Entah harus senang atau bagaimana, sebenarnya ini adalah aib ku, hanya saja setelah kemarin Allah pertemukan aku dengan ukhti Rinda, salah satu penulis cerita ‘panas’ favoritku, dan beberapa teman-teman yang baru yang ternyata memiliki masa lalu yang sama denganku, aku jadi tertarik untuk sedikit berbagi kisahku dulu. Dan apabila banyak kekurangan dalam penulisan, tolong dimaafkan.
Namaku Lisa (bukan nama sebenarnya) dan kejadian ini terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih berumur 19 tahun. Masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku semua yang terjadi saat itu yang membuat diriku seperti ini sekarang. Jujur saja, aku berasal dari keluarga yang mengenal agama. Orangtuaku, terlebih ayah ku, sering sekali diundang untuk menjadi pembicara dalam kajian-kajian di daerahku di Ciamis. Ibu ku pun hari-hari selalu menutup rapat auratnya tiap kali keluar rumah dan juga cadar selalu menutupi wajah putih cantiknya yang saat itu masih berumur 35 tahun, sementara ayahku sendiri lebih tua 8 tahun.
Aku adalah anak semata wayang. Hidupku sehari-hari biasa saja seperti anak-anak lainnya. Namun semua itu mulai berubah ketika virus itu datang. Ya, virus pink, virus yang pasti menghinggapi setiap anak muda. Saat itu aku berumur 15 tahun dan duduk di bangku kelas 9 MTS. Awalnya aku tak terlalu peduli dengan keadaan sekitarku. Layaknya anak perempuan seumuran itu pastilah pergaulannya dengan teman-teman sesama perempuan. Tapi ada seorang siswa laki-laki yang entah kenapa selalu mencoba mencuri perhatianku. Padahal fisikku biasa saja tak ada bedanya dengan rata-rata fisik perempuan jawa barat. Kulit putih, tinggi standar anak SMP akhir, cantik juga standar saja menurutku. Terlebih lagi aku termasuk cuek dengan para siswa laki-laki di kelas maupun sekolahku. Ayahku sering berpesan padaku agar selalu menjaga diri dari lelaki, termasuk membatasi komunikasi. Kemudian jika sudah waktu pulang sekolah, aku tidak boleh kemana-mana dan hanya boleh menunggu di sekolah. Pernah kejadian aku harus menunggu selama lebih dari 1 jam karena motor ayahku bocor dalam perjalanan.
“Ehh.. Sa.. Lisa.. pinjem tipe-X mu dong.. ehh mintak.. ahaha..”, celetuk seorang siswa lelaki dari meja sebelah.
“Ngapain pinjem? Tuh kamu punya sendiri..”, jawabku singkat sambil sibuk menyalin tulisan di papan tulis.
“Yaaahh.. punyaku habis nih Sa.. tuhh liatt..”, jawab siswa lelaki tadi sambil menunjukkan tipe-x nya yang memang habis.
“Halah Sann.. Sann.. nih..”, jawabku ketus sambil melemparkan tipe-x ke Ahsan.
Ya dia adalah Ahsan. Seorang siswa lelaki di kelasku. Tak ada yang spesial dari fisiknya atau kemampuan akdemisnya. Bahkan kalau bisa kubilang aku dan Ahsan ini mirip banget kayak zebra-cross. Aku yang putih, dia yang hitam. Tapi entah kenapa hatiku berkata lain setelah beberapa bulan setelahnya. Ada saja cara dia untuk menarik perhatianku padahal aku selalu cuek. Bahkan pernah ia dengan sengaja menaruh bunga beberapa tangkai di atas tasku saat aku tengah keluar untuk buang air. Sontak saja seluruh kelas menjadi riuh ramai saat aku kembali. Tak hanya karena tingkah Ahsan yang meletakkan bunga, tapi juga yang tiba-tiba dia menembakku untuk jadi pacarnya.
Seluruh mukaku merah karena malu. Semua teman-teman sekelas bersorak dan memaksaku untuk menerimanya. Yaah karena sudah terlanjur malu, aku pun tak bisa berkutik dan berakhir dengan mengangguk kecil. Bukannya reda, malah seluruh kelas semakin heboh lagi bersorak-sorai hingga menyebabkan beberapa guru yang ada datang.
“Aaahh.. Bahagia banget loh aku say..”, kata Ahsan sambil merapikan buku-buku pelajarannya.
“Hah? Kenapa?? Kok bisa..?? Lagian ngapain panggil say gitu!?”, tanyaku ketus karena masih kesal dengan apa yang ia lakukan tadi.
“Yaah kan kita udah resmi pacaran.. jadinya wajar dong kalo aku panggil sayang gitu..??”, balas Ahsan.
Kata-kata Ahsan itu ibarat halilintar yang menghujam kuat di hatiku. Aku baru ingat dan tersadar akan apa yang ku lakukan sebelumnya. Kebingungan melanda diriku, apakah aku harus benar-benar menerima kenyataan ini, ataukah aku harus bersandiwara saja. Aku pun memutuskan untuk menerima kenyataan yang terjadi, tapi tetap aku menjaga sifatku yang selalu cuek pada lelaki.
Meski status kami dikenal sudah menjadi sepasang kekasih, tapi tetap saja aku selalu mencari alasan untuk menghindari Ahsan. Kadang alasan sibuk lah, ada acara keluarga, udah ditunggu orang tua, ada acara kampung, dll. Apapun yang bisa kujadikan alasan akan kugunakan untuk tetap menjaga jarak dengannya.
“Sa.. kamu tega kayak gitu sama Ahsan?? Dia itu serius lhoo..”, celetuk salah seorang teman perempuanku di kelas.
“Tega dong.. kan dia aja yang ngerasa gitu.. aku sih biasa-biasa aja..”, jawabku santai.
“Ya Allah Lisaa.. kalo emang gak suka.. bilang dong.. jangan maenin perasaan orang gituu..”, timpalnya.
Selama beberapa hari aku memikirkan benar kata-kata temanku itu. Mungkin saja aku terlalu jahat pada Ahsan. Mungkin sebaiknya aku menyudahi hubungan ini meski baru berjalan beberapa minggu saja. Dan hal baru seperti itu yang membuatku hampir tak bisa tidur hari-hari.
“Umi.. nanya dong..”, kataku sambil menikmati makanan.
“Hem?? Gak biasanya nih kamu nannya.. mau nannya apa??”, jawab umiku yang sedang menyiapkan makanan.
“Mmmm.. Cinta tuh apa sih??”, tanyaku polos.
“Ppfftt.. Ahahaha.. anakku udah nanya tentang cinta sekarang.. kenapa? Lagi kasmaran yaaa..??”, jawab umi ku menggodaku.
“Bukan sih mi.. yaa penasaran ajaa.. iihh.. kasih tau laahh..”, jawabku agak kesal ke umi.
“Apaa yaaa.. Bingung juga umi jelasin.. intinya tuh kayak rasaaa.. yaahh.. gak pengen kehilangan aja.. Cuma kalo jelasinnya.. umi aja bingung..”, jawab Umi.
“isshhh.. ngomong aja gamau cerita.. huh..”, jawabku agak kesal.
“Lohh.. Lohh.. kok malah ngambek?? Umi aja cinta sama abi mu gak perlu penjelasan kok.. cukup dirasakan aja dan dibuktikan.. gituuhhh..”, lanjut umi.
“Yaaa.. paling nggak kan umi bisa kasih kisi-kisi dikit gituuu.. kan umi lebih pengalaman..”, jawabku.
“Yaa mau gimana?? Buat umi itu tuh.. ehh bentar.. kok anak Umi jadi pengen tau banget sih?? Biasanya kamu tuh paling males ngobrol ga penting lama-lama gitu..??”, tanya Umi yang mulai penasaran.
“Ahh.. Ngga jadi deh..”, kataku yang kemudian melanjutkan makan sementara umi melihatku dengan keheranan.
Kemudian hari-hari ku berlanjut seperti biasa dengan aku yang terus berusaha menolak setiap ajakan Ahsan. Hingga suatu ketika aku benar-benar lupa untuk bawa uang saku, sehingga aku tak bisa menolak ajakan makan siang dari Ahsan karena sangat lapar.
“Udah sayaang.. santai aja.. nanti aku yang bayar kok..”, ujar Ahsan sambil memesan makanan di kantin sekolah.
“Eehh.. nggakk.. nanti aku ganti yah..”, jawabku yang merasa tak enak dengan Ahsan.
“Apasih..?? Udah makan dulu.. itu pikir nanti aja.. sayang mau makan apa..??”, tanya Ahsan yang terdengar tulus.
“Mmm.. apa aja yang murah..”, kataku sambil menahan malu.
“Ohhh.. yaudah.. Ambuu..!! Pesan ayam bakar dua ya.. sama es teh manis dua..”, ujar Ahsan.
Mendengar apa yang dipesan Ahsan membuatku semakin merasa bersalah, bukan hanya karena harga ayam bakar yang termasuk mahal di kantin, tapi juga sikapku yang selama ini selalu acuh pada Ahsan. Akhirnya kami pun duduk di meja makan sambil berhadapan. Meski tak banyak yang makan dikantin karena kebanyakan siswa sudah pulang, tapi tetap saja ada beberapa siswa yang memang sengaja ‘ngecengin’ aku dan Ahsan disana.
“Ehemm.. Ehemm.. Kayaknya ada yang lagi asik nihh.. mana belom ada pajak jadiaann..”, celetuk salah seorang siswa.
“Ahahah.. sabar lah.. doain aja gampang rejeki.. ntar aku traktir.. “, timpal Ahsan mencoba membalas kata-kata siswa itu.
Yah sudah jadi konsekuensi ketika kita membuat ‘sensasi’ di lingkungan sekolah. Sebenarnya aku sudah memprediksi akan terjadi hal-hal seperti ini, maka dari itu aku bersikap cuek pada Ahsan. Tapi siang itu, rasa lapar membuatku tak punya banyak pilihan. Aku pun terpaksa menahan malu karena terus-menerus menjadi bahan pembicaraan di kantin. Bahkan teman-teman sekelasku yang perempuan pun sama saja.
“Ahahah.. maaf yah sayang.. jadi gini..”, kata Ahsan mencoba mencairkan suasana.
“Iyaaa.. udah.. salahku juga kok..”, jawabku singkat sambil mulai menikmati ayam bakar dihadapanku.
Meski awalnya kesal, namun keteguhan Ahsan untuk terus pendekatan padaku pun berbuah juga. Entah kenapa siang itu aku lebih banyak menjawab setiap pembicaraan yang Ahsan sampaikan meski awalnya aku juga tak peduli.
“Ahh.. ternyata gak buruk juga ngobrol sama ikhwan..”, ucapku dalam hati.
Itulah awal mula hubungan kami semakin dekat. Aku yang tadinya cuek, mulai sedikit demi sedikit membalas perhatian dari Ahsan. Itulah saat di mana benih-benih cinta mulai kurasakan. Teman-teman sekelas yang biasanya ‘ngecengin’ aku pun mulai berkurang karena kini aku dan Ahsan sudah seperti layaknya pasangan kekasih. Mungkin bagi mereka aku sudah tak seperti dulu yang asik untuk dijadikan bahan bercanda.
“Iyah sayang.. makasih yaaa..”, ucapku sebelum kemudian aku berjalan keluar kelas menuju ayahku yang sudah menanti di luar gerbang sekolah.
Setelah berada di motor, aku baru sadar akan apa yang aku ucapkan. Tak pernah kubayangkan kata itu akan mengalir lepas dari mulutku. Aku pun menutupi wajahku dengan kedua tanganku karena malu. Selama perjalanan pulang hatiku terus berdegup kencang, “apakah ini yang namanya cinta?”.
“Haaaahh..?? Mau buat apa hape segala..?? Kamu tuh masih SMP..”, jawab abi sambil menjumput makanan.
“Yaa kan temen-temen udah pada punya HP bi, masa aku sendiri yang ga punya?? Serong loh bi aku di sekolah tuh gatau apa-apa.. yaahh bi yaaa..??”, rengekku.
“Nggaaaak.. belum waktunya.. lebih banyak mudharat kalo abi kasih HP ke kamu sekarang..”, jawab Abi ku yang memang terkenal tegas.
“Kasih aja kenapa sih Bi..?? Lisa tuh udah besar.. lagian kasian juga dia ga bisa komunikasi sama teman-temannya..”, jawab umi yang berupaya membujuk abi ku.
Yaah bukan abi namanya kalau langsung mengabulkan permintaan anaknya. Memang hanya aku sendiri yang tidak punya HP di kelas. Bukan karena orangtua ku tak mampu, tapi lebih karena mereka menganggapku belum cukup dewasa untuk menggunakan HP.
“Assalamu’alaykum..”, ucapku sambil membuka pintu depan rumah.
“Wa’alaykumsalam..”, jawab umi dari dalam rumah.
“Miihh.. Abi mau kemana tuh? Ga biasanya siang-siang gini pergi..??”, tanyaku sambil masuk ke rumah setelah melepas sepatu.
“Ngga tau juga.. tadi katanya mau ada musyawarah sama temen kajian abi.. “, jawab Umi yang lagi santai tiduran di kamar.
“Ohh gitu.. Ehh, ini apa mi..??”, tanyaku yang terkejut dengan kotak hadiah di atas meja.
“Hem..?? Kenapa sih..??”, tanya Umi.
“Iniiihh.. kotak hadiah ini.. punya siapaaa..??”, tanyaku penasaran sambil berlari menuju kamar umi sambil membawa kotak yang terbungkus kertas kado itu.
“Oohh itu.. itu hadiah dari Allah buat putriku tersayang..”, jawab Umi yang sudah dalam posisi duduk di pinggir kasur.
“Aaahh.. buatku!? Aaaaa.. maaaaciihhh uummmiii..”, jawabku yang langsung membongkar cepat kotak hadiah itu.
Mataku terbelalak melihat apa yang ada di dalamnya. Seluruh hatiku ingin berteriak karena rasa senang yang amat sangat. Entah bagaimana caraku mengungkapkan rasa senang yang kurasakan siang itu. Sebuah HP yang selama ini ingin kumiliki, meski bukan termasuk yang tercanggih, tapi sudah cukup bagiku. Tampak sekali raut wajah bahagia di wajah umi yang sudah berumur 35 tahun itu.
“Seneng ya?? Tapi inget pesan umi sama abi.. kontrol pemakaian.. gunakan buat apa saja yang membuat Allah ridho..”, ujar umi.
“Iyaa miii.. inshaaAllah.. yaayy..”, jawabku singkat tanpa pikir panjang karena terlalu hype dengan hadiah itu.
Selanjutnya? Seperti halnya yang dilakukan oleh anak-anak perempuan sebayaku. Sudah pasti sosial media menjadi aplikasi wajib. WhatsApp pun prioritas utama yang harus ku install lebih dulu. Tak butuh waktu lama hingga beberapa teman-temanku akhirnya terhubung denganku via online, tak terlepas Ahsan.
“Ehh.. yang udah punya HP sekarang.. seneng dong sayang..”, kata Ahsan di chat.
“hehe.. yaa gitu sayang..”, jawabku.
Kini hubunganku menjadi lebih sering dengan Ahsan. Hanya gara-gara satu benda saja bisa begitu mengubah jalan hidupku. Yang tadinya aku berupaya untuk menghindari virus cinta, kini malah diriku terjangkit dan tak ingin sembuh darinya. Perlahan kontak fisik kami semakin sering, bahkan Ahsan sudah mulai berani menggenggam tanganku. Awalnya aku marah saat tau ia dengan sengaja menggenggam tanganku.
“Ehh..!! Apaan sih pegang-pegang!??”, tanyaku dengan nada tinggi karena terkejut.
“Hah..?? Ohh.. Ahh.. anu.. gak sengaja kok sayang..”, jawab Ahsan yang berpura-pura tidak sengaja.
Tapi ia tak berhenti disitu, bahkan beberapa kali ia masih sering mengulanginya. Tak hanya menggenggam tanganku, kadang ia merangkul pundakku sesaat. Akhirnya karena terlalu sering, aku pun capek sendiri. Meski berkali-kali ku tegur dia, Ahsan sama sekali tak bergeming. Ingin rasanya aku marah, Cuma rasa cintaku padanya sudah terlalu dalam untuk dikubur.
“Eehh.. gak marah lagi nih dipegang gini..??”, tanya Ahsan sambil memijat-mijat telapak tangan kirilu sementara tangan kananku menggenggam gelas thai tea.
“Hemm..?? Emang kalo aku larang kamu bakal berhenti?? Capek tau ngasih tau kamu tuh..”, jawabku yang masih kesal sekaligus nyaman.
“Ahahah.. yaa gimana?? Masa iya bidadari secantik sayangku ini ngga diperjuangin sungguh-sungguh??”, jawab Ahsan yang membuatku tersipu.
“Ahhh.. apaan sih.. ngegombal mulu..”, jawabku.
“Yaa gpapa kan?? Sama kekasihnya sendiri juga..”, jawab Ahsan yang tiba-tiba membelai lembut pipiku.
Aku hanya terdiam saat kulit jemarinya menyentuh kulit pipiku yang cukup kenyal. Antara rasa bersalah dan juga bahagia bercampur jadi satu. Aku tak tau lagi harus menjawab apa. Selama beberapa detik aku terdiam, namun tak lama kemudian bisikan malaikat yang lebih dulu membangunkan diriku dari lamunan singkatku.
Plak!!
“Udah ya..! Jangan kelewatan!!”, ucapku sambil menepis tangan Ahsan sambil aku langsung berlalu pergi meninggalkan Ahsan di kantin yang sudah mulai sepi.
“Ehh.. sayaaang..??”, ucap Ahsan yang terdengar seperti kebingungan.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamarku dan mengunci pintu. Ku benamkan wajahku ke bantal dan tak terasa air mataku menetes. Aku baru sadar kalau aku sudah terlalu jauh melangkah melewati batas hubungan antara ikhwan dan akhwat. Aku lupa pesan abi dan umi untuk menjaga jarak dengan lelaki yang bukan mahramku. Selama sekitar 15 menit lamanya aku terus menyalahkan diriku hingga akhirnya aku tertidur.
“Kenapa matamu sembab gitu..? Belekan??”, tanya umi yang menyadari perubahan pada wajahku.
“Emm..?? Iyakah?? Gatau mi..”, jawabku lesu sambil menusuk-nusuk nasi di hadapanku dengan garpu.
“Kenapa sih anakku ini?? Cerita dong sama umi kalau ada masalah..”, jawab Umi.
“Heemmhh.. Mi.. Allah tuh maha pengampun kan..??”, tanyaku.
“Iya dong.. kenapa??”, tanya umi.
“Kalau aku buat dosa gitu.. diampuni ngga ya..??”, tanyaku sambil terus menatap lesu nasi di depanku.
“Hemmffhh.. Ahahah.. kenapa baru sadar sekarang..??”, jawab umi sambil menahan tawa.
“Ahhh.. apaan sih umi nih malah ketawa..!! Serius lhoo..”, jawabku yang agak kesal.
“Coba umi nannya.. udah berapa kali Umi suruh sesuatu sama Lisa, tapi Lisa mbangkang? Dosa ngga coba..??”, tanya Umi.
“Mmm.. yaaaa.. gituu..”, jawabku sambil menunduk malu.
“Nahh.. tapi Allah gak langsung marah sama Lisa kan?? Jadi inshaaAllah Allah tetap mengampuni dosa selama bukan dosa syirik..”, lanjut umi.
“Mmm.. gitu yah mi.. jadi gini.. tadi tuh pas di kantin tuh ada temenku yang iseng gitu trus pegang tanganku gitu.. kan dosa yahh..??”, tanyaku.
“Yaa tergantung.. itu Lisa yang pengen atau dianya yang pengen??”, tanya umi.
“Dianya lah mii.. orang Lisa lagi enak-enak makan..”, jawabku berbohong pada umi.
Umi pun menyampaikan kalau dosa itu menjadi tanggungan kita kalau hal itu memang kita sengaja dan kita tau dalil tentang larangan akan hal itu, tapi kalau tidak sengaja atau kita tidak sadar maka kita terbebas dari dosa. Aku memang sengaja tak menyampaikan dengan jujur tentang apa yang terjadi pada diriku. Aku takut kalau umi sampai marah. Apalagi kalau abi tau, ahh sudahlah mati sudah.
Selama semalaman aku sama sekali tak menghiraukan chat WhatsApp dari Ahsan. Bahkan beberapa kali ia melakukan panggilan WA. Namun suasana hatiku malam itu memang sedang tak ingin untuk berkomunikasi dulu dengan Ahsan.
“Sayang!! Sayang..!! Lisa sayang..?? Jawab dong.. tungguin..”, ujar Ahsan yang berjalan cepat ke arahku saat sampai di gerbang sekolah pagi harinya.
“Kok semalem aku chat ga bales?? Telpon juga ga diangkat..?? Kenapa sih..??”, tanya Ahsan.
“Nggak.. Gapapa..”, jawabku singkat tanpa memandang Ahsan.
“Yaah.. ngambek yaaa..?? Kenapa??”, tanya Ahsan yang terdengar panik.
Kemudian seharian aku tak menghiraukan apapun yang Ahsan lakukan. Beberapa kali ia berusaha untuk mendapatkan perhatianku. Tapi aku masih merasa bersalah atas apa yang ku lakukan.
“Kenapa e Lis?? Marahan sama Ahsan..??”, tanya Manda teman karibku.
“He’emh..”, jawabku.
“Kenapa coba..??”, tanya Manda kembali sambil menikmati tempura.
“Yaaahh.. ada lah pokoknyaa..”, jawabku yang tak mau rahasiaku diketahui.
“Ohhh.. kamu sayang Ahsan ngaa sih..??”, tanya Manda lagi.
“Mmm.. Sayang sihhh..”, jawabku setelah terdiam beberapa saat.
“Kalo beneran sayang.. diomongin baik-baik laahh.. jangan kayak gini.. kasian tuh Ahsan.. coba kamu di posisi dia, pasti bakal sakit hati..”, jawab Manda yang membuatku tersadar.
Ternyata aku sudah terlalu egois dan tak menghiraukan perasaan Ahsan. Setelah istirahat pagi itu aku mencoba untuk memberikan peluang pada Ahsan meskipun aku sendiri masih merasa kesal entah kenapa. Yah tapi teringat kata-kata Manda, kalau memang aku sayang dengan Ahsan, maka tak ada salahnya mencoba.
“Ahsan.. ikut aku yuk..”, ucapku setelah selesai sekolah.
“Ehh.. iya sayang.. mau kemana..??”, tanya Ahsan.
“Yaaa.. ngobrol aja gitu..”, kataku sambil malu-malu kemudian berjalan lebih dulu.
Ahsan pun segera berjalan mengikutiku dari belakang dan aku yakin pasti ada rasa penasaran dalam dirinya. Memang semenjak aku dihadiahi HP, setiap harinya pasti ada saja alasanku untuk menunda abi menjemputku. Entah alasan tugas lah, meeting OSIS, ketemuan sama teman, dll. Untungnya abi tak curiga.
“Mmm.. aku mau..”, ucapku sesaat sebelum Ahsan memotongnya.
“Aaahh.. iyah sayang.. aku minta maaf yaah kalo ada salah.. jujur aja aku gatau dimana salahku karena kan kemarin-kemarin kita ga ada apa-apa tuh.. trus tiba-tiba sayangku ngambek.. maaf yaahh.. kalo boleh tau, aku salahnya dimana yaa..??”, ujar Ahsan sambil berlutut di depanku yang sedang duduk di kursi panjang di depan kelas 3-8.
“Aahh.. Mmmhh.. anu..”,
Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. Entah kenapa mulutku serasa terkunci oleh ketulusan maaf yang diucapkan Ahsan. Terlebih lagi sikapnya saat mengucapkan kata-kata maaf itu. Seluruh hatiku terasa meleleh. Rasa kesal yang sedari tadi menyelimuti hatiku kini berganti dengan hangatnya dekapan cinta yang muncul tiba-tiba. Tak kuasa air mataku mengalir karena rasa bersalahku padanya.
“Kok bisa sih kamu Lis!? Ikhwan se-tulus ini kamu sia-siain!?”, gumamku dalam hati.
“Sayang..?? Kok diem..?? Kok malah nangis..?? Kata-kataku nyakitin yaah..?? Maaf aku gatau.. duhh..”, ucap Ahsan yang kemudian duduk disamping kananku dan berusaha menenangkanku dengan menepuk-nepuk pundak kiriku dengan tangan kirinya.
“Nggak.. aku yang salah.. maafin aku yah.. sayaanghh..”, ucapku begitu saja tanpa kusadari.
Bahkan entah kenapa tanganku begitu mudahnya mendekap tubuh Ahsan tanpa sedikitpun merasa malu ataupun jijik padahal ini pertama kalinya bagiku. Hangatnya tubuh Ahsan siang itu begitu nyaman untukku. Ditambah lagi belaian lembut tangan Ahsan dikepalaku yang masih terbalut jilbab segi empat putih dan bersandar di pundaknya semakin membuatku ingin berlama-lama dengannya.
“Iya sama-sama sayang.. btw ngga pulang kah??”, tanya Ahsan sambil terus membelai kepalaku.
“Nghh.. ntarrhh.. lagi nyamanhh..”, jawabku yang semakin erat mendekap Ahsan.
Selama beberapa menit kami hanya diam dan tak berbicara sedikitpun. Aku ingin berlama-lama merasakan hangatnya saat itu. Meski dalam hati kecilku terus berusaha berbisik kalau yang ku lakukan ini salah, tapi entah kenapa siang itu diriku begitu mudahnya melanggar larangan agama.
“Sayang.. sayang.. ga bobo kann..??”, tanya Ahsan sambil mengguncangkan tubuhku.
“Ahhh.. ngga sayang.. keenakan aja.. kenapah..??”, tanyaku sambil menatap wajah Ahsan yang entah kenapa terlihat syahdu.
“Udahh.. pulang dulu yuukk.. ntar orangtua kamu khawatir lohh..”, ujar Ahsan sambil membelai pipiku.
Ahh.. entah kenapa kali ini belaian Ahsan terasa begitu hangat dan lembut. Selama beberapa saat ku tutup mataku untuk menikmati momen itu. Aku pun menggenggam tangan Ahsan yang masih menempel dipipiku dan menahannya untuk sementara. Benar-benar nyaman.
“He’emhh.. bentar sayang, aku WA abi dulu..”, jawabku sambil melihat ke HP.
Saat ku buka HP betapa terkejutnya aku ketika melihat begitu banyak misscal dari abi. Ternyata abi sedari tadi sudah menunggu di halaman sekolah.
“Kok daritadi abi telpon ngga dijawab sih??”, tanya abi yang terdengar agak kesal.
“Iyaa maaf bi.. tadi masih di musholla, trus aku silent gitu bi.. bentar lagi keluar kok”, jawabku yang agak panik.
Aku pun segera mengemasi barang-barangku. Saat hendak beranjak meninggalkan Ahsan, tiba-tiba Ahsan menarik tangan kananku. Dengan kuatnya ia menarikku ke belakang yang membuatku agak kehilangan keseimbangan dan berakhir dalam dekapan Ahsan. Belum selesai aku terkejut, tiba-tiba Ahsan dengan cepatnya mendaratkan bibirnya di bibirku.
Sontak aku pun terkejut namun entah kenapa tubuhku seperti membeku. Mataku hanya bisa terbelalak mendapati sensasi ciuman pertama itu. Dekapan Ahsan terasa semakin erat sementara bibirnya terasa begitu hangat. Jantungku berdegup kencang saat itu. Hingga kemudian setelah beberapa detik, Ahsan melepaskan dekapannya.
