka hatinya melesakkan kontolnya baik di memek atau pun anus Ustadzah Khansa dan Ummah Hawa. Bahkan mulut suci kedua muslimah itu ia gunakan sebagai pembersih kontolnya sebelum kembali melesak ke anus siapapun diantara keduanya yang ia mau.
“AHH.. AHH.. ABAAHHH.. ABAAHH.. OUUNGGGGHHHHH..!!!”, Lenguh panjang Ummah Hawa melepas orgasmenya yang sudah lebih dari 10 kali.
SERRRR.. SSSEEEERRRRRR..
Sodokan Abah Mahmud tetap kencang dan intens meskipun Ummah Hawa tengah orgasme yang membuat semburan cairan orgasmenya menyebar membasahi seluruh ruangan. Posisi Reverse Cow-Girl dimana Ummah Hawa berjongkok mengangkang di atas pinggul Abah Mahmud dengan tubuhnya agak condong ke belakang dan di topang oleh kedua tangannya, sementara Abah Mahmud yang terlentang di bawah Ummah Hawa begitu bebas menyodok cepat anus Ummah Hawa karena sudah hampir mencapai batasnya.
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
Aku bisa melihat dengan jelas anus Ummah Hawa yang merekah lebar disodok cepat oleh batang perkasa Abah Mahmud. Toket jumbo Ummah Hawa berayun cepat menambah keerotisan suasana di musholla Abah malam itu. Bokong dan paha Ummah Hawa pun mulai tampak kemerahan karena terus menerus menahan hantaman pinggul dan paha Abah Mahmud. Dan benar saja, beberapa saat kemudian Abah Mahmud mengerang dan memuntahkan seluruh benih nya di anus Ummah Hawa. Dan tak berhenti disitu, Ustadzah Khansa dengan sigap segera terlentang sesaat setelah Abah Mahmud mencabut kontolnya. Ia menyibakkan cadarnya dan benar saja, Ummah Hawa yang masih jongkok mulai menggelontorkan lendir kental putih bercampur lendir anusnya ke mulut Ustadzah Khansa sementara mulutnya sendiri tengah tersumpal kontol Abah Mahmud. Benar-benar malam yang panas, aku pun kenyang dengan pengalaman seks liar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Hihihih.. iya gitu mba.. coba deh sesekali mba Rida icip rasa sperma.. inshaaAllah bakal ketagihan..”, kata Ummah Hawa yang terlihat nyaman-nyaman saja meskipun aku tau seluruh aibnya.
“Umm.. inshaaAllah nanti Rida coba kalau mas Fahmi udah pulang..”, jawabku yang menahan gelisah karena memekku yang mulai basah setelah membayangkan kejadian threesome mereka.
“Yakin? Ga kelamaan tuh mba Rida..?? Ehh iya.. tadi kan saya udah janji yah bakal kasih sesuatu yang bakal bikin mba Rida seneng..”, jawab Ummah Hawa.
“Emm.. iya Ummah.. inshaaAllah Rida bisa jaga rahasia.. emangnya apa Ummah..??”, tanyaku penasaran.
“Jadi jujur aja.. saya sama Ustadzah Khansa tuh masih belum cukup buat ladenin libido Abah Mahmud.. nahh.. mba Rida mau coba ngga? Jarang-jarang lohh bisa khidmat sama kyai gini..”, jawab Ummah Hawa yang membuatku melongo.
“Haaaaahhhhh..?? Ummah sehat kann..?? Seriusan Ummah nawarin kayak gituan..??”, jawabku yang terperangah tak percaya.
Yah memang aku menginginkan bisa merasakan kontol secepatnya, bahkan sering berfantasi dengan kontol Abah, tapi tetap saja beliau sudah umur 60an tahun. Disisi lain aku masih tak percaya kalau Ummah Hawa akan sebegitu mudahnya berkata-kata seperti itu. Ku kira dia akan berusaha keras untuk menutupi aibnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
“He’emhh.. seriusan dong.. saya tuh paling tau mba tentang Abah.. mesti kalau liat ummahat yang cantik gitu pengen.. dan itu yang Abah lihat waktu lihat mba Rida pertama kali.. lagian mba Rida emang masih bisa nahan yaa..??”, jawab Ummah Hawa sambil menggodaku.
“Kaget lohh Rida.. Emang Ummah setuju gitu?? Mmm.. yaa pengen sih Ummah.. mana bisa nahan kalau udah nonton gitu tiap malem.. tapii.. mmm..”, jawabku yang kebingungan.
“Lohh.. kan saya yang nawarin ke mba Rida.. ya setuju banget dong.. kalau buat saya sih sekalian aja itu praktikum buat mba Rida ntar.. siapa tau pulang-pulang bisa jadi lebih mantab lagi.. kan jadinya suami makin cintaa.. hihihih..”, jawab Ummah Hawa dengan mudahnya.
Pembicaraan singkatku dengan ummah Hawa pagi itu terus terngiang-ngiang hingga malam hari. Memang sudah menjadi kebiasaanku untuk tidur malam semenjak tinggal di pondok bersama ibu-ibu ummahat yang lain, apalagi bisa nonton ‘bokep’ live gratis tiap malam semakin membuatku harus meluangkan waktu di malam hari.
“Mmm.. kalo malam ini sih kayaknya abah pas lagi libur sih mba Rida.. kan tiap 2 hari sekali kita digilir abah.. hihihih.. tapi pengecualian sih.. kalo mba Rida mau coba, ntar malem kamar jangan dikunci yaa..”, ucap Ummah Hawa menggodaku.
“Ehh.. tapi kan di kamar banyak ibu-ibu yang lain Ummah.. ntar kalo ketauan gimanah..??”, Jawabku ragu karena khawatir dan menjadi fitnah di kalangan ibu-ibu ummahat nantinya.
“Udaahh.. tenang ajah mba Rida.. saya kan udah tinggal lama di pondok ini, apalagi Abah orangnya ‘pengalaman’ banget kalau masalah bikin perempuan keenakan tanpa buat berisik sihh..”, jawab Ummah Hawa meyakinkanku.
Aku pun terus memandangi 2 buah kapsul obat yang diberikan Ummah Hawa yang katanya biar bisa bikin Abah Mahmud cepet puas. Aku tak pernah tau kalau ada hal-hal sepeti ini hanya untuk perkara jima’. Pikiranku masih dipenuhi ketakutan, khawatir kalau nanti aku mengiyakan dan terjadi zina di antara kami kemudian para ibu-ibu yang lain memergoki apa yang kami lakukan. Buatku tak ada masalah kalau hanya dengan lingkungan, tetapi yang membuatku tak bisa bertahan kalau mas Fahmi mengetahui pengkhianatanku. Sudah sekitar jam 22.15 malam saat itu. Bu Mirna dan yang lain sudah tertidur pulas, hanya aku yang masih tiduran miring sambil memandangi kedua kapsul biru ditanganku.
“issshh.. gimana yahh.. pengen bangethh.. mana udah becek bangethh.. tapi kalo ketauan, aku gamau kehilangan mas Fahmihh..”, gumamku dalam hati.
Begitulah diriku, munafik dalam diriku tersimpan begitu rapat oleh lebarnya cadar dan jilbabku. Rasa sakit saat membayangkan mas Fahmi nantinya akan pergi meninggalkanku jika tau aku mencuranginya benar-benar membuatku takut. Tapi selintas saja, alasan klasik yang mungkin bisa jadi membuatku terhindar dari fitnah dan bisa menjadi tameng untuk kemunafikanku.
“Ahh.. Ntar kalo ketauan bilang aja kalo Abah yang berusaha perkosa aku.. aku kan gamau, Cuma karena aku ini cewe jadi yaa ga kuat lawan kekuatan cowo dan Cuma bisa pasrah waktu disetubuhin..”, pikirku yang kemudian beranggapan kalau itu merupakan alasan yang bagus untuk menuruti setan yang bersemayam di dalam diriku.
