Aku berada di sebuah ruangan yang ukurannya tak lebih besar dibandingkan dengan kamar tidurku di rumah. Di dalam ruangan bercat putih gading ini tak banyak perabotan yang tersedia, hanya tergelar karpet yang melapisi seluruh lantai ruangan dan sebuah meja kecil yang biasa digunakan untuk mengaji Al Quran.28944Please respect copyright.PENANACal2GL6b6B
Percakapanku dan Ustadz Hilman beberapa saat lalu pada akhirnya membawaku pada sebuah keputusan besar. Nikah mut’ah yang disarankan oleh Ustadzah Hanum aku iyakan, demi mengobati rasa sakit hatiku pada Zahra. Seumur hidup aku tumbuh sebagai lelaki yang bertanggung jawab dan setia, tak sekalipun aku pernah mengkhianati cintaku pada Zahra. Namun sekarang semua itu telah berubah, hanya dalam satu malam keteguhan hatiku rontok begitu saja tanpa sisa.28944Please respect copyright.PENANAyMwJaMlNWp
Satu fakta lagi yang terungkap dari obrolanku bersama Ustadz Hilman beberapa saat lalu. Rupanya praktek nikah mut’ah sering dilakukan di sini, bahkan secara terang-terangan Ustad Hilman juga menyediakan calon istri bagi pria yang menginginkan hal tersebut. Semua calon istri adalah tak lain para santriwati yang sedang menimba ilmu di ponpes An-Nisa. Ustadz Hilman juga menyampaikan jika para pria yang berniat melakukan nikah mut'ah di sini harus menyediakan sejumlah uang sebagai mahar. Besarannya bervariasi tergantung "jenis" wanita yang diinginkan.
Untuk gadis yang masih perawan, Ustadz Hilman menmatok tarif berkisar antara 20 hingga 50 juta dengan durasi nikah mut'ah maksimal 45 hari. Sementara untuk yang sudah tidak perawan lagi, Ustadz Hilman memberi besaran mahar berkisar antara 10 hingga 30 juta dengan durasi yang sama. Aku tentu terkejut saat menengar hal ini, apalagi Ustadz Hilman juga mengatakan jika para pelaku nikah mut'ah ini banyak dari kalangan tersohor, mulai dari tokoh agama hingga para pejabat daerah. Khusus untukku, Ustadz Hilman hanya mematok tarif sebesar 15 juta rupiah saja.
"Hitung-hitung pelanggan baru Zam." Begitu ucap Ustadz Hilman beberapa saat lalu ketika aku setuju untuk melakukan nikah mut'ah dengan salah satu santriwatinya yang masih perawan.
Aku sama sekali tak menyangka jika ponpes An-Nisa selain menjadi kawah candradimuka bagi para santriwari yang ingin memperdalam ilmu agama rupanya juga dijadikan Ustadz Hilman sebagai sarang transaksi lendir. Ustadz Hilman selalu memberi alasan jika apa yang dilakukannya ini dibenarkan oleh syariat agama, sebuah keyakinan yang menurut akal sehatku begitu rancu karena mencampuradukkan syahwat dan unsur keagamaan.
Pintu ruangan terbuka, Ustadz Hilman muncul bersama seorang gadis belia, usianya mungkin masih 17 atau 18 tahunan. Wajahnya begitu polos, riasan make up tipis sama sekali tak bisa menyembunyikan keluguan itu. Kepalanya tertutup hijab hitam dipadu kemeja serta rok panjang berwarna senada dia mengekor mengikuti langkah kaki sang Ustadz.
“Maaf lama Zam, calon istrimu harus berdandan dulu.” Ujar Ustadz Hilman.
Kami duduk saling berhadapan dan dipisahkan oleh meja kecil, gadis polos itu tertunduk, sama sekali tak berani menatap wajahku. Aku bisa melihat sedikit ketakutan di sana. Kegamangan mulai menyergap sanubariku, apakah keputusan yang kuambil ini benar?
“Oke, bisa kita mulai Zam?”
“Bis-bisa Ustadz…”
“Sebelumnya kenalkan dulu, anak ini namanya Anita Prameswari, panggilannya Nita. Usianya bulan depan baru 17 tahun, selain pandai memasak Nita juga salah satu santri favorit istriku. Asal kamu tau Zam, Nita sudah menghapal 14 juz Al Quran, dan yang paling penting dia masih perawan. Masih tersegel. Hehehehehe.” Ujar Ustadz Hilman tanpa malu-malu, Nita makin tertunduk, aku bisa membaca kegelisahan gadis polos itu dari ekspresi wajahnya.