“Ahhh.. Maaf sayang.. jangan marah yaahh.. aku Cuma terlalu kangen aja sama Lisaku sayang..”, ujar Ahsan sambil memegang pundakku.
“Ahh.. i.. iyaa.. yaa.. udahh.. dadah sayang..”, jawabku singkat dengan tergagap.
Seluruh pikiranku nge-blank, bahkan beberapa kali Abi harus berteriak saat memanggilku sambil mengendarai motor. Bukan hanya karena angin, tapi pikiranku yang masih tak menyangka akan kejadian yang baru saja terjadi. Semuanya begitu cepat yang membuatku tak tahu harus merespon seperti apa.
“Lisaa!! Nglamun teruss..!! Dipanggil abi nya kok diem aja! Besok-besok inshaaAllah abi mau ngisi kajian diluar.. jadi besok kamu pulangnya nge-grab aja..”, kata abu dengan suara keras supaya aku bisa dengar.
“Haahh?? Ohh.. yaa bii.. tapi kan aku maluu bii..”, jawabku ngeles.
“Halah.. biasanya juga kamu kalo pergi main juga pake grab.. dah lah jangan bikin repot umi..”, jawab abi.
Mendengar hal itu aku semakin senang. Karena aku tak perlu khawatir untuk harus menunggu kedatangan abi, juga karena kini aku bisa leluasa main tanpa khawatir akan dimarahi abi. Dan benar saja, bisikan setan yang selama ini terdengar lemah, kini terasa tak bisa terelakkan lagi. Semua keimananku serasa tak ada artinya. Begitu mudahnya aku mengiyakan setiap tingkah yang dibuat Ahsan.
Baru saja kemarin ia dengan beraninya mencium bibirku, kini hal itu sudah seperti kewajiban yang harus kita tunaikan. Bahkan tangan Ahsan tak lagi malu untuk menjamah bagian tubuhku yang lain. Benar kata orang tua, kalau matamu, telingamu, bibirmu, hatimu telah mengiyakan cabang-cabang Zina, maka tunggulah saatnya kamu akan kehilangan perhiasan terpentingmu sebagai seorang wanita.
“Ahhh.. Sayanghh.. Ntar kalo ada yang liat gimana..??”, tanyaku yang sudah terlanjur dilanda birahi.
“Mmfhh.. Mcchh.. Nggak kok sayangh.. santai ajaahh.. kan kitahh udah sering disinihh..”, jawab Ahsan yang tengah mencumbu tubuhku yang masih berpakaian biru-putih.
Semenjak abi sibuk untuk mengisi kajian, aku dan Ahsan semakin intens dalam menjelajahi kenikmatan syahwat dunia. Gudang bangsal olah raga pun menjadi tempat rahasia kami setiap selesai sekolah untuk memadu kasih. Siang itu paha mulus putihku yang biasa tertutup rok biru dan inner-pants panjang telah terekspos dan tengah dibelai oleh tangan kanan Ahsan. Ia terus melumat bibirku seperti hewan yang kelaparan sementara aku terduduk di atas tumpukan matras yang cukup tinggi. Kedua kakiku di tekuk hingga mengangkang sementara tubuhku yang agak condong ke belakang kusangga dengan kedua tanganku. Toketkun yang tengah tumbuh masih aman terbungkus oleh bra sporty hitam yang menjumbul dari balik bajuku yang terbuka 2 kancingnya.
“Aaahh.. Sayanghh.. Mhhh.. Aahh.. Ahhh..”, desahku saat tangan kiri Ahsan meremasi toket kiriku yang masih terbungkus bra.
“Mmffh.. Mffhh.. Cupphh.. Wangi banget kamu sayanghh..”, jawab Ahsan yang tengah mencumbu leherku.
Seluruh tubuhku terbuai dengan kenikmatan dosa yang kulakukan siang itu. Rasa penasaran ditambah kenikmatan yang masih tergolong ‘baru’ kurasakan membuatku ingin untuk segera mencapai puncaknya. Tapi meski aku sudah tenggelam dalam syahwat, aku masih cukup sadar untuk tak membiarkan semuanya terjadi terlalu jauh.
“Aaaaahhh.. Aaaahhh.. Sshhh.. Oohhh.. Sayaanghh.. Mmhhhh..”, lenguhku tak kuasa menahan nikmat saat Ahsan kini mulai melahap memekku yang masih sempit namun telah banjir oleh cairan birahi.
Tak serta merta Ahsan langsung melepas CD ku dan melakukan oral di selakanganku, tapi ia terlebih dulu memanjakanku dengan permainan jemarinya mengobok-obok bibir memekku. Aahh.. begitu nikmatnya saat itu kalau kuingat kembali. Ahsan dengan terampil menstimulasi bibir liang memekku dan sudah kubilang padanya kalau aku tak ingin kehilangan keperawananku. Sekitar 8 menitan Ahsan menikmati gurihnya memek perawan sebelum kemudian aku mengejang kuat merasakan orgasmeku.
“Haemfhh.. Mfhh.. Mffhh.. Srrpp.. Srrpp.. Mffhh..”, desahku saat menikmati kontol Ahsan yang berukuran sekitar 12cm itu.
Bagiku saat itu kontol Ahsan termasuk besar karena itu yang pertama bagiku. Butuh waktu sekitar 3 hari untukku agar terbiasa dengan rasa dan aroma kontol lelaki. Ahsan yang kini berganti duduk di tumpukan matras terlihat merem melek menikmati kulumanku. Posisiku yang berlutut dengan agak condong ke depan dan juga kepalaku yang masih terbalut jilbab putih jumbo membuat Ahsan semakin terbang dalam fantasinya. Kulumanku ku variasikan dengan jilatan dan sepongan di zakarnya sementara tanganku terus mengocok batang kenikmatan Ahsan.
“Aarghh.. Arghhh.. Keluar sayanghh.. Arrghhhh..!!!!”, geram Ahsan karena ejakulasi.
Crrt.. crrrtt.. crrttt..
Kedua tangan Ahsan menahan kepalaku sehingga seluruh sperma Ahsan untuk kesekian kalianya memenuhi seluruh rongga mulutku. Aku berupaya menelan sebagian besar sperma Ahsan. Meski sudah berkali-kali, namun tetap saja aku tersedak karena pekatnya rasa dan aroma sperma lelaki.
“Assalamu’alaykum..”, ucapku memasuki rumah sekitar jam 15.30 sore.
“Wa’alaykumsalam..”, jawab Abi.
Aku pun keheranan karena tidak biasanya abi sudah ada di rumah jam segini. Setelah melepas sepatu dan kaos kaki, aku segera menuju ruang keluarga dan kujumpai umi dan abi sudah menungguku. Ada yang aneh yang membuat hatiku merasa tidak nyaman karena Umi terlihat tertunduk sambil menyeka air matanya, sementara Abi, tak pernah kulihat ekspresi yang menyeramkan seperti itu.
“Kamu.. kalo pilang sekolah itu kemana..???”, tanya Abi singkat tapi tegas.
“Ehh.. Mmm.. anu Abi.. ituu.. main sama temen.. kadang kerja kelompok..”, jawabku yang mulai gugup.
“YANG BENER!!! KAMU BOHONG KAN SAMA ABI SAMA UMI..!!??”, tegas Abi dengan nada tinggi sambil memukul meja sangat keras.
Aku yang mendengar hal itu seperti hatiku tengah dihujam beribu-ribu tombak. Aku tau kalau tingkahku selama ini sudah tercium oleh abi, bahkan mungkin lebih parah lagi kalau abi sudah mengetahui dosa-dosaku. Aku hanya terdiam dan menunduk. Hatiku serasa hancur, seluruh tubuhku gemetaran. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku, apalagi menatap abi dan umi. Bisa kudengar jelas suara sesenggukan umi yang tak kuasa menahan sedihnya.
“INI..!! AAPAAA INIIII..!!!!! HAAAHH..!!!! JELASIN KE ORANGTUAMU INI LISAAA!!!”, Teriak Abi.
Aku mencoba mengangkat kepalaku dan mencoba menatap HP Abi yang ia genggam. Kemarahan Abi masih tak seberapa dibanding kenyataan yang terjadi di hadapanku. Tampak jelas di HP abi videoku siang ini saat tengah mengulum kontol Ahsan.
“Matilah aku..”, gumamku dalam hati.
Seluruh tubuhku serasa lemas. Sendi-sendiku gemetar hebat. Hatiku sudah tak berbentuk lagi. Pikiranku kalut. Aku hanya bisa menatap kosong ke lantai. Suara abi yang begitu menggelegar pun sudah tak bisa kudengar karena hidupku rasanya habis saat itu juga. Beberapa saat kemudian, kurasakan tamparan keras tangan abi di wajahku. Untung saja Umi segera mencegah Abi untuk berbuat lebih jauh. Tak lama setelah itu aku diseret paksa oleh Abi dan dilempar ke kamarku. Aku rela kalau siang itu aku harus menjadi samsak kemarahan abi. Buatku siang itu tak ada yang lebih penting daripada kedua orangtuaku memaafkanku.
Selama seharian aku tak berani keluar kamar. Beberapa kali umi memanggilku untuk makan, tapi aku tak mengindahkan panggilannya. Aku hanya bisa menangis tanpa henti, bantal dan gulingku pun basah oleh air mataku. Semua dosa-dosaku pun terngiang-ngiang selama aku berdiam diri di kamar. HPku pun penuh dengan WA dan telpon dari Ahsan.
“Udahan ya sayang.. mulai sekarang jangan hubungi aku lagi..”, jawabku terakhir kali di WA pada Ahsan.
Setelah hari itu aku sama sekali tak pernah keluar rumah meskipun hanya untuk jajan. Bahkan saat pengambilan rapor pun aku tidak ikut. Aku keluar kamar pun seperlunya saja. Setiap kali bertemu abi aku segera buru-buru kembali ke kamar. HPku sudah lama disita abi sejak kejadian memalukan itu. Aku juga tak tau apa yang terjadi pada Ahsan, yang kutau kalo abi sempat bilang akan meminta pertanggungjawaban pada Ahsan.
Hari-hari pun berlalu dengan aku yang terus menutup diri. Beberapa tetangga rumah sudah sering menanyakan tentang diriku, tapi umi bisa menjawab dengan sigap untuk mengurangi kecurigaan tetangga. Hampir sebulan lamanya aku berada terus menerus di rumah. Umi pun merasa tak tega dan berkali-kali mencoba untuk berbicara denganku tapi justru aku yang tak mampu sedikitpun berbicara pada orang yang telah berjasa begitu banyak padaku itu.
“Besok pagi ikut abi sama umi.. jam 7 harus udah siap!”, ucap abi singkat tanpa memandangku sedikitpun.
“Iya.. abii..”, jawabku lemah.
Aku sudah tak peduli lagi mau dikemanakan, yang kupikirkan hanyalah senyum abi yang dulu. Esok harinya, seperti biasa aku mengenakan jilbab segi empat jumbo hitam dan masker, sementara gamisku berwarna biru dongker yang panjang hingga mata kaki. Kaos kaki pun menutupi aurat paling bawah dari tubuhku agar tak menjadi santapan mata lelaki. Mobil Avanza silver milik abi sudah terparkir di depan rumah, setelah persiapan selesai, kami pun berangkat.
Aku masih tak tau akan dibawa kemana, bahkan untuk bertanya pun aku tak berani. Sudah terlalu parah aku mengecewakan abi dan umi.
“Ohh iyaa.. Lisa belum tau yaa.. ini Abi sama Umi.. mau ngakakin Lisa buat mondok aja.. gapapa kan..??”, ujar Umi mencoba memecah kesunyian.
“iyaa.. gapapa kok umi..”, jawabku singkat.
Lebih dari satu jam lamanya perjalanan kami. Suasana hiruk pikuk kota ciamis pun mulai berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan suasana khas perkampungan dan pedesaan. Suasana serba hijau nan asri yang menyejukkan hati mulai memikat mataku. Anak-anak kecil berlarian dan bermain bersama layaknya dulu ketika belum ada serangan smartphone, tampak jelas di setiap jalan kampung yang kami lalui. Setelah beberapa lama melewati jalan yang hanya dikelilingi oleh pepohonan rindang khas daerah hutan, maka tibalah kami di sebuah pondok yang tak terlalu besar.
Sudah menjadi kebiasaan kalau lokasi pondok atau pesantren biasanya berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Selain agar tidak banyak gangguan, juga agar pembelajaran di sekitar pondok lebih kondusif. Abi pun segera turun dan menjumpai salah satu ustad pengasuh di pondok itu. Aku tak terlalu tau apa yang keduanya bicarakan, tapi tak berselang lama aku pun di ajak untuk masuk ke ruang tunggu pondok. Bangunan pondok yang begitu sederhana, tak banyak ornamen di luarnya, namun ketika masuk ke ruang tunggu, suasana khas pondok begitu kental terasa. Banyaknya meja-meja kecil yang biasa digunakan para santri untuk menghafal Al-Qur’an, beberapa rak buku yang berisi kitab-kitab yang biasa digunakan di pondok, dan ruang tamu yang terhampar luas hanya dilapisi karpet tipis tanpa kursi.
“Assalamu’alaykum.. iya nama ana Shofi, inshaaAllah mulai dari sekarang dan seterusnya saya yang akan bertanggungjawab untuk menjaga mba.. siapa namanya?? Afwan.. ahaha..”, ujar salah satu ustadzah yang berpakaian serba hitam dan bercadar.
“Eehh.. itu lohh ditanya sama ustadzah.. jawab dong..”, celetuk ibu.
“Ohh.. saya Lisa ustadzah..”, jawabku sambil menjabat tangan ustadzah Shofi.
Hampir seharian lamanya aku dan kedua orangtuaku berada di pondok itu untuk mengetahui penjelasan tentang agenda dan peraturan pondok. Kami pun diajak untuk berkeliling pondok dan juga ditunjukkan dimana para santriwati menginap. Lokasi pondok putra dan putri tidak terlalu jauh dan dibatasi tembok. Beberapa terlihat santriwati yang tengah lalu lalang, ada juga yang baru saja selesai mencuci baju, dan beberapa tengah sibuk menyiapkan keperluan makan siang di dapur.
“Yaah begitu ustadzah.. saya amanahkan anak saya ke pondok ini.. saya harapkan anak saya bisa berubah lebih baik kedepannya dan bisa jadi wasilah untuk kami menuju ridho Allah..”, ujar ayahku pada ustadzah Shofi.
“inshaaAllah bapak.. kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik para santriwati agar lebih dalam mengenal dinnul Islam.. dan inshaaAllah akan menjadi anak-anak yang bisa memberikan mahkota bagi kedua orangtuanya kelak di yaumul akhir..”, jawab Ustadzah Shofi.
Selama sehari semalam orang tuaku menginap sebelum kemudian berpamitan padaku keesokan harinya. Meski aku sudah siap akan konsekuensi dari tindakanku tapi tetap saja ini masih terasa berat bagiku untuk berpisah dari kedua orangtuaku.
“Yang sungguh-sungguh belajarnya disini yaa.. umi percaya Lisa bisa berubah.. inshaaAllah yang kemarin sudah terjadi biarlah terjadi.. Lisa buat lagi lembaran baru.. Umi bisa percaya Lisa kan..??”, tanya umi yang terlihat matanya berkaca-kaca.
“Iyahh umi.. Maafin Lisaa.. Maaf..”, jawabku yang kemudian memeluk erat umi ku seakan seperti akan kehilangan dirinya.
“Udah.. Sana.. udah ditunggu ustadzah tuh..”, celetuk abi sambil menatap ke arah lain.
Meski terlihat cuek, aku bisa merasakan dari suara Abi kalau sebenarnya ia juga menahan tangisnya karena ini pengalaman pertamanya melepas anaknya. Hatiku pun amat senang dan entah kenapa tubuhku begitu ringan untuk melangkah dan langsung mendekap erat tubuh abiku.
“Makasih abi.. makasih udaah sayang sama Lisaa.. inshaaAllah Lisa akan berubahh.. akan berusaha untuk buat abi bangga..”, ucapku.
Abi tak banyak berkata-kata, namun saat tangan abi membelai lembut kepalaku, tak terasa air mataku mengalir. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kalinya aku merasakan kehangatan telapak tangan abi. Ingin rasanya aku mengulang waktu dimana aku tak terjerumus dalam kemaksiatan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain melangkah maju untuk menutupi segala kesalahanku.
“Yuk dek Lisa, ikut saya..”, ujar ustadzah Shofi beberapa saat setelah mobil kedua orangtuaku hilang di kejauhan.
“Iya ustadzah..”, jawabku sambil menyeka air mataku dan berlalu mengikuti ustadzah Shofi sambil menenteng tas yang berisi beberapa perlengkapanku.
“Tapi dek Lisa termasuk langka lhoo.. biasanya tuh kalo awal-awal ditinggal tuh pada gamau gitu, jadi seringnya kita yang harus nahan anak-anak biar ga lari ngikutin orangtuanya..”, celetuk ustadzah Shofi membuka pembicaraan.
“Ohhh banyak yang gitu yah Ustadzah??”, tanyaku.
“Yaaa hampir mayoritas gitu.. jadi tadi waktu saya lihat dek Lisa kok bisa cukup tenang tuh say kayak waaooww.. gitu..”, lanjut ustadzah Shofi yang mungkin baru berumur sekitar 37 tahunan.
Sambil terus berjalan, aku cukup terkesan dengan fisik ustadzah Shofi yang terawat. Tubuhnya yang tinggi semampai tetep terlihat seksi menawan meskipun tertutup pakaian serba hitam. Kulit wajahnya yang putih glowing terlihat jelas dari sebagian wajahnya yang tak tertutup cadar. Jemarinya yang lentik dan punggung tangannya yang juga putih mulus pun menandakan keindahan kulit tubuhnya yang tersembunyi dibalik pakaian syar’i miliknya. Matanya yang lentik dan manis sudah pasti akan meluluhkan tiap lelaki yang memandangnya.
“Nahh disini nanti yaah dek Lisa istirahat.. untuk yang lain-lain nanti biar dijelaskan sama dek Ifah..”, kata Ustadzah Shofi sambil membuka pintu kamar.
“ohh iya ustdazah..”, jawabku sambil mencoba melihat kamarku.
“Assalamu’alaykum.. ifahh.. sini bentar dek.. ini ada temen baru buat kalian namanya dek Lisa.. tolong dibantu yaa..”, ujar ustadzah Shofi pada Ifah.
“Ohh.. iyah ustadzah.. Hai.. namaku Ifah.. dengan siapa ini..??”, ujar Ifah sambil mengulurkan tangannya.
“Emm.. Saya Lisa..”, jawabku sambil menjabat tangan Ifah.
Setelah itu, Ifah mulai menjelaskan peraturan di pondok dan juga jadwal pembelajaran di pondok. Aku juga baru tahu kalau ternyata program pondok di bagi dua, pagi hari untuk pembelajaran umum yaitu sekolah di MAN, sementara malam harinya untuk diniyah. Ifah sendiri termasuk wanita yang lumayan cantik. Wajahnya yang oval dengan kulit putih bersih dihias hidung yang mangir dan mata yang cantik. Bibirnya yang tipis kemerahan berpadu sempurna dengan senyumnya. Tubuhnya padat berisi sehingga menonjolkan gunung kembarnya di usianya yang baru masuk 16 tahun. Kulitnya yang putih bersih khas perempuan sunda menambah kesempurnaan dirinya.
“Yaahh.. bentar lagi juga bakal tau sih.. ada Ani sama Zahra juga disni..”, jawab Ifah menjelaskan ketiga teman sekamarku.
“Ohh.. pada kemana mereka??”, tanyaku.
“Ngga tau juga sih.. tapi tadi bilangnya mau nyuci baju.. yaah biasalah kapan lagi kalo nggak minggu gini kita nyucinya?? Ahahah..”, jawab Ifah sambil merebahkan dirinya di kasur.
“Ohh iya.. itu barang-barangmu yang lain udah diantar beberapa hari yang lalu sama orangtuamu.. enak yaah.. punya orang tua yang perhatian gitu..”, lanjut Ifah sambil tidur terlentang.
“Ahh.. biasa aja sih.. malah justru dirumah dulu aku ngga terlalu sering ketemu orangtua.. khususnya abi..”, jawabku sambil meletakkan tasku dan duduk di kasur tepat di depan kasur Ifah.
“Yaahh setidaknya kamu masih punya orang tua Lis.. kalo aku.. udah lama banget aku disini.. orangtuaku cerai.. bahkan hampir aku gak pernah dijenguk lohh..”, jawab Ifah menceritakan kisahnya.
Siang itu Ifah bercerita panjang tentang kondisi keluarganya yang broken home. Itu terjadi tak beberapa lama setelah dirinya mendaftar di pondok itu. Setelah Ifah masuk pondok, akhirnya kelakuan ayahnya yang suka selingkuh pun dibuka oleh Allah dihadapan ibunya. Tapi itu tak sepenuhnya salah ayahnya, ternyata ibunya juga beberapa kali ifah lihat sering menginap di hotel bersama lelaki lain saat ayahnya pergi dinas dalam waktu yang lumayan lama. Mendengar penuturan Ifah pun aku menjadi lebih bersyukur atas karunia Allah padaku.
“Aahhh.. capeknyaa.. mana tuh Ifah.. katanya mau nyuci juga..”, ucap salah seorang santriwati yang tiba-tiba masuk ke kamar.
“Lhohh.. uda selesai nyuci??”, tanya Ifah yang terbangun setelah mendengar langkah kaki temannya.
“Ini nemenin warga baru kamar kita.. nih kenalin, yang bawel ini namanya Ani.. trus yang cantik itu si Zahra..”, ujar Ifah dengan nada mengejek sambil tangannya menjulur ke arah keduanya.
“Yee.. apaan sih?? Kamu aja yang bikin aku jadi bawel..”, jawab Ani sambil melepas jilbabnya.
“Hei.. kenalin.. Zahra..”, ujar Zahra yang dengan segera menjabat tanganku.
Yah memang diantara mereka bertiga, Zahra lah yang paling cantik. Wajahnya yang mirip sekali dengan tipikal orang china dengan kulit putih mulusnya ditambah rambut hitam lurus sepundak membuatnya cocok sebagai model. Postur tubuhnya yang termasuk tinggi bagi perempuan semakin sempurna berpadu dengan kaki jenjangnya. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab karena memang kami semua hampir seumuran. Yang paling tua adalah Ifah yang terpaut 1 tahun dariku.
Esok paginya adalah hari pertamaku untuk masuk sekolah di MAN sekaligus hari pertamaku untuk mengikuti kegiatan pondok. Semua keperluan sekolahku ternyata sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh kedua orangtuaku termasuk sebuah sepeda yang lumayan bagus menurutku meskipun tidak baru. Hiruk pikuk pagi hari pondok dipenuhi oleh para santriwati yang beramal-ramai hendak berangkat sekolah, begitu juga Ifah, Ani, dan Zahra.
Ini pengalaman baruku berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Asyik juga gumamku dalam hati. Selain karena ini pertama kalinya, juga karena aku tak sendirian melainkan bersepeda bersama dengan hampir seluruh santriwati yang ada di pondok. Jalanan sepi yang masih berupa tanah dihiasi oleh pepohonan rindang di sisi kanan jalan membuat sejuknya udara pagi semakin terasa. Meskipun aku hari itu mengenakan masker, tidak seperti temanku yang lain yang sudah mulai bercadar, namun tak mengurangi nikmatnya hawa segar pagi hari. Cukup jauh jarak antara pondok hingga sekolah kami. Hanya ada beberapa rumah warga yang sangat sederhana di sepanjang perjalanan kami. Satu saja bangunan yang cukup modern yaitu sebuah kantor yang biasa disebut koramil. Beberapa anggota Angkatan Darat (AD) berpakaian kaos loreng hijau tengah menjalani latihan pagi sebagai rutinitasnya.
“Berangkat sekolah neng??”, tegur salah seorang anggota.
“Iya pak Pon..”, jawab Ifah lumayan keras karena jarak antara pos jaga dengan kami cukup jauh sekitar 15 meteran.
“Okee.. Ati-ati neng..”, jawab anggota tadi sambil melambaikan tangannya pada kami.
Kami terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di sekolahan. Yah sekolah kami pun tak bisa dibandingkan dengan yang ada di perkotaan. Meskipun begitu tetap saja para guru mengajar kami dengan sangat professional.
“Ehh iya Fah.. tadi itu siapa??”, tanyaku sambil merapikan tasku di parkiran sepeda.
“Yang mana?? Yang tadi di pos jaga itu..??”, jawab Ifah yang sedang membenarkan jilbabnya.
“iya.. kayaknya akrab banget deh..”, jawabku.
“Ohh.. itu pak Ponijan.. udah lama dia tugas disitu..”, jawab Ifah yang mengenakan cadar putih senada dengan jilbab segi empat jumbonya.
Sekitar jam 12.30 sekolah pun usai. Tak hanya di pondok, di sekolah pun aku harus berkenalan dengan teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah. Terlihat dari kejauhan Ifah dan Zahra sudah menungguku di parkiran sepeda. Meski sudah seharian sekolah, entah kenapa Zahra tetap saja terlihat cantik dan anggun. Tak seperti diriku yang sudah mulai merasa kucel.
“Gimana hari pertama sekolah..??”, tanya Ifah.
“Yaaah.. biasa.. harus kenalan sana-sini.. tapi asik sih..”, jawabku.
“Berarti udah mulai terbiasa dong..”, timpal Zahra sambil terus mengayuh sepeda.
“Ahahaha.. semoga aja yaa.. kalo inget ortu masih sih..”, jawabku sambil mulai membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuaku sekarang.
Tak lama kemudian kembali lagi kami melewati daerah koramil namun tak dijumpai pak Ponijan disana. Yaah bagiku tak masalah toh aku juga tak mengenalnya. Hingga akhirnya kami sampai kembali di pondok. Rasa lelah bercampur gerah membuatku ingin cepat-cepat mandi. Memang sudah jadi kebiasaanku karena ini juga keturunan dari ayahku yang juga mudah berkeringat.
“Langsung mandi Lis..??”, tanya Zahra yang masih asik tiduran.
“Iyaa.. gerah banget.. mana bau ketek lagi..”, jawabku sambil mencium ketiak kiriku.
“Ahahah.. iya sih.. besok-besok lagi pake ini aja..”, jawab Zahra sambil menyodorkan bedak penghilang bau badan.
“Okey.. inshaaAllah nanti aku cobain..”, jawabku.
Karena lokasi pondok yang berada di pelosok pedesaan dan di kaki gunungz maka meskipun siang hari tetap saja air terasa cukup dingin. Tak seperti dulu ketika masih dirumah. Karena lokasi tandon air berada di atas rumah dan aku tinggal di perkotaan sehingga kalau siang hari air pun terasa hangat.
Byuur.. Byurrr..
Segarnya siraman air khas pegunungan membuat tubuhku terasa segar kembali. Kulitku yang putih bersih terlihat tampak segar dan kenyal. Aku pun mulai menggosok tubuhku dengan sabun. Yah meskipun bukan sabun cair tapi itu tak masalah bagiku. Tak sengaja tanganku menyentuh putingku yang berwarna coklat muda.
“Aaahh..”, desahku.
Entah kenapa rasa geli muncul yang membuatku sedikit teringat akan dosaku dulu. Namun aku tak mau menghiraukannya dan terus menyelesaikan mandiku. Sore harinya pelajaran diniyah pun dimulai. Untukku yang baru pertama kali masuk pondok maka hafalan Qur’an ku yang digenjot. Meski Abi dan Umi sudah sering mengajarkanku untuk membaca Al Qur’an, tapi ketika kini tengah diuji oleh Ustadzah Shofi rasanya aku seperti anak TK saja. Hampir seluruh makhorijal hurufku tak ada yang sesuai dengan standar pondok. Alhasil aku harus kembali lagi ke Iqro’.