Tanpa pikir panjang juga karena syahwat yang juga selalu menghampiriku tiap waktu, kedua kapsul biru yang baru saja kudapat dari Ummah Hawa itu pun melenggang masuk ke perutku yang dibantu oleh tegukan air putih. Aku pun kembali tiduran di pinggir ranjang di samping kiri bu Sinta dengan posisi miring ke kanan menghadap bu Sinta. Suasana yang remang-remang membuat rasa kantuk datang menyerang. Sekitar jam 22.40an selain merasakan kantuk entah kenapa seluruh tubuhku terasa hangat. Aku pun mulai gelisah, bukan karena hal-hal lain, hanya saja seluruh bagian tubuhku jadi terasa sensitif. Apalagi kedua putingku entah kenapa terasa keras mencuat seperti halnya kalau aku sedang terangsang. Selakanganku pun mulai terasa becek dan gatal persis seperti saat aku terangsang oleh cumbuan mas Fahmi atau saat menyaksikan perzinaan Abah dengan kedua selirnya. Nafasku pun terasa berat, dan imajinasi tentang kontol Abah Mahmud yang menggagahi setiap liang kenikmatan di tubuhku menguasai seluruh pikiranku. Malam itu aku hanya mengenakan daster saja tanpa dalaman apapun sehingga desahanku pun tak tertahankan bahkan saat merasakan kain daster menggesek perlahan putingku yang sudah begitu keras. Tangan kananku pun kuganjalkan di selakanganku dan dijepit kedua pahaku sementara tangan kiriku sibuk meremasi toketku. Desisan nikmat mengalir lepas menikmati permainan tanganku memanjakan kedua bukit indahku. Ditambah tangan kananku yang kuganjal di bawah sana dan menggesek perlahan itilku, semakin menambah desakan nafsu yang menjalar cepat menguasaiku.
Tok.. Tok.. Tokkk..
Suara ketukan pintu yang bernada tertentu membuatku terkejut, khawatir kalau ibu-ibu yang lain terbangun dan mengetahui aksiku. Kulihat sejenak sekeliling dan terlihat ibu-ibu ummahat yang lain masih tertidur lelap, bahkan bu Retno mendengkur lepas menikmati tidurnya. Ummah Hawa memberitahu, kalau memang aku mau untuk mencicipi keperkasaan Abah Mahmud, maka cukup diam saja tanpa perlu membalas ketukan. Tapi kalau tidak mau, maka cukup memberikan kode dengan mengunci pintu. Meski syahwatku sempat mereda karena terkejut ketukan pintu Abah Mahmud, tapi tubuhku seperti sudah pasrah untuk merasakan kasarnya hantaman pinggul sang Kyai. Aku hanya diberi waktu 5 menit untuk bersiap-siap sebelum Abah masuk ke kamar. Sekejap sempat terlintas dalam hatiku akan ancaman dosa besar yang menanti. Begitu juga dengan ancaman cerai yang menanti kalau nantinya aku dipergoki oleh orang lain.
“Ahh Serah dehh.. udah terlanjur basah juga..”, gumamku dalam hati.
Bergo jumbo instan dan cadar tali double-layer warna dongker segera kupakai. Warna pakaianku tampak begitu kontras dengan kulitku yang putih bersih. Aku pun segera kembali pura-pura tidur menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya membayangkan saja sudah membuat memekku banjir tak karuan.
“Mmmhh.. Mas Fahmihh.. Maaf yahh.. Cuma sekali ini aja kokk.. Ridaa udah ga tahan pengen kontol..”, ucapku dalam hati sambil meremas-remas bantal karena menahan birahi yang memuncak.
Benar saja, 5 menit kemudian ku dengar suara pintu dibuka. Tak berselang lama aku merasakan sensasi geli karena rabaan kasar khas tangan lelaki yang menyusuri kaki kiriku mulai dari telapak kaki hingga lututku. Aku yang tidur dengan posisi miring ke kanan berusaha tetap terdiam dan menahan diriku. Jujur saja, sentuhan jemari Abah Mahmud sudah cukup membuatku tersentak karena kejutan ledakan syahwat yang menerpa hebat. Apalagi saat belaian lembut tangannya mulai menelusuri kaki mulus putihku yang selama ini hanya dinikmati mas Fahmi semakin meliarkan imajinasiku.
“Wwuuhhh.. Mantab nih mbak Rida..”, ucap abah Mahmud yang sepertinya tengah mengagumi bulatnya bokongku yang berpadu indah dengan pinggulku yang lumayan lebar.
Bagian bokong hingga ujung kaki kini terekspos penuh dan memanjakan mata sang kyai yang memang sudah kunanti selama ini. Aku pun hanya bisa menggigit bibir menanti perlakuannya yang berikutnya. Aku berusaha menahan desisanku saat merasakan tangan Abah Mahmud meremasi bokongku. Betapa nikmatnya setelah sekian lama tubuhku ini gersang dari sentuhan lelaki. Desahan tertahanku pun lepas saat merasakan hembusan nafas Abah Mahmud di belahan bokongku dan bisa kurasakan jelas kehangatan nafasnya di anusku.
“Ahh.. kayaknya Abah lagi bukain bokongkuhh.. mmmhhh.. pantes ajah Ummah Hawahh ketagihann..”, gumamku yang menikmati jilatan Abah Mahmud menyapu anusku yang berwarna coklat tua.
Meski aku menahan sebisaku untuk tidak menunjukkan pada Abah kalau aku sudah terangsang berat, tapi tubuhku bergerak sendiri seolah-olah menginginkan agar Abah lebih jauh menjamah setiap bagian tubuhku. Hanya sekitar 5 menit saja Abah bermain-main dengan bokongku. Kini ia tiduran disampingku dan mendekapaku dari belakang. Dengusan nafasnya terasa sekali di telin yang masih tertutup jilbab. Meski daster hitam masih menempel di tubuhku, tapi kehangatan tubuh Abah Mahmud begitu terasa.
“Ehh.. Jangan-jangan Abah udah telanjang nih..”, ucapku dalam hati karena aku bisa merasakan benar hangatnya tubuh lelaki 60 tahun itu.
Tangan kiri Abah Mahmud kini yang bertugas meraba dan membelai kaki kiriku hingga pinggulku yang sudah tak tertutup oleh daster. Begitu lihainya jemari terampil Abah Mahmud menjamah setiap bagian sensitif tubuhku dan terus naik menyibakkan dasterku. Jantungku berdegup kencang merasakan zina pertamaku. Tangan Abah Mahmud pun berhenti saat ia mendapati gundukan jumbo kenyal yang kini memenuhi telapak tangannya.
“Ssshh.. Mmhhhhh...”, desahku perlahan merasakan tangan kasar Abah Mahmud mulai meremas-remas toket bulatku bersamaan dengan jemarinya yang memilin putingku.
“Mmhh.. Kenyal banget mba Rida susunya.. Enak ya mba?? Kalau enak bilang dongghh..”, kata Abah Mahmud berbisik di telingaku yang semakin membuatku terangsang hebat.
Tubuhku pun tak bisa berbohong dan menggeliat menikmati permainan tangan sang kyai. Pikiranku pun sudah tak karuan. Ditambah lagi kini tangan kiriku ditarik oleh Abah Mahmud ke arah selakangannya. Betapa terkejutnya aku saat merasakan kontolnya yang begitu keras dan panjang.
“Ahhh.. jadi inihh yang sedari tadih ngeganjal di bokongkuhh.. mmhhh.. gedehnyaahh..”, gumamku yang mulai terpejam menikmati kerasnya kontol Abah Mahmud dalam genggamanku.
Bahkan tanganku pun mulai bergerak mengocok perlahan kontol Abah Mahmud. Entah kenapa malam itu aku tak bisa mengontrol tubuhku sendiri seakan-akan ada orang lain yang mengendalikanku. Aku sadar betul saat itu, tapi aku tak ada kuasa atas tubuhku sendiri.
“Ngga nyaman nih mba Rida.. ganti posisi yaa??”, tanya Abah Mahmud yang kini tangan kirinya sudah sibuk menyeruak masuk diantara sela-sela pahaku.
Aku hanya terdiam seakan mengabaikan pertanyaan Abah. Tapi tangan Abah terus tanpa henti mengobok-obok selakanganku dan menggesek bibir memekku. Kenikmatan akan derasnya birahi terlalu berlebihan bagiku malam itu ditambah tubuhku yang sudah sangat terangsang membuatku tanpa sadar mengangguk setelah Abah mengutarakan pertanyaan yang sama hingga 3 kali.
Bisa kudengar suara lega Abah Mahmud yang kini mulai membuka resleting dasterku. Dengan perlahan Abah Mahmud menarik lepas dasterku. Kini tubuh putihku telanjang dan hanya menyisakan jilbab serta cadar yang masih menutupi kepalaku. Aku sedikit meringkuk dengan posisi miring ke kanan, tanganku pun berusaha menutupi kedua gunung kembarku seperti seorang wanita yang tak rela tubuhnya menjadi santapan lelaki yang bukan suaminya.
“Sudah.. ngapain pake malu?”, ujar Abah Mahmud yang kemudian mengubah posisi tidurku menjadi terlentang.
