Pagi menjelang siang di sebuah warung kelontong yang terletak di sudut pasar. Suasana di sekitar warung mulai ramai, meski matahari belum sepenuhnya meninggi, udara sudah terasa hangat. Warung kelontong itu berdiri di antara deretan toko-toko kecil yang menawarkan beragam barang kebutuhan sehari-hari. Dari luar, warung itu terlihat sederhana, dengan atap seng yang sudah sedikit berkarat dan dinding kayu yang sudah mulai lapuk dimakan waktu.
Di depan warung, seorang ibu paruh baya sedang duduk di kursi kayu yang sudah agak goyah. Ia mengenakan kain sarung batik dan selendang yang terikat rapi di bahu. Matanya sesekali melirik ke arah jalan raya yang mulai padat kendaraan. Sesekali, angin sepoi-sepoi bertiup, membawa aroma segar dari pasar yang tak jauh dari sana—campuran bau ikan segar, sayur mayur, dan rempah-rempah yang menggugah selera.
Di dalam warung, rak-rak kayu penuh sesak dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Ada beras dalam karung besar, minyak goreng dalam botol-botol plastik, dan gula pasir yang disusun rapi dalam karung berdebu. Di atas meja kayu yang sudah lama itu, ada tumpukan roti tawar, kecap, sambal, dan berbagai macam bumbu dapur. Tak jauh dari meja, beberapa botol minuman ringan yang sudah dingin menunggu pelanggan yang haus.
Beberapa ibu rumah tangga datang dan pergi, sambil menenteng kantong plastik berisi barang belanjaan. Mereka berbicara dengan suara pelan, kadang bercanda dengan pemilik warung, yang sudah dikenal baik oleh hampir semua orang di sekitar pasar. Pemilik warung itu, seorang lelaki tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang mulai rontok, tengah sibuk melayani pelanggan yang membeli bawang merah, cabai, dan mie instan.
2023Please respect copyright.PENANA8XEYEmb0S7
Suasana warung semakin hidup dengan suara tawa anak-anak yang bermain di depan, berlarian sambil mengejar layang-layang kecil. Sesekali terdengar suara motor yang melintas dengan kencang, mengiringi deburan angin yang membawa serpihan debu dari jalanan tanah. Sementara itu, seorang pedagang sayur dari pasar berjalan melewati warung, mengangkat keranjang penuh sayuran segar. Ia berhenti sejenak, menyapa pemilik warung dan menawar harga beberapa barang yang akan dibeli.
Dari balik pintu warung yang terbuka lebar, terdengar suara radio tua yang memainkan lagu-lagu lama, seolah melengkapi suasana pagi yang tenang namun penuh dengan kehidupan. Tidak ada yang terburu-buru di sini. Waktu berjalan lambat, mengikuti irama pasar yang tak pernah mati.
Di luar, burung-burung kecil terbang rendah, hinggap di tiang listrik, sesekali berkicau keras, seakan ikut menyambut hangatnya sinar matahari yang perlahan mulai memancar. Waktu pagi yang tak terlalu ramai, tetapi cukup hidup, terasa sempurna di tengah riuh pasar yang selalu penuh cerita.
Reni dan Sari, mereka berdiri di depan rak berisi berbagai bahan pokok, sibuk memilih barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Reni, dengan kerudung berwarna biru yang tertata rapi, memegang beberapa bungkus mie instan, sementara Sari, yang mengenakan baju kurung motif bunga, tengah menguliti sekantung bawang merah.
"Eh, Ren, beras yang ini enak gak, sih?" tanya Sari sambil mengangkat karung beras berlabel merek yang baru di rak itu.
Reni yang sedang memeriksa tanggal kedaluwarsa kemasan mie, menoleh dan mengangkat alis. "Pernah coba yang ini? Kalau gak salah sih, enak, Sari. Tapi harganya agak naik sedikit, ya."
Sari mengangguk, matanya memeriksa karung beras itu dengan seksama. "Iya, harga barang-barang sekarang memang udah naik terus. Kayaknya gak cuma di warung ini deh, di pasar juga udah mulai kerasa."
"Emang, ya," jawab Reni, sambil menaruh mie instan yang dia pilih ke keranjang belanjaan. "Tapi ya mau gimana lagi. Kadang harus pintar-pintar pilih barang. Ada yang kualitasnya oke, tapi harganya tetap terjangkau."
Obrolan mereka berlanjut ringan, mengalir seperti percakapan yang biasa terjadi antara dua teman lama yang saling berbagi kisah. Sari memindahkan sekantung bawang ke dalam keranjang, sementara Reni beralih ke rak minyak goreng.
"Bagaimana semalam Ren? Jadi pake tanktop? Hehehehehe." tanya Sari kepada temannya itu.