"Ok, kita mulai akad nikahnya ya Zam." Ustadz Hilman mengulurkan tangan kanannya yang aku sambut dengan jabat tangan erat. Detik ini dadaku bergemuruh hebat, untuk pertama kalinya dalam hidup aku mengikrarkan diri sebagai suami pengkhianat.
"Saya nikahkan kalian Azam Sabilillah dan Anita Prameswari dengan mahar uang senilai lima belas juta rupiah dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Anita Prameswari dengan mahar uang senilai lima belas juta rupiah dibayar tunai!" Sahutku dalam satu tarikan nafas.
"Alhamdulillah! Sah!" Pekik Ustadz Hilman dengan wajah berbinar. Prosesi singkat ijab qabul tanpa wali nikah dan tanpa saksi menyudahi momen pernikahan keduaku.
"Sekarang kalian sudah sah jadi suami istri, Nita ayo cium tangan suamimu." Anita beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Dengan penuh rasa hormat dia mencium punggung tanganku. Ustadz Hilman tersenyum melihatnya.
"Ayo kita pergi ke kamar kalian, sepertinya udah disiapin Hanum." Ujar Ustadz Hilman. Sampai detik inipun aku masih belum percaya jika aku telah menjadi suami wanita lain selain Zahra.
Kami bertiga keluar dari ruangan tempat kami melaksanakan prosesi ijab qabul, berbeda dengan sebelumnya, Anita memilih berjalan di sampingku, meskipun masih tampak malu-malu tapi gadis muda itu sudah berani sesekali menatap wajahku. Ustadz Hilman mengarahkan kami menuju sebuah kamar yang berada di bagian belakang rumah induk, suasananya sepi tak ada satupun orang terlihat di sana. Begitu pintu kamar dibuka, terlihat sebuah ruangan dengan warna cat dominan biru laut. Dari dekat pintu aku bisa melihat sebuah ranjang besar dan satu set meja rias yang terbuat dari kayu dengan ukiran khas Jepara. Di bagian ujung ruangan terdapat sebuah kamar mandi yang dilapisi kaca bening, tiap mata orang normal akan bisa melihat segala kegiatan di dalam kamar mandi tersebut. Sementara itu di beberapa bagian dinding terdapat lukisan kaligrafi, tertata rapi.
"Ayo Zam silahkan masuk, selamat menikmati malam pertamamu. Hehehehe." Ucap Ustadz Hilman sambil terkekeh ringan.
"Terima kasih ustadz."
Ustadz Hilman akhirnya meninggalkan kami berdua, setelah Anita masuk aku bergegas menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Gadis muda itu duduk di depan meja rias, dari tempatku berdiri aku bisa melihatnya mulai mencoba melepas kain penutup di kepalanya. Rambutnya tak begitu panjang, hanya sebatas bahu berwarna hitam legam, begitu kontras dengan kulit lehernya yang putih bersih. Aku masih berdiri di dekat pintu, entah kenapa kakiku terasa berat untuk sekedar mendekati sisi ranjang.
"Mas Azam kenapa?" Tanya Anita tiba-tiba, baru kali ini aku bisa menatap wajahnya yang cantik tanpa mengenakan hijab. Giginya gingsul di sebelah kanan, kepolosan yang dipadu sebuah kecantikan tiada tara.
"Eh..Nggak apa-apa." Jawabku buru-buru berusaha untuk bersikap senormal mungkin.
"Nita boleh mandi dulu Mas?" Tanya Nita sekali lagi.
"Bo-Boleh..." Jawabku kali ini dengan tergugup karena menyadari artinya sesaat lagi aku akan bisa menyaksikan tubuh bugil istri keduaku ini dari dalam kamar mandi.
Anita bangkit dari duduknya, kakinya melangkah menuju kamar mandi. Aku perlahan mendekat menuju tepi ranjang, aku hanya menatap dinding yang ada di hadapanku, menghindari pandangan langsung ke dalam kamar mandi. Dadaku makin bergemuruh, dari ekor mataku aku bisa melihat Anita mulai melepas pakaiannya satu persatu. Beberapa saat kemudian terdengar suara gemercik air shower, aku tak bisa lagi menyembunyikan gejolak jiwa kejantananku. Perlahan aku merubah posisi dudukku, dengan hati berdebar kencang bak genderang perang aku memberanikan diri untuk menyaksikan aktifitas Anita di dalam kamar mandi yang hanya dibatasi sebuah sekat kaca bening.
