Waktu sudah menunjukkan tengah malam saat mobilku memasuki pekarangan luas yang merupakan bagian depan halaman pondok pesantren yang dimiliki oleh Ustadz Hilman. Pondok pesantren khusus puteri ini awalnya dikelola oleh Ustadzah Hanum, istri pertama Ustadz Hilman, namun sejak dua tahun terakhir Ustadz Hilman didapuk sebagai pemimpin utama pondok pesantren yang diberi nama An-Nisa tersebut.
Ponpes An-Nisa memiliki dua bangunan utama berlantai dua dan satu rumah induk yang digunakan oleh Ustadz Hilman dan ketiga istrinya sebagai tempat tinggal. Di dua bangunan utama, bagian lantai satu diperuntukkan sebagai ruang kelas, sementara di lantai dua digunakan sebagai kamar bagi para santriwati. Ponpes ini memang tak setenar ponpes-ponpes besar lainnya, namun begitu jumlah santriwati yang menimba ilmu agama di sini lumayan banyak, dari informasi yang aku dapatkan ada sekitar 50 an santriwati yang hidup dan menimba ilmu di Ponpes An-Nisa. Hampir seluruhnya adalah remaja-renaja puteri berusia 15-18 tahun.
Aku mengenal Ustadz Hilman baru beberapa bulan terakhir, istrikulah orang pertama yang mengenalkanku pada pria berusia 40 tahun tersebut. Zahra sendiri bertemu Ustadz Hilman dari acara kajian yang sering didatangi oleh istriku tersebut tiap akhir pekan. Ustadz Hilman adalah penceramah utama dalam acara kajian tersebut. Gaya ceramah yang santai dan seringkali dibumbui humor-humor segar membuat jamaah kajian tersebut makin hari makin bertambah banyak, terutama ibu-ibu muda yang baru mempelajari ilmu agama.
Sebagai seorang pria, aku harus mengakui jika kharisma Ustadz Hilman begitu besar, pembawaanya yang tenang, cara bertutur kata yang halus namun tegas begitu memikat kaum hawa. Apalagi semua itu ditunjang dengan wajah tampan serta postur tubuhnya yang tinggi kekar membuat Ustadz Hilman jadi idola baru bagi ibu-ibu muda jamaah kajian, termasuk mungkin juga istriku salah satunya. Maka tak heran jika tak sulit bagi Ustadz Hilman untuk menikahi 3 wanita sekaligus.
Ustadzah Hanum adalah istri pertamanya. Wanita berparas ayu itu berusia 42 tahun, jauh lebih tua dibanding Ustadz Hilman. Dia merupakan putri tunggal Kyai Hanafi, pendiri pondok pesantren An-Nisa. Ustadz Hilman dulunya adalah murid kesayangan Kyai Hanafi, maka tak sulit bagi Kyai besar itu untuk menjodohkan putri satu-satunya dengan Ustadz Hilman. Dari pernikahan pertamanya ini keduanya memiliki seorang putera yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan tinggi di Kairo, Mesir.
Lima belas tahun membina rumah tangga, Ustadz Hilman memutuskan untuk melakukan poligami. Di bagian inilah aku harus kembali mengangkat topi pada Ustadz Hilman karena dia melakukan pernikahan dengan dua perempuan sekaligus yang tak lain adalah mantan santriwatinya sendiri. Adalah Alfiah dan Zaskia, dua perempuan berusia 20 dan 22 tahun yang bersedia dipinang dan menjadi istri berikutnya bagi Ustadz Hilman. Berbeda dari pernikahan pertamanya, di pernikahan yang terakhir Ustadz Hilman belum diberikan keturunan.
Awalnya aku tak begitu tertarik menghadiri kajian yang dipimpin oleh Ustad Hilman, selain memang aku tak begitu tertarik dengan perkumpulan ekslusif berbalut unsur keagamaan, aku juga bukan tipe orang yang menyukai keramaian. Setelah pulang kerja biasanya aku betah berada di dalam kamar atau bermain bersama dua anakku. Namun Zahra sedikit memaksaku agar aku mau mengikuti kajian tersebut.
Hampir sepanjang perjalanan menuju ponpes An-Nisa waktu itu, Zahra tak berhenti menceritakan "kehebatan" Ustadz Hilman dalam berdakwah. Aku hanya mendengarkan sambil lalu dan tak berekspektasi terlalu tinggi, aku datang bukan karena kemauanku tapi hanya untuk menghindari kekecewaan istriku karena penolakanku. Hari pertama perjumpaanku dengan Ustadz Hilman ternyata menimbulkan kesan mendalam bagiku, bukan hanya karena isi kajian-kajiannya yang seperti menampar mukaku, tapi juga karena sikap Ustadz Hilman yang begitu baik dan hangat, seolah kami sudah kenal puluhan tahun.