Kugunakan lengan kananku untuk menutupi mataku, seakan malu akan apa yang tengah terjadi pada diriku. Tapi dibalik itu mataku sesekali mengintip melihat apa yang tengah terjadi. Sepertinya Abah Mahmud tengah berdiri memandangi kemulusan tubuhku yang dihiasi toket 38C berputing coklat muda, berperut langsing, dan selakangan yang juga mulus tanpa bulu.
“Emang indah.. Abah gak pernah salah kalo liat akhwat cantik luar dalem..”, ucap Abah Mahmud yang kini doggy sambil menciumi setiap bagian tubuhku mulai ujung kaki, lutut, paha, perut dan berakhir memandangi kedua belah bukitku yang begitu lezat bagi mata lelaki.
“Nnnnghhhh.. Aahhhh.. Shhh.. Ahhhh.. Mmmhhh..”, desahku tak tertahan karena kini putingku telah tenggelam dalam kuluman Abah Mahmud.
Aku hanya bisa melenguh dan mendesah juga sesekali menggigit bibir bawahku. Tak pernah kurasakan kenikmatan seluarbiasa ini. Permainan lidah mas Fahmi pun tak bisa dibandingkan dengan lihainya Abah Mahmud malam itu. Entah karena tubuhku yang sudah terlalu ‘panas’ dan terangsang atau memang kelihaian Abah Mahmud dalam foreplay, yang jelas aku dibuatnya melayang ke langit kenikmatan seks. Bahkan tubuhku blingsatan tak karuan hanya karena lidahnya yang terus menerus memanjakan putingku. Ditambah tangannya yang terampil memijat lembut toketku bersatu sempurna menggempur pertahanan diriku.
“Aahh.. Abaahh.. Ahhh.. Shhh.. Mmhhh.. Ahhhh.. Enaakkhh..”, desahku menyerah menikmati permainan Abah Mahmud.
“Mmmchh.. Mmfhh.. Naahh.. gituhh Mbaa.. ga usah ditahann desahnyaa..”, timpal Abah Mahmud yang menyeringai puas saat melihatku akhirnya takluk padanya.
Aku pun tak tahan lagi. Terasa seperti seluruh birahi berkumpul di bagian bawah tubuhku. Aku tau benar kalau aku sebentar lagi akan mencapai klimaks. Tapi aku khawatir kalau nantinya cairan orgasmeku akan membasahi ranjang. Disela-sela diriku yang tengah didera kenikmatan, tanganku berupaya meraih daster untuk menyumpal memekku.
Memang dasar Abah Mahmud yang kurang ajar, ia tau benar kalau aku sudah tak kuasa menahan orgasme. Bahkan dengan sengaja ia menyentil itilku yang sudah mencuat maksimal. Tentu saja hal itu meledakkan seluruh bendungan yang menahan orgasmeku sedari tadi.
“Ahh.. Ahhh.. Ahhh.. Aaaanghhhhhhhhh..!!!”, lenguhku panjang sesaat setelah Abah Mahmud menyentil itilku dengan sengaja.
Tubuhku mengejang kuat menyemburkan cairan orgasme. Untung saja aku sempat meraih dasterku dan langsung kusumpalkan di selakanganku. Selama beberapa saat mataku terpejam menikmati derasnya syahwat meninggalkan tubuhku.
“Wah.. baru gini aja udah ngecrot yah mbakk..”, ucap Abah Mahmud yang kemudian membuka lebar pahaku sementara tangan kiriku masih menggenggam daster di selakanganku.
Abah Mahmud segera menepis tanganku dan menggantikan dasterku sebagai pembersih cairan orgasmeku. Geli bercampur nikmat kembali kurasakan saat lidah dan mulut Abah Mahmud mulai menjilati dan menghisap bersih setiap tetes cairan orgasme yang membasahi memekku. Ini terjadi karena orgasmeku belum tuntas sehingga memekku masih sangat sensitif.
Tapi memang begitulah Abah Mahmud yang kudengar dari Ummah Hawa. Bahkan seorang Ummah Hawa yang sudah lama menikah dengan Abah Mahmud tetap saja tak mampu menangani libido sang suami. Suara decak becek lidah Abah Mahmud yang bergerilya dan mengais-ngais melesak ke dalam memekku mulai mewarnai sunyinya kamar kami. Kedua tangan Abah Mahmud menahan kedua pahaku di posisi mengangkang lebar-lebar.
“Aaahh.. Abahh.. Ahhh.. Ampun Abahh.. enakk.. Mmhh.. Sshhh.. Abahh..”, desahku tak karuan karena jujur saja ini benar-benar nikmat.
Kalau dibanding dengan oral seks mas Fahmi, ibarat langit dan bumi. Aku pun dibuat tak berdaya oleh liarnya lidah sang kyai pondok yang hafidz 30 juz dan juga alim itu. Tak hanya menguasai ilmu agama, ia juga benar-benar menguasai cara membuat wanita menggelepar tak berdaya di ranjang. Akhirnya kata-kata itupun terucap dari mulutku yang masih tertutup cadar.
“Kontolhh.. Abahhh..”, ucapku lirih diantara desahanku.
“Hemmhh..?? Apahh..?? Yang jelas donghh..”, jawab Abah Mahmud yang masih buas memangsa memekku.
“Kontolhh.. Mau kontolhh.. Kontolhh Abahh.. Masukinhh..”, jawabku yang tak lagi bisa mengendalikan mulutku sendiri.
Nafasku begitu menderu, jantungku berdebar-debar saat kucoba membuka sedikit mataku dan kulihat abah sudah berlutut mengambil posisi di selakanganku. Kedua tanganku diarahkan untuk menahan kedua kakiku tetap mengangkang lebar. Senyum puas terlihat jelas dari wajah Abah Mahmud yang khas orang Arab meskipun sudah keriput. Perlahan ia menggesek-gesekkan kepala kontolnya membelah bibir memekku yang sudah banjir lagi meskipun baru saja orgasme.
“Siap yaa mbaakk.. Nghhh..”, ucap Abah Mahmud yang kemudian menekan pinggulnya.
Mataku terbelalak merasakan besarnya kontol Abah Mahmud yang mulai memaksa masuk ke liang kenikmatan sempitku. Meski sudah becek dengan lendir birahi, tapi tetap saja seret layaknya dulu ketika mas Fahmi memperawaniku. Nyeri dan terasa panas di seluruh dinding liang memekku. Aku pun mendesis menahan rasa pedih yang mulai datang meski tak sepedih ketika aku diperawani mas Fahmi. Abah Mahmud terus melakukan penetrasi secara perlahan bahkan bisa kurasakan kalau rahimku seperti terdesak oleh panjangnya kontol Abah Mahmud.
“Mmmmhh.. Aaahhh.. Seretnyaa mbaaa.. kayak perawan aja.. ahahaha..”, ucap Abah Mahmud sambil tertawa karena telah berhasil menzinahi istri orang lain.
Terasa sesak penuh dibawah sana. Belum pernah kurasakan sensasi seperti ini semenjak persetubuhan pertamaku dengan mas Fahmi. Keras dan beruratnya batang kontol Abah Mahmud mulai terasa nikmat meski sedikit saja bergesekan dengan dinding memekku.
“Nghhh.. Nghh.. Mmhhh.. Mantabhh!! Wuuhh.. ciri khas tempik wanita solehah..!! Seret peret legit!! Ahhh..”, ujar Abah Mahmud yang entah kenapa kata-kata itu justru membuatku bergairah..
“Aahhh.. Ahhh.. Nngghh.. Ahh.. Shhh.. Abaahh.. Mmhhh.. Ahhh..”, desahku sambil kedua tanganku menutupi mulutku supaya suaraku tak terdengar oleh ibu-ibu ummahat yang lain.
Mataku mendelik ke atas merasakan luapan kenikmatan yang maha dahsyat. Kalau ada yang bilang “size does matter”, itu benar adanya. Bahkan saat Abah Mahmud hanya bergerak sedikit saja, rasa nikmat yang menjalar begitu deras. Sekarang ia dengan gagahnya menggenjot mantab memekku yang dipaksa melar karena ukuran jumbo kontolnya. Toketku ikut menari mengikuti irama sodokan nikmat sang kyai bahkan suara benturan kedua tubuh kami pun mulai memenuhi kamar.
“Ahh.. Ngghh.. Pelan-pelan Abahh.. Nantihh.. Yang lainnhh.. dengerrhh.. mmhh.. Ahh.. Ahh..”, ujarku sambil menahan tubuhku yang berguncang hebat tiap kali Abah Mahmud yang berbadan besar itu menghantamkan pinggulnya.
