Pagi itu, suasana di kafe langganan Nadia terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan laptop mereka, ditemani kopi dan sarapan ringan. Di pojok ruangan, Nadia duduk sendirian dengan secangkir cappuccino yang sudah dingin. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca pesan dari Reza yang masuk semalam.
"Nadia, aku serius. Kita harus bicara. Aku nggak mau semuanya berakhir seperti ini."
Pesan itu membuat Nadia merasa resah. Ia tahu betul, membicarakan masa lalu dengan Reza hanya akan membuka luka lama. Namun, bagian kecil dalam dirinya—bagian yang pernah mencintai Reza dengan sepenuh hati—masih penasaran. Apa yang sebenarnya ingin ia katakan setelah semua waktu berlalu?
Sebelum Nadia bisa memutuskan apakah ia harus merespons atau tidak, suara familiar menyapanya.
"Pagi yang berat, ya?"
Arka muncul di samping mejanya, membawa secangkir kopi hitam dan senyum santai yang sudah ia kenal. Nadia mengangguk pelan, mencoba tersenyum.
"Bisa dibilang begitu," jawabnya.
Arka duduk tanpa menunggu undangan, menaruh cangkirnya di atas meja. "Kamu kelihatan seperti seseorang yang sedang mencoba memutuskan sesuatu yang besar."
Nadia tertawa kecil. "Kamu terlalu pandai membaca orang, tahu nggak?"
"Bukan pandai, cuma sering merasakan hal yang sama." Arka menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. "Kalau kamu mau cerita, aku di sini."
Ada keheningan sejenak sebelum Nadia akhirnya berbicara. "Reza ingin bicara. Dia bilang ada hal yang belum selesai di antara kami."
Arka mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawabannya. "Dan kamu masih ragu apakah harus bertemu atau tidak?"
"Iya," kata Nadia, menundukkan kepala. "Aku nggak tahu apa yang dia inginkan. Dan aku juga nggak yakin kalau aku siap mendengar apapun yang dia katakan."
Arka menyeruput kopinya sebelum menjawab. "Terkadang, menutup bab itu bukan tentang mendengar apa yang mereka katakan, tapi tentang memberi dirimu kesempatan untuk berkata, 'Aku sudah selesai.' Itu bisa jadi momen untuk melepaskan, bukan hanya untuk dia, tapi untuk dirimu sendiri."
Kata-kata Arka menggema dalam pikiran Nadia. Ia tahu Arka benar, tapi itu tidak membuat keputusan menjadi lebih mudah.
"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Nadia, menatap Arka dengan serius.
Arka tersenyum samar, tetapi di balik senyum itu ada bayangan luka masa lalunya sendiri. "Aku sudah belajar dengan cara yang sulit bahwa menghindar hanya memperpanjang rasa sakit. Aku akan pergi, mendengar apa yang dia katakan, lalu memastikan aku keluar dari pertemuan itu dengan kepala tegak."
Nadia tidak langsung menjawab. Ia menatap cangkirnya yang sudah kosong, mencoba mencerna saran itu.
"Terima kasih," akhirnya ia berkata pelan.
Arka hanya mengangguk, tidak merasa perlu menambahkan apapun lagi.
---
Malam itu, Nadia memutuskan untuk menghadapi Reza. Mereka bertemu di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari keramaian. Saat Nadia masuk, Reza sudah duduk di sudut ruangan, tampak gelisah.
"Nadia," katanya begitu ia melihatnya, suaranya penuh harap.
Nadia duduk di depannya tanpa basa-basi. "Kamu bilang kita harus bicara. Jadi, katakan apa yang ingin kamu katakan."
Reza menghela napas panjang. "Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku mengkhianatimu, dan aku menyesalinya setiap hari sejak itu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku nggak pernah benar-benar berhenti mencintaimu."
Nadia merasa dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. "Kenapa kamu bilang ini sekarang, Reza? Kenapa bukan waktu kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"
Reza menunduk, terlihat malu. "Karena aku bodoh. Aku pikir aku bisa menemukan sesuatu yang lebih baik, tapi aku salah. Dan sekarang, aku hanya ingin mencoba memperbaiki apa yang pernah kita punya."
Nadia tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan. "Kamu pikir bisa memperbaiki semuanya dengan satu pengakuan seperti ini? Reza, cinta itu bukan sesuatu yang bisa kamu ambil dan buang sesuka hati."
Reza terdiam, tidak mampu menjawab.
"Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu nggak akan membuatku memilih untuk mempercayaimu lagi. Kamu nggak akan meninggalkan luka yang sampai sekarang masih sulit aku sembuhkan."
Nadia berdiri, merasa tidak ingin melanjutkan percakapan ini. "Kita selesai, Reza. Aku sudah selesai. Jangan pernah hubungi aku lagi."
Tanpa menunggu jawaban, Nadia berjalan keluar dari restoran. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang.
Namun, di sudut hatinya, ada sesuatu yang lain. Bukan rasa sakit karena Reza, melainkan rasa hangat yang muncul setiap kali ia memikirkan Arka.
ns 15.158.61.12da2