Alhasil setelah perjumpaan itu aku mulai rutin mengikuti kajian yang dipimpin oleh Ustadz Hilman. Istriku malah akhir-akhir ini yang absen mengikuti kajian, setiap kali aku tanya kenapa Zahra selalu bisa menjawab dengan berbagai macam alasan. Hingga tadi akhirnya aku mengetahui jika alasan Zahra mulai jarang mengikuti kajian adalah karena Ahmad. Istriku menemukan hiburan dan pelepas stress yang baru.
"Assalamualaikum." Sapaku saat melihat Ustadz Hilaman dan istri pertamanya, Ustadzah Hanum sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu jati Jawa.
"Waalaikumsalam, baru aja diomongin eh udah dateng aja. Gimana? Lancar perjalanan ke sini?"
"Alhamdulillah lancar Ustadz." Jawabku seraya menyalami Ustdaz Hilman. Ustdzah Hanum berdiri dan menganggukkan kepala ke arahku dengan ramah.
"Ayo duduk dulu, biar dibuatkan minum sama Hanum." Ujar Ustadz Hilman mempersilahkan aku duduk di kursi panjang miliknya. Usia kursi ini mungkin jauh lebih tua dibanding dengan usiaku, terlihat dari corak seratnya yang nampak menghitam kecoklatan.
"Nggak usah repot-repot Ustadz." Tolakku sungkan.
"Nggak repot kok Mas, jadi kewajiban kami untuk menjamu tamu seperti Mas Azam." Sahut Ustadzah Hanum sebelum melangkah pergi ke dalam rumah, meninggalkan aku dan Ustadz Hilman di kursi teras. Aku mengangguk sopan menanggapi sikap ramah wanita yang cantik itu.
Beberapa orang santriwati keluar dari rumah induk, mereka empat remaja puteri yang berusia belasan. Setelah memberi salam pada Ustadz Hilman, mereka berjalan menuju salah satu bangunan utama yang berada tepat di depan teras rumah induk.
"Mereka habis membersihkan kamar mandi." Ujar Ustadz Hilman memecah keheningan diantara kami berdua saat mataku memilih mengamatai keempat remaja puteri tadi.
"Sampai malam ya ustdaz?" Tanyaku polos.
"Ya begitulah, kan mereka baru beres Diniyah jam sebelas malam tadi, jadi ya baru bisa ngerjain tugas tambahan di rumah induk selarut ini." Jawab Ustadz Hilman sembari tersenyum kepadaku.
Setelah itu kami mulai terlibat obrolan ringan, Ustadz Hilman lebih banyak menceritakan rencana kepergiaannya untuk menjalankan ibadah Umroh beberapa minggu lagi. Gaya cerita Ustadz Hilman yang kadang jenaka dan lucu tak jarang membuatku tertawa dan nyaris melupakan maksud kedatanganku ke mari. Tak berselang lama Ustadzah Hanum kembali keluar dengan membawa dua cangkir teh hangat ditemani tiga toples kecil berisi camilan.
"Mbak Zahra apa kabar Mas? Udah lama banget kayaknya nggak ikut kajian ya?" Tanya Ustadzah Hanum sembari menyuguhkan makanan dan minuman di atas meja kaca kecil di hadapanku.
"Sehat alhamdulillah Umi, Zahra memang akhir-akhir ini sedang sibuk..." Tanpa sadar suaraku tercekat saat mengucapkan itu, bahkan hingga menarik perhatian Ustadz Hilman dan Ustadzah Hanum.
"Ayo diminum dulu Zam, biar sedikit tenang." Ujar Ustadz Hilman seolah tau gemuruh dadaku yang mendadak menggelegak karena mengingat persetubuhan antara Zahra dan Ahmad.
Setelah merasa lebih tenang, aku mulai menceritakan masalah yang menerpa biduk rumah tanggaku bersama Zahra. Aku bercerita sedetail mungkin tanpa ada yang aku lebih-lebihkan atau aku kurangi sedikitpun. Ustadz Hilman dan Ustadzah Hanum mendengarkan dengan seksama, namun aku menyadari jika pasangan suami istri itu begitu tenang, bahkan tak jarang Ustadz Hilman tersenyum lepas saat aku mengobral aib keluargaku di hadapannya. Ustdzah Hanum juga demikian, ekspresi shock atau terkejut sama sekali tak tergambar di wajahnya yang ayu.
"Jaman sekarang emang paling susah jagain istri Zam, kita lengah dikit langsung ditikung orang. Hehehehehe..." Ujar Ustadz Hilman setelah aku menyelesaikan ceritaku.
"Tapi kalo di sini kebalik Mas, aku dan istri-istrinya yang sibuk jagain dia." Celetuk Ustadzah Hanum seraya mencubit gemas pinggang suaminya. Mereka berdua terlihat begitu mesra dan tak canggung mempertontonkannya di hadapanku. Justru aku sendiri yang merasa sedikit malu.
"Zina itu termasuk dosa besar Zam, Allah melaknat bagi siap saja yang melakukannya. Tapi meskipun begitu, dosa zina bukan tidak bisa diampuni." Kata Ustadz Hilman beberaapa saat kemudian.