“Nghh.. Santai aja mba.. teriak aja.. gak masalah.. gak akan bangun ibu-ibu ini.. kan udah pada minum obat tidur.. hahah”, jawab Abah Mahmud yang malah semakin cepat dan kuat menggempur selakanganku.
PLOKK!! PLOKK!! PLOKKK!!
Aku terkejut mendengar jawaban Abah Mahmud yang ternyata sudah memaksa para ibu-ibu itu minum obat tidur tanpa mereka ketahui. Rasa marah pun tak terbendungkan. Namun apa dayaku yang sudah berada dalam kontrol Abah Mahmud, apalagi efek obat yang tadi aku minum yang seharusnya berefek pada Abah Mahmud kenapa justru membuatku semakin bernafsu.
“Ahh.. Ahhh.. Abaaahhh.. Nghhh.. AAHH.. SHH.. OHHH.. OHHH.. AHHH.. MMHHH.. AWHHH.. PELAN BAHH.. AHHH.. AHHH”, Desahku yang lepas karena tak mampu lagi menahan nikmatnya sodokan liar Abah Mahmud.
Kedua tanganku pun menggenggam ujung ranjang untuk menahan tubuhku tetap pada posisinya. Suara decit ranjang yang terdengar pilu karena menahan kuatnya tenaga orang arab kini bersenandung berirama dengan suara benturan kedua tubuh kami. Sesekali kulihat bu Retno yang tetap tertidur pulas meskipun ranjang kami bergoncang seperti hendak patah.
“AHHH.. ABAAHH.. AHH.. MHH.. SSHH.. AAAHH.. AHHH.. AHHH.. GA TAHANN.. OHHH.. NGHHHH.. OUHH.. OUUNNNGHHHH..!!!!”, Desah dan racauku yang tak terkontrol merasakan hantaman kontol Abah Mahmud menggempur pintu rahimku.
Abah Mahmud yang mendengar lenguhan panjangku segera mencabut kontolnya dan langsung mengocok cepat memekku dengan tangan kanannya. Kombinasi kontol perkasa dan jemari yang cepat dan tepat mengocok G-Spotku membuatku menggila. Cairan orgasmeku pun muncrat tak terkontrol bak semburan air hydrant. Aku pun tak peduli lagi dengan apa yang terjadi, bahkan gamis yang bu Retno pakai pun ikut basah oleh cairan orgasmeku. Mataku nanar dengan mulutku menganga sementara tubuhku melengkung dan kedua tanganku meremas kuat ranjang saat menikmati orgasme terhebat pertamaku. Lebih dari 10 detik tubuhku mengejang karena ‘skill’ Abah Mahmud di ranjang yang begitu extra-ordinary sebelum kemudian aku menggelepar dengan seluruh tubuhku bergetar merasakan sisa-sisa orgasme. Kurasakan seluruh sendiku lemas, selakanganku pun terasa seperti terkuak bersamaan dengan rasa puas yang menjalar.
“Waahh.. Deres juga yah ngecrotnya mba.. enak ya?? Lanjut lagi kann..??”, tanya Abah Mahmud yang terduduk di pinggir ranjang sambil memandangi tubuh mulusku dengan jilbabku yang kusut.
Aku pun hanya bisa terdiam karena jujur saja tubuhku benar-benar lemas. Nafasku ngos-ngosan seperti baru saja lari 1 kilometer. Tampak Abah Mahmud masih menanti jawabanku. Meski lelah, tapi tubuhku tetap bergolak ingin merasakan lebih. Aku pun mengangguk lemah yang kemudian disahut dengan senyuman Abah Mahmud.
“Ta.. Tapihh.. jangan disinihh ya Abahh.. Shhh.. Ngga Nyamann..”, jawabku sambil berusaha mengumpulkan kembali tenagaku.
Abah Mahmud paham dan langsung menggendongku di dadanya. Abah Mahmud dengan santainya berjalan bugil sambil menggendongku yang juga bugil dari pondok menuju rumahnya sekitar jam 23.15an malam. Seketika udara dingin khas pedesaan membuatku menggigil sesaat ketika Abah Mahmud membuka pintu belakang pondok. Suara jangkrik mewarnai sunyinya malam pertama perzinaan kami. Tak butuh waktu lama untuk kami sampai di rumah Abah yang ternyata sudah ditunggu oleh Ummah Hawa di musholla. Terlihat Ummah Hawa tersenyum melihatku dalam dekapan gendongan Abah Mahmud. Ia menyiapkan tempat peraduan kami selanjutnya termasuk kasur besar ber-sprei putih bersih.
“Silakan Abah..”, kata Ummah Hawa yang kemudian minta ijin untuk kembali tidur.
“Nahh.. udah sampai.. kalo disini mba Rida bisa bebas.. mau teriak juga silakan.. ahahah..”, ucap Abah yang kemudian mendudukkanku di atas kasur sementara ia sendiri tetap berdiri.
Aku pun mencoba untuk kembali merapikan jilbab dan cadarku. Sesaat kemudian aku dikejutkan dengan kontol Abah Mahmud yang berukuran 18cm dan diameter 4cm yang sudah mengacung tegak dihiasi urat-urat di sekelilingnya dan aroma khas cairan memek yang pekat. Mataku terbelalak melihat kegagahan kontol Abah Mahmud tepat di hadapanku. Selama ini aku hanya bisa berimajinasi, tapi malam ini aku bisa benar-benar menikmati terong raksasa Abah sepuasku.
Ibarat sapi yang sudah dicolok hidungnya, tubuhku begitu tanggap dengan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Pikiranku sudah dipenuhi dengan nafsu syahwat. Marwahku sebagai seorang istri pendakwah yang seharusnya menjaga kesucian dirinya hanya untuk suami pun sudah kubuang jauh-jauh. Yang ada dalam pikiranku malam itu hanyalah kenikmatan kontol Abah saat mengobok-obok liang peranakanku.
Aku segera berlutut tegak dan kedua tangan putih mulusku segera menggenggam kontol Abah Mahmud yang begitu menggairahkan. Hawa dingin angin malam yang berhembus tak membuat hasratku turun. Setelah beberapa saat mengocok lembut kontol Abah Mahmud, tangan kiriku pun sedikit menyibakkan cadarku dan akupun mulai mendaratkan lidahku menyapu zakar Abah Mahmud.
Haemphh.. mmhhh.. sruupp.. mmhh.. rasa gurih bercampur asin dengan aroma pekat keringat lelaki memanjakan kedua indera perasa dan penciumanku yang sudah dalam mode birahi. Justru hal itu terasa lezat di lidahku dan membuatku semakin beringas melumat setiap bagian zakar Abah yang agak berbulu. Desisan Abah menikmati oral ku mulai terdengar, sesekali kulihat ekspresi wajahnya yang merem melek keenakan. Kini aku mulai beralih menjilati batang berurat Abah Mahmud. Namun cadar yang kupakai sedikit menghalangiku yang membuatku tak terlalu nyaman.
“Susah yahh.. sinihh.. dilepas aja.. Abah pengen liat wajah cantik mbak Farida..”, ucap Abah Mahmud yang kemudian menarik cadarku hingga terlepas.
“Eehhh.. cantik bener mbak Farida nihh.. pinter ngemut pula.. jadi selir Abah gimana??”, tanya Abah Mahmud yang terkesima melihat wajahku yang cukup terawat.
Aku pun tak menjawab pertanyaan Abah Mahmud karena ada yang lebih menarik perhatianku. Kuciumi kepala kontol Abah Mahmud dan sesekali lidahku bermain-main di lubang pipisnya persis seperti yang kulihat saat Ustadzah Khansa melakukan oral pada kontol Abah. Tapi itu tak berlangsung lama, akupun mencoba membuka mulutku selebar mungkin dan..
Haaeemmffhh.. Mffhhh.. Mffhhh.. Mfhhhh.. Srrpp.. Mffhh.. kontol besar itupun masuk menyumpal mulutku. Rasa puas pun kurasakan setelah penantian selama ini dan hanya bisa menonton saja. Aku pun mulai menggerakkan kepalaku maju mundur meski hanya separo kontol Abah saja yang mampu ku lahap. Begitu lezat dan nikmat rasa kontol Abah, bahkan aku langsung ketagihan saat itu pula dengan rasa lezat dari kontol lelaki lain. Tangan kiriku terus meremas-remas zakar Abah sementara tangan kananku menggenggam pangkal batang kontol Abah agar memudahkan aku mengocok kontol Abah di mulutku. Beberapa kali aku tersedak tapi entah kenapa aku justru semakin liar melumat kontol Abah. Air liur menetes deras membasahi sprei kasur. Putingku pun mencuat keras karena syahwat yang memuncak hanya dari oral seks saja.