Pada akhirnya nuraniku sebagai seorang lelaki sekaligus suami dan ayah dari dua orang anak harus tertutup oleh gejolak birahi yang lambat laun mulai membuncah meracuni isi kepalaku. Kini, tepat di hadapanku, aku bisa menyaksikan tubuh bugil Anita tersiram guyuran air hangat dari shower. Tangannya lincah melumuri tubuhnya yang mungil dengan cairan sabun. Busa-busa berwarna putih yang hinggap di tubuhnya makin menimbulkan kesan eksotis di kepalaku.
Beberapa kali tanpa sadar aku menelan ludahku sendiri apalagi saat jemari lentik Anita membersihkan bagian dadanya yang berukuran tak terlalu besar. Remasan-remasan lembut sambil sesekali diimbuhi dengan gerakan menggosok dilakukkannya tanpa malu-malu meskipun dia menyadari jika aku sedang menyaksikannya secara langsung dari tepi ranjang. Ya Allah, apakah ini yang dinamakan dengan ujian dunia? Perang batin antara kesetiaan dan birahi makin membuatku kalut.
Gerakan jemari Anita kemudian turun menuju sarang mahkotanya, tempat dimana aku akan merenggutnya nanti. Anita menambahkan sebuah cairan dari botol lain yang aku duga adalah sabun khusus untuk bagian kewanitaan. Dari tempatku duduk aku bisa melihat bagaimana gadis ini begitu telaten membersihkan vaginanya, bentuknya yang mungil dan ditumbuhi bulu-bulu tipis tercukur rapi makin membuatku birahiku bertahta di alam bawah sadarku. Penisku sudah mengeras sempurna hanya dengan menyaksikan Anita mandi.
Setelah membilas tubuhnya hingga bersih, Anita melangkah keluar dari kamar mandi. Aku terkejut karena istri keduaku itu keluar tanpa mengenakan kembali pakaiannya. Ya, Anita keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan bugil. Aku canggung tapi juga makin bernafsu, apalagi saat langkah kaki Anita perlahan mendekatiku. Anita tersenyum menatapku, gigi gingsulnya kembali terlihat makin menambah kaar kecantikan di wajahnya.
"Mas Azam nggak mandi sekalian?" Tanya Anita membuyarkan lamunanku. Gadis itu mengambil posisi duduk tepat di sampingku. Aroma wangi sabun mandi dari tubuhnya bisa tercium jelas oleh hidungku.
"Eh..I-Iya..A-anu..Ta-Tapi.." Bahkan bibir serta lidahku tak terkoneksi sempurna dengan otakku yang sudah dipenuhi kabut kecabulan. Anita tertawa pelan, gila, bagaimana mungkin gais belasan tahun bisa membuatku salah tingkah seperti ini?
"Ini pasti pertama kalinya buat Mas Azam ya?" Tanyanya kembali. Aku mengatur nafas sebelum menjawab.
"Maksudnya nikah mut'ah?" Tanyaku balik, Anita mengangguk sambil tersenyum.
"I-Iya, ini pertama kalinya buat saya." Kataku.
"Pantes, gugupnya keliatan banget."
"Ma-Maaf ya, saya belum terbiasa."
"Nggak perlu minta maaf Mas, Nita juga gugup, ini juga pertama kalinya buat Nita kok." Kata Anita seolah ingin menguatkan hasratku pada dirinya. Sejenak ada jeda di antara kami berdua yang tiba-tiba saling terdiam.
"Nita mau melakukan ini karena Ustadzah Hanum mengatakan kalau pernikahan adalah ladang pahala buat Nita dan akan membawa Nita ke pintu surga." Ujar Anita.
"Ibadah Nita yang paling utama saat ini adalah melayani Mas Azam sebaik mungkin." Lanjutnya.
Entah dogma seperti apa yang telah diberikan oleh Ustadzah Hanum dan Ustadz Hilman pada para santriwatinya hingga gadis muda seperti Anita bahkan mau menyerahkan kehormatannya pada pria asing sepertiku hanya dengan mahar sebesar 15 juta saja. Sesuatu yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Bahkan Anita mengikrarkan dirinya pada sebuah kesetiaan terhadapku dan menganggap semua ini adalah ladang pahala bagi dirinya nanti.
"Tapi Nita mohon nanti Mas Azam mau ngajarin Nita lebih dulu ya. Nita belum pernah..." Ujar Anita, aku menatap wajah polosnya, ada rasa belas asih namun lebih dominan birahi yang makin meracuni isi kepalaku.
BERSAMBUNG
28944Please respect copyright.PENANA3gCcAtzyRF
28944Please respect copyright.PENANAwdtcDCVoVu
28944Please respect copyright.PENANAPcCJS3bJr0
28944Please respect copyright.PENANAmDOZCqwoXA