Langit Mahoutokoro mulai dipenuhi awan hitam, seolah merespons ketegangan yang semakin memuncak di dalam dinding sekolah itu. Takemichi, Draken, dan Hinata berjalan keluar dari Ruang Pengawasan Sihir, masing-masing membawa beban berat di hati mereka. Gulungan ritual yang kini berada di tangan Takemichi seolah-olah membakar kulitnya dengan tanggung jawab yang mengerikan.
“Jadi, kita harus menghapus semua tentang Mikey untuk menghentikan kehancuran ini?” suara Hinata terdengar serak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Draken menghentikan langkahnya, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa. Ekspresinya tegang, pikirannya jelas berputar-putar dengan kemungkinan yang mereka hadapi.
"Tidak ada pilihan lain." katanya akhirnya, suaranya dalam dan penuh rasa bersalah.
"Tapi... bagaimana kau bisa membuat pilihan seperti itu? Itu Mikey. Orang yang kita kenal... yang kita pedulikan."
Takemichi menggenggam gulungan itu lebih erat, wajahnya penuh kebimbangan.
"Aku tahu." katanya pelan.
"Tapi aku juga tahu bahwa jika kita tidak melakukan ini, Mikey akan kehilangan dirinya sepenuhnya. Dia tidak akan pernah kembali menjadi dirinya yang dulu."
Hinata menghentikan langkahnya, menatap Takemichi dengan mata yang berkilat penuh emosi.
"Takemichi... kau yakin kau bisa melakukannya? Mikey adalah salah satu alasan kau selalu berjuang. Jika kau menghapus dia... apa yang tersisa darimu?"
Pertanyaan itu menusuk Takemichi lebih dalam dari yang ia duga. Mikey bukan hanya seorang teman. Dia adalah alasan Takemichi terus melangkah, alasan dia kembali ke masa lalu, alasan dia berjuang melawan nasib berulang kali. Mikey adalah pusat dari semua yang dia lakukan.
“Aku tidak tahu.” jawab Takemichi akhirnya, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin.
"Tapi aku tahu ini bukan tentang aku. Ini tentang dia. Jika menghapus Mikey adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari dirinya sendiri... maka aku akan melakukannya.”
Draken menghela napas berat.
“Mikey mungkin tidak akan memaafkan kita jika dia tahu. Tapi aku yakin... dia lebih memilih kita menyelamatkan dunia daripada membiarkan semuanya hancur.”
Takemichi menatap Draken, mencari keyakinan di balik kata-kata itu. Tetapi bahkan Draken, yang selalu tampak kuat, terlihat rapuh sekarang.
“Jadi, bagaimana kita melakukannya?” Hinata bertanya, berusaha menutupi rasa takutnya.
Takemichi membuka gulungan itu. Tulisan-tulisan kuno dalam bahasa sihir mulai bersinar samar, seolah-olah merespons kehadiran mereka. Ada instruksi yang jelas, tetapi semakin ia membaca, semakin terasa betapa berbahayanya ritual ini.
“Kita membutuhkan tempat di mana waktu dan ruang bertemu,” kata Takemichi, membaca dengan seksama.
“Itu artinya... Menara Kecemasan.”
Draken mengangkat alis.
"Menara Kecemasan? Itu adalah tempat di mana siswa dilarang mendekat."
“Karena alasan yang baik." tambah Hinata.
“Di sana penuh dengan sihir gelap yang tidak stabil.” tambah Hinata lagi.
Takemichi mengangguk.
“Tapi itu juga satu-satunya tempat di mana ritual ini bisa dilakukan. Kita tidak punya pilihan lain.”
Malam itu, mereka bertiga berdiri di depan Menara Kecemasan. Struktur itu tampak lebih mengerikan dari yang mereka bayangkan tinggi menjulang dengan dinding batu yang retak-retak dan cahaya aneh yang memancar dari celah-celahnya.
“Sekarang atau tidak sama sekali." kata Draken, suaranya tegas meskipun tubuhnya tampak tegang.
Takemichi menatap menara itu, merasakan gelombang ketakutan menyapu dirinya. Tapi ia menyingkirkan rasa itu, memfokuskan pikirannya pada apa yang harus ia lakukan.
Mereka masuk ke dalam menara, melangkah melewati koridor gelap yang terasa seperti menyerap cahaya di sekitar mereka. Aura dingin menyelimuti tempat itu, membuat mereka semua menggigil.
Di tengah ruangan utama, ada lingkaran sihir besar yang sudah tertulis di lantai batu, memancarkan cahaya merah samar. Lingkaran itu tampak hidup, berdenyut seperti jantung yang memompa darah gelap.
Takemichi menempatkan gulungan di tengah lingkaran itu, membacakan mantra seperti yang tertulis. Kata-kata kuno itu terasa berat di lidahnya, seolah-olah mencoba melawan dirinya untuk tidak mengucapkannya.
Ketika mantra terakhir selesai, cahaya lingkaran itu berubah menjadi ungu terang, mengisi ruangan dengan energi yang luar biasa.
Namun sebelum mereka bisa melanjutkan, sebuah suara dingin menggema dari kegelapan.
“Kalian pikir kalian bisa menghentikan diriku?” kata Mikey.
Mereka semua berbalik, dan di sana, berdiri di pintu masuk menara, adalah Mikey. Matanya bersinar dengan cahaya kehijauan yang tidak wajar, dan senyuman dingin menghiasi wajahnya.
“Ritual ini tidak akan berhasil...” katanya, suaranya penuh dengan kekuatan dan kesedihan yang bercampur.
“Aku sudah jauh melangkah. Tidak ada jalan kembali.” kata Mikey lagi.
Takemichi menatap Mikey, hatinya terasa seperti hancur menjadi serpihan kecil. Tapi dia tetap berdiri teguh, suaranya gemetar tetapi tegas.
“Kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan dirimu sendiri, Mikey. Bahkan jika itu berarti kehilanganmu.”
Mikey tertawa pelan, tetapi tawa itu terdengar pahit.
“Kalian benar-benar bodoh. Dunia ini... tak pantas untuk diselamatkan.”
Dan saat itu, pertarungan pun dimulai. Takemichi, Draken, dan Hinata menghadapi Mikey, pemimpin yang dulu mereka cintai, kini menjadi musuh yang paling berbahaya.
Di dalam menara itu, mereka bukan hanya bertarung untuk menghentikan Mikey. Mereka bertarung untuk menyelamatkan semua yang pernah mereka perjuangkan persahabatan, kepercayaan, dan masa depan yang lebih baik.
29Please respect copyright.PENANAzmErRtwC0S