Sore itu, ketika Syifa sedang menikmati secangkir teh hangat di meja kerjanya, sebuah pesan masuk di ponselnya. Ternyata dari Frans. Hati Syifa berdebar sedikit lebih cepat saat membaca pesan itu.
"Syifa, gimana kalau besok kita pergi ke tempat karaoke? Kamu suka nyanyi kan? Aku yakin itu pasti kamu suka nyanyi, kan?"
Syifa tersenyum lebar. Tentu saja dia suka menyanyi! Sejak dulu, menyanyi adalah hobinya, meskipun hanya di rumah. Namun, Ridwan, suaminya, tak pernah tertarik dengan ide karaoke di luar rumah di tempat khusus karaoke. Syifa sering membayangkan serunya nyanyi di ruang karaoke, dengan suara lebih kencang, suasana lebih hidup. Tetapi, Ridwan selalu menolak ajakan itu dengan alasan dia tak suka bernyanyi. Kini, ajakan Frans terasa seperti angin segar.
Tanpa ragu, Syifa mengetik jawabannya.
“Aku mau! Udah lama banget gak pergi ke tempat karaoke, pengen sih tapi belum kesampaian. Jam berapa kita berangkat?”
Tak butuh waktu lama, Frans membalas.
“Jam 7 malam, gimana? Aku jemput kamu di tempat biasa.”
Syifa tersenyum lebih lebar, membayangkan betapa serunya nanti. Dia tidak sabar untuk akhirnya bisa menikmati karaoke seperti yang selalu diinginkannya.
***
Keesokan malam, seperti yang dijanjikan, Frans menjemput Syifa di minimareket dekat rumahnya. Syifa mengenakan blouse sederhana dengan pashmina yang rapi melilit di kepalanya. Hatinya gembira, dan wajahnya berseri-seri ketika melihat mobil Frans berhenti di depannya.
"Siap untuk karaoke?" tanya Frans begitu Syifa masuk ke dalam mobil.
Syifa tertawa kecil, antusias. “Siap banget! Aku udah lama banget pengen karaokean, tapi gak ada teman yang mau ngajak sih.”
Frans mengangguk sambil tersenyum, memahami situasinya. “Tenang, malam ini kita seru-seruan. Nggak ada yang bikin bosan.”
Mereka tiba di tempat karaoke yang sudah dipesan Frans. Tempat itu tidak terlalu ramai, memberikan mereka privasi untuk menikmati waktu bersama. Begitu masuk ke dalam ruang karaoke yang nyaman, Syifa langsung merasa energinya meningkat. Suasana ruang yang remang dengan lampu-lampu berwarna-warni, layar besar dengan daftar lagu, dan mikrofon di tangannya membuatnya merasa seperti penyanyi sungguhan.
"Ayo, nyanyi apa dulu?" tanya Frans sambil menyerahkan remote ke Syifa.
Syifa tersenyum lebar, matanya berbinar-binar saat memegang remote. “Aku pilih lagu favorit dulu ya. Ada satu lagu yang selalu bikin aku semangat.”
Lagu pertama yang dipilih Syifa adalah lagu pop favoritnya, dan begitu musik mulai mengalun, dia langsung larut dalam suasana. Suaranya terdengar merdu, dan Frans duduk di sampingnya, tersenyum kagum sambil sesekali ikut bersenandung. Frans tak menyangka bahwa Syifa bisa menyanyi dengan begitu bagus. Dia menikmati setiap detik saat Syifa tampil, matanya terpaku pada sosok perempuan yang kini terlihat lebih hidup dari biasanya.
Setelah lagu pertama selesai, Syifa tertawa lepas. Lama dia tidak pernah peegi ke tempat karaoke, ternyata dia merasa seru sekali. Dia jadi bertanya-tanya dalam hati kenapa dia tidak bisa menikmati suasana room karaoke bersama Ridwan suaminya.