“Mmffhh.. Mffhh.. Uhukk.. Mcchh.. Srrupp.. Mffhh.. Mffuaahh.. Abahh.. tiduran ajah..”, pintaku yang sudah dalam kendali nafsu seks yang membara.
Abah hanya tersenyum dan segera memenuhi permintaanku. Ia pun merebahkan dirinya dan sesaat setelah Abah rebahan, Aku mengambil posisi doggy di samping kiri Abah. Toket 38c ku menggantung indah dan menjadi hiburan mata Abah. Saat aku hendak melanjutkan mengulum kembali kontol Abah, Abah memintaku untuk doggy di atas tubuhnya. Ia juga ingin mencicipi memekku yang sudah banjir sedari tadi.
“Sini mbak Rida.. Abah juga pengen maem tempik mbak Rida yang lezat itu..”, kata Abah.
Posisi 69 pun menjadi pemandangan awal pergumulan kami di ruang mushola. Lidah Abah begitu liar menjelajahi setiap detil bagian tubuh yang paling kujaga itu. Aku pun tak mau kalah dan segera melahap kembali kontol Abah. Kenikmatan ganda kurasakan berterusan dari mulutku yang dimanjakan dengan kelezatan kontol Abah ditambah dibawah sana lembut dan lihainya lidah Abah melibas habis memekku membuatku terbang dalam langit kenikmatan zina.
“Aeemfhh.. Mffhh.. Mcchh.. Mffhh.. Srrrpp.. Mmfhh.. Ngghhh.. Occkkk.. Uhukk.. Mffhh..”, desahku yang menikmati lezatnya batang kejantanan arab.
Semakin lama otakku semakin terbius oleh nafsu syahwat. Otakku sudah tak bisa berpikir, yang kuinginkan hanyalah mengumbar bebas nafsuku. Aku pun memaksakan diriku untuk menelan seluruh batang kontol 18cm itu. Beberapa kali aku tersedak tapi tetap saja kupaksa masuk perlahan. Dan akhirnya aku berhasil melahap seluruh kontol Abah.
“Aaeemffhhh.. Uhukk.. Mmffhhh.. Ockkk.. Ockkk.. Mffhhh..”, suara decak becek kontol Abah yang menyodok pangkal tenggorokanku.
Awalnya aku susah bernafas dan terasa ingin muntah saat kontol Abah tak sengaja menyentuh langit-langit tenggorokanku. Tapi lama kelamaan aku mulai terbiasa dan malah semakin ketagihan. Bahkan kedua tanganku mencengkram bokong Abah dan menariknya ke arah wajahku seakan ingin seluruh kontol Abah dan zakarnya masuk seluruhnya ke mulutku. Entah apa yang merasukiku malam itu. Abah pun makin beringas dibawah sana. Bahkan jemarinya ada yang nekat masuk melesak ke anusku.
“Ahhh.. Nikmatnyahh.. jadi inih yang Ummah Hawa sama Ustadzah Khansa rasain tiap kali di sodok mulutnyahh.. pantes ajah..”, gumamku yang sudah tak ada bedanya dengan pelacur.
Kurang lebih sekitar 7 menit kami saling menikmati selakangan. Bukannya berkurang justru nafsuku semakin meledak. Aku pun tanpa basa-basi segera berganti posisi WOT menghadap Abah. Posisiku berjongkok di atas pinggul Abah. Dengan tangan kananku, ku arahkan kontol Abah dan Blesshh..
“AUNNGGHHHH.. SSHHH.. AHH.. AHH.. AHH.. YESHH.. AHH.. MMHH.. GEDEHH ABAHH.. OHHH.. ENAKNYAHHH.. AAHH.. SHHH.. OHHH.. MMHH..”, desahku lepas dan keras melepas seluruh nafsuku.
Sensasi nikmat saat kontol Abah menyodok kuat pintu rahimku menyengat kuat seluruh tubuhku hingga ke ubun-ubun. Aku pun mendesah, merintih, melenguh, meracau semauku tanpa ada batasan. Layaknya orang naik kuda, gerakan pinggulku begitu cepat maju mundur. Abah Mahmud pun kusuguhi keindahan tubuh putih mulusku ditambah tarian sensual kedua toketku yang bergoncang hebat karena cepat nya gerakanku. Kedua tanganku bertumpu pada dada bidang Abah Mahmud sementara kepalaku menengadah dengan mata terpejam karena kenikmatan yang luar biasa dan bertubi-tubi. Aku pun tak mampu menahan gejolak orgasme saat tiba-tiba kedua tangan Abah meremas toketku dan memilin putingku.
“AHHH.. OHH.. ENAAKK ABAHH.. AAHH.. KONTOL ABAHH.. NGGHH.. AHH.. SSHH.. OHHH.. OUUNNNGHHHH...!!!”, lenguhku panjang melepas orgasme pertamaku di musholla.
PLOP.. SUUURRR.. SSSUUURRRR..
Kuangkat pinggulku hingga kontol Abah terlepas dan langsung saja memekku memuntahkan deras cairan orgasme yang jauh lebih deras daripada saat aku klimaks dari genjotan mas Fahmi. Perut Abah pun basah kuyup dan mengalir membasahi sprei. Sekitar 5 detik lamanya tubuhku mengejang kuat merasakan nikmatnya klimaks sebelum aku kembali melesakkan kontol Abah dan ku goyang lagi dengan liar. Sekitar 4x aku orgasme di posisi itu dan entah sudah berapa liter cairan orgasme ku semburkan. Sprei pun terasa becek sekali tapi berbeda dengan tadi, kali ini aku tak merasa capek sama sekali.
Bleshhh.. kembali kontol Abah kulesakkan memekarkan liang peranakanku. Jilbabku berkali-kali turun sehingga mengganggu ku. Aku pun melepas jilbabku dan melemparnya. Rambut hitamku pun tergerai bebas dan berkibar mengikuti gerakan tubuhku. Abah pun terkesima dengan penampilanku yang begitu lepas dan liar.
“Wuahh.. ini baru manteb.. mba Farida cantik banget kalo rambutnya kayak gini..”, ucap Abah yang kini aktif memilin-milin putingku.
Tubuhku bergerak maju mundur cepat dengan sendirinya. Badanku agak condong ke belakang dan disangga oleh kedua tanganku sehingga dengan posisi ini membuat toketku membusung indah. Terasa penuh sesak sekaligus nikmat karena gesekan yang sempurna antara dinding liang memekku dengan batang berurat Abah Mahmud.
“AAHH.. OHHH.. SSHH.. AHHH.. NGHHHH.. NGHH.. AHHH.. OUUNNNGHHHH..!!!”
PLOP.. SUUURRR.. SSSUUURRRR...
Kuangkat pinggulku dan dibarengi dengan semburan kuat cairan orgasmeku sesaat setelah kontol Abah terlepas. Abah pun terlihat puas melihat seluruh musholanya diberkahi dengan semburan cairan birahi akhwat. Tubuhku menggelepar lemas setelah sekitar 15 menit dan 7x orgasme dengan posisi WOT.
Tapi malam itu tak berakhir disitu dan itu juga yang kuharapkan. Kali ini berganti Abah yang beraksi. Aku diposisikan layaknya orang sujud dengan bokongku nungging. Posisi Rear-Admiral pun mulai Abah terapkan. Bleshh.. kontol Abah menjelajah jauh dan cepat menggempur rahimku. PLOKK.. PLOKK.. PLOKK.. Abah begitu buas dan bersemangat menggenjot bokongku yang mulai berubah kemerahan. Memekku pun mulai terlihat tembem setelah menghadapi kontol Abah terus menerus.
“AHHH.. AHHH.. ABAHHH.. MMHH.. OHHH.. OHHH.. AMPUN BAHH.. ENAKNYAHHH.. AAWWHH.. OHHH.. NNGGHHH..”
SUUURRR.. SUURRR.. PLOKK.. PLOKK.. PLOKK..
Tubuhku kembali mengejang hebat menyemburkan cairan orgasme ku. Meski begitu Abah tetap menggenjot ku tanpa ampun. Kalau boleh dibilang seperti deraan siksa kenikmatan. Disisi lain aku sudah kelelahan tapi tubuhku tak ingin ini kunjung usai, disisi lain kontol Abah yang terus menerus menggenjot kuat selakanganku membuatku hanya bisa megap-megap layaknya ikan karena ledakan kenikmatan tanpa ujung.