“Gapapa kok dek Lisa.. semuanya juga gitu pas pertama kali masuk kesini.. ada sih beberapa yang memang sudah lumayan.. kayak itu tuh..”, ujar Ustadzah Shofi sambil menunjuk ke arah salah satu santriwati.
Memang benar. Kalau aku dibandingkan dengannya seperti halnya langit dan bumi. Begitu indah dan menenangkan. Setiap huruf yang keluar dari mulut santriwati itu sangatlah menyejukkan hati, terlebih lagi saat ia mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, serasa hati ini begitu bahagia mendengarnya. Dan mulai saat itulah aku bertekad untuk bisa menyainginya.
Malam harinya memang tak ada pelajaran diniyah di pondok karena digunakan untuk mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Pagi harinya, ba’da Shubuh setelah wirid dan dzikir pagi-petang, maka kemudian dilanjutkan dengan kajian Fiqh Sunnah yang disampaikan oleh salah seorang ustadzah senior. Dan sudah menjadi rahasia umum kalau santri pasti banyak yang mengantuk, termasuk diriku. Setelah selesai sholat syuruq sekitar jam 05.45, aku segera kembali ke kamar untuk persiapan berangkat sekolah. Memang tidak banyak waktu yang tersisa, tapi disitulah aku mulai belajar me-manage waktu.
“Udah siap semua Lis..??”, tanya Ani sambil mengunyah sarapannya yang berupa nasi dan sayur dengan lauk tempe mendoan.
“Udah sih.. inshaaAllah..”, jawabku yang juga makan menu yang sama.
“Ehh iya.. besok minggu ada acara nggak kalian semua..??”, tanya Ifah yang sudah selesai makan.
“Emang kenapa Fah..??”, tanya Zahra.
“Jalan-jalan aja kita berempat.. kan itu si Lisa blom tau daerah sini..”, jawab Ifah.
“Lha emang kalo minggu ga ada kegiatan di pondok??”, tanyaku.
“Kan hari minggu.. paling bersih-bersih kamar kita aja abis itu acara bebas seharian.. ya kalo mau juga bisa tuh main HP..”, jawab Ifah.
Aku baru tau kalau ternyata dalam seminggu para santriwati diberikan satu hari untuk libur yaitu mulai sabtu malam hingga minggu malam. Semua santriwati bebas dari agenda pondok dan bagi mereka yang memiliki HP diperkenankan untuk mengambilnya di ruang amanah.
Sudah seminggu lamanya aku menjalani kehidupanku di pondok itu. Tak bisa kupungkiri kalau santriwati jugalah manusia. Meskipun hari-hari mereka bercadar dan terpisah dari pondok putra, tetap saja mereka punya ‘jalan’ untuk bisa saling berkomunikasi. Itu terlihat jelas saat Zahra tengah asyik dengan HPnya dan tak ikut kami untuk jalan-jalan.
“Hadehh.. yang jadi artiss yaa.. ikutan ga Ro..?? Sibuk teruss sama HP..”, ujar Ifah yang agak jengkel pada Zahra.
“Nggak ahh.. mumpung libur mau santai dulu di sini ajaahh..”, jawab Zahra yang sedang asik chatting dengan teman lelakinya.
“Yaudah yaa.. jangan rewel kalo ntar ga ada temen..”, jawab Ifah yang mengenakan setelan gamis dan jilbab dan cadar warna coklat susu.
“Kamu juga ngapain sih Fah.. orang udah kebiasaan Zahra kalo liburan yaa gitu.. udah yuk..”, timpal Ani yang mengenakan gamis hitam dan khimar biru muda sementara cadar talinya berwarna hitam.
Pagi itu hanya aku sendiri yang belum mengenakan cadar karena memang belum terbiasa. Kembali sepeda pun menjadi moda transportasi utama kami. Tak seperti hari-hari biasa, kalau hari minggu seperti ini jalanan jadi terasa lebih lenggang. Rute yang kami tempuh sama dengan rute menuju sekolah, hanya saja ditengah perjalanan kami berbelok ke arah utara. Jalanan pun semakin susah, lebih mirip jalan setapak. Hanya sekitar 50 meter saja bagian jalan uang yang bisa dilalui oleh sepeda, selebihnya kami harus berjalan kaki.
“Iyaa emang ga bisa pake sepeda Lis.. sekali-kali jalan kaki gapapa kan?? Itung-itung ilahraga biar badan kita tetep langsing..”, ujar Ifah sambil menstandarkan sepedanya.
“Yaahh.. gppa juga sih..”, jawabku yang mengenakan jilbab marun jumbo dan gamis panjang dengan warna yang sama sementara wajahku tertutup masker sebagian.
“Tenang aja Lis, ntar kalo udah sampai sana capeknya kita kebayar kok..”, ujar Ifah yang menjadi pimpinan perjalanan kami.
Yaah meskipun ini pertama kalinya aku masuk ke hutan, tapi karena bersama dengan kedua temanku tak terlalu membuatku takut. Hampir tak kutemui apapun selain pepohonan dalam perjalanan kami. Ifah dan Ani begitu mudahnya melewati jalan yang ada, sementara aku harus susah payah menghindari becek dan lumpur.
“Naahh.. udah sampe..”, ujar Ifah.
Mataku hanya bisa terbelalak melihat apa yang ada di hadapanku. Sebuah air terjun yang sangat indah dan cukup tinggi. Mungkin ada kalau hanya 20 meter tingginya. Memang tak terlalu deras, namun banyaknya bebatuan yang menonjol di tebing tempat air terjun mengalir membuat sebagian air terhempas dan menyebabkan munculnya pelangi. Seumur hidupku aku tak pernah melihat air terjun secara langsung. Bahkan air yang mengalir di sungai dibawahnya juga terlihat begitu jernih hingga terlihat dasarnya meski cukup dalam.
“Hey Lis.. kok bengong..??”, tegur Ani yang entah kenapa malah melepas jilbab dan cadarnya.
“Ehh.. Lohh.. kok malah dicopotin?? Kalian mau mandi disini..??”, tanyaku keheranan.
“Ya mau ngapain lagi Lis..?? Kamu Cuma mau nonton aja?? Udahh nyebur aja sihh..”, timpal Ifah yang sudah telanjang dan hanya menyisakan bra dan CD krem yang masih menutupi tubuh putih mulusnya.
“Ntar kalo ada yang lihat gimana..?? Kan tempat umum ini..”, jawabku panik.
“Santai aja Lis.. kamu kan baru pertama kali, lha kita ini kan udah lama disini.. amaaaann pokoknya..”, jawab Ani yang sudah mulai berjalan masuk ke sungai tanpa sehelai kainpun yang menutupi tubuhnya.
Masih teringat jelas dalam pikiranku keindahan tubuh Ani yang tingginya sekitar 160cm itu. Rambut panjang hitamnya yang agak bergelombang menghias indah wajahnya yang tidak terlalu cantik tapi manis. Kulitnya yang kuning langsat membalut tubuh langsingnya yang dihiasi oleh toket berukuran 36B berputing coklat. Bokongnya yang bulat kencang dan gundukan kecil berbulu tipis di selakangannya tampak menggiurkan jikalau ada lelaki yang melihatnya.
“Ayook.. tunggu apaan Lis?? Udahh santai aja.. aku jamin ga ada yang liat kok..”, jawab Ifah yang sudah berenang santai.
Aku juga baru sadar kalo ternyata Ifah sudah bugil juga. Tubuhnya cukup berisi bagi wanita berumur 18tahun. Toketnya lebih besar daripada milik Ani. Mungkin ada di cup C, begitu bulat kenyal dihiasi puting kecoklatan. Perutnya tidak ramping layaknya Ani, tapi agak berisi dengan pinggul yang lebar dan bokong yang sintal. Karena mereka berdua sudah seperti itu, aku pun tak ada pilihan lain selain mengikuti keduanya.
“Waaahhh.. cantiknya badan kamu yah Lis.. mirip banget kayak punya si Zahra.. apalagi payudaramu.. ahhh.. bikin minder lohh..”, celetuk Ani yang terkagum-kagum melihat leindahan tubuh putih muluski yang terawat.
“Iya setuju banget.. kenapa juga kamu ga jadi model aja Lis?? Ramping, semampai, cantik, kencang, mmmhh.. idaman banget tubuh kamu tuh..”, timpal Ifa yang sengaja mencubit toketku sesaat setelah aku masuk ke sungai.
“Apaa sih.. biasa aja lohh..”, jawabku sambil menutupi kedua toket 36C ku dengan kedua tanganku.
Selama lebih dari 1 jam kami bertiga berendam dan bermain di jernihnya air sungai itu. Begitu segar sehingga membuatku berfikir kalau air ini bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dulu. Saat aku sedang asik membasuh rambutku, tiba-tiba Ifah mendekapku dari belakang dan langsung meremasi toketku. Sontak saja aku terkejut dan berupaya mengelak karena sensasi geli dan risih. Berbeda ketika Ahsan yang meremasnya dulu, mungkin karena ini pengalaman pertamaku jadi aku belum terbiasa.
“Eesshh.. apaan sih Fa..!?”, tegurku yang berupaya berontak.
“Gapapa kaan..?? Kan kita sama-sama perempuan.. lagian aku penasaran sih sama rasanya payudaramu.. Bentarhh.. ihh.. diem dikit laahh.. mmhh..”, jawab Ifah yang berupaya keras untuk tetap meremas toketku meskipun aku menolaknya.
“Ahahah.. sabar ya Lis.. ospek dulu kamunya..”, lanjut Ani yang justru memegangi kedua tanganku sehingga tak banyak yang bisa kulakukan.
Melawan Ifah dan Ani, jelas aku tak punya kesempatan sama sekali. Ifah terkikik saat melihatku menggelinjang ketika jemarinya memilin putingku yang berwarna pink. Ani pun sama saja, ia juga malah ikut tertawa saat temannya kesusahan. Meski begitu, selama beberapa detik tubuhku serasa seperti rindu akan sensasi itu. Kenangan akan Ahsan yang dengan sengaja membenamkan kepalanya di dadaku dan melumat kedua toketku itulah yang membuatku menggelinjang dan sempat aku mendesah ketika Ifah memilin putingku pertama kalinya.
“Ahh.. Shh.. Udahan sih..!! Geli tauk..!!”, ucapku saat tersadar aku baru saja mendesah sambil kembali berupaya berontak.
“Ntar Ahh.. kenyal sih punyamu Lis.. gede pula.. nihhh.. enak kan diginiin..”, kata Ifah yang justru semakin kuat meremas dan memilin putingku.
“Iyaa kan.. ahahaah.. udahh ngaku aja kalo enak..”, kata Ani yang masih memegangi tanganku.
“Sshh.. Engg.. Nggakk.. Apaa.. aann Sihh.. Gelihhh.. Udahh..”, jawabku mencoba membela diri sementara kurasakan kekenyalan toket Ifah di punggungku.
Ada mungkin sekitar 5 menit lamanya mereka mengerjaiku sebelum akhirnya mereka puas. Aku sendiri agak kesal tapi juga senang karena bisa kembali teringat dengan permainan lidah Ahsan yang cukup liar.
“Kenapa sih kalian gitu?? Ga lucuu..”, kataku dengan nada kesal.
“Ahahah.. maaf maaf.. abisnya aku penasaran aja sama payudaramu itu.. bisa sih segede itu??”, tanya Ifah yang hanya terlihat kepalanya saja karena seluruh tubuhnya terendam di air.
“Iya.. kasih tau dong..”, timpal Ani yang juga sama.
“Yaa mana ku tau.. udah bawaan lahir mungkin..”, jawabku singkat sambil ikut berendam.
“Serius?? Bukan karena sering diremesin ikhwan kan..??”, tanya Ifah dengan nada mengejek.
“Haaahhhh..??!! Nggaklah!! Mana mungkin aku mau digituin sama ikhwan..!? Lagian emang bisa tambah gede kalo diremes ikhwan...???”, jawabku dengan nada tinggi untuk menghindari kecurigaan keduanya.
“Yaaa siapa tau kan.. yaa bisa aja.. Cuma denger-denger sih dari Zahra.. katanya bisa tambah gede kalo diremes sama ikhwan..”, jawab Ifah.
“Hah!? Serius??? Berarti Zahra pernah dong digituin??”, tanyaku kaget.
“Pernah ngga ya..?? Gatau sih.. dia Cuma cerita aja ya..??”, jawab Ifah sambil melihat ke Ani.
“Mmm.. gatau juga.. tapi.. tapi lhoo.. kalau menurutku sih pernah..”, jawab Ani yang membuatku semakin penasaran.
“Hey.. yang bener?? Tau darimana kamu??”, tanya Ifah yang juga penasaran.
“Ngga tau kalo liat langsung.. Cuma kan kalo Zahra bisa ngomong gitu tanpa merasa sungkan kan berarti kayak udah pernah nglakuin kaan??”, jawab Ani yang ternyata hanya spekulasi.
“Ahahah.. kirain kamu liat beneran An..”, jawabku agak lega.
Bukan maksud apa-apa hanya saja Zahra terlihat seperti akhwat yang selalu menjaga marwahnya di luar sana meski di sosmed menjadi idola para ikhwan. Puas setelah sekitar 2 jam mandi, kami pun segera kembali ke pondok karena aku baru ingat kalau belum mencuci bajuku. Meski sudah 2 jam di lokasi air terjun, ternyata kata-kata Ifah memang benar kalau tak ada orang yang datang. Mungkin karena lokasinya yang terlalu jauh dari jalanan, atau karena orang-orang sekitar sini memang sudah bosan kemari.
“Lohh.. Neng.. abis dari Air Terjun yaa..??”, tegur pak Ponijan yang ternyata sedang lari pagi sambil membawa ransel dan senapan SS1 tanpa magazine.
“Iya pak.. ini ngajakin temen baru Ifah buat lihat-lihat Air Terjun..”, jawab Ifah ramah yang memang sudah terbiasa dengan pak Ponijan.
“Ohh.. Ati-ati neng.. itu hutaan.. besok-besok ngabari bapak dulu, biar bapak temenin.. ntar kalo ada apa-apa gimana??”, jawab pak Ponijan yang terlihat khawatir.
“Ngga apa-apa kok pak Pon.. nih Ifah kan ditemenin Ani juga.. ntar kalo ada apa-apa tinggal teriak.. kan ada pak Pon yang patroli terus.. ahahah..”, jawab Ifah sambil bercanda dengan pak Ponijan.
“Ahahah.. neng Ifah bisa aja.. tapi bapak serius ini.. besok-besok lagi jangan diulangi yaa.. paling ngga pemberitahuan dulu sama bapak atau temen bapak yang ada di pos jaga.. buat bapak sama temen bapak di kantor, neng Ifah sama temen santri yang lain udah kami anggap kayak anak sendiri..”, jawab pak Ponijan yang memang sudah berumur memasuki 50an tahun.
“iya pak.. Ifah minta maaf.. inshaaAllah ke depannya kabar-kabar dulu.. ohh iya, sendirian aja pak?? Biasanya sama temen yang lain patroli..??”, tanya Ifah.
“Iya sih pak.. kok gak kliatan yang lain??”, timpal Ani.
“Yaah.. tau sendiri lah neng.. latihan kayak gini ga banyak yang suka, lagian dari kantor Cuma sekedar anjuran bukan kewajiban.. nah kalo bapak yaa wajib biar tetep fit kalo pulang tugas nanti.. hahahah..”, jawab pak Ponijan yang kemudian melanjutkan patrolinya sambil lari-lari.
Meski berbeda agama tapi tetap pak Ponijan begitu perhatian dengan para santri dari pondokku. Umurnya yang sudah setengah abad tak membuatnya kehilangan senyumnya yang menenangkan. Badannya terlihat gagah, tegap, dan kencang karena hasil dari latihannya setiap hari. Selama perjalanan pulang, entah kenapa pikiranku mulai kembali teracuni oleh kenangan bersama Ahsan. Tak bisa kupungkiri kalau tubuhku merindukan sentuhan tangannya.
“Aaahhh.. Ahsann..”, desahku perlahan.
Malam harinya meskipun hari Ahad, tetap saja ada materi dari ustadzah Shofi khusus untukku. Aku diajarkan bagaimana tata cara tidur seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dari mulai persiapan hingga apa yang harus kulakukan kalau aku mimpi buruk.
“Iyaa dek Lisa.. jadi kalau kita tidur tanpa pakai adab-adab tidur, itu sama aja kita tidur selama 8 jam tanpa adanya ganjaran pahala.. rugi banget kan?? Makanya penting banget buat kita belajar tata cara atau adab-adab sehari-hari..”, jelas Ustadzah Shofi menutup materi khusus untukku malam itu.
“Ssst.. Ssst.. Zahra.. mau nannya nih..”, kataku pada Zahra yang masih sibuk dengan HP nya.
“Hem?? Napa Lis..??”, tanya Zahra sambil asik chattingan dengan temannya.
“Ehh.. jangan keras-keras.. ntar yang lain bangun..”, kataku karena sudah jam 10 malam saat itu sementara Ifah dan Ani sudah terlelap tidur.
“Ohh.. ga biasanya jam segini uda pada tidur tuh 2 orang.. kenapa Lis??”, tanya Zahra yang bangun untuk mengecek Ifah dan Ani.
“Mm.. emang bener ya kalo payudara kita di remes-remes bisa tambah gede..??”, tanyaku penasaran.
“Mmm.. gatau sih.. Cuma denger aja aku.. knapa juga kamu tanya kayak gitu..??”, jawab Zahra yang kemudian masuk lagi ke selimut sambil kembali sibuk dengan HP nya.
“Ohh.. ngga.. kalau kamu pernah ngga di remesin ikhwan gitu..??”, tanyaku.
“Hah??!! Gilak apa..?? Ya gak pernah lahh.. biarpun aku chatting gini sama ikhwan tapi aku tuh ga sampe kayak gitu.. kok bisa mikir kayak gitu napa Lis??”, tanya Zahra yang kedengaran agak kesal.
“Ehhh.. Nggak.. soalnya kan kamu bilang bisa gede, tak kira kalau kamu udah di remesin ikhwan gitu payudaranya..”, jawabku agak panik.
“Aduhh Lisaa.. Lisaa.. kan ga harus sama ikhwan juga.. kita remes sendiri juga bisa kaann..??”, jawab Zahra santai.
“Ehh.. Ahhh.. iya yaa.. knapa aku ga kepikiran sampe sana ya?? Ahahah.. yaudah deh.. bobo.. jadi malu sendiri aku..”, jawabku yang kemudian segera naik ke ranjang atas.
Hari-hari berikutnya aku mulai terbiasa dengan agenda pondok dan sistem yang ada di pondok. Hanya sekitar 2 bulan saja hingga kemudian aku memutuskan untuk bercadar. Itu semua tak lepas dari pengaruh lingkungan. Tak ada kewajiban ataupun paksaan untuk mengenakan cadar, tapi support dari teman-temanku membuatku semakin yakin dan mantab untuk bercadar.
“Naahh.. bentar.. Mmhh.. Daahhh.. Coba liat ke kaca.. cantiiikk kaaann..???”, kata Ifah setelah selesai memakaikan cadar tali hitam yang berpadu khimar segi empat putih yang membalut kepalaku.
Aku pun terpana melihat perubahan pada diriku. Tak pernah kubayangkan akan datang hari dimana aku akan seperti umi yang hari-hari selalu mengenakan cadar. Dan jujur saja, setelah melihat diriku yang baru dari cermin, aku pun sependapat dengan Ifah kalau aku memang terlihat lebih cantik. Bahkan Ani pun tak ada henti-hentinya memujiku dan menyamakan kecantikanku dengan Zahra.
“Heeeehhh..??? Ini neng Lisaa..?? Beda lohh.. bapak jadi gak kenal.. ahahahah..”, jawab pak Ponijan yang juga terkejut melihat perubahanku.
“Coba pak Pon.. cantik mana Lisa sama Zahra??”, tanya Ifah menggoda pak Ponijan.
“Aduh neng Ifah.. bingung bapak jawabnya.. cantik semua.. coba bapak masih muda.. udah bapak nikahin kalian berdua neng..”, jawab pak Pon yang wajahnya mengkilap karena keringat yang membasahi wajahnya setelah push up.
Di sekolah pun hampir semua teman-temanku mengakui kalau aku terlihat jauh lebih cantik ketika wajahku tertutup cadar. Aku pun semakin mantab untuk Istiqomah mengenakan cadar seterusnya. Awalnya memang terasa pengap dan agak susah bernafas karena harus mengayuh sepeda, tapi setelah beberapa hari aku pun mulai terbiasa.
Suatu malam aku terbangun dari tidurku karena rasa kebelet buang air kecil. Seperti orang pada umumnya, sebelum terasa aku sempat bermimpi buang air kecil di toilet, untungnya aku masih sempat bangun sebelum ngompol. Segeralah aku berlari menuju toilet pondok yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bangunan tinggal santriwati.
“Aahhh lega..”, gumamku dalam hati setelah puas buang air.
Aku pun ingin segera kembali ke kamar. Saat dalam perjalanan, aku mendengar sayup-sayup suara yang tak asing. Dalam hatiku sempat hadir rasa takut jangan-jangan itu suara makhluk ghoib. Meskipun para ustad dan ustadzah berpesan agar tak perlu takut, tapi tetap saja rasa manusiawiku tetap ada. Hanya saja saat aku hendak beranjak pergi, rasa penasaranku lebih kuat. Aku pun berjalan perlahan menuju salah satu toilet yang berada di paling ujung sekitar jam 23.30 an itu. Semakin dekat semakin jelas suara yang kudengar. Itu bukanlah suara makhluk ghoib melainkan suara perempuan.
“ini sih bukan jin.. tapi suara desahan..”, gumamku dalam hati karena aku pun pernah mengeluarkan suara yang sama saat menikmati cumbuan Ahsan.
Aku mencoba memanjat bak kamar mandi yang memang terbuat dari cor semen yang menghubungkan semua toilet di toilet pondok. Dengan perlahan aku mencoba melihat apa yang terjadi meskipun bagian atas tembok pembatas kotor oleh sarang laba-laba.
“Ehhh.. Zahraaa..!!??”, teriakku dalam hati dengan mata terbelalak.
Kulihat Zahra yang hanya mengenakan jilbab abu-abu dengan cadar tali hitam tengah duduk di pinggiran bak. Seluruh tubuhnya bugil sehingga menampakkan indahnya kulit putih mulus miliknya. Toketnya yang cukup besar, mungkin di cup C juga terlihat membusung indah dihias puting coklat muda. Kedua kaki jenjang mulusnya mengangkang dengan telapak kakinya berjinjit di lantai toilet. Jemari tangannya tengah sibuk melesak cepat mengocok memeknya yang berwarna coklat mulus tanpa bulu sementara tangan kirinya sibuk meremas-remas toketnya sendiri.
“Aahh.. Ahhh.. Ahhh.. Ustadd.. Ahhh.. Mmhh.. Ayokk Ustaadhh.. Sodokk.. Mmhh.. Ahhh..”, desah Zahra yang membuatku terkejut.
Setelah kulihat ternyata ia sedang video call dengan salah seorang pengasuh pondok putra. Ustad Hamzah namanya. Bagiku meski baru sekali berjumpa dengannya, aku pun cukup terkejut dengan ketampanan wajahnya. Postur tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang, terlihat semakin indah ketika tertutup oleh jubah yang sempit itu. Meski jarak antara wajahku dengan HP Zahra yang digantung di pintu Toilet cukup jauh, tapi bisa kulihat jelas kalau Ustad Hamzah juga tengah bugil dan sedang mengocok kontolnya yang cukup panjang dan besar.
“Apa-apaan nih!?”, gumamku kesal dalam hati.
Tak bisa kuterima dengan akal sehatku lalau seorang pengasuh pondok tengah berbuat maksiat dengan santriwatinya. Dia yang seharusnya menjadi panutan dan percontohan bagi santri-santrinya, kini justru tengah asik menambah pundi-pundi dosanya. Yang lebih mengejutkan lagi ia melakukannya dengan santriwatinya, bukan dengan orang di luar pondok.
Meski geram dan kesal, tapi aku tak ingin segera beranjak dari tempat itu. Bukan Zahra yang membuatku bertahan, tapi keindahan tubuh ustad Hamzah dan terongnya yang begitu ‘rupawan’ membuat hasrat dalam diriku kembali bangkit dari tidurnya. Sudah hampir berjalan 6 bulan lamanya aku menahan gejolak ini dengan menyibukkan diriku dengan mempelajari agama, tapi justru teman sekamarku sendiri memiliki ‘sisi lain’ yang tak pernah ia ceritakan.
Sayup-sayup kudengar suara Ustad Hamzah yang tengah mendesah keenakan karena melihat santriwati cantik tengah masturbasi di hadapannya. Tak terasa memekku kembali berkedut nikmat dan rasa becek yang sudah lama tak kualami pun kembali datang. Aku tak mampu menahan syahwat dalam diriku dan ingin sekali rasanya melihat secara langsung ketika Ustad Hamzah mengocok kontolnya di hadapanku. Tangan kiriku pun sudah aktif meremasi toketku sendiri sementara bibir bawahku ku gigit karena menahan desahanku.
“Aahh.. Ahhh.. Ukhti Zahraa.. Ahh.. Ana mau keluarhh.. Ahhh.. Enaknya Farji ukhti.. Ahh.. Ahhh..”, desah Ustad Hamzah yang semakin cepat mengocok kontolnya.
“Uhhh.. Shhh.. Ahhh.. Mmhh.. Ahhh.. Ahhh.. Ahhhhh.. Na’amhh Ustadhh.. Penis Ustadh juga enak bangethh.. Ahhh.. Gedehh.. Ahhh.. Mau keluar jugah anaa.. Ahhh..”, jawab Zahra yang juga semakin cepat mengocok memeknya hingga suara becek pun menggema.
Tak lama berselang, Zahra pun melenguh dan mengejang hebat merasakan datangnya orgasme. Di lain sisi, Ustad Hamdan pun terdengar menggeram dan terlihat di dalam HP begitu banyak spermanya yang tumpah hingga hampir seluruh tangan dan perutnya berwarna putih kental. Aku pun tak tahan lagi dan segera pergi meninggalkan tempat itu dengan birahi yang masih bergolak. Aku berjalan cepat menuju kamarku dan kudapati Ifah sedang mendengkur pulas sementara Ani tidur tengkurap. Cepat-cepat ku panjat tangga ranjang dan segera merebahkan diriku. Aku yang sudah tenggelam dalam syahwat segera menaikkan kaos yang kupakai hingga toketku yang berukuran 36C dan masih terbalut Bra warna pink muda terbebaskan. Sementara tangan kananku sudah masuk ke dalam celana training panjang dan CD yang kupakai.
“Mhh.. Shhh.. Mhhh.. Aahhh.. Ahsaann.. Ahhh.. Ehh.. jangan Ahsann.. Ahhh.. Ustad Hamzzaahhh..”, desahku tertahan supaya tidak didengar oleh Ifah dan Ani.
Bukan lagi Ahsan yang menjadi fantasiku setelah melihat keindahan tubuh Ustad Hamzah. Meski tak bertemu langsung, tapi gambar yang ditunjukkan HP Zahra sudah cukup untuk membuatku tahu detil tubuh salah satu pengasuh pondok ikhwan itu. Dada yang bidang, perut yang six pack, tangan yang terlihat kuat dan kencang, ditambah kontol yang gagah, besar dan panjang. Jauh berbeda dengan milik Ahsan yang terlihat kecil setelah kubandingkan.