"Hehehehe…Jadilah, gila sampek dibikin lemes aku sama Mas Amir." jawab Reni sambil berbisik-bisik.
"Aduh, tapi enak kan Ren? Ceritain dong." ujar Sari penuh rasa ingin tahu.
"Awalnya sih aku pake pakaian biasa aja. Tapi setelah anak-anak tidur, Mas Amir menyuruhku ganti dengan tanktop. Tak sampai disitu saja Sar, Mas Amir juga menyuruhku pakai jilbab. Beehhh…Semalam dia menerkamku seperti singa gila! Dibolak-baliknya badanku sampek aku lemes banget. Lututku kayak nggak ada tulangnya! Semalam aku dihajar tiga ronde, eh pagi tadi Mas Amir minta jatah lagi setelah ngantar anak-anak sekolah. Nggak tau kenapa Mas Amir jadi segila itu sekarang.” Cerocos Reni panjang lebar menceritakan kehidupan seksualnya kepada Sari.
"Wow...Bisa-bisa kamu hamil lagi Ren!" sahut Sari.
"Ishh...Semoga aja nggak. Lagipula aku masih pake KB kok. Kamu sendiri gimana semalam sama Mas Hendro?" tanya Reni tentang hubungan Sari dengan suaminya.
"Kami beda dong denganmu Ren…" Jawab Sari dengan tersenyum penuh arti.
"Beda gimana maksudmu?"
"Sini aku ceritain sebentar.” Sari mengajak Reni untuk sedikit melipir ke bagian sudut warung agar pembicaraan mereka tak didengarkan oleh pengunjung warung yang lain.
“Semalam Mas Hendro menyuruhku memakai mukena tanpa daleman. Suamiku pun memakai sarung dan peci layaknya seorang Kyai.” Reni mengrenyitkan dahinya saat menengar cerita dari Sari.
“Hah? Kalian mau ngewe atau ngaji sih?” Tanya Reni.
“Ssstttt…Dengerin dulu dong.” Ujar Sari sembari memelototkan matanya pada Reni.
“Iya, sorri..sorii…Hihihihihi.”
“Nah setelah itu aku disuruh Mas Hendro duduk bersila dan berlagak seperti santri yang baru saja melakukan kesalahan. Mas Hendro pura-pura menghukumku dengan menyuruhku ngemutin kontolnya. Setelah menghukum dengan cara itu, Mas Hendro menyuruhku nungging tanpa melepas mukena. Saat itulah dia ngewein aku dengan gaya doggystyle. Selama permainan, Mas Hendro menyuruhku berlagak seperti seorag santri yang sedang diperkosa Kyai nya. Gila sih semalam, kami main hampir 4 ronde!” Reni terperangah tak percaya.
“Heh? Kalian sudah gila ya?” Pekik Reni nyaris mengejutkan pengunjung warung yang lain. Beruntung Sari buru-buru menutup mulut sahabtnya itu dengan tangannya.
“Jangan berisik ih!”
“Aku kaget tau Sar, nggak nyangka kalian akan melakukan hal kayak gitu. Aneh-aneh aja kalian.” Celetuk Reni dengan wajah polosnya.
“Nggak aneh lah Ren, kamu gimana sih. Dalam kehidupan rumah tangga itu harus ada variasi soal seks, biar nggak bosen. Kamu nggak pernah baca jurnal seks ya?” Reni menggeleng.
“Buat apa aku baca kayak gituan? Kalo mau ngewe ya tinggal ngewe aja kan?” Ujar Reni.
“Aduuuhhhh Reniiii….Kalo kita sebagai perempuan melayani suami gitu-gitu aja tanpa variasi dan monoton mereka bisa kabur dan cari wanita lain.” Cerocos Sari penuh semangat.
“Pria itu beda dengan perempuan Ren. Fantasi mereka soal seks bisa berkali-kali lebih banyak dibanding kita. Makanya kalo suamimu minta yang aneh-aneh saat berhubungan badan, sebisa mungkin kamu harus turutin. Bisa aja itu adalah salah satu fantasinya. Kalo bukan kita para istri yang nurutin siapa lagi? Kamu mau suamimu minta sama wanita lain karena kamu nggak bisa menuhin ekspektasinya soal seks?”
“Iddiihhh amit-amit! Kalo sampai itu terjadi bisa aku cincang kontol Mas Amir!” Sahut Reni ketus.
“Nah makanya, kamu cobain lain waktu sama suamimu.”
“Make mukena kayak kamu maksudnya?”
“Ya Tuhaaaannnn…Ya nggak harus pake mukena juga Reni….Tergantung fantasi Mas Amir dong. Kalo dia lagi pengen kamu make baju sekolah turutin, kalo dia minta kamu pake baju suster layanin. Gitu…”
“Ohhh gitu, lagian kalian tu aneh. Mukena kan buat sholat, ngapain dipake pas gituan segala sih?”
