Sosok yang tadi mengetuk pintu itu langsung menarik paksa keluar dari rumah ini. Aku yang shock mencoba menahan dengan sisa tenaga. Rambutnya yang putih panjang tampak melambai-lambai menutupi sebagian wajahnya yang keriput.
Tongkatnya yang berwarna kuning tampak terjatuh karena benturan adu tarik dengan aku. Dia tertarik menarik, sementara aku panik menahan diri. Wajahnya hitam legam dengan baju sobek-sobek dan usang. Sementara tanpa sengaja mataku menangkap satu-dua belatung yang menempel di rambut kepalanya yang penuh uban.
"Kamu siapa? Tolong lepasin aku!" Aku memohon merengek. Mengaitkan kakiku ke pintu agar tidak mengikuti tarikan nenek.
"Kamu dalam keadaan bahaya," ucapnya lalu menarik lagi disampaikan dengan paksa.
Aku menggeleng. Panik sambil menahan diri agar tidak terbawa tarikan si nenek.
Tiba-tiba lampu di ruanganku mati-hidup dalam hitungan detik. Mati. Hidup. Mati. Dan seterusnya.
perasaanku semakin panik.
"Ayo cepat keluar dari sini, Nak. Kamu dalam keadaan bahaya malam ini." Si nenek terus memaksa menarik. Bahkan sarung cokelat usang yang membalut pinggang kerempengnya hampir terlepas.
"Tolong lepasin aku, Nek. Tanganku mengambil tongkat si nenek tadi lalu aku layang-layangkan untuk memukul. Aku tidak tahu apakah pukulan tongkat itu mengenai sasaran atau tidak karena kondisi lampu yang mati hidup.
Namun yang jelas si nenek itu menangkis pukulanku, menahan tongkat, lalu menariknya dengan keras. Sontak tongkat itu kembali berada di tangan si nenek. Sekarang dia berhenti menarik, tangannya juga berhenti memegang lenganku.
"Nay, cepat keluar dari rumah ini. Malam ini kamu dalam kondisi berbahaya. Cepatlah, Nak. Ayo cepat," bujuk nenek itu.
Aku menggeleng. Bagaimana aku bisa percaya pada seseorang yang tidak aku kenal. Apalagi dengan entengnya mengatakan kalau aku dalam kondisi bahaya, malam ini.
"Nenek salah orang, tolong pergi dari rumahku. Atau kalau nenek butuh uang, akan saya kasih," jawabku menawarkan materi. Dari pada si nenek ini menculik aku, lebih baik aku kasih uang. Aku kasihan melihat wajahnya yang sudah keriput, dan kondisi fisik yang tidak mampu. Mungkin dia sedang butuh uang.
“Nay, kamu sedang ngobrol sama siapa?”
Aku mendengar ibu memanggil namaku dari belakang.
“Aku….ini, Bu, ada nenek-nenek,” jawabku sambil berbalik ke arah ibu. Aku langsung berdiri ingin mengadu ke ibu kalau si nenek tadi menarik paksa.
Tapi dalam sekejap, saat aku kembali ke pintu, si nenek sudah hilang entah kemana. Aku menggali mencari si nenek. Melangkah keluar pintu. Kosong. Toleh kanan. Kosong. Toleh kiri juga kosong. Melangkah lebih jauh ke area sekitar. Tidak ada.
Ini benar-benar ganjil. Ada banyak keganjilan yang menimpaku di sore hari dan malam ini.
“Tidak, jangan keluar rumah malam-malam,” teriak ibuku mengejar aku yang berlari ke halaman rumah untuk mencari si nenek tadi.
"Tadi aku melihat nenek-nenek, Bu. Dia menarik hadir." Aku masih berputar-putar di halaman rumah. Menelisik setiap sudut untuk mencari sosok tua dengan tongkat bambu kuningnya.
"Mana ada nenek di sini. Ayo masuk udah malam." Buku merangkul lenganku lalu menarik lembut untuk masuk ke dalam rumah.
Dengan terpaksa aku mengikuti ibu. Melangkah berjalan menuju pintu rumah. Tiba-tiba aku mendengar suara memanggil-manggil namaku dengan pelan dan lembut. Suranya terdengar memantul-mantul.
"Bahkan,...."
Aku mendengar panggilan itu. Aku merasakan tangan ibu mengelus kepalaku sambil ngoceh menceramahi aku begini dan begitu. Saya tidak begitu mendengarkan.
Sementara pikiranku fokus pada suara panggilan tadi.
“Tidak mungkin, ini pasti halusinasi,” tolakku dalam hati.
Aku terus melangkah. Satu-dua langkah kemudian suara itu kembali memanggil namaku.
Aku berhenti. Ibu menoleh ke arahku, langkahnya ikutan terhenti. Ekspresi wajahnya ingin protes dan ingin ngomel .
"Tunggu, Bu. Aku mendengar suara memanggil-manggil namaku." Aku mengadu tentang apa yang aku dengar ke ibu. Melepaskan tangan ibu yang memegang lenganku.
Aku langsung menoleh ke belakang. Mencari sumber suara yang memanggil namaku. Kosong. Tidak ada orang.
"Ah, Nayla. Sudahi halusinasimu. Mana ada yang memanggil-manggil kamu. Ayo cepat masuk. Ibu mau mengobati lukamu." Ibu menarik kepalaku. Tangannya langsung menggandeng lagi, menyeret paksaan agar aku masuk rumah.
Tepat ketika kakiku menyentuh pintu rumah, suara itu kembali muncul.
"Tidak, segera keluar dari rumah ini. Kamu dalam kondisi bahaya."
Suara itu terdengar pelan, bergetar, dalam, dan serak. Seperti suara yang aneh.