"Lalu apa yang harus saya lakukan ustadz?" Tanyaku tak sabar menerima petuah.
"Kamu tadi bilang sempat menikmati waktu melihat istrimu disetubuhi pria lain kan Zam?" Tanya Ustadz Hilman.
Wajahku tiba-tiba memerah, sejenak aku mengambil nafas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk menatap wajah Ustadz Hilman dan istrinya seraya mengangguk perlahan.
"Nggak usah malu Zam, santai aja. Kamu datang ke sini dan menceritakan masalah rumah tanggamu kepada kami atas keinginanmu sendiri. Aku dan Hanum pasti akan membantumu, iya kan sayang?" Ujar Ustadz Hilman sambil mencubit genit bahu Ustadzah Hanum.
"Benar Mas, santai aja, kami pasti akan membantu." Sahut Ustadzah Hanum, senyumnya mengembang cerah, meskipun usianya tak lagi muda namun kecantikannya sama sekali tak memudar.
"I-Iya Ustadz, saya menikmatinya." Jawabku kemudian sedikit tergagap.
"Nah berarti problemnya bukan di Zahra, tapi di diri kamu Zam."
"Maksudnya? Saya tidak melakukan apa-apa, selama ini saya juga tidak pernah selingkuh apalagi berzina dengan wanita lain tadz. Justru Zahra lah yang melakukan semuai itu!" Entah kenapa nada suaraku menjadi meninggi.
"Tenang, sabar dulu Zam. Maksudku, daripada kamu bingung memikirkan keberlangsungan rumah tanggamu, alangkah lebih bijak jika mulai berdamai dengan dirimu sendiri Zam." Ujar Ustad Hilman.
"Saya masih belum mengerti Ustadz." Kataku, sejenak aku melirik ke arah Ustadzah Hanum, kami saling bersitatap beberapa detik sebelum aku kembali mengalihkan pandangan. Entah kenapa darahku menjadi berdesir hebat saat menatap wajah cantik istri pertama Ustadz Hilman itu.
"Begini, kamu kan tadi bilang kalau mungkin saja Zahra sedang mengalami puber kedua, dan kamu memahami akan hal itu. Lagipula kamu juga menikmati saat melihat video mesum yang ditunjukkan iparmu kan?" Aku mengangguk lemah.
"Itu artinya, segala kemarahan dan kegelisahanmu saat ini bersumber dari dalam dirimu yang belum bisa berdamai dengan kenyataan. Padahal nyata-nyata alam bawah sadarmu memaklumi kejadian ini." Lanjut Ustadz Hilman.
"Perceraian dalam islam memang diperbolehkan Zam, tapi itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Dosa zina bisa bisa diampuni dengan proses pertaubatan, sementara perceraian akan membawa dampak besar bagi kehidupanmu dan Zahra. Ingat, kalian juga sudah memiliki dua orang anak. Efek yang akan terjadi jauh lebih merusak daripada mencoba untuk memaafkan Zahra atas kekhilafannya."
"Jadi menurut ustadz saya harus diam saja dan menganggap ini semua tidak pernah terjadi?" Tanyaku dengan wajah mengeras.
"Oh tentu tidak Zam, kamu boleh melakukan sesuatu yang bisa melapangkan dadamu, membuatmu kembali maklum dan berdamai dengan keadaan."
"Melakukan sesuatu seperti apa maksudnya ustadz?" Aku makin penasaran dengan penjelasan Ustadz Hilman.
"Membalas Zahra dengan melakukan hal yang sama mungkin?" Celetuk Ustadzah Hanum seraya melirik wajahku. Aku benar-benar terkejut mendengar itu.
"Kamu bisa lihat di sini banyak sekali perempuan-perempuan muda Zam, kamu bisa pilih salah satu dari mereka untuk menumpahkan kekesalanmu pada Zahra." Ujar Ustadz Hilman sambil tersenyum.
"Hah? Ustadz bercanda? Saya boleh berzina? Di sini??" Tanyaku dengan suara tercekat, posisi dudukku menjadi lebih tegap saat ini.
"Hahahahaha! Jangan terlalu kaget seperti itu Zam, santai aja."
"Maksud Abi, bukan berzina Mas, tapi melakukan nikah mut'ah. Ada ijab qabulnya, kalau sudah merasa puas, Mas Azam bisa langsung mengajukan talak. Ini bukan zina Mas, ini pernikahan, halal." Sahut Ustadzah Hanum.
"Tenang aja Zam, apa yang terjadi di sini, tidak akan keluar barang sedikitpun. Kami orang yang bisa dipercaya, tujuan kami hanyalah ingin membantumu melupakan masalah ini." Ujar Ustadz Hilman seraya menepuk-nepuk paha istrinya dan memandangi wajahku yang belum pulih benar dari keterkejutan.
BERSAMBUNG
Cerita "UKHTY" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DI SINI
33300Please respect copyright.PENANAIalSumDdwR
33300Please respect copyright.PENANAX5Cw0LqAg9