Katarina berangkat ke galeri sekitar 9 pagi, pekerjaannya termasuk ringan sekali karena hanya bertugas menjaga galeri seni saja. Dia bekerja dari jam 10 sampai jam 5 sore, bertugas menjaga dan melayani pengunjung jika mereka ingin membeli lukisan yang dipamerkan di galeri. Sayangnya gajinya termasuk kecil sekali, dia hanya mendapat gaji UMR terkecuali jika ada lukisan yang terjual, dia bisa mendapatkan komisi sekitar 10 persen, sayangnya menjual lukisan tidak sama seperti menjual pakaian atau makanan, orang tidak datang setiap hari membeli lukisan. Dalam sebulan saja, paling hanya satu lukisan yang terjual, seandainya empat lukisan bisa terjual sudah termasuk laku sekali.
Selain lukisan, galerinya juga menjual berbagai kerajinan seperti alat music tradisional, patung, kerajinan tangan, kain tenun dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat serta kain songket dari Palembang. Mobil yang dia kendarai sudah tiba di galeri yang merupakan tempat dia bekerja selamat tujuh tahun. Galeri itu memiliki dua lantai dengan kaca tembus pandang agar orang-orang tertarik datang mengunjungi tempatnya. Ketika dia masuk, seorang wanita berpenampilan menarik menyapanya.
“Baru datang lo!” wanita itu menyapanya sampai tertawa.
“Biasa, ngurusin anak masuk sekolah dulu.” Balas Katarina sambil tertawa. Wanita itu bernama Tasya, teman yang sudah dia kenal sejak masa kuliah. Mereka sudah kenal lama sekali sejak mereka masih kuliah di jurusan kimia. Mereka berdua sungguh tidak mengerti, bagaimana bisa anak lulusan MIPA bekerja di galeri seni seperti ini. Mereka bekerja hingga sore hari. Seperti biasa pengunjung galeri tidaklah banyak, hanya beberapa yang melihat-lihat dan sepertinya memang tidak akan ada pembeli lukisan hari ini. Beberapa WNA datang dan membeli batik dan songket untuk dibawa sebagai oleh-oleh ketika pulang ke negara asal mereka.
Ketika sepi pengunjung, mereka duduk bersebelahan sambil mengobrol tentang kehidupan mereka, “Hidup lo gimana? Anak dan suami lo baik-baik aja kan?” kata Tasya memulai. Katarina menjawab jujur, karena mereka tidak punya rahasia, “Kehidupan gue baik. Tapi, gue gak tahu sampai kapan bisa kayak gini.”
“Lu sekarang ragu kapan mau cerai sama Junior?”
Katarina mengangguk.
“Gue gak tahu harus gimana, gue gak nyangka pernikahan ini bisa berlangsung bertahun-tahun.Gue pikir abis dua tahun Junior gugat cerai gue. Tapi, sekarang malah gue gak tahu harus gimana.”
“Tapi, dia gak berusaha romantic sama lu kan?” tanya Tasya skeptis.
Katarina tertawa sambil menatap tak percaya, “Ya gak mungkin lah, kadang sebulan sekali dia masih sering pergi ke diskotik atau sekedar ketemuan sama cewek-cewek di diskotik. Biasanya dia pasti ngomong kalo gak pulang, gue cuma bilang kalo dia mau main sama cewek atau sama temen-temannya pas di akhir pekan saja biar Markus gak curiga Bapaknya kelayapan.”
Dalam perjanjian pernikahan mereka, Junior dan Katarina bebas mau bertemu dengan siapapun yang mereka mau dengan catatan tidak menganggu anak mereka. Markus tidak perlu mengetahui apapun soal ayah dan bundanya. Markus cukup tahu bahwa ayah dan bundanya selalu ada untuknya. Hubungan Junior dan Katarina masih sangat kaku, mereka hanya bicara seperlunya dan menjadi dekat hanya ketika membicarakan masalah anak mereka. Katarina sendiri berusaha menjaga jarak agar ketika perceraian terjadi, hal itu tidak terlalu terasa menyakitkan untuknya.
“Hubungan lo sama Avery gimana? Mertua lo udah mulai berubah enggak?” Katarina bertanya pada Tasya, temannya itu hanya tertawa sinis, “Mertua gue mana mungkin mau berubah!” Permasalahan Tasya berbeda lagi, Tasya menikah dengan Avery Wong. Pria keturunan etnis Tionghoa yang kaya raya, lulusan luar negeri dan memiliki istana megah di Pantai Indah Kapuk. Avery tampan sekali seperti artis-artis Tiongkok yang terkenal. Avery juga sudah hidup kaya raya semenjak dia lahir hingga dewasa seperti sekarang. Mereka saling jatuh cinta dan sudah menikah sepuluh tahun lebih. Permasalahan dalam pernikahan mereka adalah karena Tasya bukan etnis Tionghoa dan cuma lulusan sekolah swasta, dia juga kesulitan punya anak dan sudah keguguran berkali-kali. Ibu mertunya sangat tidak menyukai Tasya dan yakin bahwa anak laki-lakinya yang tampan sudah diguna-guna dan ibu mertuanya juga sudah meminta Avery cerai berkali-kali.
“Si Michele sudah diperkenalkan sama ibu mertua gue sebagai istrinya Avery. Gue mana dianggap. Gue udah bilang berkali-kali ke Avery buat minta cerai, Avery malah gak mau dan bilang dia masih cinta gue.”
“Dia masih suka tidur sama cewek-cewek itu?”
“Ya masih.” Kata Tasya. Tasya sudah lama menolak berhubungan intim dengan Avery dan Avery terpaksa mencari pelampiasan dengan wanita lain. Tasya berharap dengan cara seperti ini, Avery mau bercerai dengannya. Tapi, hingga sekarang, Avery masih bersikeras tidak ingin bercerai. Mereka juga sudah pisah rumah, awal mereka menikah, Tasya dan Avery tinggal di kawasan elit Pantai Indah Kapuk. Tapi, Tasya yang tidak kuat selalu diabaikan dan disakiti oleh ibu mertua dan saudara-saudara perempuan Avery akhirnya memutuskan untuk pindah. Apalagi karena Tasya adalah muslim sementara Avery adalah Kristen.
“Hidup kita berdua, kenapa begini amat ya?” Tanya Tasya. Mereka kembali tertawa dalam kesedihan mereka. Tasya bertanya pada Katarina, “Lu bahagia?” Katarina hanya bisa menjawab, “Gue bahagia, tapi gue juga gak bahagia.”
“Lu jangan kayak gue, ya?” Tasya menasehati Katarina.
“Gue nikah cuma asal cinta doang. Gak mikir yang lain. Sekarang hidup gue sengsara setengah mati.”
Katarina hanya bisa menatap wajah Tasya, tanpa bisa mengatakan apapun.
ns 15.158.61.50da2