“Frans, kamu tahu nggak,” Syifa berkata setelah menarik napas. “Aku udah lama banget ngerasa bosan dengan rutinitas. Pengen punya momen kayak gini, yang bikin aku senang dan bebas.”
Frans menatapnya dalam-dalam, matanya penuh pengertian. “Iya sekali-kali kita harus refresing, Syifa. Kadang kita butuh waktu untuk untuk menikmati hidup tanpa beban.”
Malam itu terus berlanjut dengan lagu-lagu yang mereka nyanyikan bersama. Syifa yang awalnya malu-malu kini lebih berani mengekspresikan dirinya. Mereka tertawa, bercanda, dan Frans bahkan berani menyanyi meskipun suaranya tak seindah Syifa. Namun, itu tidak penting. Yang terpenting adalah momen kebersamaan yang membuat Syifa merasa lebih hidup dari sebelumnya.
Setelah beberapa lagu, Syifa duduk di sofa, tersenyum sambil memandang Frans. “Aku nggak pernah sehappy ini saat karaoke, tahu nggak?”
Frans tertawa kecil dan duduk di sampingnya. “Aku senang kamu menikmati ini, Syifa. Kamu memang harus sering-sering nyanyi, suaramu bagus banget. Sayang kalau cuma disimpan sendiri.”
Syifa tersipu, merasa tersanjung. “Makasih, Frans. Kamu juga, meskipun suara kamu... yah, unik, tapi aku suka.”
Keduanya tertawa, dan malam itu berlalu dengan keakraban yang semakin erat. Syifa merasa seperti menemukan kembali sisi dirinya yang sudah lama terpendam. Di antara tawa dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan bersama, ada perasaan hangat yang terus tumbuh. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan biasa.
Dan di dalam hatinya, Syifa tahu bahwa Frans memberikan warna baru dalam hidupnya
Suasana ruangan karaoke semakin akrab dan hangat. Musik lembut mengalun di latar, sementara lampu warna-warni memantulkan bayangan halus di dinding. Syifa dan Frans tengah menyanyikan lagu duet romantis, suara mereka berpadu harmonis dalam suasana yang semakin intim. Syifa, yang awalnya tersipu dan malu-malu, kini benar-benar larut dalam alunan musik dan kebersamaan mereka.
Frans menatap Syifa dari samping, memperhatikan setiap senyum dan kilauan matanya saat bernyanyi. Di momen itu, dia merasakan kehangatan dan kedekatan yang semakin tak bisa ia abaikan. Lagu yang mereka nyanyikan berbicara tentang cinta, tentang rasa yang tak terucapkan, dan Frans merasa waktu seakan berhenti di antara mereka berdua.
Ketika bait-bait terakhir lagu romantis itu mengalun, Frans dengan lembut menaruh tangannya di bahu Syifa. Ia mendekat perlahan, mencoba merasakan kehangatan yang ia rindukan. Syifa, yang merasakan sentuhan lembut itu, sedikit tertegun, tapi tidak menolak. Sebaliknya, tubuhnya membalas dengan merapat, menerima kehadiran Frans di dekatnya.
Jarak di antara mereka semakin kecil, hampir tak ada lagi ruang yang memisahkan. Frans berani menggenggam tangan Syifa dengan lembut, lalu meremasnya pelan, sebuah isyarat yang mengalir begitu natural. Syifa, meski sempat ragu sejenak, membalas genggaman itu dengan erat, membiarkan perasaannya mengalir tanpa dipendam. Dalam genggaman tangan itu, ada komunikasi yang tidak membutuhkan kata-kata—hanya perasaan yang semakin dalam dan nyata.
Lagu terus mengalun, tapi suara mereka semakin pelan. Frans menatap mata Syifa, menunggu isyarat dari perempuan di hadapannya. Dalam kedalaman tatapan itu, Syifa merasakan sesuatu yang tak bisa lagi ia tahan—dorongan hati yang membawa mereka ke momen yang telah lama tak ia rasakan. Kehangatan itu begitu nyata, begitu mengikat.