“Hmmm, fantasi seks nggak ada batasannya Ren, intinya kita ikutin aja apa maunya suami. Selama dia puas, rumahtangga kita juga makin mesra.”
“Siaaappp Bu ahli seks! Hihihihihi.” Reni tertawa kecil setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Sari.
"Ehemm…" terdengar suara deheman di dekat mereka, lalu mereka berdua pun menoleh ke arah suara tersebut.
"Ehh...Ada Mbak Mira. Belanja Mbak?" Reni dan Sari menyapa dan memberi salam kepada Mira yang tiba-tiba muncul.
"Nggak, aku kesini karena mau denger obrolan kalian soal fantasi seks.” sindir Mira setengah bercanda.
“Hehehehe, Mbak Mira bisa aja ih.” Sahut Sari dengan wajah malu-malu.
“Lain kali kalo kalian ngobrolin hal kayak gitu jangan di tempat umum kayak gini. Untung tadi yang dengerin aku, coba kalo orang lain?” Kata Mira memberi nasehat pada dua sahabatnya itu.
“Iya juga ya, apalagi kalo yang denger Abah Kipli? Bisa-bisa dia ngaceng nggak ketulungan. Hahahahahaha!” Cerocos Reni seraya melirik ke arah Pak Zulkifli si pemilik warung yang sudah berusia uzur.
“Ngaco kamu ah Ren! Mana mungkin kontol Abah Kipli masih bisa on kayak suamimu? Hihihihi!” Balas Sari tak kalah mesum.
“Hust! Kalian ini selalu nggak mau dengerin kalo aku kasih nasehat.” Gerutu Mira.
“Heheheheh, maaf Mbak. Kami cuma becanda kok.” Reni mendekat ke arah Mira yang kali ini mengenakan baju muslimah panjang dengan balutan hijab lebar yang menutupi kepalanya.
Meskipun mengenakan pakaian yang serba tertutup tapi tetap saja itu semua tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya. Pantat dan dadanya jelas menempel di jubah tersebut meskipun sudah menutupi seluruh auratnya. Pinggulnya yang lebar bergoyang ke kiri dan kanan saat Mira berjalan.
Dadanya tetap menonjol di balik jilbab panjang meski dia berusaha menutupinya. Sudah pasti pria mana pun yang melihat akan 'menelanjangi' setiap inci tubuh montok Mira. Meski usianya sudah tidak lagi muda, keelokan tubuhnya masih mampu membangkitkan nafsu pria.
“Oh iya Mbak, gimana semalam sama Mas Fadli?” Tanya Sari penasaran.
“Hmmm, gimana apanya?” Mira berpura-pura memilih bawang putih dan tak menghiraukan pertanyaan dari Sari.
“Iiihhh…Mbak Mira pura-pura nggak ngerti. Gimana semalem? Kalian ngewe kan?” Sari sedikit menurunkan intonasi nada suaranya, nyaris setengah berbisik.
"Kan aku sudah bilang kemarin malam, usia kami tu nggak semuda dulu. Jadi untuk urusan gituan sudah nggak jadi prioritas lagi. Yang penting masa depan anak-anak terjamin, kerjaan Mas Fadli lancar, keluarga sehat, udah lebih dari cukup buatku.” Mira berkelit dan mencoba menghindar agar tidak terjebak dengan ocehan dua temannya itu.
“Oh gitu ya…” Sari nampak kecewa dengan jawaban Mira.
“Tapi semalem kami main juga kok. Hihihihi…” Potong Mira seraya mencolek dagu Sari. Rona wajah Sari seketika berubah jadi lebih antusias.
“Nah kan bener!!! Ceritain dong Mbak, kami penasaran nih.” Rajuk Sari penasaran.
“Hmmm, kalo disuruh cerita detailnya aku nggak mau. Itu jadi rahasia rumah tangga kami. Hehehehehe.” Tolak Mira.
“Yaahhh…Mbak Mira nggak asyik ah.” Gerutu Reni ikut menimpali.
“Ya pokoknya, semalam aku tunaikan tugasku sebagai seorang istri yang baik buat Mas Fadli.” Ujar Mira dengan wajah tenang. Kedua sahabatnya tak bisa mendesak lebih jauh lagi.
Selesai berbelanja kebutuhan dapur, ketiga wanita itu berjalan pulang bersama. Matahari mulai meninggi, mengintip dari balik awan-awan tipis, dan angin lembut bertiup membawa aroma khas tanah basah setelah hujan semalam.