Jemari kananku menggesek cepat memekku karena birahi yang sudah sampai ke ubun-ubun. Tubuhku blingsatan, membanting ke kanan-kiri saat jemariku bermain di itil sementara tangan kiriku memilin gemas puting kiriku yang sudah tak tertutup Bra lagi. Kenikmatan yang sudah begitu lama kulupakan. Ku kira tubuhku sudah tak menginginkannya, tapi malam ini aku ingin melampiaskannya.
Bayangan ustad Hamzah yang tengah menjilati memekku membuat pikiranku melayang. Meski sudah kutahan, tetap saja desahanku sedikit terdengar. Terasa begitu becek di bibir memekku. Tangan kiriku secara bergantian meremasi toket kanan dan kiriku. Sungguh nikmat kurasakan meskipun hanya menggunakan jari dan menggesek memek saja.
“Unnghhhhh...”, Erangku tertahan.
Kakiku mengejang lurus, mataku terpejam dan kugigit kuat bibir bawahku saat merasakan klimaks yang sudah 6 bulan ini tak kurasakan. Benar-benar nikmat dan sesaat setelahnya rasa lega pun kurasakan. Namun itu tak berlangsung lama karena kemudian aku teringat kembali kejadian saat orangtuaku marah padaku. Seketika itu juga rasa bersalah yang amat sangat menghampiriku. Aku segera membenahi kembali bajuku dan terus menyalahkan diriku yang begitu mudahnya terjebak dalam bujuk rayu setan. Kembali ku ingat saat umi kecewa dan menangis yang membuatku tak terasa meneteskan air mata malam itu.
“Lis.. Lisa.!! Mau sampe kapan tidur terus..!??”, kata Zahra sambil mengguncangkan tubuhku.
“Ohh.. Emmmh.. Knapa Ra..??”, tanyaku yang masih setengah sadar.
“Udah jam segini..!! Kamu mau dimarahin ustadzah Shofi apa gimana!? Buruan ganti baju trus ke masjid..”, ujar Zahra yang kemudian turun dan langsung bergegas menuju masjid sambil mengenakan gamis marun dan khimar hitamnya.
Kucoba untuk melihat jam karena bingung kenapa Zahra terburu-buru. Aku terkejut ketika mendapati waktu tinggal 5 menit lagi sebelum adzan Subuh. Segera aku bangun dan mengganti seluruh pakaianku. Saat aku hendak mengenakan khimar, aku teringat kalau semalam sudah junub. Waktu yang semakin mepet membuatku hanya mandi bebek saja yang penting persyaratan wajib mandi junub sudah terpenuhi.
“Gak biasanya kamu telat gini Lis..”, kata Ifah sambil menahan menguap.
“Yaahh.. manusia juga Fah.. kadang kesiangan..”, jawabku sambil duduk dengan mukena putih berenda dongker memangku kitab fiqh sunnah di tanganku.
“Ahaha.. iya juga sih.. tapi jangan pake alasan itu laahh.. apa bedanya sama orang-orang lain diluar sana yang pake Alasan itu untuk membenarkan kelakuannya..”, jawab Ifah.
“Ahaha.. Yaa gapapa kan Fah.. sesekali jadi kayak mereka..”, jawabku santai sambil menahan tawa.
Di depan sana Ustadzah Shofi menjelaskan tentang fiqh Wudhu dengan begitu bersemangat. Meski raga ku ada di masjid, namun pikiranku traveling entah kemana. Tak bisa kupungkiri, kebanyakan santriwati pun sama, mereka lebih banyak mengantuk atau melamun daripada memperhatikan apa yang disampaikan. Maka tak jarang beberapa kali Ustadzah Shofi harus berteriak keras untuk menegur santriwati yang tidak memperhatikan materi. Sudah cukup lama sejak pertama kali aku melihat Ustad Hamzah di pondok ini. Saat itu tepat aku satu bulan berada di pondok dan sedang ada kunjungan dari beberapa Ulama dari yayasan yang menaungi pondok.
“Ehh.. siapa tuh Fah..??”, Tanyaku mencolek Ifah yang duduk di sebelah kananku.
“Hem? Yang mana?? Ohh.. itu..?? Itu mah idaman semua akhwat disini.. namanya ustad Hamzah..”, jawab Ifah yang juga sepertinya ada rasa dengan ustad Hamzah.
“Ohh.. ustad Hamzah.. orang mana?? Ustad disini juga..??”, tanyaku kepo.
“Iya dong.. beliau ngajar Tahfidz di kalangan santriwan.. Ahhh.. Coba jadi suamiku.. uhhh.. bakal ku iket di rumah aja.. ahahaha..”, jawab Ifah yang terlihat gemas dengan penampilan menawan Ustad Hamzah.
Aku juga tak bisa melepaskan pandangan mataku pagi itu dari pesona sang Ustad. Meski berpakaian serba putih dan berjubah, tetapi keindahan tubuhnya tetap tampak. Paras yang rupawan dengan kulit putihnya, tubuh yang tinggi dan gagah, dada yang bidang dan tubuh yang cukup atletis, nampak jelas dari jubahnya yang full-pressed body sehingga menunjukkan lekukan tubuhnya. Aku yang baru pertama kaki melihatnya saja serasa meleleh, apalagi para santriwati senior yang lain. Sudah pasti harus menenggak ludah karena ketampanan dan kesolehan yang menjadi idaman mereka.
Selesai dari kajian rutin pagi, aku dan teman-temanku yang lain segera bersiap-siap untuk sekolah layaknya biasanya. Sempat kami berempat berpapasan dengan Usatd Hamzah yang sedang naik motor Aerox Hitam dengan striping kuningnya. Baik Aku, Ifah, Ani, dan Zahra tak bisa sedetikpun berkedip saat ia melintas, terlebih lagi ustad Hamzah sempat melepaskan senyum manisnya pada kami. Mhhh.. serasa seperti terbang sampai ke puncak khayangan. Hanya saja kami harus memendam sedikit kesedihan karena Ustad Hamdan sedang berboncengan dengan istrinya saat itu. Menurut cerita Ifah dan Zahra, Istri Ustad Hamzah tak kalah cantiknya. Berkulit putih bersih, wajah yang cantik jelita, mata yang lentik, tubuh yang indah tinggi semampai, ditambah ukuran toketnya yang tergolong besar meskipun teman-temanku tak bisa menerangkan dengan jelas ukuran cup nya.
Selama di sekolahan pikiranku tetap saja terbang entah kemana. Selalu saja terbayang akan kejantanan Ustad Hamzah di kepalaku. Hingga sering sekali aku berfantasi dengannya dalam pikiranku.
“Ahhh.. andaikan aku menjadi istri Ustad Hamzah, Istri simpanan pun aku rela..”, gumamku yang sudah dikuasai syahwat siang itu.
Semakin lama, semakin jauh fantasiku membayangkan Ustad Hamzah. Sudah jelas hal itu membuat putingku mengeras dan selakanganku berdenyut kuat seakan ingin segera untuk merasakan kejantanan Ustad Hamzah. Namun di lain sisi aku tak ingin kehilangan keperawananku tanpa ikatan yang jelas. Sepulang sekolah, rute biasa yang kulewati pun tak lepas dari fantasiku. Aku yang sudah terlalu dalam tenggelam dalam birahi, tak mampu lagi memendam fantasiku untuk disetubuhi oleh Ustad Hamzah di hutan rindang yang ada di kanan-kiriku.
“Ehh.. Kalian duluan yaa.. aku kelupaan nih.. kayaknya ada yang ketinggalan di sekolah..”, ujarku pada Ifah, Ani, dan Zahra.
“Apa yang ketinggalan?? Makanya di cek dulu.. jauh lhoo kalo balik..”, kata Ani sambil memberhentikan sepedanya.
“Iya sih.. trus ntar baliknya gimana Lis??”, tanya Zahra yang juga ikut berhenti.
“Ahh.. gapapa.. bentar aja kok.. udah sana duluan aja..”, jawabku.
Ifah, Ani, dan Zahra pun tak menaruh curiga padaku dan terus melanjutkan perjalanannya menuju pondok. Aku berpura-pura membuka tasku sambil mengecek isi tas padahal aku hanya ingin memastikan kalau mereka sudah cukup jauh dariku. Setelah ketiga temanku sudah tak terlihat lagi, aku segera mengayuh sepedaku ke arah air terjun yang kemarin kukunjungi. Kurang lebih sekitar jam 13.30 saat itu dan kulanjutkan dengan berjalan kaki. Aku masih ingat saat itu kulihat ada satu batu yang cukup besar di dalam hutan yang cukup pas bagiku untuk melampiaskan gelora syahwatku yang sudah tak tertolong lagi.
“Sssshhh.. Mhhhh.. Aaahh.. Akhirnyaa bisaahh lagiiihh.. Mmmhh.. Oohhhh.. Ustaadhh.. Mmhh..”, desahku sambil merem melek menikmati permainan jemariku sendiri.
Kusandarkan diriku di batu besar itu yang juga teduh karena tertutupi oleh pepohonan di atasnya. Kaki kiriku berpijak di bekas batang pohon yang ada di sisi kiriku sementara kaki kananku menapak di tanah. CD ku yang berwarna pink muda sudah ku lepas dan kumasukkan ke dalam tas. Rok panjang berwarna abu-abu khas anak SMA yang menutupi paha putih ku pun sudah kusingkapkan. Mataku terpejam menikmati masturbasi yang akhirnya bisa kembali kurasakan, terlebih lagi kini aku berada di alam terbuka. Sungguh pengalaman yang berbeda. Kubayangkan diriku saat itu berdiri agak mengangkang sementara ustad Hamzah berjongkok di bawah dan membenamkan wajahnya di selakanganku.
“Oouwhh.. Mmhh.. Ustaaddhh.. Ahhh..”, desahku merasakan nikmatnya syahwat yang menerpa saat kubayangkan lidah Ustad Hamzah menari liar menyapu memekku.
Khimar putih jumbo yang kukenakan sudah tersingkap di pundakku sementara baju OSIS putihku sudah terbelah dan memuntahkan kedua bukit indahku yang masih tertutup Bra warna pink muda. Birahi yang semakin memuncak membuatku ingin merasakan yang lebih. Tangan kiriku menyusup di balik Bra dan kuremas perlahan toket kiriku yang terasa begitu kenyal. Sesekali jemariku memilin putingku yang justru semakin membuatku terbang dalam nikmat fantasiku sendiri.
Suasana hutan yang rindang menjadikan siang itu terasa sejuk bagiku yang juga semakin membuat fantasiku semakin jauh. Kala itu kubayangkan aku tengah duduk di atas batu itu sementara kedua kakiku mengangkang lebar. Dengan gagah dan mantab Ustad Hamzah melesakkan kontol perkasanya jauh menembus liang memekku yang membuatku mabuk kepayang. Jemariku pun semakin cepat menggesek bibir memekku yang sudah begitu becek oleh lendir syahwat yang berwarna putih. Desahan dan rintihan ku semakin kuat karena sedikit lagi aku mencapai orgasmeku.
“Aahh.. Ahhh.. Ustadd.. Aahhh.. Sshh.. Sodok terus Ustaad.. Ahhh.. Enakk.. Ahhhhhhh”, desahku sesaat sebelum akhirnya aku mencapai klimaks.
Meski tak sampai squirt, namun aku tetap merasa puas tak terkira. Seluruh tubuhku mengejang, kuremas kuat toket kiriku, mataku terpejam kuat dengan bibir bawahku kugigit saat merasakan kenikmatan itu melanda. Selama beberapa saat tubuhku terasa lemas dan nafasku tersengal-sengal yang membuatku terpaksa bersandar sebentar di batu itu. Sekitar jam 14.00, setelah kembali merapikan pakaian dan cadarku, aku pun segera melanjutkan perjalananku pulang.
“Ehh.. Neng Lisa.. sendirian aja..??”, tegur pak Ponijan yang tiba-tiba muncul dihadapanku saat aku hendak mengambil sepeda yang kuparkirkan sekitar 70 meter dari pinggir jalan utama dan masuk ke arah hutan.
“Ehh.. pak Pon.. ahh.. iya.. Ngga.. iseng aja.. Bapak juga kok sendirian?? Dari mana..??”, tanyaku yang tergagap karena panik.
“Iya neng.. memang ini jadwal bapak patroli siang.. tadi sempat liat dari kejauhan kok kayak ada yang beda.. pas bapak sampe sini liat sepeda neng Lisa.. yaa bapak kira kalo neng Lisa lagi sama temennya jadi bapak sengaja jalan-jalan di sekitar sini aja buat bikin parameter..”, jawab pak Ponijan yang siang itu mengenakan kaos loreng hijau dengan celana militernya.
“Ohh.. gitu pak yaa..?? Buat ngamanin daerah sini yaa..??”, tanyaku untuk mengalihkan perhatian pak Ponijan sambil aku mendorong sepedaku.
“Yaa gitu neng.. namanya juga tugas.. Ohh iya, perlu bapak antar sampai jalan utama nggak..??”, tabya pak Ponijan sambil mengambil beberapa ranting pohon.
“Ohhh.. ngga usah pak.. Lisa masih hafal jalannya kok.. makasih ya pak..”, jawabku yang kemudian meninggalkan pak Ponijan disana.
Kebiasan baruku untuk masturbasi kini menjadi lebih sering. Kurang lebih kulakukan 2-3x dalam seminggu. Untuk tempat aku pun tak terlalu memikirkannya. Kadang di kamar kalau malam hari, atau di toilet pondok seperti yang dilakukan Zahra. Khusus untuk outdoor, terlebih lagi di hutan, maka harus ku sesuaikan dengan jadwal piket kebersihan kelas sehingga ada alasan untuk aku pulang terlambat.
Meski kini cukup sering aku bermasturbasi untuk meluapkan syahwatku, namun tak jarang juga aku teringat akan ancaman dosa dari Allah. Saat perasaan itu datang, maka rasa bersalah pun mendatangiku. Pesan ustadzah Shofi untuk berpuasa saat syahwat mulai melanda sudah sering kucoba. Bahkan beberapa temanku, termasuk Ifah selalu menanyakan kenapa aku selalu puasa. Tapi tetap saja hal itu tak bisa membendung gelora syahwatku yang selalu muncul. Apalagi hampir tiap malam senin aku selalu membuntuti kemana Zahra pergi.
Suatu malam, aku sudah berniat untuk mengikuti kemana Zahra malam itu. Seperti biasa aku pura-pura tidur, sementara Ifah dan Ani memang tertidur pulas. Dengkuran Ifah pun cukup keras bagi seorang perempuan. Sekitar jam 11.45, kulihat Zahra mulai mengendap-endap keluar kamar. Aku tak langsung mengikutinya, tapi sengaja kujeda sekitar beberapa menit supaya tidak ketahuan. Setelah dirasa cukup jauh, aku mulai mengikutinya dari belakang. Namun yang membuatku heran adalah Zahra tak seperti malam senin biasanya. Kali ini jalur yang ia tempuh mengarah ke perbatasan pondok putra dan putri padahal biasanya ia menuju toilet putri. Aku pun tak ambil pusing dan terus mengikutinya secara perlahan. Suasana yang cukup gelap di sekitar pondok putri memudahkan Zahra untuk menyelinap dan berhenti di depan pintu pembatas antar pondok Putra dan Putri.
*Cklek.. Klang..* suara kunci pintu besi pembatas dibuka.
Meski malam cukup gelap, tapi aku bisa melihat dari kejauhan kalau Zahra malam itu mengenakan setelan abaya, khimar, dan cadar warna coklat susu. Aku sempat berpikir dimana ia berganti pakaiannya sebab saat ia keluar kamar tadi masih mengenakan kaos lengan panjang biru tua dan celana training hitam.
“Ahh.. mungkin tadi waktu aku nungguin dia di kamar trus ganti..”, gumamku dalam hati.
Kunci pintu pembatas pondok berada di sisi dalam pondok putri, alhasil sudah pasti Zahra yang membukanya. Kembali diriku dibuat keheranan bagaimana bisa dia mendapatkan akses kunci untuk membuka gembok pintu pembatas itu. Kemudian muncullah dua orang ikhwan mengenakan gamis putih dari balik pintu itu, aku yakin salah satunya adalah ustad Hamzah melihat dari postur tubuhnya, tapi aku tak mengenali yang lain. Keduanya nampak akrab dan tak sungkan untuk mencium bibir Zahra yang tertutup cadar, begitu pula Zahra yang juga terlihat nyaman bahkan tangannya tak ragu untuk menyentuh kulit ikhwan ajnabi itu.
Tak berlama-lama, ketiganya segera beranjak ke salah satu bangunan kecil di pojok pondok putri. Dari pintu pembatas pondok putra-putri berjarak sekitar 40an meter saja. Karena itu bangunan yang sepertinya sudah lama ditinggalkan sehingga penerangan di jalur menuju bangunan itu pun sekedarnya. Saat ketiganya sudah memasuki bangunan itu, aku berjalan mengendap-endap dan sebisa mungkin tak menimbulkan suara dengan melepas alas kakiku. Posisi jendela bangunan itu standar dan tidak terlalu tinggi sehingga cukup mudah bagiku untuk mengaksesnya. Dan begitulah, seperti yang semua pembaca tebak, adegan perzinaan 2 lawan 1 pun terjadi. Karena aku yang tadinya menjaga jarak, maka saat aku sampai di lokasi, kini Zahra tengah berlutut di antara ustad Hamzah dan seorang ustad lain yang sudah bugil. Khimar jumbo Zahra sudah disibakkan dan menampilkan kedua bongkahan gunung kembar 36C miliknya yang dihias puting coklat.
Melihat adegan panas di bangunan yang ternyata bekas mushola itu membuat jemariku tak tahan untuk segera menjamah selakanganku sendiri. Mulut mungil Zahra yang dihias bibir pink kemerahan begitu mudahnya melahap kontol Ustad Hamzah yang berukuran sekitar 17cm sementara kontol lain berukuran hampir sama. Cadar yang ia kenakan semakin membuat kedua ustad pengajar pondok itu bernafsu untuk menikmati mulut sempit Zahra. Secara bergantian keduanya mencengkeram kepala Zahra dan menyodok cepat kontolnya di mulut Zahra sehingga beberapa kali kudengar Zahra tersedak.
“Mmhhh.. Shhh.. Aahhh.. Sshhh..”, desahku tertahan sambil terus menggesek-gesek memekku dengan tangan kananku yang sudah menyusup masuk ke dalam celana training yang kupakai.
Bagaimana bisa birahiku tak bergolak? Kali ini Zahra tengah jongkok mengangkang di atas wajah Ustad Hamzah yang telentang di atas karpet mushola bekas menikmati tarian lidah sang ustad ganteng idamanku itu memanjakan memeknya sementara di atas mulutnya terus dihadiahi oleh lezatnya kontol ustad yang lain. Semakin lama aku melihatnya, semakin kurasakan beceknya lendir yang mengalir di selakanganku. Kali ini Zahra lebih dulu memulai aksinya dengan memanjakan kontol ustad Fulan (karena aku tidak tau namanya) dengan posisi WOT. Bisa kulihat dengan jelas memek cantik Zahra yang berwarna coklat tua mulus itu menelan kontol panjang sang ustad.
“Ooooohhhhhh.. sssshhh.. aaaahhhh..”, lenguh Zahra saat lubang kenikmatannya disesaki kontol ustad Fulan sementara kini hanya tersisa Khimar, cadar, dan kaos kaki saja yang masih menutupi keindahan tubuh putih mulusnya.
Ustad Hamzah pun segera menyumpal kembali mulut Zahra supaya aksi perzinaan ketiganya tak diketahui orang. Meski tengah melayani 2 kontol sekaligus, tubuh Zahra tetap bergoyang cepat seakan ia sudah ahli dalam melakukannya. Toketnya yang membusung dan menantang kini sudah menjadi sasaran kebrutalan tangan ustad Fulan. Sekitar 5 menit kemudian, berganti ustad Hamzah yang melesakkan kontolnya menembus sempitnya memek Zahra dengan posisi doggy sementara mulit Zahra harus mengulum kontol Ustad Fulan yang masih mengkilap oleh cairan memeknya sendiri.
Jemariku semakin cepat memanjakan memekku yang entah sudah berapa kali aku orgasme. Meski capek tapi aku penasaran dengan akhir dari panasnya perzinaan mereka. Bahkan aku membayangkan jika aku berada di posisi Zahra, merasakan dari depan dan belakang disodok kontol secara liar seperti itu sudah membuatku mabuk kepayang.
Mataku dibuat terbelalak karena melihat adegan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Zahra yang tengah WOT di atas tubuh Ustad Fulan kemudian di dorong oleh Ustad Hamzah sehingga tubuhnya agak merendah dan condong ke depan. Tak lama kemudian Ustad Hamzah mengarahkan kontolnya dan Blesshh.. anus sempit Zahra tanpa halangan melahap kontol Ustad Hamzah sepenuhanya.
“Aaaaaooouhhhhhhhhh.. Ustaaadhh.. Mmmhhhh.. Aahh.. Ahhh.. Ahhhh..”, rintih Zahra ketika merasakan kedua lubangnya tersumpal kontol sekaligus.
Tangan kiriku menutupi mulutku sementara mataku tak berkedip melihat kedua kontol itu dengan cepat dan gahar berkerjasama dan berirama menggempur bokong bulat Zahra yang mulai kemerahan. Ini pemandangan tergila yang pernah kulihat. Antara rasa jijik tapi bercampur dengan penasaran. Antara ingin marah tapi juga birahi secara bersamaan. Aku tak pernah menyangka kalau lubang bo’ol bisa menampung kontol ikhwan juga. Bahkan tanpa rasa jijik sekalipun Zahra siap mengulum kontol Ustad Hamzah setelah dari anusnya sebelum kembali melesak ke memeknya, sementara berganti kontol Ustad Fulan yang menyesaki anusnya.
Erangan, Desahan, rintihan, serta suara benturan tubuh ketiga anak adam itu saling beradu mesra di kesunyian malam pondok. Ustad Fulan yang lebih dulu mencapai klimaksnya setelah menggagahi Zahra di posisi Missionary selama sekitar 3 menit. Ia menyemburkan sperma kentalnya di wajah Zahra yang masih tertutup cadar dan terlentang pasrah di karpet. Tak sampai disitu saja, kini berganti ustad Hamzah yang kemudian melesakkan kontolnya ke anus Zahra tanpa ampun sementara kedua kaki Zahra mengangkang dan ditahan oleh kedua lengan ustad Hamzah. Malam itu diakhiri dengan Ustad Hamzah yang mengeram keras saat meledakkan ejakulasinya di mulut Zahra yang dipenuhi kontolnya itu.
“Lis.. nglamun lagi?? Ntar dimarahin ustadzah lohh..”, celetuk Zahra menegurku.
“Ahh.. iya..”, jawabku singkat karena masih shock dengan kejadian semalam.
Entah kenapa aku merasa malas untuk berlama-lama ngobrol dengan Zahra setelah malam itu. Yah aku masih tak menyangka di dalam lingkungan pondok yang semuanya serba syar’i dan menjunjung tinggi syariat bisa terjadi hal-hal seperti itu, Meskipun aku tak munafik kalau aku juga menikmati sajian panas yang ditunjukkan Zahra semalam. Tapi tetap saja itu membuatku tak habis pikir, apalagi kedua ikhwan yang menikmati tubuh Zahra juga pengajar di pondok.
“Itulah misi syaitan.. yaitu bagaimana semua umat Rasulullah bisa bersama-sama masuk ke Neraka tanpa terkecuali.. maka kalau kita semua sudah mulai merasakan tanda-tanda kuatnya bisikan syaitan dalam diri, segera.. segera kembali mengingat Allah..”, jelas Ustadzah Shofi yang membuatku cukup tersadar.
Aku pun banyak-banyak istighfar setelah itu. Sholat sunnah pun ku tingkatkan, hafalan Qur’an ku pun sebisa mungkin melebihi target harian. Namun itu semua hanya bisa bertahan beberapa minggu saja aku bisa terhindar dari kemaksiatan secara total. Kata orang sih STMJ (Sholat Terus Maksiat Jalan) gitu. Kalau hari Senin – Sabtu, maka aku sering masturbasi di luar, di batu yang ada di dalam hutan, sementara kalau Ahad malam, toilet pondok lah yang menjadi saksi lenguhan nikmatku.
“Dek Lisa.. ini ada pesanan dari orangtua dek Lisa..”, kata Ustadzah Shofi sambil menyodorkan box kecil untukku.
“Ohh.. iya ustadzah.. Syukron..”, ucapku.
Beberapa saat setelah ustadzah Shofi pergi, ku buka kotak yang ia berikan. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati HPku yang dulu pernah abi belikan. Tertulis beberapa pesan di dalam kotak itu bahwasanya ini hanya boleh dibuka kalau aku sudah berhasil bertahan selama 7 bulan. Begitu bahagianya diriku, dan segera saja kuhubungi orang tuaku.
“Assalamu’alaykum umii..”, ucapku sambil menahan tangis.
“Wa’alaykumsalam..”, jawab umiku yang semakin membuat tangisku pecah karena rasa rindu ku padanya.
Hampir sekitar 3 jam lamanya aku ngobrol dengan umi untuk melepas semua yang kutahan selama ini. Sempat ku tanyakan dimana abi dan umi menjawab kalau abi sedang keluar untuk menjadi pemateri kajian di salah satu masjid. Terdengar kalau suara umi disana juga sedang menahan rindu untuk bisa berjumpa denganku.
Tak lama kemudian Adzan Dhuhur berkumandang. Aku segera mematikan HP ku dan bersiap.untuk menjalankan sholat dhuhur. Siang harinya, setelah makan siang dan murojaah, aku kembali ke kamar. Disana sudah ada Ifah dan Ani yang sedari tadi juga sudah sibuk sendiri dengan HPnya.
“Ehh.. udah pegang HP sekarang Lis?? Kok bisa?? Kirain kamu ga suka pegang HP..”, tegur Ifah yang melihatku berjalan sambil menggenggam HP ku.
“Ehh.. iya dong.. wahh.. wahhh..”, timpal Ani.
“Yaa gatau.. tadi dikasih aja sama ustdazah Shofi.. ahahah.. sik asik dulu yaa..”, jawabku sambil menaiki tangga ke ranjangku di atas.
Sudah lama aku tak bermain HP. Kudapati begitu banyak pesan WA yang masuk, termasuk dari Ahsan. Tapi entah kenapa rasanya aku malas untuk membalas WA dari Ahsan, justru malah ku masukkan ke Arsip WA. Saat aku tengah meng-eksplor isi HPku, aku terkejut karena folder yang berisi video-video bokep yang dulu sempat di beri oleh Ahsan masih ada. Bahkan video yang Ahsan buat ketika jilmek pun masih ada di sana. Tak butuh waktu lama bagi Setan untuk datang dan menghasutku kembali. Aku sempat meminjam Ear-phone milik Ifah sebelum kemudian berlanjut menikmati setiap video yang ada. Karena tempat tidurku yang ada di atas, sementara Ifah dan Ani juga sudah terlelap tidur, aku semakin leluasa untuk bermasturbasi ria.
“Mmhh.. Shhh.. Ahhh.. Mmmhh.. Oohhh..”, desahku tertahan.