15an menit lamanya aku bertahan di gempur Abah dengan posisi Rear-Admiral. Entah berapa kali aku orgasme selama posisi itu. Rambutku pun awut-awutan tak beraturan. Keringat membasahi seluruh tubuhku dan membuatnya terlihat mengkilap. Kini aku tengah digarap Abah sementara aku hanya bisa mendesah lemas pasrah karena terlalu lelah. Tubuhku terlentang di kasur sementara kakiku di angkat dan dibuka lebar sementara pinggulku ditekan hingga menyentuh perutku. Kedua lengan abah Mahmud menahan kakiku sementara di bawah sana Abah Mahmud menghantamkan pinggulnya begitu kuat dan mantab.
SPLOK!! SPLOKK!! SPLOKK!!
Kurasakan seluruh bagian dalam perut bawahku seperti tertarik mengikuti kontol Abah yang begitu jauh menekan rahimku. Awalnya terasa nyeri tapi kemudian beralih menjadi kenikmatan yang membuatku ketagihan. Kedua tanganku lemas bahkan tak kuasa untuk menggenggam sprei. Aku hanya bisa pasrah tubuhku yang selalu kututup dari lelaki lain kini tengah dinikmati sepuasnya oleh pak Kyai. 8 menit lamanya aku bertahan. Kasur kami pun layaknya kanebo yang terlalu banyak menyerap air, begitu becek. Abah pun sepertinya sudah hampir mencapai klimaks karena semakin cepat dan kuat gerakannya.
“ARGH.. ARGHH.. KELUAR NIH MBAK RIDA..!!”, kata Abah yang kemudian langsung mencabut kontolnya dan segera mengangkangi wajahku.
Dengan kasar dan kuat, Abah Hamdan menjambak rambutku yang membuatku sedikit terbangun dan kusangga tubuhku dengan kedua siku. Mataku terbelalak saat Abah menyumpalkan paksa kontolnya dan bahkan ia langsung menggenjot cepat kontolnya dimulutku dengan kedua tangannya yang besar dan kekar mencengkram kuat kepala dan rambutku.
AAARGHHHHHHH..!!! CROOT... CROOOT.. CRROOOTTT..
Kental, panas, aroma yang khas dan pekat. Akupun beberapa kali tersedak karena terkejut dengan banyaknya sperma Abah Mahmud yang ia semburkan. Pertama kalinya aku dipaksa meminum sperma lelaki. Rasa mual pun tak terbendung setelah beberapa tegukan sperma melewati kerongkonganku. Aku pun berupaya menarik kepalaku dan memuntahkan sperma yang memenuhi seluruh rongga mulutku. Tapi mulutku di dekap Abah dengan kuat layaknya orang yang tengah disandera.
“Eeeitss.. gak boleh dimuntahin Mbakk.. mubadzir..”, kata Abah.
Meski aku tak mau menelannya tapi aku tak punya kekuatan untuk mengelak. Akhirnya ku telan habis seluruh sperma Abah. Setelah itu aku pun tak ingat apa yang terjadi pada diriku karena terlalu lelah. Yang ku tau keesokan paginya aku sudah berada di kamar Ummah Hawa dengan daster merah marun milik Ummah Hawa.
“Assalamu’alaykum.. Udah bangun mba Rida??”, tanya Ummah Hawa yang tampil elegan pagi itu dan sedang mengenakan eyeliner.
“Wa’alaykumsalam Ummah.. Mmhh.. kok Rida bisa sampe sini yah Ummah??”, tanyaku yang sedikit linglung dan seluruh tubuhku terasa lelah sekali.
“Ehh.. lupa ya? Kan semalem mba Rida abis ‘goyang nikmat’ sama Abah kaann..?? hihihih.. gimana mba Rida? Puas banget ya..??”, tanya Ummah dengan nada menggoda.
“Ahh.. Aaahhh.. Duhh.. Maluu.. Ummahh..”, jawabku yang baru teringat tentang kejadian semalam.
“Kenapa malu mba?? Yang penting enak kaan?? Seenak apa sih terong Abah menurut mbak Rida?? Hihihih.. Santai aja kalo sama saya mah mbaa..”, goda Ummah Hawa yang masih sibuk dengan eyelinernya.
“Ahh.. Ngga Ah Ummah.. maluu..”, jawabku.
“Halahh.. ntar malah ngga Ummah kasih lagi lhoo jatah dari Abaahh..”, jawab Ummah.
“Ehh.. Ummah apaan sihh.. jangan gitu donng.. kan Rida juga malu Ummahh.. Emm.. gimana yaah..?? Gedeh Umm..”, jawabku malu-malu sambil menutupi wajahku.
“Gede? Gitu aja?? Ga ada yang lain kahh..?? Cerita doong.. hihihih..”, goda Ummah lagi.
“Aahh.. Ummah nihh.. Enak Ummah.. gede gituh.. berasa penuh perut Rida.. Ahh.. nikmat banget dehh pokoknya..”, jawabku yang masih malu-malu saat mengingat semalam.
“Ahahah.. trus nagih nggak nih? Sempet icip sperma juga ya..??”, tanya Ummah Hawa.
“Uwhh.. E’emh.. Iya Ummah.. ga Cuma icip sih.. suruh nelen semua sama Abah.. btw Ummah, semalem kok Rida rasanya terangsang banget ya..?? Kayak ga bisa ngontrol diri sendiri gitu.. pengennya ngentot mulu gitu.. kenapa yaa??”, tanyaku kebingungan.
“Oohh.. Ahahaha.. btw kapsul yang saya kasih ke mba Rida itu diminum ya?? Semuanya atau satu aja??”, tanya Ummah sambil tertawa kecil.
“He’emh.. Rida minum semua.. kan kata Ummah biar Abah makin nafsu gitu ngentotnya..”, jawabku polos.
“Ahahaha.. jadi mba Rida beneran gatau? Itu sebenarnya obat perangsang khusus wanita.. harusnya 1 aja udah cukup buat bertahan 3 jam.. lha ini diminum semuanyaa.. ahahah..”, jawab Ummah Hawa yang tertawa puas karena berhasil mengerjaiku.
“Eeehhh.. iiishhh.. Ummaaahhh.. jahatt aaahhh.. gitu banget lhoooo..”, jawabku yang agak kesal dengan Ummah Hawa.
Hari-hari ku di pondok kini mulai berubah. Rutinitas malam ku juga mulai bertambah. Yang tadinya aku hanya menjadi penonton kegiatan ‘bercocok tanam’ Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa, kini Abah hampir setiap malam menggilir kami bertiga. Kalu Senin jadwal Ummah Hawa, Selasa Ustadzah Khansa, maka Rabu menjadi malam dimana aku mempersembahkan selakanganku untuk dinikmati sang Kyai. Begitu seterusnya, Cuma untuk Sabtu malam memang khusus acara threesome yang kini berganti foursome. Tak bisa ku pungkiri kalau aku sudah mulai ketagihan dengan perkasanya kontol raksasa Abah Mahmud. Bahkan kalau sedang ikut program pondok pun sesekali aku berimajinasi liar tentang Abah yang menyodokku di semua tempat di sekitaran pondok. Baik di kamar, di toilet, di mushola, sempat juga kuberpikir di gubug di tengah kebun pondok, bahkan yang paling parah saat Abah menyampaikan materi sambil aku di entotnya.
Dan memang benar kata mas Fahmi kalau Allah itu sesuai persangkaan hambanya. Kalau tidak salah saat itu hari Selasa siang sekitar jam 13.30 aku mendapat pesan WA dari Ummah Hawa untuk datang ke tempat Abah mengajar dan Ummah juga bilang kalau aku harus datang dengan style ‘khodim’.
“Hah? Seriusan Ummah?? Kan Abah lagi ngajar santriwati.. Rida harus kesana sekarang? Pake style Khodim??”, tanyaku memastikan.
“iya mba Farida.. tau sendiri kan kalo Abah udah minta tuh pengennya gimana..?? Hihihi.. enjoy ya mba Ridaa..”, kata Ummah Hawa membalas chatku.
Aku pun tak habis pikir kalo ternyata imajinasiku menjadi kenyataan. Tapi disisi lain selalu saja terbesit kekhawatiran kalau aibku nantinya akan diketahui banyak orang. Tapi hanya sekilas saja, sebelum kemudian aku segera menuju pondok utama putri. Siang itu aku mengenakan setelan abaya, french khimar, handsock, dan kaos kaki warna hitam tanpa dalaman apapun. Hanya membayangkan apa yang akan terjadi saja sudah membuatku terangsang. Ditambah putingku yang langsung bersentuhan dengan kain abaya memberikan sensasi geli-geli enak.