Mereka bertiga berjalan santai menyusuri jalan setapak yang mengarah ke kampung mereka. Kantong belanjaan bergoyang di tangan masing-masing—Mira membawa beberapa ikat bayam dan tomat segar, Sari mengapit sekantong telur dan bumbu dapur, sementara Reni menggenggam plastik berisi pisang dan singkong yang baru ia beli untuk membuat gorengan sore nanti.
"Rasanya pasar tadi lebih ramai dari biasanya ya," ujar Mira, sambil menyeka peluh di dahinya.
"Iya, mungkin karena hari Sabtu. Banyak orang yang belanja untuk persiapan akhir pekan," timpal Sari sambil tersenyum. Dia menyeimbangkan kantong belanjaannya dengan hati-hati, khawatir telur-telurnya pecah.
"Untung kita pergi lebih pagi, kalau tidak, pasti tambah ramai," tambah Reni. Ia tertawa kecil sambil menunjuk seorang ibu-ibu yang lewat membawa setumpuk sayur di atas kepalanya.
Ketiganya terus mengobrol sepanjang jalan, bercanda dan sesekali berhenti untuk menyapa tetangga yang kebetulan lewat. Akhirnya, mereka sampai di persimpangan jalan kampung. Tempat ini menjadi titik di mana mereka biasa berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
“Kami pulang duluan ya Mbak.” Ujar Sari.
“Iya, hati-hati di jalan.” Sahut Mira.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sepeninggal dua sahabatnya yang mengambil arah langkah berbeda, Mira melangkah perlahan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan karet. Udara masih segar, dan pohon-pohon karet yang tinggi dan rapat membentuk lorong hijau yang tenang. Sesekali, suara gemericik air dari sungai kecil di sebelah kiri jalan terdengar samar-samar, berbaur dengan suara burung-burung yang bersahutan di antara pepohonan.
Kakinya menyentuh tanah yang agak berbatu, kadang-kadang terinjak akar pohon yang mencuat. Di tangan kirinya, ia menggenggam kantong belanjaan dari pasar, sementara tangan kanannya menepis ranting-ranting kecil yang menghalangi jalannya.
Hutan karet itu, dengan segala kesunyian dan kesejukannya, selalu memberi perasaan damai bagi Mira. Namun langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah kelabu, awan gelap menggumpal di atas kepala, menandakan hujan yang akan segera turun.
Mira mengangkat wajahnya, merasakan angin yang tiba-tiba bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah yang khas. Dia mempercepat langkahnya, berharap bisa sampai di rumah sebelum hujan turun.
Namun, tak lama setelah itu, seperti mematuhi ramalan cuaca yang tak bisa ia hindari, hujan mulai turun. Awalnya hanya gerimis ringan, tapi dalam hitungan detik, rintikannya berubah menjadi deras, membasahi tanah dan pepohonan di sekitarnya.
"Ah, hujan!" Mira bergumam, panik. Ia segera berlari, berusaha menutupi wajah dan tubuhnya dengan tangan sekuat tenaga, namun angin yang kencang membuat air hujan menyiram tubuhnya dari segala arah.
Langkahnya semakin cepat, tapi meski ia berlari, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk menghindari hujan yang sudah deras. Air membasahi bajunya, meresap ke dalam kain, membuatnya merasa semakin berat dan dingin. Kakinya terpeleset di beberapa tempat yang licin, namun ia tetap berlari, tak peduli dengan basah kuyup yang semakin parah.
Sesampainya di depan rumah, Mira terengah-engah, dengan napas yang masih memburu. Ia buru-buru melangkah ke halaman belakang, melewati pintu dapur yang setengah terbuka, dan langsung menuju ruang belakang tempat ia biasa mengganti pakaian setelah selesai bekerja di luar.
Pintu kecil di belakang rumah terbuka, dan Mira langsung masuk, menghempaskan tas belanjaannya ke meja kayu. Tanpa membuang waktu, ia membuka bajunya yang basah, menggantinya dengan pakaian kering yang sudah disiapkan di sana. Meski tubuhnya masih terasa dingin dan basah, setidaknya ia merasa lega bisa berada di dalam rumah yang hangat.
Baru saja Mira mengganti pakaian tiba-tiba dari arah belakang seseorang mendekapnya. Mira tak sempat bereaksi karena mulutnya juga dibekap oleh orang tersebut. Mira berusaha meronta dan melepaskan dekapan kasar itu, tapi usahanya sama sekali tak membuahkan hasil. Tenaganya kalah kuat dibanding orang tersebut. Pikiran Mira seketika langsung kembali pada momen pemerkosaannya semalam. Apakah ini orang yang sama? Akankah hari ini dia kembali diperkosa?
2023Please respect copyright.PENANAF9fb8ZrXXZ
BERSAMBUNG
Cerita "GODAAN MILF BINAL" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2