Kubayangkan aku yang menjadi aktor di video itu dimana ada 2 buah kontol yang berukuran besar tengah digilir oleh mulut seorang wanita jepang. Begitu nikmatnya si wanita menikmati kontol kedua lelaki itu. Aku pun kembali teringat saat Zahra tengah menggarap kontol kedua ustad malam itu. Darahku berdesir cepat, putingku pun sudah mencuat keras di balik kaosku, sementara jemariku sudah basah kuyup oleh lendir syahwat memekku. Apalagi kini adegan berganti si wanita tengah doggy sementara mulut dan memeknya disumpal kontol. Suara desahan dan erangan khas wanita jepang pun memanjakan telingaku. Jemari tangan kanannku semakin cepat menggesek memekku yang sudah terbakar birahi hingga ke ubun-ubun. Secara bergantian kedua lelaki di video itu menggilir si wanita yang sudah terlentang pasrah hingga akhirnya keduanya membanjiri rahim si wanita dengan sperma kental.
“Nnnnghhhhhh..”, lenguhku tertahan saat orgasmeku meledak.
Mataku terpejam sementara seluruh tubuhku mengejang saat menikmati orgasmeku siang itu. Beberapa saat kemudian tubuhmu terasa begitu lemas dan aku pun tertidur. Aku kembali terbangun karena mendengar suara Adzan Ashar yang menggema dari musholla pondok. Aku terkejut karena HP ku ternyata sedari tadi terus memutar semua video yang ada di penyimpanan HPku. Untungnya tak ada yang melihat kejadian itu.
Setelah hari itu, pikiranku semakin jauh tenggelam dalam dunia syahwat. Bahkan hanya melihat beberapa santriwan yang tengah berkumpul di kantin sekolah sudah membuat memekku berkedut karena membayangkan tengah di garap rame-rame oleh mereka. Di kelas pun sama, setiap guru lelaki yang mengajarku pasti tak lepas dari fantasiku. Terlebih lagi guru matematika, pak Anwar namanya yang punya postur tubuh idaman. Tinggi, besar, kencang, dan paras yang cukup ganteng menurutku.
“Ohh.. iya ya.. hari ini jadwal piket kamu ya Lis..?? Yaudah kita duluan yaa..”, kata Ani.
“Iyah.. nanti aku nyusul sih.. lagian ini aku nyalin belum kelar..”, jawabku yang masih menyalin catatan dari salah satu temanku.
“Ahahah.. udah ga usah rajin-rajin amat.. toh besok ga ditanyain malaikat di kubur..”, celetuk Ifah bercanda.
Sekitar jam 13.25 aku baru selesai dengan urusan bersih-bersih di sekolah. Kulihat awan sudah agak mendung kalau tidak bergegas khawatir akan kehujanan di jalan. Dengan buru-buru aku segera mengayuh sepedaku. Tak jauh dari sekolah, aku dikejutkan oleh suara pak Anwar yang memberiku salam sambil melambaikan tangannya. Motor Yamaha X-Ride yang dia kendarai semakin membuatnya terlihat gagah di mataku. Ahh.. dadanya yang bidang semakin terlihat seksi dengan baju dinas PNS warna coklat susu yang ia kenakan. Gara-gara hal itu, niatku yang ingin langsung pulang ke pondok pun harus ku tunda karena ada ‘kewajiban' yang harus kulakukan.
“Ahhh.. Ahhh.. Pak Anwarr.. Ahhh.. Ustad Hamzaahh.. Ahhh.. Enakkk.. Aahhh.. Mhhh..”, desahku cukup keras karena birahi yang sudah memuncak.
Kembali batu besar di hutan itu menjadi sandaran untukku yang tengah terbang dalam kenikmatan masturbasi membayangkan kontol besar Ustad Hamdan dan Pak Anwar sibuk menggilir selakanganku. Karena hari itu hari Rabu, jadi HP ku sudah kembali ke tim amanah pondok. Hanya imajinasiku yang begitu liar yang menjadi tuntunanku siang itu. Khimar putih jumboku sudah bersandar di pundakku, sementara toket 36C ku yang dihias puting coklat muda sudah terlepas dari sangkarnya dan terbuka bebas menjadi sasaran remasan tangan kiriku. Tangan kananku sendiri terus aktif membelai, menggesek, membelah bibir memekku yang sudah banjir bandang oleh lendir.
“Aahhh.. Ahhh.. Ahhhh.. Ooohhhh.. Ssshhh.. Ahhhh.. Oooounnnghhhhhh..”, lenguhku kuat merasakan klimaksku.
Seluruh tubuhku mengejang hebat, mataku menatap nanar ke atas dengan mulutku yang agak terbuka. Toket kiriku ku remas kuat sementara tangan kanannku membuka bibir memekku saat kurasakan orgasme yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Entah kenapa orgasmeku siang itu begitu nikmat dan memekku menyemburkan cairan layaknya orang buang air kecil. Aju baru tau kalau itu yang disebut Squirting setelah beberapa hari berikutnya aku melihatnya di video bokep dari HPku. Seluruh sendiku serasa ingin lepas karena lelah yang tak biasa. Aku pun duduk sebentar di batang pohon di depanku dengan posisi mengangkang sehingga menampilkan memekku yang mulus tanpa bulu karena rok panjangku yang kusingkapkan hingga pinggul. Toketku yang bulat mulus itu pun bebas tanpa ada yang menutupinya. Saat aku tengah mencoba menstabilkan nafasku dan menatap ke langit, baru kusadari kalau awan sudah begitu gelap karena mendung. Dengan panik aku segera mengancingkan lagi bajuku tanpa sempat kembali membenahi bra dan tak sempat memakai CD.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong sepedaku dan mengayuhnya. Jarak dengan pondok masih cukup jauh tapi suasana sudah terlalu gelap karena awan mendung. Dan benar saja, tetes hujan pun tak tertahankan dan mulai mengguyur deras diriku. Meski sudah berusaha, aku pun terpaksa harus berteduh di salah satu pohon yang cukup rindang untuk mengurangi intensitas hujan yang mengguyurku. Bukan masalah aku basah kuyup, tapi lebih ke buku-buku pelajaran yang ada di dalam tas yang kukhawatirkan. Sudah lebih dari 20menit aku berteduh, seluruh baju, khimar, cadar dan rokku basah kuyup. Tasku pun mulai terlihat basah yang membuatku semakin khawatir.
Bruuumm.. Ciiitt.. *Suara mobil di rem*
“Lohh.. Neng Lisa kan?? Ngapain disini hujan-hujanan??”, tanya pak Ponijan yang mengenakan jas hujan dan juga tengah hujan-hujanan dengan motor megapro nya.
“Ahh.. pak Ponijan.. ini tadi keujanan.. Pakk.. Pakk.. boleh ikutan ngga..??”, tanyaku tanpa basa-basi karena sudah panik dengan kondisi tasku.
“Iya ayo.. keburu makin deras ujannya neng.. nanti sepedanya bapak ambil lagi aja..”, jawab pak Ponijan yang kemudian menarik bagian belakang jas hujannya.
Tanpa basa-basi aku segera naik ke jok belakang pak Ponijan padahal aku tau dia bukan mahramku. Tapi karena hujan yang tambah deras ditambah lagi aku yang sudah akrab dengan beliau sehingga membuatku tak malu-malu lagi. Ku dekap tasku di dadaku yang sudah basah kuyup sementara tangan kiriku menarik bagian belakang jas hujan pak Ponijan supaya tidak berkibar kesana-kemari. Hawa dingin karena angin yang berhembus menerpa bajuku yang basah kuyup membuatku sedikit bergidik. Sepatuku pun bisa kurasakan seperti halnya tempat penampungan air.
“Neng.. tambah deres nih.. ke pos jaga dulu aja ya nunggu hujannya agak reda dikit..”, kata pak Ponijan.
“Haa..?? Ahh.. Iya deh pak..”, jawabku spontan meskipun tidak tahu apa yang pak Ponijan ucapkan.
Pak Ponijan semakin cepat mengendarai motornya dan terlihat lincah melewati jalan yang tergenang oleh air. Tak berselang lama, kami pun sampai di pos jaga yang biasa pak Ponijan berada. Dengan cepat pak Ponijan mengambilkan handuk dan untukku sambil kemudian ia kembali menyalakan motornya.
“Wah.. Bapak ga ada baju buat neng Lisa.. pakai handuk dulu neng yaa biar agak keringan dikit.. bapak mau balik ambil sepeda neng Lisa dulu..”, ucap pak Ponijan yang langsung kembali merangsek di derasnya hujan.
Aku pun hanya terdiam dan mengangguk saja dengan arahan cepat pak Ponijan. Mungkin karena beliau sudah terbiasa dengan perintah dari komandannya yang semua harus serba sat-set. Ku lihat-lihat bangunan pos jaga yang berukuran 4x6 meter itu. Cukup luas dan tertutup oleh tembok dan kaca. Bahkan fasilitas nya pun cukup lengkap dengan musholla dan ruang istirahat. Bahkan ada ruangan kecil yang disulap menjadi dapur mini di sebelah musholla. Sebuah toilet minimalis berada di bangunan yang berbeda tapi menempel dengan pos jaga. Kuletakkan tasku di bawah bangku di pos itu dan sedikit kukeringkan pakaianku dengan handuk.
“Aahhh.. coba di pondok.. udah ganti baju ga pake kedinginan..”, gumamku sambil duduk dan menanti pak Ponijan.
Saat aku ingin melepas cadar putihku yang juga basah, tiba-tiba kudengar suara motor dari derasnya hujan. Kulihat pak Ponijan mengendarai motornya sambil tangan kirinya menggenggam stang sepedaku. Aku heran, padahal itu kan motor laki, tapi pak Ponijan bisa dengan mudahnya membawa sepedaku bahkan di bawah derasnya hujan.
“Ahhh.. lama neng yah..??”, ujar pak Ponijan sambil melepas jas hujannya setelah memarkirkan motornya di belakang.
“Ngga juga kok pak Pon..”, jawabku yang kini duduk tegap di kursi dengan kedua tanganku diatas kedua pahaku.
“Ahahah.. ga usah kaku gitu neng.. Ehh.. Ahh iya.. bapak bikinin teh anget yaa..”, jawab Pak Ponijan.
“Iyah pak.. aduhh jadi ngrepotin bapak..”, jawabku malu-malu.
Pak Ponijan pun hanya tersenyum kemudian segera menuju dapur. Sempat kulihat kalau mata pak Ponijan beberapa detik terpaku pada tubuhku. Aku pun tak mengindahkannya, tapi mungkin saat itu ia melihat bongkahan toketku yang nampak samar-samar dari balik khimar dan bajuku yang basah kuyup. Sekitar 5 menit kemudian pak Ponijan keluar dengan membawa 2 gelas teh panas.
“Ini neng.. Ati-ati panas ya..”, kata pak Ponijan sambil duduk di depanku.
“Iyah pak Pon.. makasih ya..”, jawabku yang tanpa ragu segera mengambil gelas itu dengan kedua tanganku.
“Srruupp.. Ahhh.. Ngomong-ngomong kok sendirian neng?? Neng Ifah sama yang lain kemana??”, tanya pak Ponijan yang berkumis tebal itu.
“Srrpp.. Ohh.. mereka udah balik pondok duluan pak.. tadi Lisa ada piket bersih-bersih kelas..”, jawabku sambil menikmati hangatnya teh dengan suara guyuran hujan yang begitu deras sebagai background.
“Mmhh.. gitu ya.. soalnya ga biasa aja gitu liat santriwati pulang sendirian.. lagian bapak udah sering bilang kalo bahaya..”, jawab pak Ponijan.
“Ohh.. bahaya apa pak??”, tanyaku.
Kemudian pak Ponijan yang mengenakan kaos ketat warna biru muda dengan loreng-loreng biru tua itupun mulai bercerita tentang beberapa kali kasus penculikan disini dan juga serangan hewan liar seperti ular di dalam hutan, maka dari itu ia terus berpatroli hari-hari. Ia juga bercerita kalau sudah hampir 2 tahun ini ia bertugas di daerah itu setelah sebelumnya dinas di daerah Kalimantan. Di umurnya yang sudah menginjak separuh abad, apalagi tinggal di daerah pedalaman seperti itu membuatnya rindu akan keluarganya. Maka ia cukup terhibur saat tau kalau ada santriwati pondok yang sering lalu-lalang di dekat tempat ia bertugas. Hal itu mengingatkannya dengan beberapa anaknya dan juga cucunya.
“Ahahah.. yaa itulah neng konsekuensi dari tugas bapak.. jauh dari anak istri..”, jawab pak Ponijan yang sudah beberapa kali terlihat memandangi daerah dadaku.
“Ohh.. terus kalo lagi kangen gitu gimana dong pak??”, tanyaku polos.
“Emm.. kangen ya..?? Kangen siapa dulu nih neng?? Kangen anak apa istri..??”, tanya pak Ponijan menggoda.
“Emmm.. kalo kangen istri gimana tuh paakk?? Kan jauhh..”, jawabku yang juga balas menggoda pak Ponijan sambil terus menikmati tehku.
“Yaahh gimana yaa..?? Yaa gitu lah neng..”, jawab pak Ponijan sambil sesekali melirik ke pahaku.
“Gimana sih pak?? Lisa gatau nihh.. “, jawabku yang semakin menggoda pak Ponijan dengan maksud bercanda.
“Duhh gimana ya jelasinnya.. itu lohh nengg.. gapapa nih bapak cerita sama santri pondok kayak neng..??”, jawab pak Ponijan sambil menahan malu sepertinya.
“Hem?? Gapapa kok pak.. hihihih..”, jawabku sambil tertawa kecil ke arah pak ponijan yang membuat pak ponijan agak salting.
“Itu neng.. kalo bapak pas kangen yaa.. Co.. Coli gitu..”, jawab pak Ponijan sambil menutupi wajahnya dengan tangan kanannya.
“Ehh.. apa tuh pak Coli..??”, tanyaku keheranan karena memang aku waktu itu belum tau soal istilah itu.
“Yaa itu tuh neng.. gimana ya?? Mainin itunya bapak..”, jawab pak Ponijan malu-malu.
“Ohh.. Ahahah.. Lisa ga paham sih pak..”, jawabku singkat karena ingin menyudahi saja candaanku.
“Ehh ya neng.. bapak tuh penasaran.. mmm.. bentar ya..”, ucap pak Ponijan sambil sibuk dengan HPnya.
Tak lama kemudian pak Ponijan menunjukkan video di HP nya. Aku yang penasaran pun dengan santai melihat apa yang ditampilkan. Video bermula dari suasana hutan yang cukup rindang yang membuatku merasa seperti dejavu saat melihatnya. Beberapa detik kemudian, aku dibuat tercengang. Jantungku berdetak kencang, harga diriku serasa hancur berantakan. Rasa panik dan bersalah seperti saat dulu abi menunjukkan video saat aku berzina dengan Ahsan kembali kurasakan siang itu.
“ini lagi ngapain neng..?? Hehehe..”, tanya pak Ponijan dengan senyum penuh makna tersirat di wajahnya.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan pak Ponijan. Aku hanya terdiam terpaku melihat di dalam video itu menayangkan diriku yang tengah bermasturbasi ria di tengah hutan yang biasa ku datangi. Ingin rasanya aku berteriak, marah, sekaligus sedih di waktu yang sama. Bukan pak Ponijan yang ku khawatirkan, tapi kalau video itu menyebar ke teman-temanku, atau ustadzah, atau bahkan sampai ke orangtuaku. Hancurlah sudah masa depan dan kehidupanku kalau itu terjadi.
“Ahhh.. Pakk Pon.. Hapus dong.. Hapus tolongg.. kok bisa dapet darimana paakk..??”, rengekku panik.
“Lohh.. kan tadi bapak nannya.. lagi ngapain nih neng..? Jawab dulu dong..”, ucap pak Ponijan yang duduk santai di hadapanku.
“Ahh.. aduhh pakk.. tapi hapus dulu videonya.. Lisa maluu.. tolong paakk.. jangann..”, rengekku sambil sesenggukan.
“Kok malah nangis?? Kayaknya di video itu neng Lisa keenakan.. coba dong, kasih tau bapak lagi ngapain nih neng Lisa..?”, ujar pak Ponijan yang menekanku dengan kata-katanya.
“Tapi janji yaahh pak.. ga kasi tau siapa-siapa.. yaahh..??”, pintaku memelas.
“Yaa itu masalah nanti.. jawab dulu.. trus cerita.. kok bisa santriwati bercadar kayak neng Lisa kayak gini..”, tanya pak Ponijan.
Aku pun tak punya pilihan lain selain menceritakan semua kisahku. Awal mula aku mengenal dunia lendir dari Ahsan waktu aku masih MTS. Meski malu, aku terpaksa melakukannya, aku tak punya pilihan lain. Semua detil kejadian yang ku alami dengan Ahsan kuceritakan pada pak Ponijan.
“Waahh.. nakal juga yaa neng Lisaa.. ahaha.. coba sekarang neng Lisa lakuin lagi yang kayak di video ini..”, kata pak Ponijan.
“Ehh.. tapi kan Lisa uda cerita pakk.. kan tadi ga disuruh kayak gitu..”, jawabku panik.
“Yaa terserah neng Lisa aja.. ini ada.. mmm.. 30an video lohh.. ahahaha.. bapak tuh rajin patroli jadi tau banget jadwal onani neng Lisa.. gimana? Pilih lakuin atau jadi viral nih..??”, ancam pak Ponijan.
“Ahh.. Iya pak Pon.. Jangan pak Pon..”, jawabku yang kembali panik.
Kuletakkan gelas tehku dan mulai melakukan apa yang pak Ponijan minta. Setelah kusibakkan khimarku, aku mulai melepas kancing bajuku dan plop.. kedua toket 36C ku melompat keluar dari nalik seragam MAN yang kukenakan dan disambut siulan pak Ponijan yang terpana melihat bulat dan indahnya toketku. Kuubah posisi dudukku dengan bersandar di dinding sementara kedua kakiku kubuka lebar sehingga menampakkan kaki jenjangku yang putih mulus dan hanya ditutupi kaos kaki hitam sebetis. Kunaikkan rokku hingga pinggul dan kini tak ada lagi yang menutupi memek tembem coklatku yang mulus tanpa bulu untuk menjadi santapan mata pak Ponijan.
“Duuhh Nenngg.. emang bedaa yaa kalo bodynya santriwati tuh.. Ssshh.. Mmhh.. lanjutt neengg..”, ucap pak Ponijan yang tengah asik menikmati keindahan tubuhku sambil menghisap rokoknya.
“Mmhh.. Sshhh.. Aahhh.. Shhh..”, desahku yang mulai berfantasi membayangkan ustad Hamzah dan pak Anwar yang kembali menjamahi tubuhku.
Tangan kananku sudah mulai menari membelai bibir memekku yang mulai terlihat mengkilap oleh lendir syahwatku, sementara kedua gunung kembarku mendapat belaian penuh birahi dari tangan kiriku. Secara naluriah jemariku menggilir antara memilin puting dan meremas toket secara bergantian. Sesekali kulihat ekspresi Pak Ponijan yang menahan nafas tiap kali melihat tanganku meremas kenyalnya kedua gunungku.
“Ahh.. Ustaad.. Ahhh.. Mmmhh.. Pakk Anwarhh.. Shhh.. Ohhh..”, desahku dan secara tak sengaja ku sebutkan nama pak Anwar dihadapan pak Ponijan.
“Wuuhh.. Jadi bayangin sama si Anwar yaa nengg..?? Boleh juga nih si Anwar itu.. udah diapain aja neng..??”, tanya pak Ponijan sambil meremas-remas sesuatu di balik celana jeans yang ia kenakan.
“Mmhh.. Shh.. Belum pakk.. Belum pernaahh.. Sshh..”, desahku yang mulai keenakan sendiri meskipun sebenarnya aku juga menahan malu disuruh melakukan hal itu apalagi di depan kamera.
Hampir sekitar 5 menit lamanya aku harus melakukan show di hadapan anggota TNI paruh baya berkumis tebal itu. Untungnya cadar masih ku kenakan jadi wajahku tak terlihat secara langsung di salam video. Suara gemuruh hujan yang turun justru semakin deras dan menutupi apa yang tengah aku perbuat. Rasa bersalah beberapa kali menghampiriku ketika terlintas bayangan tentang kedua orangtuaku, tapi entah kenapa aku tak bisa berhenti, justru tanganku semakin liar menggesek memekku yang sudah belepotan dengan lendir putih kental. Tak hanya disitu saja, pak Ponijan yang sudah terangsang kini berdiri di sebelah kiriku. Aku yang tengah dilanda birahi dan sedang memejamkan mataku menikmati masturbasiku sendiri, terkejut saat tiba-tiba wajahku yang terturup cadar ditampar sesuatu.
“Naahh.. ini nengg.. sekalian di manjain punya bapak..”, kata pak Ponijan sambil mencengkram kepalaku dengan tangan kanannya yang besar dan kuat.
Aku terbelalak saat melihat ukuran kontol Pak Ponijan yang luar biasa besarnya dan berwarna hitam legam. 18cm dan dimeter 4cm, berurat, dengan bulu selakangan yang sangat lebat seperti tak pernah dicukur seumur hidupnya. Yang lebih membuatku kaget adalah bentuk kontol pak Poniajn yang meskipun sudah tegang tapi semuanya tertutup kulit, tak seperti milik Ahsan yang ada kepala diujung kontolnya. Aku mencoba menghindar tapi apalah dayaku melawan kekuatan seorang lelaki terlatih sepertinya.
“Udahlah neng.. ga usah berontak.. mau viral beneran?? Bapak kasih tau yaa.. neng Lisa tuh sekarang milik bapak.. kalo ga bisa turuti apa mau bapak yaa siap-siap aja viral.. ahahah..”, ucap pak Ponijan yang sudah tak mengenakan celananya.
“Awhh.. Ahh.. Ampun pakk.. tapi kan tadii Cuma disuruh kayak tadi aja.. ahh.. tolong pak.. Lisa masih perawan..”, jawabku yang panik karena aku tau apa yang akan terjadi berikutnya.
“Lhohh.. kan sudah bapak bilang.. nurut aja!! Wahh.. bagus dong kalo masih perawan.. temenmu itu kebanyakan udah pada gak perawan.. hahah.. Nahh, sekarang manjain kontol bapak yang gak disunat ini..”, jawab pak Ponijan sambil terus menekan kepalaku ke selakangannya.
Wajahku yang tertutup cadar dan masih mengenakan khimar putih jumbo kini tengah tenggelam di lebatnya bulu kemaluan pak Ponijan. Meski tertutup cadar, namun aroma pekat khas selakangan lelaki begitu kuat menyodok hidungku, apalagi kini pak Ponijan menekan-nekan kepalaku semakin kuat di zakarnya, rasa mual pun mulai kurasakan. Pak Ponijan terlihat begitu menikmati saat wajah bercadar seorang santriwati tengah terbenam di selakangan dan kontol kafirnya.
“Nah.. sekarang mulai pake itu mulut suci kamu neng.. kan emang mulut santriwati kayak kamu tuh di ciptakan tuhan buat disumpalin kontol..”, kata pak Ponijan yang begitu bersemangat melecehkanku.
Kaki kanan pak Ponijan kini menapak di bangku tempat aku duduk dan menekan kepalaku agak kebawah sehingga kini sebagian besar wajahku di tutupi zakarnya yang berbulu lebat. Ia terus menekan wajahku karena sudah tak sabar yang membuatku terpaksa menyibakkan cadarku dan mulai mengulum zakar pak Ponijan sambil kedua tanganku terus aktif meremas toketku dan menggesek memekku.
“Ohhh.. Shhh.. Gituhh Nenngg.. Wuuhh.. Shhh..”, Desah pak Ponijan sambil membelai kepalaku.
Rasa asin bercampur aroma selakangan lelaki mulai membuatku mual. Meski bukan pertama kalinya bagiku melakukannya, tapi mungkin karena pak Ponijan jarang membersihkan selakangannya sehingga menghasilkan aroma yang sangat kuat.
“Mmhh.. udah lama banget ga ngrasain sepongan santriwati.. ahhh.. nahh sekarang masukin kontol bapak neng..”, kata pak Ponijan sambil menyodorkan kontolnya yang jumbo itu.
“Mmfhh.. Ahh.. Ga muat pak mulut Lisa.. kegedean..”, ucapku spontan saat kembali di suguhi batang kafir pak Ponijan.
“Gapapa neng.. santai aja.. pelan-pelan dulu.. tadi aja bisa kok sama yang bawah..”, kata pak Ponijan membujukku.
Ahh.. ku paksa diriku untuk menuruti perintah pak Ponijan meski dalam hati kecilku ingin berteriak. Aku masih belum terbiasa dengan aroma kontol pak Ponijan yang begitu tajam. Tapi pilihan apa yang kupunya? Aku pun perlahan mulai menciumi batang kejantanan berurat anggota TNI itu. Ku mulai dari ujungnya yang masih tertutup kulup dan terus berakhir di pangkalnya. Secara berulang dan perlahan ku ciumi dan kujilati batang kontol Pak Ponijan. Setelah beberapa lama, entah kenapa aku mulai merasa ketagihan.
“Ouuhh.. iyaahh nengg.. ohhh.. angetnyahh.. ssshhh.. terushh nengg..”, Desah pak Ponijan keenakan saat merasakan kontolnya melesak masuk ke mulutku.
Kubuka mulutku selebar mungkin karena diameter 4cm masih terlalu besar untukku. Beberapa kali kulihat pak Pon meringis saat gigiku tak sengaja menyentuh kulit kontolnya yang berurat. Sedikit demi sedikit akhirnya aku berhasil menaklukkan sepertiga bagian kontol pak Ponijan. 18cm masihlah sesuatu yang mustahil bagiku. Ku gerakkan kepalaku maju mundur seperti dulu saat aku melayani Ahsan.
“Ahh.. lumayan juga rasanya.. Mmhh.. enak sihh..”, gumamku dalam hati saat mulai merasakan lezatnya kontol pak Pon.
Desahan dan erangan pak Ponijan semakin kuat saat aku mulai lihai mengulum kontolnya. Terlebih lagi saat kulesakkan kontol pak Ponijan sedalam mungkin di mulutku dan kumainkan lidahku membelai bagian bawah kontolnya membuat Pak Pon terlihat begitu puas.
“Mhhh.. Mfhhh.. Ockk.. Ockk.. Mfhh.. Srrpp.. Mfhhh..”, suara decak becek mulutku yang tengah menangani garangnya kontol pak Ponijan.
Hanya perasaanku atau memang kontol yang tidak disunat itu terasa lebih gurih. Aku pun tak bisa berpikir jernih. Kubayangkan saat itu aku tengah mengulum kontol ustad Hamzah ataupun pak Anwar yang Sudah pasti membuatku semakin terangsang hebat. Kalau boleh digambarkan, aku saat itu tengah duduk dibangku bersandarkan tembok dengan kedua kakiku mengangkang dan masih mengenakan kaos kaki hitam dan sepatu. Memek coklatku tengah menjadi bulan-bulanan jemariku yang menggesek cepat karena terbakar oleh birahi yang menggebu. Sementara dadaku tak lagi tertutup baju Osis sehingga menampilkan kedua toketku yang bulat dan ranum. Khimar jumboku kusingkap agar tak mengganggu kenikmatan tangan kiriku meremasi toketku sendiri. Tak berakhir disitu, kepalaku yang masih terbalut khimar dan tertutup cadar pun aktif mengocok kontol pak Ponijan di mulutku.
“Aaanghh.. Aaahh.. Sshh.. Mmhhh.. Oooohh.. Sshhh.. Mhhh..”, Desahku lepas saat merasakan jilatan lidah kasar pak Ponijan membelah labia mayoraku.