Sesampainya di pondok, aku langsung menuju ruang kelas tempat Abah mengajar. Rasa malu ku untuk berjumpa dengan Abah sudah sedikit berkurang. Meski begitu tetap saja aku menghormatinya sebagai seorang yang Alim dan juga Hafidz. Hanya sekitar 3 menit berjalan kaki saja hingga aku sampai di kelas Abah. Ruangan kelas berukuran cukup luas yang bisa menampung hingga 30an santriwati. Semua santriwati belajar dengan sebuah bangku dan duduk lesehan beralaskan karpet sementara antara Abah dan santriwati dibatasi sebuah kain hijab besar berukuran sama dengan lebar dan tinggi ruangan. Kain yang digunakan pun berwarna gelap. Setelah kutanyakan pada Ustadzah Khansa itu bertujuan untuk mengurangi interaksi tatapan antara pengajar dengan santriwati karena bisa menjadi jalan-jalan setan untuk masuk dan menghasut syahwat dalam diri pengajar ataupun santriwati. Selain itu agar santriwati bisa leluasa belajar tanpa mengenakan cadar. Suhu ruangan kelas dijaga tetap dingin oleh 2 buah AC berukuran besar sehingga santriwati bisa belajar dengan tawajuh.
“Assalamu’alaykum Abah..”, salamku dengan suara lirih supaya tidak ketahuan oleh para santriwati sesaat setelah kubuka pintu kelas.
Abah pun hanya memberikan isyarat tangannya layaknya memanggil orang padaku. Tak lupa ia memerintahkan untuk mengunci pintu sambil Abah tetap terus membaca kitab tafsir Jalalain dengan suara lantang. Aku pun mendekati Abah dengan merangkak layaknya anjing. Ini kulakukan seperti apa yang dipesankan Ummah Hawa.
“Nanti kalau pas Abah lagi ada acara trus mba Rida diminta ‘datang’, deketin Abah jangan jalan berdiri, tapi merangkak gitu mba..”, kata Ummah Hawa beberapa waktu yang lalu.
Seperti biasa Abah mengenakan jubah putih dan sarung hitam. Kepalanya dihias dengan kopyah putih dan surban layaknya walisongo. Setelah aku cukup dekat dengannya, Abah kemudian mengambil posisi menjauh dari meja dan duduk lesehan dan bersandar di tembok. Ia memandangku sesaat sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumannya dan tanpa dikomando tubuhku pun bergerak dengan sendirinya untuk menyingkap sarung Abah. Dan persis seperti dugaanku, Abah tak mengenakan CD sehingga kontol perkasanya yang masih lemah lunglai itupun terlihat imut. Aku pun berpindah posisi dan mengambil posisi nungging di selakangan Abah yang duduk lesehan dengan kakinya terbuka lebar.
Haemfhh.. Mffhh.. Mfhhh.. Mmchh.. Elelelempthh.. Mmfhh.. Sruupp.. Ahh.. aku sangat ketagihan dengan rasa gurih dan lezat kontol Abah ditambah aroma khas selakangan lelaki semakin membius otakku yang sudah dipenuhi dengan nafsu syahwat. Cadarku pun mulai basah oleh liurku. Kepalaku semakin intens maju mundur melahap seluruh batang kejantanan Abah. Semakin lama semakin kurasakan kontol Abah membesar hingga ke bentuk aslinya. Selama beberapa saat kubiarkan seluruh mulut dan kerongkonganku dijejal kontol Abah yang jumbo. Lidahku bergerak perlahan membelai lembut batang berurat Abah yang membuatnya merem melek.
Mmffhh.. Mffhh.. Ockk.. Ockk.. Mffhh.. Ockk.. Ockk.. Ockkk.. Sruupp.. Mffh.. Benar-benar kelezatan yang tak bisa kulupakan. Bahkan sampai saat ini ketika aku menulis cerita ini, aku masih terbayang-bayang jelas kelezatan kontol Abah. Hampir 10 menitan aku mengocok kontol Abah dengan mulutku. Memekku pun sudah banjir bandang hanya dari oral seks yang kulakukan. Tangan Abah pun sesekali meremasi kepalaku, terkadang meremas toketku yang menggantung yang masih tertutup khimar dan abaya.
Abah kemudian memberikan isyarat untuk aku berganti posisi. Aku paham betul maksudnya dan itu juga yang sudah kunanti sejak tadi. Kuambil posisi jongkok dengan punggungku menghadap Abah Mahmud. Reverse Cow-Girl memang posisi paling pas bagiku siang itu supaya tidak menganggu Abah dalam menyampaikan pelajaran. Kusibakkan abayaku, dan dengan bantuan tangan kananku mengarahkan kontol Abah ke liang senggamaku, Bleshhh..
“Ouunnghhh.. Mmmhhh.. Ssshhh.. Aahh.. Mhh.. Ahhh.. Ohh.. Mhhh.. Ahhh.. Ahhhh..”, desahku tertahan supaya tak terdengar santriwati di sebelah tirai.
Rasa nikmat tak terbayangkan menjalar keseluruh tubuhku sesaat setelah kontol Abah jauh menembus liang kenikmatanku dan menghantam kuat pintu rahimku. Sensasi penuh sesak disesaki batang kejantanan pria seperti inilah yang kudambakan. Tubuhku agak condong ke depan dan pinggulku segera bergoyang cepat maju mundur memacu syahwat yang mulai menguasai akalku. Beberapa kali aku mengalami orgasme di posisi itu sampai akhirnya aku kelelahan setelah sekitar 15menit terus menggenjot Abah tanpa ada tanda-tanda Abah akan klimaks.
“Hem..?? Udah capek mba Rida?? Kok cepet?”, tanya Abah disela-sela membacakan tafsir kitab Jalalain.
“Hhh.. Hhh.. Mmhh.. Afwan Abah.. iyahh udah capek banget.. udah 7x Rida keluar Bahh..”, jawabku sambil merasakan nikmat orgasme dengan tubuhku yang masih mengejang.
“Trus gimana nih?? Kan Abah belum puas..”, kata Abah dengan nada agak kecewa.
“Ahh.. Mhhh.. Afwan Abah kalau Rida ga bisa buat Abah puas.. Mhh.. silakan pakai Rida sepuasnya Abah..”, jawabku dengan nada tersengal-sengal.
“Nahh pinterr.. Baik, Sekarang silakan kerjakan imtihan halaman 45-48.. sekalian dengar penjelasan dari ulama-ulama muta’akhirin tentang tafsir beberapa ayat beriktnya..”, kata Abah dengan lantang seraya menyalakan Mp3 yang berisi kajian tafsir.
Ruangan pun dipenuhi suara dari MP3 yang Abah nyalakan sehingga kini Abah bisa sepuasnya menghajarku. Dan benar saja, tubuhku kemudian Abah tarik ke belakang dan kugunakan tanganku untuk bertumpu di karpet di antara ketiak Abah. Abah sendiri terlentang di karpet sehingga kini posisiku menduduki selakangan Abah dengan kontol Abah masih menancap di memekku. Kakiku kutekuk sedikit dan agak kubuka kemudian sedikit ku angkat pinggulku sehingga memudahkan Abah menghantamkan tubuhnya ke atas.
PLKK!! PLKK!! PLKK!!
Abah menggunakan abayaku yang sudah dilepasnya dan ia letakkan di antara bokong dan perut bawahnya yang berfungsi sebagai peredam. Aku sendiri bugil dan hanya menyisakan French khimar dan cadar hitam yang menutupi bagian atas tubuhku. Erangan, desahan, dan lenguhan mengalir lembut dari mulutku. Mataku merem melek merasakan liar dan cepatnya hantaman pinggul Abah di bokongku. Aku lupa saat itu berapa kali aku orgasme. Rasa nikmat bercampur lelah menyelimuti seluruh tubuhku.
“aghh.. aghh.. aghh.. mau keluar mbakk.. kluarin manah??!”, tanya Abah.
“Ahh.. ahhh.. ohh.. serahh.. terserah Abahh sayanghh.. ahhh.. shhh.. oohhh..”, jawabku yang sudah tak bisa berpikir jernih karena deraan kenikmatan.
AARGHHH..!! CROTT!! CROOTT!!
Semburan sperma panas Abah memenuhi rahimku. Begitu nikmatnya rasa ini, sudah lama sekali kurasakan kehangatan benih lelaki di perutku. Aku pun terkulai lemas di samping Abah yang juga terdengar ngos-ngosan setelah secara kontinyu menggenjotku selama sekitar 15an menit. Sementara aku sendiri sudah tak terhitung berapa kali mengejang karena klimaks. Sperma Abah yang begitu banyak meluber keluar dari sela-sela memekku yang masih menganga setelah melayani kebrutalan genjotan pria Arab.