Perlahan, Frans mendekatkan wajahnya ke Syifa, merasakan napasnya yang hangat. Dan ketika jarak di antara mereka akhirnya hilang, bibir mereka bersentuhan dalam ciuman lembut. Awalnya ragu, tapi segera berubah menjadi penuh kehangatan dan gairah yang tersimpan lama. Ciuman itu seolah menjadi pernyataan dari semua perasaan yang tak pernah mereka ucapkan sebelumnya.
Syifa membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu, jari-jarinya masih erat menggenggam tangan Frans. Ada kelegaan yang ia rasakan, seolah melepaskan semua keraguan dan kekosongan yang selama ini membebaninya. Frans memeluknya dengan lembut, merasakan setiap detik kebersamaan itu dengan hati yang penuh.
Di antara musik yang masih mengalun dan lampu-lampu redup di sekitar mereka, ciuman itu menjadi simbol dari perasaan yang tak bisa lagi mereka sembunyikan. Sesuatu yang tumbuh perlahan, namun kini meledak dalam satu momen penuh keintiman.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, mereka akhirnya melepas ciuman itu, namun masih saling menatap dalam diam. Wajah Syifa memerah, tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum kecil di bibirnya.
Frans mengusap lembut rambut di tepi wajah Syifa. "Aku nggak bisa menahan diri lagi," bisiknya pelan.
Syifa tersenyum malu-malu, matanya masih menatap Frans dengan penuh perasaan. "Aku juga," jawabnya dengan suara bergetar, tapi penuh kejujuran.
Mereka kembali terdiam, tapi kali ini keheningan itu dipenuhi dengan rasa nyaman. Momen yang terjadi di ruangan karaoke itu terasa seperti rahasia manis yang hanya mereka berdua tahu. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, karena semuanya sudah terucap dalam ciuman itu.
***
Beberapa hari setelah kejadian di tempat karaoke, Syifa masih bisa merasakan sisa-sisa kehangatan ciuman mereka. Kenangan itu terus menghantui pikirannya, memicu perasaan yang sulit ia kendalikan. Ciuman tersebut bukan hanya sebuah momen yang indah, tetapi juga pembuka dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya bergejolak dan terus merindukan Frans.
Syifa menunggu dengan sabar, meski di dalam dirinya ada hasrat yang terus tumbuh. Ia tak berani mengambil langkah pertama, namun hatinya tahu bahwa Frans akan mengajaknya untuk melangkah lebih jauh. Dia hanya perlu menunggu—dan benar saja, ajakan itu datang.
Suatu malam, pesan dari Frans masuk ke ponsel Syifa, seperti yang sudah ia duga dan harapkan.
"Dinner nanti malam, gimana? Aku jemput kamu jam 7," tulis Frans.
Syifa tersenyum, sudah bisa menebak arah dari pertemuan ini. Ada perasaan berdebar dalam dadanya, tapi ia tidak bisa menahan kegembiraannya. Dengan cepat, ia membalas, "Oke, aku siap."
***
Malam itu, Frans menjemput Syifa seperti biasa. Mereka pergi ke sebuah kafe yang nyaman di pusat kota. Malam berjalan dengan tenang, meski ada ketegangan halus yang terasa di udara. Mereka mengobrol ringan, namun setiap sentuhan kecil, tatapan, dan senyuman yang mereka bagi seolah membawa makna yang lebih dalam.
Syifa bisa merasakan aura berbeda dari Frans malam itu. Ada ketertarikan yang jelas, yang terpancar dari cara Frans menatapnya lebih lama dari biasanya. Begitu pula Syifa, yang merasa seluruh tubuhnya merespons setiap gerak dan kata yang diucapkan Frans. Makan malam mereka terasa lebih intens, seolah ada yang tak terucap namun sama-sama mereka pahami.