Setelah cukup lama aku melayani kontol Pak Pon di mulutku, kini berganti pak Ponijan yang jongkok di hadapanku. Kedua kakiku kini kutekuk mengangkang dan ditahan oleh tangan kekar pak Pon. Yang mengherankan adalah tak keluarnya sedikitpun kata-kata penolakan dariku saat tiba-tiba pak Pon mencabut kontolnya dan beralih jongkok untuk siap-siap menikmati beceknya memekku, seperti aku sedang dihipnotis saja.
Aku tak bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat itu. Permainan lidah Ahsan tak bisa dibandingkan dengan nikmatnya lidah pak Pon saat menari memanjakan setiap mili bagian dari bibir kewanitaan suciku. Ahhh.. aku benar-benar dibuatnya melayang dalam dekapan syahwat. Mataku terpejam, kepalaku mendongak ke atas dan hanya keluar desahan nikmat dari mulutku yang tertutup sehelai kain cadar putih. Tak pernah kurasakan kenikmatan seperti ini, bahkan masturbasiku selama ini pun tak bisa menandingi kenikmatan yang dihantarkan oleh lidah terampil anggota TNI itu. Orgasmeku semakin tak tertahankan saat kedua tangan pak Pon kini memilin manja kedua putingku yang mencuat keras sementara kedua tanganku berganti menahan kedua kakiku agar tetap mengangkang.
“Ahhh.. Ahhhhh.. Aaahh.. Paakk.. Ampunnhh.. Oohhh.. Paaakk.. Aaahhh.. Lisa mau pipiss.. Aahhh.. Udahh Paakk.. Aaaaaaaahhhhhhhhhnnnggggggg..”
Aku pun melenguh panjang melepas orgasme pertamaku yang begitu nikmat dari permainan lidah pak Ponijan. Seluruh tubuhku mengejang hebat bahkan hingga tersentak beberapa kali. Parahnya lagi pak Ponijan tak menghentikan jilatannya dan malah menghisap kuat kelentit ku yang membuatku kelojotan.
CRRRR.... CRRRRRR... Glup.. Glupp.. Glupp..
Aku tak mampu menahan cairan orgasmeku yang menyembur. Tapi pak Ponijan langsung menenggaknya tanpa rasa jijik sedikitpun bahkan oa terlihat begitu lahap menenggak setiap tetesnya. Beberapa detik tubuhku terus mengejang. Seluruh sendiku terasa lemas serasa tak memiliki tenaga sama sekali. Pak Pon masih saja menyedot dan menjilati bibir memekku tanpa henti. Barulah setelah nafasku mulai stabil, Pak Pon pun berhenti.
“Nahh.. Dah siap nih neng..”, kata pak Pon yang berdiri sambil menyeka pipinya yang basah oleh lendirku.
“Ahh.. Shh.. Siap apa paakk..??”, tanyaku lemah.
“Siap buat diperawanin dong..”, kata Pak Pon sambil mengocok kontolnya di hadapanku.
Mendengar kata-kata pak Ponijan, hatiku seperti disambar petir. Tak kuduga kalau pak Ponijan benar-benar akan merenggut keperawananku. Ku kira kalau aku sudah orgasme dan dia merasa puas, maka akan selesai. Tapi aku lupa kalau lelaki itu tidak sampai ejakulasi, maka mereka akan tetap berusaha bagaimanapun juga. Ingin rasanya aku berteriak dan melawannya, tapi tubuhku seperti tak bertenaga karena baru saja orgasme, ditambah lagi lawanku adalah seorang anggota terlatih, sudah tentu aku tak punya kesempatan sedikitpun.
“Ampunn paakk.. tolong.. apa saja selain yang ituu.. Lisa belum mauhh.. tolongg..”, rengekku yang hanya terdengar seperti angin lalu bagi pak Pon.
“Mau minta ampun kayak apapun neng.. neng Lisa tuh ga sedang ada di posisi bisa ngelawan.. ahahah.. udah pasrah aja..”, jawab Pak Ponijan yang kemudian menarik paksa baju osisku hingga terlepas.
Air mataku pun menetes sesaat setelah baju OSIS ku yang basah kuyup terlepas sehingga tak ada lagi yang menutupi tubuh bagian atasku hingga perut. Ingin rasaya ku berteriak, tapi derasnya hujan diluar sana seperti mendukung apa yang tengah dilakukan pak Ponijan padaku. Aku hanya bisa pasrah saat pak Pon kemudian mengajakku berpindah tempat ke musholla. Perlahan aku dibaringkan di atas karpet hijau musholla yang cukup tebal bermotif sajadah. Pak Ponijan menatap keindahan tubuh putihku sebentar sebelum ia melanjutkan untuk melucuti rok abu-abu ku yang juga basah kuyup.
“Wuihh nenngg.. udah mirip-mirip sih sama si Shofi.. cakeppp bener..”, ujar pak Ponijan yang membuatku terkejut bukan main.
“Ehh.. Ustadzah Shofi Pak..?? Maksudnyaahh.. bapak juga udah pernah sama ustadzah Shofi..??”, tanyaku.
“Lohh neng Lisa blum tau..?? Udah sering banget dulu ustadzah Shofi hafalan sambil bapak entot gitu.. yaa disini juga.. kadang di hotel.. tapi sekarang sibuk banget itu jadi yaa Cuma bisa sebulan sekali..”, jawab pak Ponijan santai sambil mulai mencumbui diriku.
Hancur sudah semuanya. Ku kira kalau Ustadzah Shofi bisa jadi tempat pengaduanku nantinya kalau siang ini selesai. Tapi ternyata Allah tunjukkan semuanya siang itu juga. Tidak hanya aku dan Zahra, bahkan sekelas Ustadzah Shofi pun rela menjual selakangannya untuk kenikmatan sesaat saja. Setelah mendengar hal itu aku tak punya lagi sesuatu yang ingin kupertahankan.
“Ustadzah Shofi aja gitu.. ahh udahlah.. aku yang Cuma santri baru juga bisa apa.. enjoy aja ahh..”, gumamku dalam hati.
Dan begitulah yang terjadi padaku. Ku pasrahkan tubuhku pada pak Ponijan siang itu juga. Desahanku pun mulai kembali datang dan lepas yang membuat pak Ponijan semakin bergairah. Leherku dan dadaku dipenuhi ruam merah karena cupangan kuat pak Ponijan. Cadarku pun basah kuyup oleh liur kami berdua saat ber French-kiss ria. Nafas pak Pon yang berbau rokok tak membuat kebinalanku berkurang.
“Ahhh.. Ahhh.. Pak Ponn.. Ahhh.. Shhh.. Ooohhh.. Geli Pakkk.. Ahhh..”, desahku keenakan bercampur geli menikmati tangkasnya pak Ponijan menggilir kedua toket 36C milikku.
Mataku dibuatnya merem melek keenakan. Kedua tanganku sesekali meremasi rambut pak Ponijan yang dIpotong cepak. Sensasi yang luarbiasa, terlebih lagi saat pak Pon mengulum putingku dan lidahnya menari secara bersamaan. Mhhh.. desahanku pun pecah tak terbendung. Bahkan pinggulku pun ku angkat-angkat ingin bergesekan dengan rudal gagah pak Pon padahal itu adalah sesuatu yang seharusnya tabu bagiku. Tapi syahwat yang sudah memuncak ditambah cerita dari pak Ponijan yang juga sudah menggagahi ustadzah Shofi membuatku tak ingin untuk menahan rasa di dalam diri.
Seluruh tubuhku tak lepas dari liur kental pak Ponijan yang begitu intens memandikan diriku. Mulai dari jemari lentik tanganku hingga pundak bahkan ketiak pun ia libas juga. Dari tengkuk ku hingga belahan bokongku pun sudah ia rasakan kelezatannya. Belum lagi pangkal leher hingga pusarku pun terlihat mengkilap karena liur. Kaki? Sudah jelas menjadi bulan-bulanan lelaki kekar paruh baya itu. Justru kakiku yang masih terbalut kaos kaki hitam sebetis terlihat seperti menu utama bagi foreplay yang pak Ponijan lakukan. Ia begitu menikmati menjilati putih dan mulusnya kaki jenjangku. Hanya desahan dan rintihan nikmat yang keluar dari mulutku. Meski bukan orgasme, tapi bisa kurasakan dengan jelas kalau lendir birahiku sadah meleleh keluar karena hantaman gelombang kenikmatan yang tiada henti.
“Mmhh.. Srrupphh.. Srrupphh.. Mmff.. Enak banget nengg.. Gurih banget nih..”, ucap pak Ponijan sesaat setelah puas menjilati memekku hingga kesat.
“Siap ya neng yaa.. tahan dikit abis itu enak kok..”, lanjut pak Pon sambil mengarahkan kedua kakiku agar mengangkang.
Nafasku tak beraturan, seluruh tubuhku didera syahwat yang memuncak. Belum lagi saat melihat kontol pak Pon yang begitu gagah menjulang, kedua tanganku justru membantu dengan menguak memekku semampuku. Pak Pon melihatku dengan senyuman karena telah berhasil meluluhkan pertahanan iman seorang muslimah bercadar, seperti halnya dulu saat ia menikmati ustadzah Shofi untuk pertama kalinya.
“Nnggghhhhh..!!! Aaaargghhh.. Paaakkk..!! Sshhh..”, pekikku tertahan saat merasakan kontol jumbo pak Pon memaksa masuk liang sempitku.
“Sabar neng.. dikit lagi kok.. tahan yaaahh..”, kata Pak Pon sambil mencumbu leherku.
Sakit, Perih, dan Nyeri yang tak terkira kurasakan saat penetrasi kontol pak Pon yang perlahan tapi pasti merobek sempitnya memek perawanku. Aku hanya bisa memejamkan mataku sambil menahan rasa sakit hingga tak terasa air mataku kembali mengalir. Meski sedari tadi memekku sudah dibanjiri oleh lendir sebagai pelumas, tapi tetap saja ukuran kontol pak Pon masihlah terlalu besar bagi memekku yang mungil.
“Aaahhh.. Hhemmhhh.. Shhh.. Masuk Jugaahh..”, kata pak Pon sambil menghela nafas saat hampir seluruh kontolnya berhasil tenggelam di liang peranakanku.
Kedua tanganku hanya bisa mencengkram kuat punggung pak Pon karena rasa pedih yang tak tertahankan. Selama beberapa saat selakanganku serasa seperti terpisah. Rasa tersayat layaknya pisau menyayat kulit hampir-hampir membuatku trauma kalau pak Pon tidak terampil dalam merangsangku lagi.
“Ahh.. Shhh.. Perihh Paakk.. Bentarrhh..”, rengekku sambil terisak karena rasa sakit yang baru pertama kali kurasakan.
Pak Ponijan paham dan tidak menjawabku tapi ia tetap terus mencumbui seluruh tubuhku dengan kontolnya masih menancap dibawah sana. Dengan posisi Missionary membuat pak Ponijan hanya mampu menjangkau leher dan toketku saja, tapi itu sudah lebih dari cukup bagi pak Ponijan untuk kembali membakar birahiku hingga puncaknya.
“Mmhh.. Mhh.. cupphh.. Sruupphh.. Mhhh.. Hemm.. Knapa nengg..?? Udah enakan yaa..??”, tanya pak Pon yang masih sibuk menggilir putingku sementara kedua tangannya meremasi toketku dengan lembut.
Aku tak menjawab pertanyaan menggoda pak Pon. Meski rasa malu menyelimuti diriku saat itu, tapi entah kenapa pinggulku bergerak sendiri seakan ingin agar pinggul pak Pon segera melakukan operasi selanjutnya. Aku hanya bisa menutupi wajahku dengan kedua tanganku saat Pak Pon mulai menggenjot perlahan memekku yang sudah berhasil ia renggut keperawanannya.
“Aarghhh.. Mmmhh.. Ohhh.. Sempitnyaahh.. Bener-bener kualitas terbaik sih didikan si Shofii.. Ohhh.. Enak kan Nenng.. Udahh jujur aja..”, ucap pak Pon yang terlihat keenakan dengan nafasnya yang menderu.
“Aahhh.. Aahhhh.. Mmhhh.. Ngghh.. Shhhh.. Aahhh..”, desahku yang mulai menikmati sodokan perlahan pak Pon untuk menguak dinding liang kenikmatanku.
Semakin lama genjotan pak Pon semakin cepat. Begitu pula yang kurasakan, semakin lama semakin nikmat. Aku pun tak mampu lagi menahan desahanku dan akhirnya pasrah menerima kenikmatan zina yang selama ini coba kuhindari. Tanganku berpegangan erat di lengan kekar pak Ponijan yang begitu intens dan mantap menghantamkan pinggulnya di selakanganku. Kulitku yang putih nampak begitu kontras dengan kulit coklat gelap pak Ponijan. Wajahku yang masih tertutup cadar tapi merem keenakan semakin membuat Pak Pon bergairah.
“Ahhh.. Ahhh.. Mmhhh.. Pakk.. Ahhh.. Pak Ponn.. Ahhh.. Enaakk.. Ahhh.. Enakk.. Ahhhh.. Ahhh..”, desahku yang tak terkontrol lagi karena sudah terhipnotis oleh kenikmatan rudal pak Ponijan.
Toketku terus berayun mengikuti irama sodokan pinggul pak Ponijan. Cukup lama pak Ponijan bertahan di posisi Missionary. Beberapa kali ia memadukan gerakannya dengan gerakan memutar yang memberiku sensasi kenikmatan yang lain. Ritme sodokannya yang madang cepat dan pelan justru membuatku semakin keenakan dan tak mampu menahan orgasmeku.
“Ahhh.. Ahhh.. Aahhh.. Paakk.. Nnghhhhhhh..”, erangku tertahan saat merasakan sengatan cepat orgasme yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Selama beberapa detik tubuhku mengejang dan pak Ponijan memelukku erat sambil mencumbu mulutku yang masih tertutup cadar.
“Ahhh.. jadi inikah yang namanya ngentot.. nikmatnyaa..”, gumamku dalam hati.
“Keluar yah neng..?? Gimana?? Enak kann..??”, tanya pak Ponijan sambil ia mencabut kontolnya dan duduk di karpet masjid.
“Sshhh.. Aaahhh.. Mmhh.. E’emhh..”, jawabku pelan.
Bisa kurasakan ada yang menganga di selakanganku saat kontol pak Ponijan terlepas. Dengan sigap Pak Pon membersihkan kontol dan memekku yang belepotan darah keperawananku. Aku masih terdiam dan tak banyak berbicara dengan pak Pon. Meski aku menikmati perzinaan itu, tapi tetap saja aku merasa bersalah karena sudah membiarkan orang lain menikmati kesucian tubuhku.
“Nah neng.. coba posisi lain yuk.. pasti neng Lisa suka nanti..”, kata Pak Ponijan yang sudah bugil sehingga menunjukkan tubuhnya yang berotot.
Aku pun hanya menurut saja saat pak Ponijan menarik tanganku dan mengarahkanku untuk ganti posisi jadi doggy. Posisi ini mengingatkanku dengan Zahra saat ia melayani ustad Hamzah dan seorang ikhwan lain di bekas mushola dulu.
“Aaahh.. Ahhh.. Shhh.. Oohhh.. Pakkk.. Ahhhh..”, desahku merasakan jemari pak Ponijan masuk dan mengobok-obok memekku.
Ini pertama kalinya aku merasakan memekku di colok oleh jemari. Terasa nikmat meskipun ukurannya tak sebesar kontol, tapi justru itulah yang membuat jemari pak Ponijan bisa dengan leluasa menjangkau dan fokus merangsang titik paling sensitif di liang memekku. Tak pernah kukira kalau pak Ponijan akan seahli ini. Semakin lama kocokan jemari pak Pon semakin cepat, kadang kala maju-mundur, kadang kala diputar. Aku dibuat mabuk kepayang saat jemari pak Ponijan mengocok dengan cara diputar sehingga menggesek keseluruhan dinding liang kenikmatanku. Dan..
Crrrrr.. Crrrr.. Crrrrrr..
“Aaaaahhh.. Nghhhhhh..”, rintihku nikmat saat aku kembali mengalami squirting.
“Weehh neng Lisaa.. Cuma dari jari malah bisa muncrat yaa.. ahahah.. beda banget sama si Shofi.. kalau ustadzah neng itu mesti muncrat kalo bapak genjot kenceng..”, kata pak Ponijan yang kemudian mengarahkan kontolnya ke memekku.
Prrrtt.. Blesshhh..
“Aaaahhh.. Aahhh.. Ohhh.. Mhhh.. Ahhh.. Ahhh..”, lenguhku panjang saat merasakan kontol 18cm pak Pon kembali menyesaki memekku.
PLOK! PLOKK!! PLOKK!!
Suara hantaman pinggul pak Pon yang kuat dan mantab menghantam bokongku begitu indah terdengar. Ditambah diluar sana hujan yang terus mengguyur tanpa henti membuat persenggamaan kami sepertinya akan berlangsung lama. Kurasakan toketku berayun-ayun karena goncangan tubuhku menahan gempuran pak Pon. Tubuhku yang kecil sebenarnya tak sanggup menahan besarnya tenaga pak Pon, untungnya kedua tangan pak Pon mencengkram erat bokongku sehingga membantuku bertahan selama sekitar 5 menitan sebelum akhirnya aku kembali orgasme.
“Ahhh.. Ahhh.. Pakk.. Ahh.. Ahhh.. Aaaaannghhhhh..”, erangku saat klimaks menerpa.
Seluruh tubuhku mengejang kembali karena nikmat orgasme meski lelah menyelimuti. Pak Ponijan juga menghentikan sodokannya saat aku tengah mengejang karena orgasme meskipun tidak sampai squirting. Kurasakan seluruh sendiku benar-benar lemas dan seperti tenagaku hilang seluruhnya. Aku pun tak mampu menahan tubuhku dan akhirnya terjerembab lemas dengan posisi nungging layaknya orang sujud.
“Huuffhh.. Sshhh.. Nikmatnya memek neng Lisahh.. Bikin bapak ketagihan.. Ahhh.. udah capek neng..??”, tanya pak Ponijan yang masih berlutut sambil mengelus bongkahan bokong putihku.
“Hhh.. Hhh.. Mhhh.. Capek pakk.. Udah yahh.. Pak Pon udah.. puass.. kaannhh..??”, tanyaku sambil terpejam karena letih yang tak terkira.
“Waahh.. Yaudah bapak pake aja.. ahahah.. sama persis kayak Shofi waktu dulu.. Gak kuaatt!! Ahhh.. Nghhh.. Ahh.. Shh.. Mhh..!!”, ujar pak Pon sebelum kemudian ia kembali menggenjotku dengan cepat.
Aku hanya bisa pasrah mendesah dan mengerang menikmati liang peranakanku yang disodok cepat kontol jumbo pak Ponijan. Bagian bawah perutku terasa begitu penuh saat kontol pak Pon melesak masuk seluruhnya dan menghantam ujung rahimku. Sensasi benar-benar membuatku ketagihan meski aku tak lagi bertenaga. Khimar dan cadar putih yang kukenakan sudah acak-acakan. Beberapa helai rambutku pun keluar dari sela-sela khimarku. Tubuhku semakin terlihat mengkilap karena peluh yang bercucuran. Kurang lebih sekitar 40menit lamanya kami memacu kadar dosa sebelum akhirnya pak Ponijan mencapai klimaksnya.
“Ahh.. Ahh.. Keluarhh.. Aahhhh..!!!”, geram pak Ponijan.
Croot.. crroott.. croott..
Ia segera mencabut kontolnya dan menyiram punggungku dengan sperma kentalnya yang terasa begitu hangat. Pak Pon terduduk lemas setelah puas menggagahi selakanganku dan memuntahkan seluruh syahwatnya. Aku pun tak mampu lagi menahan kantukku karena lelah dan tertidur tengkurap di atas karpet musholla dengan memekku yang menganga.
“Neng.. Neng Lisa.. Bangun.. udah sore lhoo..”, kata pak Ponijan membangunkanku.
“Ahh.. Mhhh..”, jawabku sambil mencoba bangun.
Aku pun terkejut saat mendapati tubuhku hanya tertutup sarung bekas yang biasa di pakai rekan anggota yang lain untuk sholat di musholla itu. Pak Ponijan pun terkejut yang melihat ekspresiku seperti orang panik dan ketakutan. Tapi setelah beberapa detik, aku pun teringat kembali apa yang sudah terjadi. Aku pun menangis sesenggukan karena membayangkan kekecewaan orangtuaku jika tahu apa yang telah terjadi padaku.
“Udah neng.. ngapain nangis?? Toh tadi neng Lisa juga doyan.. tenang aja neng.. privasi neng Lisa aman kok sama Bapak.. yaa tapi neng Lisa juga harus bisa buat Bapak betah sama neng Lisa pastinya..”, kata pak Ponijan sambil mengambilkan baju dan rok OSIS yang sudah agak kering.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku tahu benar maksud dari perkataan pak Ponijan. Bahkam senyum pak Ponijan yang dihias kumis tebalnya sama sekali tak menutupi maksud inti dari kata-katanya tadi. Pak Ponijan menawarkan untuk mengantarkan aku kembali ke pondok namun aku menolaknya karena bisa jadi heboh satu pondok nantinya. Aku pun memutuskan untuk pulang sendiri dengan mengendarai sepedaku. Bahkan meskipun ia sudah begitu banyak mendapatkan kenikmatan tubuhku, pak Ponijan masih sempat-sempatnya meminta paksa Bra dan CD ku yang membuatku harus pulang tanpa mengenakan dalaman.
“Ehh.. Kok baru nyampe Lis..?? Kemana aja?? Keujanan ya..??”, tanya Ifah yang baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan kaos dan celana training panjang.
“Iya..”, jawabku singkat.
“Hem?? Kamu sakit Lis?? Kok lesu gitu..??”, tanya Ifah yang penasaran padaku.
“Ahh.. Ngga.. Cuma butuh istirahat aja..”, jawabku yang segera menuju toilet sambil membawa baju ganti setelah meletakkan tasku.
Setelah kejadian itu, aku mencoba untuk tetap seperti biasanya. Tapi bukan hal yang mudah bagiku untuk menjaga diriku agar tetap seperti Lisa yang dulu. Terlebih setiap hari Rabu, Sabtu, Ahad, aku harus mendatangi pak Ponijan untuk menjadi pemuas birahinya.
“Ockk.. Ockk.. Ockk.. Mffhh.. Mffuaahh.. Udahh pakk.. nanti kalo kelamaan Lisa dicariin..”, kataku yang tengah jongkok sambil mengocok kontol Pak Ponijan dengan tanganku.
“Udahh.. kalau mau cepet yaa buruan buat bapak ngecrot!!”, jawab pak Pon sambil kembali menekan kepalaku.
Sabtu siang itu aku harus meladeni kontol pak Ponijan hanya dengan menggunakan mulutku saja. Pak Pon tanpa ampun terus menggenjot mulutku layaknya itu adalah memek. Meski beberapa kali tersedak aku harus tetap bertahan hingga pak Pon mencapai klimaks. Air liurku menetes dan membasahi jilbab serta cadarku tiap kali pak Pon menarik mundur kontolnya. Rindangnya pepohonan hutan dan batu besar yang menjadi tempatku bersandar adalah saksi bisu perzinaan kami siang itu.
“Ahhh.. enak banget mulut kamu neng.. Ahh.. Bikin bapak makin ketagihannhh.. Ahhh.. Ahhh.. Aaahhhhhhhh..!!!”, kata pak Pon sebelum ia mengerang dan menyemburkan spermanya di mulutku.
“Ockk.. Ockk.. Mff.. Uhukk.. Ockkk.. Mfffffhhh!!!”
Aku berupaya memundurkan kepalaku, tapi kedua tangan kekar pak Ponijan yang mencengkram kepalaku bukanlah tandingan tangan mungilku. Bahkan pak Pon justru melesakkan kontolnya hingga separuhnya masuk ke mulutku saat ia klimaks. Itu adalah pengalaman pertamaku merasakan sperma kental lelaki. Mual dan jijik, itulah kesan pertamaku siang itu. Ingin rasanya aku muntah, tapi pak Pon membungkam mulutku dengan tangannya.
“Eeitss.. jangan sampai muntah.. wajib ditelan pelan-pelan.. kalau muntah dikit aja.. Virall!!!”, ancam pak Ponijan.
Aku pun tak ada pilihan lain selain menelan sperma kental itu. Dengan sudah payah akhirnya aku berhasil menelan sperma pak Pon. Dan sesaat setelahnya rasa mual yang tak terkira pun kurasakan, tapi lagi-lagi aku harus menahannya karena kembali di ancam pak Ponijan.
Sesampainya di pondok, semua santriwati bersegera menuju tim amanah untuk mengambil HP karena sudah masuk jadwal libur weekend. Tak terkecuali aku yang juga segera mengambil HP ku. Ingin sesegera mungkin aku menghubungi orangtuaku untuk sedikit bercerita dan menumpahkan keluh kesahku. Namun aku dibuat tekejut bukan main saat mengetahui ada beberapa pesan WhatsApp baru yang masuk dan itu berasal dari Pak Ponijan.
“ingat yaa.. jangan main-main dengan bapak.. kalau berani cerita-cerita nanti neng Lisa viral..”, tulis pak Pon di pesan WhatsApp itu.
Seketika rasa takut menghampiriku. Namun aku tak tau lagi harus bagaimana karena aku tak punya orang untuk menceritakan masalahku ini. Tadinya aku ingin curhat dengan Ustadzah Shofi, tapi setelah mendengar pak Ponijan, aku pun tak mungkin bercerita padanya. Apalagi Ifah dan Ani, mau ditaruh mana mukaku nanti. Akhirnya aku paksa diriku untuk mencobanya. Kuyakinkan diriku sendiri kalau pak Pon mungkin hanya menggertak saja.
“Assalamu’alaykum.. gimana kabar anak Umi yang satu ini..??”, tanya Umi dengan suara lembutnya.
Akupun tak sanggup lagi menahan diriku dan mulai menceritakan masalahku pada umi sore itu hingga sekitar 2 jam lamanya. Meski begitu, aku sama sekali tak memberitahu umi kalau pelaku dalam ceritaku padanya adalah diriku sendiri. Umi pun berpesan agar si korban segera memberitahu pihak berwajib dan jangan takut akan resikonya. Umi juga berpesan agar aku juga berhati-hati karena hal yang sama bisa juga terjadi padaku.
Hatiku agak lega setelah mendengar jawaban Umi. Setelah sholat Maghrib, aku pun ngobrol santai dengan Ifah dan Ani, sementara Zahra mungkin sedang melakukan aktifitas ‘gelap’ nya. Disaat kami sedang asik ngobrol, tiba-tiba Ifah mengubah topik pembicaraan kami.
“Ehh.. gila ngga sih..!? Padahal bercadar loh..!!”, celetuk Ifah sambil menatap layar HPnya.
“Apaan sih Fah..??”, tanya Ani yang penasaran.
“Ini nih liat.. kalo dari seragamnya sih seragam sekolah kita tuh.. Cuma kan banyak yang pake cadar.. siapa tuh..??”, tanya Ifah penasaran.
Aku yang penasaran pun ikut-ikutan melihat apa yang ada di HP Ifah. Bukan main terkejutnya aku saat melihat video itu yang ternyata diriku tengah mengulum kontol pak Ponijan. Meski sudah di buramkan bagian kepalaku dan durasi video hanya 10 detik saja, tapi tahu persis apa yang kulihat. Seketika keringat dingin mengucur yang membuatku panik tak terkira. Aku pun segera meninggalkan Ifah dan Ani dengan alasan ingin ke toilet.
“Halo.. Halo.. Pak Pon yaa..?? Ini pak Pon kan..??”, kataku.
“Ohh.. neng Lisa.. kenapa neng telpon bapak malem-malem gini..??”, jawab pak Pon via WhatsApp Call.