“iyaa.. kemana aja sih?? Dicariin dari tadi lhoo..”, ucap bu Retno yang masih sibuk menyiapkan menu snack sore.
“afwan bu.. tadi dipanggil Abah untuk urusan santri sebentar..”, jawabku yang sudah kembali lagi ke pondok penginapan santriwati dengan masih mengenakan abaya yang basah kuyup oleh cairan orgasmeku.
“Ohh.. yaudah.. sini bantu-bantu persiapan kajian sore..”, ajak bu Retno.
“Ahh iya.. Rida mandi sebentar bu..”, jawabku yang segera bergegas mandi setelah puas menjadi pemuas hasrat seks Abah Mahmud.
Setelah sekitar 2 bulan lamanya kami tinggal di pondok, kemudian secara mendadak Ummah Hawa memberitahu kalau pondok akan ditutup paksa. Ia tak memberikan penjelasan detil kenapa Pondok ditutup, tapi menurut berita yang beredar terjadi ketidak-cocokan antara Abah Mahmud dan Yayasan Pondok. Kami pun terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Aku pun kembali ke rumah selang sehari setelah pengumuman itu. Karena dirumah sepi, aku pun meminta ijin mas Fahmi untuk pulang ke rumah orangtua.
Begitu banyak hal terjadi selama 2 bulan dipondok, dan pengalaman seksku dengan Abah merupakan pengalaman terindah yang pernah kurasakan. Kini kehidupan ranjangku dengan mas Fahmi semakin berwarna. Bahkan kami mulai berfantasi seliar mungkin hingga pernah mencoba aku dientot saat aku tengah membaca Qur’an dengan hanya mengenakan jilbab dan cadar. Pernah juga aku mencoba sholat sementara mas Fahmi menggenjotku dengan buas. Anal sekspun sudah menjadi opsi pasti kalau aku sedang haid. Ini tak lepas dari pengalamanku saat mendapati Sabtu Anal ketika masih di pondok.
Malam itu tepat malam Ahad. Sudah jadi kebiasaan Abah untuk threesome dengan tema, dan kali ini tepat tema Anal. Aku pun sudah dilatih oleh Ummah Hawa untuk selalu mengenakan anal-plug selama aktifitasku sehari-hari. Sekitar 3 hari lamanya aku mempersiapkan anusku dengan berbagai ukuran anal-plug hanya untuk malam itu.
“Udah siapkan mba Rida..??”, tanya Ustadzah Khansa yang kini tengah berglendotan di sisi kananku sambil tangan kanannya meremas-remas toket kananku.
“Rileks aja mbak Rida.. enak kok entar..”, timpal Ummah Hawa yang berada di sisi kiriku dan asik mengulum puting kiriku sementara tangan kirinya terus mengocok itilku.
Ini adalah malam khusus Anal, dan Abah baru saja selesai menggilir anus Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa. Kini giliranku yang akan merasakan anusku diperawani Abah Mahmud. Aku terlentang di ranjang kamar Abah dan hanya mengenakan jilbab instan pet antem dongker sementara di kanan-kiriku ada Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa yang juga hanya mengenakan jilbab instan. Keindahan tubuh kami yang mulus tanpa cela sudah wajib menjadi santapan mata dan tangan kasar Abah Mahmud.
Tangan kanan Ustadzah Khansa menahan kaki kiriku agar tetap mengangkang sementara tangan kanan Abah menahan kaki kiriku. Rasa khawatir menyelimuti diriku saat kurasakan kepala kontol Abah mulai menggesek anusku. Ummah Hawa pun berkali-kali meludahi jemarinya dan melesakkam ke anusku secara bergantian supaya cukup pelumas. Bahkan mulut Ummah Hawa begitu terampil mengulum dan membersihkan kontol Abah yang belepotan lendir anus.
“Siap yaah mbaa.. tahan bentar.. entar juga enak kok.. Hawa sama Khansa aja ketagihan”, ujar Abah Mahmud.
Aku pun hanya bisa mengangguk sambil menggigit bibir bawahku. Tubuhku terangsang hebat oleh permainan mulut dan jemari kedua Hafidzah cantik di puting dan memekku. Prrrttt.. Sssrrtt..
“AAARRGHHH.. MMMHHHH.. SSAKKIITT ABAAHH.. NNGHHHHHH.. AAUWWHHH..”, erangku menahan pedih.
Rasanya persis seperti saat memekku pertama kali ditembus oleh kontol mas Fahmi. Tapi yang ini lebih perih lagi karena hampir tak ada pelumas. Tapi rasa sakitnya sedikit teralihkan oleh rangsangan yang terus menerus dilancarkan Ustadzah Khansa dan Ummah Hawa. Aku pun menghela nafas saat seluruh kontol Abah Mahmud akhirnya tenggelam sepenuhnya di anusku. Perih, panas, dan sesak sempit, itulah kesan pertamaku akan anal. Selama beberapa saat Abah hanya mendiamkan kontolnya di dalam sana, ia kemudian menarik keluar kembali kontolnya dan langsung disambut sepongan penuh nafsu Ustadzah Khansa. Ustadzah Khansa kini yang berganti meludahi liang anusku dan kembali Abah melesakkan kontolnya.
“Aaaarghhh.. Ssshhh.. Aabbaahh.. Ngghh.. Sshhhh.. Ahhhh..”, rintihku menahan sakit karena anusku dipaksa melar maksimal seperti akan robek.
Kali ini Abah mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur. Aku pun hanya bisa meringis merintih menahan perih. Ustadzah Khansa dan Ummah Hawa terus menerus merangsang kedua putingku. Jemari lentik Ustadzah Khansa yang kini bertugas mengocok memekku. Rasa nikmat pun berangsur-angsur mulai mendekapku. Apalagi saat jemari Ustadzah Khansa mengocok cepat G-spotku.
“AHH.. AHHH.. AWHH.. MMHHH.. AHH.. OHHH.. SHHH.. KONTOLHH.. AHHH.. OHH..”, desahku lepas karena mulai merasa keenakan.
Aku pun semakin menikmati anal seks malam itu. Melihatku yang sudah mulai menikmati, Abah Mahmud pun meningkatkan tempo genjotannya. Pantes aja Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa mau di anal setiap hari, ternyata enak juga. Bahkan tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku mengejang kuat menyemburkan cairan anal-orgasm ku.
“AHH.. AHHH.. ENAK ABAHH.. MMHH.. AHHH.. SODOK YANG KENCENG ABAHH.. AHH.. NGHHHH!!”, racauku menikmati cepatnya Abah menggenjot bokongku.
SSUUURRR... SUUUURRRR..
Malam itu berlangsung begitu liar. Kami secara bergantian digilir dan menggilir Abah Mahmud. Gilanya lagi kami hanya menggunakan anus kami untuk memuaskan Abah. Abah pun terlihat puas disuguhi tiga bokong bulat putih yang ia bebas sodok semaunya. Pesta anal kami diakhiri dengan Abah yang melenguh kuat menyemburkan sperma kentalnya membanjiri liang bo’olku yang kemudian bokongku menjadi santapan Ummah Hawa dan Ustadzah Khansa yang sudah haus akan lezatnya sperma.
Setelah pondok ditutup beberapa kali aku mendapat info kalau Abah Mahmud akan berkunjung ke Jogja. Hingga suatu hari aku dan mas Fahmi datang ke kajian yang diadakan oleh pondok yang juga pernah diasuh oleh Abah Mahmud. Dan seperti yang kalian tebak, saat istirahat berlangsung, Ummah Hawa mengajakku untuk foursome dalam waktu yang cukup singkat hanya 30menit saja dan sudah tentu aku tak bisa menolak ajakan untuk kembali menikmati kontol perkasa Abah Mahmud. Karena lokasi duduk jamaah ikhwan dan akhwat dipisah, aku pun tak perlu khawatir mas Fahmi akan mencurigaiku.
Sesampainya di kamar VIP, aku pun mengetuk pintu dan dibukakan oleh Ustadzah Khansa yang hanya mengenakan jilbab dan cadar saja sementara Ummah Hawa tengah doggy dan mengulum kontol Abah yang terlentang di ranjang sambil sibuk main HP. Tak perlu diperintah, aku pun segera melepas abaya dan dalamanku hingga hanya bersisa handsock dan kaos kaki saja. Kembali pesta seks pun kami nikmati sepuasnya. Semua gaya dan mode seks kami lakukan dalam waktu yang singkat itu. Betapa nikmatnya.
201925Please respect copyright.PENANAnWM6nO0Hcr