Setelah selesai makan, Frans mengajak Syifa untuk berjalan-jalan sejenak. Namun, dari nada suaranya, Syifa tahu bahwa ajakan itu lebih dari sekadar jalan-jalan.
“Syifa aku pengen ngajak kamu ke hotel, gimana? Kamu gak keberatan kan?” Frans bertanya dengan tenang, namun sorot matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam.
Syifa tahu apa yang dimaksud Frans. Hatinya berdebar lebih kencang, ajakan ke hotel itu dia paham tujuannya kemana. Tapi Syifa merasa tertantang, tidak ada keraguan dalam dirinya. Malam itu sudah ditakdirkan untuk membawa mereka ke arah yang lebih jauh, lebih intim. Syifa menatap Frans, matanya berbinar, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Oke, aku gapapa kok.”
Frans tersenyum, dan mereka pun berjalan menuju mobil. Syifa merasakan detak jantungnya semakin cepat saat mereka keluar dari area kafe. Jalanan malam tampak sepi, dan ketika mobil Frans mulai melaju, suasana dalam mobil terasa penuh ketegangan yang manis. Mereka tidak banyak bicara, namun di antara keheningan itu ada energi yang mengalir kuat—perasaan yang membara.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah hotel yang berada di pinggiran kota. Syifa menatap bangunan itu dari balik jendela mobil, dan tanpa perlu penjelasan, ia tahu bahwa ini adalah titik di mana semuanya akan berubah.
Frans memarkir mobil dan membuka pintu untuk Syifa, memperlakukannya dengan penuh perhatian seperti biasa. Mereka masuk ke dalam hotel, di mana Frans sudah memesan kamar. Syifa mengikuti langkahnya dengan tenang, namun di dalam dadanya, gairah yang ia rasakan semakin membesar.
Syifa mengirim pesan kepada Ridwan suaminya bahwa malam ini dia akan menginap di rumah Maria. Karena sebelumnya dia memang terkadang menginap di rumah Maria saat lembur di kantor karena pulang ke rumah jauh dan rawan kalau malam telah larut.
Setelah mereka tiba di dalam kamar, suasana berubah menjadi lebih privat. Ruangannya elegan dan nyaman, dengan pencahayaan lembut yang menambah kehangatan. Syifa berdiri di tengah kamar, sementara Frans mendekatinya perlahan. Jarak di antara mereka semakin kecil, dan dalam sekejap, keintiman yang tertahan selama beberapa hari terakhir pun meledak.
Frans menarik Syifa ke dalam pelukan, dan tanpa banyak kata, bibir mereka kembali bertemu dalam ciuman yang penuh hasrat. Kali ini, ciuman itu lebih dalam, lebih intens, seolah melampiaskan semua perasaan yang telah mereka pendam. Syifa membalas dengan penuh gairah, tidak ada lagi keraguan atau rasa bersalah di dalam dirinya. Yang ada hanya keinginan untuk bersama Frans, di momen ini.
Tangan Frans bergerak lembut di sepanjang tubuh Syifa, sementara Syifa membiarkan dirinya hanyut dalam pelukan dan ciuman Frans. Ada sesuatu yang mendebarkan dalam setiap sentuhan, setiap belaian, seolah-olah dunia di luar kamar itu menghilang. Hanya ada mereka berdua, terbungkus dalam keintiman yang tidak bisa lagi dibendung.
Frans menelanjangi Syifa seorang wanita bersuami yang dalam kesehariannya menutup ketat auratnya dengan hijab dan pakaian muslimahnya. Sehelai-demi sehelai kain penutup tubuh wanita alim itu lepas. Hingga akhirnya dia berdiri tanpa pakaian yang menutupi, hanya menyisakan jilbab saja, karena Frans ingin menikmati sensasi bersetubuh dengan wanita muslimah berjilbab. Tubuh wanita usia 29 tahun yang sudah sangat matang..
1087Please respect copyright.PENANANfRtXZ2Sgq
Bersambung
ns 15.158.61.6da2