“Ituu.. Itu bapak kaann..?? Yang nyebar video Lisa waktu nyepong ittuhh..??”, tanyaku dengan panik.
“Hemm..?? Yang mana sih?? Coba kirim dehh ke bapak..”, kata pak Pon yang langsung kukirimkan link video itu ke pak Pon tanpa pikir panjang.
“Ohhh.. kalo iya kenapa emangnya Neng..??”, tanya pak Pon santai.
“Tolong hapus paakk.. Tolong banget.. Lisa maluuu.. kan bapak Janji ga akan nyebarinn..”, jawabku.
“Lohh.. kak bapak janji kalo neng Lisa ga cerita sama siapapun.. tapi tadi sore telpon ortu kan?? Cerita kaann..??”, jawab pak Pon.
“Ehh.. kok bapak bisa tau..?? Kok bisa tau..??”, jawabku makin panik.
“Udahlah neng.. bapak tuh lebih pengalaman.. kalo nanti bapak tau neng Lisa kayak gitu lagi sama siapapun.. gak akan bapak sensor lagi tuh muka.. ahahah..”, jawab pak Pon.
“Ahh.. Ampun pak.. Lisa janjii.. demi Allah Lisa ga akan cerita-cerita lagii.. tolong pak Hapus pakk..”, jawabku merengek.
“Okey.. nanti bapak Hapus.. tapi besok harus datang dulu.. nih lokasinya..”, jawab pak Pon yang kemudian mengirimkan lokasi pertemuan.
“Ngapain pak disana..??”, tanyaku.
“Ga usah banyak tanya.. pokoknya jam 9 udah sampai sana jangan telat..”, jawab pak Pon yang kemudian mematikan WhatsApp Call kami.
Aku tak punya pilihan lain. Dengan alasan ingin ketemu dengan teman lama, akhirnya aku dapat ijin untuk keluar dari pondok. Sekitar jam 9 pagi aku sampai di lokasi yang dituju dan berjarak sekitar 5km dari lokasi Pondok dengan naik ojol. Khimar segi empat panjang sepaha warna abu-abu muda dengan cadar hitam, berpadu serasi dengan abaya hitam panjang yang bermotif manik yang kupakai pagi itu untuk menjumpai pak Pon di lokasi yang ternyata adalah sebuah hotel bintang 3. Aku segera menuju lokasi yang dituju yaitu kamar 308.
Tok.. tok.. tok..
“Ohh.. neng Lisa.. sini masuk..”, kata pak Pon yang baru saja membukakan pintu.
“Iya pak..”, jawabku yang kemudian masuk kamar.
Aku terkejut saat memasuki kamar ternyata pak Pon tidak sendirian. Ada seorang lelaki lain yang berpostur tubuh besar dan berotot dengan mengenakan kaos dan celana jeans sedang asik merokok sambil memegang minuman beralkohol di tangannya.
“Si.. Siapa itu pak Pon..??”, tanyaku gugup.
“Ohh.. Itu tamu bapak.. sini neng Lisa.. nih pakai ini dulu yaa..”, jawab pak Pon sambil memberikan tas plastik padaku.
“Apa ini pak..??”, tanyaku sambil berbisik ke pak Pon.
“Udahh.. neng Lisa sekarang masuk toilet trus ganti ini yaa.. harus dipakai baru boleh keluar lagi.. itu kalau neng Lisa mau videonya dihapus..”, jawab pak Pon.
“i.. iya pak..”, jawabku yang kemudian segera menuju toilet kamar dengan berjalan agak membungkuk saat melewati lelaki tadi.
“Itu Pon yang kamu ceritain..?? Mayan juga sih.. hahah..”, ujar lelaki tadi sesaat sebelum aku menutup pintu kamar mandi.
Aku tak perduli, yang aku inginkan hanya video itu segera di hapus oleh pak Pon. Setelah kubuka ternyata tas itu berisi lingerie yang sangat minim sekali. Aku shock karena tak mengira harus memakai ini di hadapan pak Pon dan pasti dihadapan lelaki tadi.
Tok.. tokk.. *suara pintu kamar mandi.
“Neng.. ga usah dilepas krudung sama cadarnya yaa.. langsung pakai aja ituu..”, kata pak Pon dari balik pintu sana.
Saat itu aku merasa bingung yang luar biasa antara aku harus menuruti kemauan pak Pon ataukah aku pergi dan biarkan semuanya terjadi apa adanya. Tapi kalaupun aku melawan, tak mungkin aku menang, dan lebih parahnya aku bisa dipukuli pak Pon dan lelaki tadi. Ahh.. sudah tak ada kata untuk mundur, aku pun segera melepas abaya dan dalamanku dan hanya menyisakan handsock dan kaos kaki saja yang masih menempel. Segera kupakai Bra super seksi berwarna hitam berenda itu ditambah sebuah CD mini yang ku tahu bernama G-string belum lama ini. Beberapa saat aku memandangi tubuhku yang ternyata lumayan seksi kalau mengenakan pakaian seperti ini. Warna hitam lingerie terlihat kontras dengan kulitku yang putih bersih.
Cklek.. *suara pintu dibuka.
Perlahan aku keluar dengan malu-malu karena meski ini bukan pertama kalinya aku menampakkan keindahan tubuhku pada lelaki, tapi ada orang lain disitu yang melihatku juga. Setelah menutup pintu kamar mandi, pak Pon yang takjub dengan diriku segera menghampiriku.
“Bentar neng.. inih.. harusnyahh.. ginihh.. mhh.. bentarh.. Naahh..”, kata pak Pon yang baru saja selesai menyibakkan khimarku ke belakang dan mengikatnya sehingga kini nampaklah tubuh indahku yang hanya ditutupi bra hitam berenda seksi dan sebuah lingerie mini di selakanganku.
Toketku yang berukuran 36C tampak seperti hendak tumpah karena tidak muat, lekuk tubuhku pun semakin terlihat jelas dan perut ku uang yang ramping membuat pak Pon dan rekannya menenggak ludah. Kaki jenjang putihku yang hanya ditutupi kaos kaki hitam selutut semakin merangsang birahi kedua pria di hadapanku.
“U.. Udah kan Pakk.. Gini Aja.. udaah kaann..??”, tanyaku sambil tertunduk malu dengan tanganku kusilangkan di depan dadaku.
“Lhoohh.. kata siapa udah selesai neng.. ini baru mau mulai.. jadi, neng harus buat bapak sama komandan Andi ini puas dulu.. baru nanti bapak tepati janji bapak..”, jawab pak Pon sambil mengenalkan Pak Andi.
“Hohoo.. mantap bener kamu Pon.. emang santriwati itu terawat banget.. Mmhh.. jadi ngiler..”, kata Pak Andi sambil menenggak botol mirasnya.
Mendengar kata-kata itu, diriku seperti tersambar petir. Aku sadar aku baru saja dijual oleh pak Ponijan pada atasannya. Aku tak tau lagi apa yang harus kulakukan. Sudah terlanjur basah, bukan, tenggelam lebih tepatnya. Tak ada lagi pelarian bagiku dari situasi ini. Antara seluruh kehidupanku hancur ataukah cukup ini menjadi sisi gelapku saja.
“Ehh Pon.. kamu kan udah pernah ngicipin dia kan?? Udah hari ini gantian aku..”, kata Pak Andi.
“Pernah sih Ndan.. Oke Ndan.. silahkan pakai aja.. saya mau nonton komandan saja..”, jawab pak Pon yang kemudian duduk di sofa dengan kontolnya yang sudah keluar dari jeansnya.
“Ohh iya.. siapa namanya mbak??”, tanya Pak Andi.
“Li.. Lisa pak..”, jawabku.
“Ohh mbak Lisa.. cantik yaa.. sinih.. gak usah malu.. anggap aja pacar kamu..”, kata Pak Andi sambil memanggilku dengan tangan kirinya.
Aku pun tak kuasa melawan dan berjalan perlahan mendekati Pak Andi yang sudah pindah duduk di pinggir Ranjang. Bisa kucium bau khas alkohol yang pekat dari dirinya. Meskipun Pak Andi sedang duduk dan aku berdiri, tapi posisi kepalanya sejajar dengan toketku.
“Sini.. berdiri sini.. dekat-dekat sini.. Ahhh.. Bapak pengen tau rasanya memek mbak Lisa..”, kata Pak Andi.
Aku pun semakin mendekati Pak Andi dengan kepalaku masih menunduk. Tiba-tiba kedua tangan kekar Pak Andi mengangkat tubuhku dengan mudahnya. Kakiku pun diarahkan untuk menapak di pinggir ranjang tepat disisi kiri-kanan Pak Andi. Pinggangku terlihat kecil saat digenggam kedua tangan kekar Pak Andi yang mengarahkan aku agar agak membuka kedua belah kakiku.
“Aaahhh.. Shhhh.. Aaahhhh.. Mhhh..”, desahku saat merasakan mulut Pak Andi melumat bibir memekku yang terganjal G-string ditengahnya.
Sensasi geli bercampur nikmat kembali menerpa diriku seperti dulu pak Pon melahap memekku dengan mulutnya. Namun Pak Andi berbeda, ia lebih lihai dalam permainan lidah yang membuatku langsung banjir meskipun baru kurang dari 1 menit ia bersenang-senang di bawah sana.
“Mffhh.. Mchh.. Mchh.. Sruupp.. Sruupp.. Gurih banget nih Pon.. Kamu emang paling bisa diandalin.. ahahah.. Huuhh.. Enaknyahh nih rasa memek.. Mffhh..”, ujar Pak Andi yang semakin ganas melahap lendir syahwatku.
Tak perlu ditanya lagi apa yang didalam hatiku rasakan. Malu, bersalah, kesal, sedih, semua bercampur jadi satu. Meski begitu tetap saja gelora syahwat yang membakar tubuhku karena lihainya permainan sang komandan membuat setan dalam diriku berkuasa. Pak Andi layaknya singa kelaparan dan sudah lebih dari 10 menit ia terus melumat memekku tanpa henti. Desahan, desisan, dan eranganku bersenandung indah dengan suara decak becek liur dan mulut pak Andi di selakanganku. Aku ayng tadinya berdiri mengangkang, kini sudah terlentang pasrah di ranjang dengan kedua kakiku mengangkang lebar sementara pak Andi nungging dan masih asik menikmati kentalnya lendir syahwatku.
“Mfhhh.. Mffhhh.. Mfhhh.. Ockk.. Mfhh.. Ockk.. Ockk..!!”, desahku tertahan karena mulutku tersumpal kontol pak Ponijan.
Siapa juga yang bisa tahan melihat seorang akhwat bercadar cantik bugil terlentang pasrah di ranjang? Itulah yang Pak Pon rasakan. Mataku dibuat terbelalak karena pak Pon memaksa seluruh kontolnya masuk ke mulutku dengan posisi ia doggy di atas wajahku dan menekan pinggulnya ke bawah. Ingin rasanya aku berontak karena beberapa kali kerongkonganku tersedak ditambah susah untuk bernafas. Tapi kedua tanganku di cengkram kuat pak Pon sementara kedua kakiku sudah di kunci oleh tangan pak Andi di bawah sana. Kini diriku tak ada ubahnya daripada sebuah toilet pemuas kontol lelaki.
“Mhhh.. Shhh.. Ohhh.. Hey Neng.. sakit kena gigi neng Lisa.. yang bener aah!!”, kata pak Pon sambil sesekali menampar wajahku yang masih tertutup sebagian oleh cadar.
“Mantab nih Pon.. ahahah.. Gurihhh.. Mffhh.. Sruupphh.. beda gak kayak punya biniku.. nagihh..”, ujar pak Andi yang jemari telunjuknya sudah iseng melesak ke anusku.
Air mataku menetes karena harus menahan agar tidak muntah karena terus menerus tenggorokanku disesaki kontol pak Pon. Tapi lama kelamaan aku mulai merasa keenakan padahal tadinya aku tak terima diperlakukan seperti ini. Karena bukanlah pak Pon atau pak Andi yang ada di bayanganku, melainkan ustad Hamzah dan Pak Anwar yang tengah menikmati tubuhku.
“Mffhh.. Mfhhh.. Ockk.. Mfhh.. Ockk.. Mffuaahh.. Uhukk.. Mmhh.. Ahh.. Awwhh.. Aahhh.. Iyahh Pakk..”, ucapku sesaat setelah pak Pon melepas kontolnya.
Pak Andi yang sudah dibutakan nafsu syahwat kini menarik paksa jilbabku dan memintaku untuk nungging di antara selakangannya sementara ia sendiri terlentang di ranjang. Meski sebentar, akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega. Tapi kini dihadapanku sudah ada kontol pak Andi yang juga sama persis dengan pak Pon, tidak disunat, berbulu lebat, dan aroma khas kontol lelaki begitu kuat menerpa hidungku. Kedua tangan pak Andi segera menekan kepalaku ke arah selakangannya sementara ia menekuk kedua kakinya sehingga bokongnya agak terangkat. Tak kusangka aku akan dipaksa untuk menjilati anus pak Andi yang hitam legam.
“Naahh.. disitu mbak Lisa.. wuuhh.. Sshhh.. Jilatin ampe bersih yaa.. ahahahah..”, kata pak Andi sambil terus menekan-nekan kepalaku yang membuatku semakin terbenam di selakangannya.
Kalau dari rasa tak ada bedanya dengan kontol, hanya aroma saja yang berbeda, terasa lebih pekat dihidungku. Kusibakkan cadarku dengan tangan kiriku agar tak mengganggu lidahku untuk merasakan sesuatu yang baru. Sementara itu entah apa yang dilakukan pak Pon di bawah sana. Kurasakan begitu nikmat memekku dilayani pak Pon. Kurasa dua jari pak Ponijan tengah asik mengobok-obok lian peranakanku bersamaan dengan lidahnya yang menjilati anusku.
“Haaemmfhh.. Ockk.. Mffhh.. Mfhhh.. Sruuppt.. Ockk.. Mfhhh..”, desahku saat kontol pak Andi mulai memenuhi mulutku hingga menyodok tenggorokan.
5 menit lamanya aku nungging untuk membersihkan anus pak Andi sementara bokongku menjadi bulan-bulanan pak Pon sebelum berganti aku harus mengocok kontol 18cm pak Andi dengan mulutku. Ukuran kontol kedua anggota TNI itu hampir sama menurutku, hanya saja milik pak Andi lebih berurat daripada milik pak Ponjian.
“Naahh.. udah cukup mbakk.. sinih.. mau cobain dong rasanya memek wanita sholihah kayak mbak Lisa.. ahahah.. udah hafal berapa juz mbak??”, tanya pak Andi mengejekku.
“Mffhh.. Mffuahh.. Mhh.. Sshh.. Baru 3 juz pakk..”, jawabku sambil menyeka liur dengan cadarku.
“Cobain aja Ndan.. Gak ada lawan tuh rasanya memek santriwati..”, kata pak Pon yang kemudian mengambil HPnya dan seperti hendak merekamku.
“Tuh.. denger pak Pon kan.. ngomong-ngomong pak Pon cerita kalo mbak Lisa juga punya banyak video bokep yaa..?? Dihh.. ternyata santriwati juga doyan bokep.. coba praktek goyang coba.. bapak mau liat nih..”, kata Pak Andi yang terlentang santai berbantalkan kedua tangannya yang berotot dan bertatto.
Aku terkejut saat mendengar kata-kata pak Andi bagaimana bisa pak Pon mengetahui isi HPku padahal aku tak pernah cerita sedikitpun. Tapi apa gunanya juga aku bertanya, toh saat ini itu sudah tidak terlalu penting. Semuanya sudah terlanjur bagiku. Aku pun hanya terus menunduk sementara kedua tanganku yang masih terbalut handsock hitam membelai perlahan kontol pak Andi yang sudah tegang maksimal. Sudah lama aku ingin mencoba posisi ini, Women On Top. Setiap kali aku menonton video, pastilah posisi itu yang paling kusuka. Entah, mungkin karena aku merasa diposisi itu wanita bisa sepuasnya melampiaskan syahwatnya.
“Mmhhh.. Ngghhh.. Shhh.. Ngghhhh.. Aaaaaahhhh.. Mhhh.. Ohhhh.. Aaahhh.. Ahhhh.. Ahhhh..”, erangku tertahan saat melesakkan kontol jumbo pak Andi.
Entah sudah seberapa beceknya memekku, bahkan mungkin tidak becek lagi tapi sudah banjir, tapi tetap saja aku agak kesulitan melesakkan kontol pak Andi. Tapi hanya sesaat saja, kini pinggulku sudah bergerak cepat maju mundur tanpa perlu latihan. Spontan saja, seluruh tubuhku bergerak mengslir begitu saja mengikuti desir birahi yang merebak cepat di dalam diriku. Kedua tanganku bertumpu di dada bidang pak Andi yang terlihat kontras sekali dengan kulit tanganku yang putih. Toketku yang sedari tadi tertutup Bra seksi, telah habis dilumat oleh kedua tangan kekar pak Andi.
“Aahh.. Ahhh.. Ahhh.. Mnhh.. Aahhh.. Shhh.. Gedehh.. Ahhh.. Pakk.. Ahhh..”, desahku tanpa sadar.
Aku hanya bisa terpejam dengan mulutku terus melenguh dan mendesah. Tak kusangka zina senikmat ini, bahkan jauh lebih nikmat daripada saat pak Pon pertama kali menyodokku. Mungkin karena kini memekku sudah lebih terbiasa disumpal kontol sehingga bisa mendekap dan merangsang sempurna seluruh syaraf yang ada. Plakk! Plakk! Beberapa kali tangan pak Andi menampar bokongku yang membuatnya tampak kemerahan. Bukannya sakit, justru aku semakin bergairah ketika pak Andi melakukannya.
“Ahhh.. Ahh.. Pakk.. Pakk.. Ahhh.. Mau pipiss.. Ahh.. Ahhh.. Annngghhhhhhh..!!”, erangku.
Plop.. Crrrr... Crrrr.. Crrr..
“Woowwhh.. Edaaannn.. Bahahahah.. Ponijan.. ini santriwati apa lonthe!? Bisa sampe ngecrot gini..!? Behh.. ayok mbakk!! Genjot terosss!!”, kata pak Andi yang semakin bernafsu saat melihatku squirting.
Tak perlu dikomando pun aku sudah kembali melesakkan kontol pak Andi untuk kembali mengobok-obok memekku. Tangan pak Andi yang daritadi meremasi gunung kembarku kini beralih mencengkram pinggulku dan menggerakkannya maju mundur cepat meengikuti irama goyanganku. Ahhh.. benar-benar nikmat yang tak terkira saat perlakuan kasar pak Andi menggoyang pinggulku. Otomatis kontol pak Andi semakin kuat menghantam dinding-dinding memekku yang sudah sangat sensitif. Dan benar saja, tak sampai 5 menit lamanya untuk aku mencapai squirt keduaku di posisi WOT.
“Aahhh.. Ahhh.. Ahhh.. Pak Andiihh.. Ahhh.. Aaannghhhh..!!!”, erangku lepas kali ini.
Crrr.. crrr... Crrrrr..
Tubuhku menggelinjang kuat bersamaan dengan memekku yang menyemburkan cairan orgasmeku. Bleshh.. kembali kulesakkan kontol Pak Andi dan lagi-lagi tangan pak Andi terus menggoyang cepat pinggulku. Tapi di ronde 3 ku, pak Ponijan yang sedari tadi hanya menjadi videografer, kini ikut berpartisipasi. Ia berdiri tepat di samping kiriku yang sudah tentu aku tahu apa maksudnya. Kontolnya yang sudah tegak mengacung pun segera kulahap layaknya anjing kelaparan. Aku sudah tak peduli lagi dengan marwahku sebagai akhwat berjilbab syar’i dan bercadar. Yang ada dikepalaku hanyalah aku ingin sepuasnya menikmati saat itu.
“Gila nggak sih Ndan.. Fuuhh.. Lahap kali neng.. doyan banget sama kontol yaa..?? Hahah..”, ucap pak Ponijan yang merem melek keenakan merasakan servis dariku sambil terus merekam adegan yang kulakukan padanya.
Kini tak terlalu sulit bagiku kalau hanya untuk mengulum kontol pak Ponijan. Kedua tanganku berpegangan pada pinggul pak Ponijan dengan kepalaku maju mundur cepat mengocok kontolnya di mulutku. Sementara pinggulku juga bergerak cepat maju mundur mengocok kontol pak Andi di dalamnya. Benar-benar nikmat yang luarbiasa kurasakan saat harus melayani 2 kontol sekaligus hingga akhirnya aku kembali squirt untuk yang ketiga kalinya.
Pak Ponijan dan Pak Andi sama sekali tak memberiku waktu istirahat. Dengan posisi doggy, pak Ponijan kini yang aktif menggempur memekku, sementara mulutku tersumpal kontol pak Andi yang masih belepotan oleh lendir memekku sendiri. Rasa nikmat terus menerus kurasakan meski harus menahan lelahnya disenggamai oleh dua orang sekaligus.
“Ehh Pon.. itu anak-anak masih lanjut di sebelah??”, tanya pak Andi sambil terus meremasi kepalaku yang terbalut khimar abu-abu.
“Nghh.. Nghh.. Masihh Ndann.. Shhh.. Mau liat Ndan..??”, jawab pak Pon yang tanpa henti menggempur bokongku hingga merah.
“Wuhh.. Mmhh.. Iya.. Ada kamera kan..?? Nyalain deh.. penasaran..”, jawab pak Andi sambil sesekali menampar pipiku.
Aku tak tahu apa yang keduanya tengah bicarakan karena aku juga terlalu sibuk untuk melayani buasnya kedua kontol berkulup itu. Tak lama, pak Pon yang berlutut dan terus menggenjot memekku menyalakan TV besar yang ada di ruangan itu. Sesaat setelah TV menyala, suara desahan dan erangan seorang akhwat pun menggema.
“Wehh.. Beneran masih pada main ahahah.. padahal udah 3 jam tuh si Shofi digilir dari tadi pagi..”, jawab pak Andi yang kemudian mencabut kontolnya.
Pak Pon yang semakin kuat menggempur bokongku membuatku agak kesusahan untuk mempertahankan tubuhku. Aku pun tersungkur dengan posisi nungging karena kuatnya sodokan pak Ponijan. Kucoba melihat apa yang terjadi di TV karena pak Andi sempat bilang ‘si Shofi’. Dan benar saja, mataku terbelalak tekejut saat melihat adegan di TV itu. Pantas saja aku tak menjumpai ustadzah Shofi pagi ini. Kurang lebih ada sekitar 5-6 orang lelaki di video itu dan semua berbadan kekar berkulit sawo matang melawan seorang akhwat berjilbab lebar bercadar yang hanya menyisakan jilbab dan cadarnya saja yang masih menempel di tubuhnya. Seluruh tubuh si akhwat mengenakan full-body fishnet lingerie (aku tahu setelah browsing di internet) yang justru menambah keseksiannya.
Kameramen pun mengubah posisinya sehingga menunjukkan wajah sang akhwat yang ternyata memang benar kalau itu ustadzah Shofi. Benar-benar sesuatu yang membuatku terkejut bukan kepalang. Kukira kata-kata pak Ponijan dulu hanyalah isu tanpa bukti. Tapi kali ini semuanya menjadi jelas bagiku, bahkan dalam video itu terlihat ustadzah Shofi tengah di-sandwich oleh 4 orang sekaligus. Ia doggy di atas seorang lelaki, yang kurasa juga bagian dari anak buah pak Andi di kesatuan, dengan memeknya disumpal kontol jumbo lelaki dibawahnya sementara anusnya disumpal lagi oleh kontol lelaki lain yang berlutut dan menggempur liar bokongnya. Tubuh putihnya yang mulus terawat tampak dominan diantara gelapnya kulit para lelaki yang tengah berlomba menikmati kesucian dan kenikmatan tubuh hafidzah itu. Mulut suci ustadzah Shofi yang biasa ia gunakan untuk melafadzkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mendakwahkan agama, kini tak ada bedanya dengan memek yang terus digilir oleh kontol kedua lelaki yang lain yang berdiri di sisi kanan dan kirinya.
“Cukk.. jadi pengen nyobain bokong mbak Lisa juga nihh.. blom pernah dipake kan Pon..??” tanya pak Andi yang baru saja menyalakan rokoknya.
“Nghh.. Nghh.. Belom pak..”, jawab pak Pon yang tanpa henti terus menggenjot memekku.
“Yaudah.. sini gantian..!!”, jawab pak Andi yang kemudian segera mengambil alih posisi pak Pon.
Plop.. Crrrrr.. Crrrrr.. Crrrr..
Tak mampu lagi kutahan rasa itu dan orgasme pun menyembur deras saat pak Ponijan mencabut kontolnya bersamaan dengan lenguhanku.
“Weehh.. malah ngecrot mbak..!! Hhahah..”, ucap pak Andi sambil memukul-mukulkan kontolnya do belahan bokongku.
Tubuhku serasa sangat lelah dan lemas. Mungkin sudah hampir 40an menit aku harus bertahan dari liarnya gempuran kedua anggota militer ini. Ingin rasanya aku menghempaskan tubuhku sebentar tapi tangan pak Andi menampar keras bokongku yang membuatku meringis kesakitan.
“Siapa suruh boleh istirahat..!!? Baru juga mau mulai..!!”, kata pak Andi.
“Aghhh!! Awwhh.. sakit pakk.. ampuuunn..”, jawabku lirih sambil menahan nyeri.
Belum usai aku merasakan nyeri, tiba-tiba kurasakan air ludah kental pak Andi membasahi bibir anusku. Ahh.. aku tau kalau sebentar lagi ia akan memperawani liang bo’olku. Aku hanya bisa pasrah di ruangan itu dan menjadi pemuas hasrat birahi lelaki.
“Aaaakkk..!! Aawwghhh!! Pp.. paaakkhh..!! Ssshh.. Ngghhhh..!!!”, rintihku tertahan saat merasakan kontol pak Andi menguak paksa sempitnya anusku.
Kedua tanganku mencengkram erat sprei ranjang. Benar-benar rasanya seperti anusmu dirobek paksa. Sakit, panas, perih, semuanya bercampur jadi satu. Bahkan pak Andi sama sekali tak berhenti sesaat dan terus melesakkan kontolnya hingga tenggelam secara total. Air mataku kembali mengalir karena sakit yang tak terkira, bahkan sempat kurasakan kalau aku akan kehilangan kesadaran saat itu.
“Aaahhh.. Mmhhh.. Sempit bangetthh mbaakk..”, kata Pak Andi setelah berhasil menyumpalkan kontolnya seluruhnya.
Dan selanjutnya aku hanya bisa menahan teriakan dan eranganku saat pak Andi mulai bergerak maju mundur. Kurasakan seluruh bagian bawah tubuhku seperti ingin lepas dari tempatnya. Ngilu yang luar biasa kurasakan tapi aku tetap harus bertahan. Pak Andi justru terlihat begitu menikmati saat mendengarku meronta-ronta menahan nyeri. Pak Pon yang melihatku kesakitan sepertinya tak sampai hati, tapi ia juga tak berani kalau harus menghentikan kelakuan komandannya itu. Akhirnya sebuah vibrator ia lesakkan di memekku.
“Aaaghhh!! Ooouuhhh.. Ahhh.. Mmmhh.. Ahhhhh.. Aahhh..”, desahku yang mulai berubah.
Entah harus berterimakasih ataukah aku harus marah pada Pak Ponijan, tapi yang pasti setelah pak Ponijan melesakkan vibrator itulah aku mulai menikmati sensasi anal. Cukup lama pak Andi menikmati anusku yang kemudian pak Ponijan kembali bergabung dengan menyumpal mulutku dengan kontolnya.