Aku ingin berubah namun tangan ibu segera menahannya.
“Ah, sudah-sudah, ayo masuk.” Ibu langsung menyeret lenganku. Aku setengah terbanting mengikuti langkah ibu. Aku kembali tersadarkan jikalau kakiku terluka. Bekas kakiku di lantai terlihat memerah.
Ibu cekatan mendudukkanku di sofa ruang tamu. Berjongkok gesit, lalu mengeluarkan beberapa alat dalam kotak P3K. Saya melihat perban, obat luka, dan aneka peralatan medis lainnya.
"Makanya jangan suka halu . Jangan suka nonton film horor biar gak kebawa kemana-mana?" omel ibuku sambil membersihkan kakiku dengan obat luka.
Aku merasakan kakiku terasa perih. Terasa pedih saat ibu menoel-noel beberapa kotoran yang masuk dan bersarang di ruang luka kakiku. Melihat kakiku sendiri yang ruang lukanya di isi tanah, aku ngeri melihatnya.
Ibu harus ekstra hati-hati mengeluarkan kotoran itu. Sementara aku menatap ngeri bercampur takut.
"Ini kalau tidak segera diobati nanti infeksinya." Sekarang ibu sedang membalut kakiku dengan perban. Selebihnya saya tidak bisa menangkap penjelasan ibu karena sudah keman-mana dengan teori ini teori itu yang semuanya menuju pada satu kata, 'menakut-takut'.
Ibu memang sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang terluka karena beliau adalah perawat di rumah sakit. Jadi wajar jikalau tangan gesit dalam membersihkan luka-luka di kakiku sambil ngomel dengan penjelasan super rumit dalam teori kesehatan.
Namun karena ada kasus akhirnya ibu dipecat di rumah sakit. Kasus pemekatan ibu adalah kasus besar yang menjadi perbincangan utama. Bagaimana tidak, ibu yang jujur dan polos harus menjadi korban kepentingan orang-orang medis.
Ibu dianggap berbahaya karena tidak mau diajak bersekongkol dalam transaksi jual beli anggota tubuh mayat.
Lebih parahnya, mayat itu adalah mayat hidup yang dibius saat diculik lalu dibedah dan dikeluarkan semua anatomi yang dibutuhkan medis. Begitu kejam dan menakutkan.
Diculik?
Iya, kata ibu, ada tim yang bertugas menculik anak-anak, orang dewasa, remaja, kakek-kakek, nenek-nenek. Semuanya ada pada masing-masing pelanggan. Ibu menyebutnya tim lapangan. Lalu ada tim di bagian laboratorium yang mengambil anatomi yang dibutuhkan.
Dari mana ibu mengetahui hal itu?
Waktu itu ibu melihat ada orang-orang mencurigakan yang membawa box - box besar ke rumah sakit setiap jam 02 malam. Ibu yang pada waktu itu lembur karena ada pasien yang harus dioperasi sampai larut malam tidak sengaja melihat hal itu.
Maka malam itu ibu sembunyi-sembunyi mengikuti orang-orang itu. Sesampai di ruang rahasia itu ibu kaget. Sialnya ibu ketahuan oleh penjaga. Ibu dikejar dan ingin dibunuh. Namun beruntungnya ibu berhasil keluar dari rumah sakit itu.
Besoknya ibu tiba surat pemecatan. Tidak ambil diam ibu langsung mengadu pada pihak berwajib. Membuat surat laporan, menyampaikan semua fakta yang dilihat. Akhirnya beberapa hari kemudian oknum-oknum yang terlibat ditangkap.
Kenapa ibu berani?
Ya begitulah ibu. Setiap kebenaran harus diucapkan sekalipun harga yang harus dibayar mahal.
Kasus itu cukup mengerikan dan meresahkan seluruh warga desa bahkan di kecamatanku pada waktu itu. Berangkat dari kasus itu akhirnya rumah sakit itu dibekukan. Sampai sekarang rumah sakit itu sudah tidak dipakai lagi meninggalkan puing gelap dengan nuansa horor yang menakutkan.
Untuk kasus ini, jika ada waktu, nanti saya ceritakan perihal kasus mengerikan ini.
"Sudah, sudah bersih lukanya. Sekarang kamu masuk kamar dan tidur," ucap ibu sambil mengusap-ngusap rambutku.
Aku mengangguk lalu menariknya menuju kamar. Berjalan melewati kamar ayah, kamar ibu Tiyas lalu naik tangga menuju lantai dua di mana kamar aku berada.
Satu-dua-tiga kakiku menaiki anak tangga, entah kenapa kakiku terasa ada yang narik, bahuku seperti pegal dan berat. Aku merasa ada yang mengikutiku dari belakang. Aku takut. Tidak berani melihat ke belakang.
Maka langsung berlari menuju kamar. Membuka pintu, menutupnya lagi, lalu menguncinya, agar hantu dan segala teman-temannya tidak bisa masuk ke kamarku.
Tanganku langsung mematikan lampu kamar, memindahkan menuju kasur tidur, menarik selimut lalu bersiap tidur, berharap siang segera datang.
Satu-dua-tiga menit mataku sudah mulai ngantuk, setengah tidur malah. Setengah sadar. Di menit ke empat tiba-tiba lampu kamarku menyala.
DEGGGG....
Astaga, ada apa lagi ini? Aku tidak berani membuka selimut. Keringat dingin membanjiri kulitku. Sementara jantungku bersenam cepat karena panik dan takut.
Detik berikutnya terdengar bunyi pintu lemari yang terbuka.
TIDUR....[]
Semoga ceritanya menghibur ya.
ns 15.158.61.11da2