“Ahhh.. jadi gini rasanya semua lubang di isi..”, gumamku dalam hati.
Tanpa sadar aku sudah mengalami orgasme 2 kali dari anal seks pak Andi meski tak sampai squirting. Pak Andi dan pak Ponijan akhirnya sampai pada klimaksnya setelah secara bersamaan menyodok anus dan memekku. Aku bilang pada keduanya terserah dimana saja dikeluarkan yang penting tidak di memek. Dan alhasil pak Andi memenuhi anusku dengan benihnya, sementara pak Ponijan kembali membuatku kenyang karena harus meminum semua spermanya. Sekitar jam 10.30an kami bertiga tertidur karena kelelahan. Khimar dan cadarku sudah begitu acak-acakan saat aku terlelap siang itu.
Adzan Dhuhur pun berkumandang tapi sepertinya aku belum diperbolehkan untuk pergi karena kudapati aku ditinggal sendirian di kamar itu sementara pintu kamar terkunci. Saat aku berjalan menuju toilet untuk mandi junub, kurasakan seperti saat pertama kali aku diperawani. Terasa anusku menganga dan tak bisa tertutup lagi. Parahnya entah kenapa aku merasa mulas terus dan seakan tak bisa menahan rasa ingin BAB ku.
“Assalamu’alaykumm.. Assalamu’alaykum..”, ucapku setelah selesai salam.
“Eehhh.. ternyata cantik juga ya neng Lisa tuhh..”, celetuk pak Ponijan.
Ya memang aku sudah tau kalau keduanya masuk kamar lagi saat aku sedang sholat tadi. Tapi untungnya mereka masih toleran padaku dan tetap membiarkanku untuk menyelesaikan sholatku.
“Iya yaa.. Cantik banget kalau ga pake cadar.. apalagi pakai mukena putih gitu.. jadi bikin konak lagi nih.. ya ngga Pon..???”, ucap pak Andi yang hanya mengenakan celana boxer.
“Udah konak daritadi Ndan.. langsung aja ini mah..”, kata Pak Ponijan yang baru saja mematikan rokoknya.
Ahh.. aku baru sadar kalau aku sholat tanpa mengenakan cadar. Dan spontan saja aku menutupi wajahku dengan mukena yang kupakai. Meski begitu, tetap saja pada akhirnya wajahku menjadi santapan mata pak Andi dan Pak Ponijan yang siang itu kembali menyetubuhiku dengan aku hanya mengenakan atasan mukena saja.
Sekitar jam 3 sore aku baru diperbolehkan pulang oleh keduanya. Aku merasa harga diriku sudah tak berguna lagi. Meski bercadar, tapi aku tak berbeda dengan pelacur jalanan. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya melamun di dalam mobil yang kupesan dengan Grab. Pak Andi memberiku uang yang tak sedikit, sekitar 500ribu. Ia bilang ini untuk jajan dan sedikit terimakasih karena sudah mau melayaninya seharian.
Sesampainya di Pondok, aku segera mandi kembali dan terus merenungkan apa yang baru saja terjadi padaku. Kembali jawaban singkat kulontarkan tiap kali Ifah dan Ani mengajakku bicara. Seluruh pikiranku dipenuhi rasa bersalah dan berdosa. Tapi entah kenapa setiap malam kalau aku membayangkan tentang kontol pak Andi dam Pak Ponijan, aku selalu merasa terangsang. Terlebih jika kubayangkan Ustad Hamzah dan Pak Anwar yang memiliki kontol seukuran milik kedua anggota itu, bisa 2-3 kali aku masturbasi semalaman. Tapi kalau sudah duduk dalam majelis kajian atau hafalan Qur’an, maka bayangan akan dosa dan kekecewaan orangtua selalu menghampiriku.
Dan hari-hari berikutnya yang kurasa akan kembali menjadi hari-hari biasa ternyata hanyalah mimpi. Pak Ponijan dan Pak Andi semakin sering menggunakan tubuhku untuk memuaskan syahwatnya. Setiap Rabu, Jum’at, Sabtu, dan Ahad, itu adalah jadwal rutinku untuk mempersembahkan tubuhku pada keduanya. Kadang aku hanya melayani pak Andi sendiri atau pak Ponijan sendiri, atau kadang threesome saat keduanya sedang pengen. Semua itu berjalan sekitar hampir 2 tahun lamanya. Dan tak peduli aku sedang haid atau tidak, kalau sudah di kode maka aku harus segera mengangkat tinggi rokku dan melepas CD ku. Kadang di pos jaga, kadang di hutan, tapi lebih sering di hotel langganan mereka kalau weekend. Qodarullah meski begitu intens, pak Andi dan pak Ponijan setuju untuk tak membuatku hamil.
Penderitaanku sekaligus Kenikmatan yang kurasakan di pondok itu berakhir saat tiba-tiba orangtuaku menarikku dari pondok. Kukira kalau tingkah burukku ketahuan, tapi ternyata aku sudah dijodohkan dengan seorang ikhwan.
“Iya.. ini kenalan abimu.. anaknya pak Fulan.. ganteng, sholeh pula..”, kata Umi menjelaskan saat aku sudah sampai di rumah.
Bukan masalah nikah muda yang membuatku ragu untuk menikah, tapi karena aku sudah tak lagi perawan. Apa yang harus kukatakan pada suamiku kalau dia tau nantinya. Tapi itu tak mungkin ku sampaikan pada kedua orangtuaku sehingga beberapa bulan setelahnya akhirnya akad nikah pun dilangsungkan.
Sempat beberapa kali aku dipertemukan dengan calon suamiku sebelumnya. Memang benar ia seorang ikhwan yang sholeh dan tampan bagiku. Cukup ideal bagi diriku yang sudah menginjak umur 19 tahun sementara calon suamiku berumur 26 tahun.
“InshaaAllah ana akan terima semua kekurangan yang ada di dalam diri ukhti..”, kata calon suamiku.
Meski singkat tapi itu serasa menghancurkan sebuah dinding besar yang memenuhi hatiku selama ini. Rasa bersalah yang mengikatku serasa terlepas setelah ia mengucapkan kalimat singkat itu. Tetes air mata pun tak dapat kuhindari. Bukan sedih, justru aku bahagia karena itulah yang ingin kudengar.
Akad nikah dan walimah pun berlangsung sederhana. Tak banyak yang kami undang untuk datang karena keterbatasan biaya dan supaya tak terkesan menghamburkan uang. Beberapa teman pondok seperti Ifah, Ani, dan Zahra sudah tentu menjadi undangan wajib. Selama seharian itulah aku melepas kerinduanku pada ketiganya sebelum akhirnya mereka kembali lagi ke pondok.
Tung Ting.. Tung Ting..
“Hahh..!!??”, jawabku dengan nada agak keras yang membuat suamiku, abi, dan umi terkejut.
“Kamu kenapa nak?? Teriak-teriak gitu..??”, tanya Abi yang tekejut.
“Iya lhoo.. umi juga kaget..”, timpal umi.
“Iya sayang.. kenapa sih??”, tanya suamiku.
“Ahh.. ini Lisa baru inget udah janjian sama temen buat slesain soal walimahan tadi..”, jawabku yang buru-buru hendak meninggalkan ruang keluarga.
“Ehh.. sendirian aja sayang??”, tanya suamiku.
“Iyaa kamu itu sudah punya suami.. haram keluar-keluar tanpa ijin suami..”, kata Abi yang sambil menikmati kopinya.
Aku tak punya lagi alasan kalau abi sudah berkata seperti itu. Akhirnya malam itu pun suamiku mengantarku menuju lokasi yang sudah kutentukan. Selama perjalanan suamiku terus mengajakku ngobrol yang membuatku nyaman meski dalam hatiku aku terus menangis karena aku telah mengkhianatinya. Bahkan tiap kali ia bertanya tentang apa yang mau aku lakukan malam itu, aku terus saja menghindarinya dengan mengganti topik pembicaraan.
“Udah nih sayang..?? Disini..?? Rumah siapa?? Ini kan Mall..”, tanya suamiku.
“Ahahah.. iya mas.. kita ketemuan disini kok.. nanti kalo udah selesai Lisa kabari mas lagi..”, jawabku sambil mencium tangan hangatnya.
Sebenarnya bukan masalah walimahan, tapi tiba-tiba pak Andi mengirimiku WA kalau ia ingin sekali menikmatiku malam itu padahal aku sudah mengatakan padanya kalau hari ini adalah hari pernikahanku. Memang sudah cukup lama pak Pon dan pak Andi tak menyetubuhiku, apalagi sejak aku keluar dari pondok. Ada lebih dari 3 bulan aku tak merasakannya kontol mereka yang juga tak dapat kupungkiri aku cukup merindukannya, bahkan itu membuatku harus masturbasi hanya untuk meredam syahwatku.
“Ini barusan pulang dari dinas sama pak Pon juga.. bapak tunggu di kamar 725 yaa..”, kata pak Andi yang menelepon ku via WA.
“i.. iya pak..”, jawabku yang sudah seperti budak mereka.
“Nggak lupa pesenan bapak kan..??”, tanya pak Andi.
“Ng.. nggak pak.. sudah Lisa bawa..”, jawabku sambil menaiki lift menuju lantai 7 dari hotel itu.
Lokasi hotel dan mall itu menjadi satu. Setelah menanyakan lokasi kamar pada bellboy di hotel, aku menuju toilet di lantai itu terlebih dulu untuk berganti pakaian. Gaun pengantin biru muda dengan khimar segi empat lapis 3 disertai gamis panjang 3 layer dihias brokat putih diujungnya menjadi outfitku malam itu. Cadar tali yang senada dengan warna khimarku menutupi kecantikan wajahku, tak lupa sebuah ‘tiara’ putih kupasang di atas khimarku persis seperti saat aku walimahan tadi pagi.
Sebenarnya aku malu mengenakan pakaian itu, tapi itu adalah permintaan pak Andi, tak mungkin aku menghindar. Setiap orang yang masuk lift pun selalu menatapku antara kagum dan heran. Aku pun hanya bisa menunduk sambil sibuk menatap HPku berupaya mengabaikan orang-orang itu. Tak lama kemudian aku sampai di lantai yang dituju dan segera menuju kamar no 25.
Tok.. tok.. tok.. Assalamu’alaykum..
“Wa’alaykumsalam.. wahh.. cantiknya Neng Lisa..”, ucap pak Ponijan yang membukakan pintu.
“Mmhh.. makasih pak..”, jawabku sambil melangkah masuk ke kamar.
Betapa terkejutnya diriku saat aku masuk di dalam kamar yang ternyata sudah banyak lelaki di dalamnya. Tak hanya itu, kulihat ada lebih dari 10 botol minuman keras dan puntung rokok dimana-mana. Ku kira aku hanya harus melayani pak Andi dan pak Ponijan saja, tapi sepertinya malam ini akan jadi malam yang panjang.
“Pak Pon.. si.. siapa mereka..?”, tanyaku berbisik ke pak Pon dengan tubuhku gemetar ketakutan.
“Ohh.. anu..”, jawab pak Pon.
“Waahh.. Nahhh.. sini mbak Lisaa.. gabung sini.. hahah.. nih temen-temen bapak yang juga pengen nyobain memek kamu..”, kata Pak Andi yang sepertinya sudah mabuk sambil menggenggam botol miras.
“Hweehh.. jadi ini pengantin barunya..?? Katanya santriwati juga nih..”, timpal salah seorang lelaki yang bertubuh agak gemuk dengan perut yang cukup buncit.
“Iya ya.. cadaran juga lohh.. kapan lagi bisa ngicip ustadzah.. ahahah..”, kata lelaki yang lain yang berambut gondrong.
Ada kalau hanya 7 orang di ruangan itu termasuk pak Ponijan, semuanya memiliki postur tubuh yang besar dan kekar. Ada yang berambut gondrong, ada yang dipotong cepak layaknya anggota. Tampang kelima orang yang lain begitu mengintimidasiku, yang membuatku benar-benar ketakutan. Ingin rasanya aku kabur dari ruangan itu tapi pak Ponijan sudah mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di kantong celananya.
“Ng.. Nggak.. Pakk.. tolong nggakk.. pliss..”, ucapku sambil menatap memelas pada pak Ponijan.
Pak Ponijan hanya tersenyum dan mempersilakan diriku untuk segera menuju kawanan anjing kelaparan di ruangan itu. Meski aku merengek pada pak Ponijan dan air mataku menetes, tapi pak Ponijan hanya memejamkan matanya seakan tak peduli apa yang akan terjadi padaku. Dan benar saja, tiba-tiba salah seorang lelaki itu menarik tanganku dari belakang dan membawaku dengan paksa ke ranjang.
“Wuuhh.. wanginyaaa..”, ujar lelaki tadi yang kini mendekapku dari belakang.
Aku hanya bisa pasrah karena kini ada lelaki lain yang menghampiriku dan mencumbu gaunku mulai dari leher. Bisa kurasakan hembusan nafas penuh birahi dari keduanya. Entah tangan siapa yang kini meremasi toketku yang masih terbungkus gaun dan khimarku sementara tangan yang lain meremas-remas bokongku. Dalam hatiku aku terus memanggil nama suamiku, berharap ia bisa segera hadir dan menghajar semua lelaki ini layaknya di film. Tapi bukannya suamiku yang datang, kini cadarku harus basah oleh liur orang ketiga yang melumat bibirku paksa. Ahh.. bau pekat khas alkohol membuatku muak, ditambah aroma rokok yang juga keluar dari mulutnya, membuatku mual.
“Heh!! Gak usah dilepas gaunnya.. bukak aja seperlunya!! Lebih asik gini..”, bentak salah seorang lelaki pada temannya yang berupaya melepas gaunku.
“Iya cok!! Kapan lagi nih bisa ngentotin ustadzah bercadar yang baru aja nikahan.. ahahah.. mantab banget kau Andi..!!”, jawab lelaki lainnya yang kini mulai mendekatiku.
Ia segera melepas ikat pinggang yang ia pakai dan mengikat leherku dengannya layaknya tali untuk hewan peliharaan. Melihat hal itu teman-temannya yang lain bersorak girang dan asa yang mengatakan diriku ‘anjing’. Kurasakan hawa dingin ruangan menerpa kedua gunung 36C ku yang sudah terbuka bebas dan menunjukkan puting coklat mudaku. Memang gaun yang kupakai memiliki resleting di depan, bukan di belakang karena itu membuatku lebih nyaman. Sudah pasti tak butuh waktu lama hingga putingku itu menjadi santapan setiap lelaki di ruang itu sementara aku hanya bisa berdiri pasrah digilir.
“Ahhh.. Sakit pakk.. Shh.. Awwwhhh..”, rintihku saat ada yang menggigit putingku.
“Nah sekarang jadi layaknya anjing.. hahahah..”, kata lelaki yang tadi mengikat leherku.
Ia menarik kasar ikat pinggang itu ke bawah yang membuatku agak tercekik. Aku pun terpaksa menunduk dan mengambil posisi merangkak agar tidak tercekik. Kemudian 4 orang lelaki duduk bersamaan di pinggir ranjang dengan kontol keempatnya yang sudah menjulang tinggi. Benar-benar ukuran kontol yang tidak masuk akal hampir semuanya jumbo bagiku. Biarpun aku sudah pernah melihat milik Pak Andi dan Pak Ponijan, tapi tetap saja milik mereka terlihat begitu besar. Panjang sekitar 17-18cm dengan diameter yang tak jauh beda dari milik pak Andi. Hanya saja keempat kontol itu sudah disunat, tapi tetap terlihat kokoh kekar dengan urat-urat besar menghiasi.
“Heh!! Buruan sepong tuh!!”, kata seorang lelaki lain yang kemudian menjejakkan kakinya di kepalaku.
Jelas saja itu membuat kepalaku terbenam di selakangan seorang lelaki yang duduk di pinggir ranjang itu. Kusibakkan cadarku sedikit dan segera kulahap kontol berbulu lebat itu. Semua lelaki di ruangan terus meracau melecehkanku semau mereka sementara aku diwajibkan menggilir semua kontol itu tanpa henti. Bahkan ada yang sengaja menggenjot mulutku karena ia begitu terangsang merasakan akhwat bercadar menyepong kontolnya.
Mhhh.. Mfhh.. Mfhhh.. Ockk.. Ockk.. Uhukk.. Ockkk.. Mfhhh..
Kurang lebih ada sekitar 15 menit aku harus bertahan menggilir keempat kontol itu sebelum kini beralih keenamnya berdiri mengelilingiku termasuk pak Andi dengan kontol berkulupnya. Aku kembali harus menahan lelah di rahangku karena harus kembali mengulum kejantanan mereka dengan berlutut. Tanganku pun harus aktif mengocok kontol yang lain sambil mulutku menikmati kontol lelaki lainnya.
“Mhhh.. Wuuhhh.. Mantabbnyahh.. Nghh.. Nghhh..”, ujar teman pak Andi yang sepertinya juga anggota.
Ia dengan penuh semangat menggenjot memekku dengan posisi Missionary. Pahaku yang putih mulus dan terbalut kaos kaki selutut warna putih nampak mencolok di kulit hitamnya. Toketku bergoyang liar mengikuti genjotan kuat lelaki itu sementara mulutku harus bergantian menggilir kontol yang tersedia di kanan dan kiriku.
“Ahhh.. inikah yang dirasakan ustadzah Shofi..?? Capekk..”, batinku.
Setiap lelaki itu secara bergantian menikmati bagian tubuh yang paling kujaga. Setiap kali satu orang selesai, ia langsung menyumpalkan kontolnya ke mulutku layaknya tissue untuk membersihkan. Tak dapat kupungkiri kalau aku juga merasakan nikmatnya diperlakukan seperti itu. Bahkan aku sudah tak terhitung lagi berapa kali orgasme tanpa squirting.
“Ahhh.. Ahhh.. Mhhh.. Ohhh.. Ahhhh.. Shhh.. Uunnnghhhhh..”, erangku kuat saat merasakan orgasme.
Tubuhku benar-benar lelah, apalagi kini aku harus doggy dengan kontol di depan dan dibelakang menyodokku secara bersamaan. Gaunku pun sudah acak-acakan tak beraturan. Meski lelah entah kenapa aku tetap bisa mengimbangi keenam lelaki itu. Apa mungkin ada kaitannya dengan beberapa pil yang mereka paksa aku untuk meminumnya di awal tadi.
“Heyy.. gak seru ahhh.. mainnya barengan aja..!! Kelamaan nunggunya.. lagian ada 3 tuh lubang..”, ujar salah seorang lelaki.
“Iya juga sih.. yaudah.. siapa mau duluan..?? Pake aja.. itu udah longgar semua kok..”, kata pak Andi yang duduk sambil menenggak miras kembali.
“Gue.. Gue dulu!! Blom pernah gue ngrasain anal sama akhwat gini..!!”, kata seorang lelaki yang perutnya buncit.
Aku yang tengah WoT diatas tubuh lelaki lain yang tak kukenal dipaksa agak membungkuk. Dan Blesshh.. kontol besar lelaki tadi menembus cepat anusku yang hanya dibasahi oleh liurnya.
“AAAKKKHHHH!!!! HMMFHH.. NGHH.. NGHHH.. MFHHH.. NGHHH..!!”, Teriakku yang menahan nyeri tapi harus tertahan karena mulutku disumpal oleh kontol kembali.
Anus dan memekku terasa begitu penuh. Antara nikmat dan nyeri berpadu dan saling menyeimbangkan satu sama lain. Mulutku tak pernah sedikitpun istirahat walau hanya untuk mendesah. Benar-benar rasa yang tak bisa kugambarkan dengan tulisan. Gangbang pertamaku di malam pertama pernikahanku. Hampir semua posisi kulakukan mengikuti fantasi liar setiap lelaki di ruangan itu. Yang paling membuatku trauma adalah saat dua kontol dipaksa masuk ke memekku sementara anusku masih tersumpal kontol lelaki lain. Tak ada rasa nikmat yang kurasakan, tapi meskipun aku ingin berteriak menahan nyeri, mulutku sudah disumpal lagi oleh kontol.
Hampir 1 jam lamanya aku harus menahan gempuran secara bergilir dari kontol-kontol perkasa itu. Sprei ranjang sudah basah kuyup oleh cairan orgasmeku yang sudah tak terhitung berapa kali. Cadarku pun sudah terlepas karena ada seseorang yang menariknya paksa hingga sobek. Saat melihat wajahku, keenamnya semakin bernafsu dan beringas. Aku tak ada kesempatan untuk berontak dan hanya bisa pasrah mengangkang, nungging, apapun posisi yang mereka inginkan.
“Aarghh!! Keluarr cokkk!! Nghhhh..!!!”, geram salah seorang lelaki yang menyemburkan spermanya di dalam mulutku.
Tak lama yang lain pun mengikutinya. Ada yang di dalam memek, anus, ataupun diwajahku. Benar-benar kental, pekat, dan jumlah yang sangat banyak bahkan aku bisa langsung kenyang hanya karena menelan sperma dari satu kontol saja. Saat semuanya sudah puas dan kembali terduduk sambil merokok ataupun menikmati miras, aku ditinggal menggelepar lemas di ranjang dengan posisi mengangkang dan seluruh gaunku awut-awutan.
Saat aku merasa bisa beristirahat, tiba-tiba kulihat samar-samar seseorang mendatangaiku. Ahh.. pak Ponijan pun kini berganti menikmati tubuhku yang sudah lemas dan berlumuran sperma. Ia tampak begitu bersemangat menggenjot memekku yang sudah dipenuhi sperma entah milik siapa. Semua lubang kenikmatan di tubuhku tak lepas dari sodokan kontol Pak Ponijan sebagai closing ronde pertama malam itu. Dan kembali wajahku menjadi incaran semburan sperma kental pak Ponijan.
Setelah sekitar 20an menit beristirahat, tiba-tiba aku dibangunkan paksa dan dibawa ke toilet. Sontak saja aku yang baru tertidur karena kelelahan pun jalan tergopoh-gopoh dan agak sempoyongan. Aku pun dihempaskan di lantai toilet hingga membuatku duduk bersimpuh.
“Nihh.. mandi junub dulu.. bener kan namanya kalo di islam itu?? Apa tuh?? Mandi junub kaann..?? Nihh.. Aaaaahhhh..”, kata seorang lelaki yang nampaknya ia beragama kristen.
Cuuuurrrrrrr..
Hangatnya air kencingnya membasahi wajah dan seluruh tubuhku yang masih terbalut gaun. Sontak saja tanganku berupaya menghalau kencing itu dari wajahku namun dengan keras ia menampar tanganku. Aku gemetaran ketakutan dan hanya bisa pasrah saat dimandikan kencing beraroma benar-benar pesing. Mungkin karena lelaki itu baru saja menenggak minuman keras. Tak lama kemudian teman-temannya yang lain pun mendatangi toilet dan ikut-ikutan memandikanku dengan kencing mereka. Bahkan aku dipaksa duduk layaknya orang berdoa dan dipaksa membuka mulutku. Sebagian dari kencing mereka ada yang terpaksa kutelan saat aku sudah lelah menahan mulutku untuk terus menganga.
Tak selesai sampai disitu, aku kembali menjadi alat pemuas syahwat mereka di toilet itu. Kembali memek, anus, dan mulutku harus mekar saat disesaki ketujuh kontol jumbo para lelaki kekar yang baru saja kutemui. Sungguh rasa lelah yang luar biasa malam itu, tapi bukan rasa lelah ataupun tentang gaun yang basah kuyup oleh kencing dan sperma, tapi tentang sperma yang baru saja memasuki rahimku.
“Mbak tau kan tadi pil yang diminum?? Itu buat cegah kehamilan.. hahah.. jadi gak usah khawatir.. nih tak kasih agak banyak.. diminum rutin.. ntar juga gak bakal hamil..”, ucap salah seorang lelaki itu.
“ohh iya.. nih hadiah buat kamu yang udah bikin kita-kita puas..”, jawab seorang lelaki lain yang melemparkan 3 bendel uang yang berjumlah 3 juta rupiah.
“itu buat bayar gaunmu.. bilang aja kalo rusak trus kamu beli.. dah kan..??”, lanjutnya sambil menikmati rokok.
Aku hanya terdiam membisu saat ketujuh lelaki itu pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Pak Ponijan sempat meminta maaf meski lirih sebelum kemudian menutup pintu kamar. Tak beberapa lama aku pun kembali menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar telah mengkhianati suamiku dan juga aku merasa tak pantas bertemu suamiku. Kubasuh diriku dengan air hangat dan kusabuni seluruh tubuhku agar bau para lelaki brengsek itu hilang selamanya. Ku kenakan kembali khimar jumbo, abaya , dan cadar yaman hitam yang tadi kukenakan saat masuk ke hotel ini. Kugunakan kacamata agar tak ada yang tau kalau mataku beruraian air mata.
“Sudah selesai mbak servisnya..??”, celetuk salah seorang petugas cleaning service yang kujumpai sesaat setelah aku membuka pintu kamar.
Malu yang tak terkirakan pun meledak. Aku segera berlari menuju lift karena rasa malu yang begitu hebat. Suamiku pun menjemputku tanpa sedikitpun curiga padaku. Malam itu kulihat sudah jam 9 malam saat aku dan suamiku berjalan santai melewati dinginnya malam di kota.
Setelah kejadian itu, aku dan suamiku pindah tempat tinggal ke salah satu pulau yang cukup jauh dari jawa karena suamiku mendapatkan pekerjaan sebagai mining consultant di pulau itu. Saat malam pertama, ketika suamiku hendak mengambil haknya sebagai seorang suami, aku pun terpaksa menceritakan apa yang terjadi padaku. Ia pun langsung naik pitam dan marah besar dan berniat untuk melaporkan apa yang terjadi padaku ke pihak berwajib. Tapi kubilang padanya untuk tidak usah memperpanjang masalah itu karena mereka memiliki backing yang jauh lebih kuat.
Setelah kusampaikan hal itu, suamiku pun agak reda kemarahannya. Untungnya panggilan merja segera datang yang membuatku memiliki jalan keluar tercepat. Kubuang HP dan nomor ku yang lama, bahkan aku terpaksa mengganti identitas diriku. Tak sedikit biaya yang kukeluarkan, tapi itu bukanlah masalah bagi suamiku. Baginya yang penting aku dan dirinya bisa bebas dari semua masa laluku. Alhamdulillah kini aku sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat mirip dengan suamiku. Betapa bahagianya diriku karena aku sempat was-was kalau anakku akan memiliki ciri-ciri dari salah seorang lelaki yang pernah menyetubuhiku.
Tapi memang benar kata-kata ustad yang pernah kudengar, kalau wanita sholihah akan dijodohkan dengan lelaki sholih, begitu pula sebaliknya. Dan kebiasaan burun tak akan bisa lepas sepenuhnya dari diri seseorang. Dan itulah yang terjadi pada diriku, ternyata suamiku pun sudah sangat mahir dalam hal ranjang, bahkan fantasi seksnya jauh lebih liar daripada yang kubayangkan. Awalnya aku agak terkejut ketika ia menyampaikan keinginannya untuk mencoba anal seks. Tapi kini kehidupanku menjadi lebih harmonis, apalagi karena fantasi seks kami pun sama. Yang paling membuatku berdebar adalah saat kami melakukan outdoor seks untuk pertama kalinya. Suamiku yang masih mengenakan setelan jubah putihnya menyetubuhi diriku yang masih mengenakan cadar, gamis, dan khimar jumbo hitam di salah satu tempat wisata. Benar-benar sensasi yang luar biasa yang membuatku bisa squirting hebat karena rasa nikmat yang tak terkira.
ns 15.158.61.8da2