Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di dalam rumah hanya diterangi cahaya lampu kuning yang redup, Mira duduk sendirian di meja makan, matanya kosong. Pikirannya masih terperangkap dalam kejadian siang tadi, sesuatu yang membuatnya merasa begitu kotor untuk kedua kalinya. Namun, ia tahu betul, Fadli pasti akan pulang sebentar lagi, dan dia tak ingin suaminya melihatnya dalam keadaan seperti ini.
Mira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, Fadli pasti akan khawatir jika melihatnya seperti ini. Fadli selalu bisa membaca perasaannya, bahkan ketika ia berusaha menyembunyikan segalanya. Jadi, sebelum suaminya melangkah masuk, Mira dengan cepat merapikan wajahnya. Ia menyeka matanya yang mulai basah, dan berusaha mengembalikan ekspresinya ke wajah ceria yang biasa dia tunjukkan.
Ketika pintu depan terdengar terbuka, Mira segera tersenyum lebar dan menoleh. “Mas Fadli! Kamu pulang sudah?” suaranya terdengar lebih ceria dari yang ia rasakan, hampir seperti tidak ada yang terjadi. Senyuman itu melengkung sempurna di wajahnya, meski dalam hati, ada perasaan yang masih berat.
Fadli masuk ke dalam rumah, meletakkan tasnya di kursi dan melirik Mira. Namun, ada yang janggal dengan senyum Mira. Meskipun terlihat ceria, ada sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspresi wajahnya—sebuah kegelisahan yang tersembunyi di balik senyum itu. Fadli mengernyit sedikit, tapi ia tidak ingin langsung bertanya. Ia tahu Mira bukan tipe yang mudah membuka diri.
"Sudah makan dek?" tanya Fadli, mencoba berbicara dengan santai, berharap Mira akan kembali berbicara seperti biasa.
Mira mengangguk cepat, “Sudah Mas. Gimana acaranya? Lancar kan?” Ia berusaha menambahkan kesan bahwa segala sesuatunya baik-baik saja. Namun, Fadli bisa melihat matanya yang sedikit lebih redup dari biasanya. Senyum itu memang ada, tapi tidak sepenuhnya sampai ke mata.
“Alhamdulillah lancar kok dek.”
"Kenapa?" Fadli bertanya dengan nada lembut, langkahnya mendekat ke meja makan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres. "Kamu kelihatan capek dek." tambahnya.
Mira sejenak terdiam, mencoba mencari kata-kata yang bisa mengubah arah percakapan. Ia tidak ingin suaminya merasa khawatir. Dengan cepat, ia meraih gelas air di dekatnya dan meminumnya, seolah-olah untuk menegaskan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Ah, nggak kok. Cuma sedikit lelah aja Mas.” jawab Mira dengan nada yang lebih ringan, berusaha meyakinkan Fadli. “Kamu kan tahu, aku gampang capek akhir-akhir ini.”
Fadli menatap Mira lebih lama, seolah menilai apakah apa yang Mira katakan benar-benar jujur. Namun, ia tahu Mira, dan tahu juga bahwa istrinya jarang sekali berbohong tentang hal-hal kecil seperti ini. Hanya, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ada yang tidak pas dalam cara Mira berbicara, seperti ada yang ia sembunyikan.
Tapi Fadli memilih untuk tidak mendesak. Ia tahu Mira akan bercerita kalau dia merasa siap. Jadi, ia hanya mendekat dan duduk di kursi sebelah Mira, menatap wajah istrinya dengan perhatian.
“Boleh aku bantu?” tanya Fadli pelan, suaranya penuh empati.
Mira mencoba tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Nggak usah, sayang. Aku cuma butuh sedikit waktu untuk tenang,” jawabnya, meskipun hatinya terasa masih mengganjal.
Fadli mengangguk, tidak memaksakan diri. Ia tahu bahwa salah satu cara terbaik untuk membantu Mira adalah dengan memberi ruang, tanpa harus menanyakan banyak hal. Fadli meraih tangan Mira dengan lembut, menggenggamnya erat, mencoba memberi dukungan dalam diam.
Mira menunduk sejenak, merasakan kehangatan dari genggaman tangan Fadli. Hatinya sedikit lebih tenang. Mungkin, tidak semua masalah harus diselesaikan langsung. Ada kalanya, hanya dengan bersama, saling diam dalam keheningan, segalanya akan terasa sedikit lebih mudah.
“Makasih, ya Mas.” bisik Mira, matanya masih sedikit berbinar meskipun ia berusaha menutupi kesedihannya. "Aku hanya butuh sedikit waktu."
Fadli mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Mereka berdua duduk dalam hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Fadli tidak bertanya lagi, dan Mira merasa sedikit lebih ringan, meskipun beban yang ia rasakan belum sepenuhnya hilang. Namun, dengan adanya Fadli di sampingnya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
Fadli kemudian mendekat dan memeluk istrinya itu. Hanya terdengar desah nafas keduanya sebelum kemudian jemari tangan Fadli merayap dan menjamah punggung serta pantat Mira. Wanita bertubuh sintal itu tau jika Fadli ingin memberinya nafkah batin, mengingat tadi pagi tak sempat menuntaskan hajat birahinya karena urusan pekerjaan.
"Mas Fadli mau sekarang?" tanya Mira dengan lembut, sementara Fadli masih sibuk meraba setiap inci tubuhnya. Terutama payudara Mira yang masih tersembunyi dibalik kain daster.
Fadli menganggukkan kepala seperti tidak sabar untuk menikmati tubuh sang istri. Mira berdiri dari kursi lalu tangannya mencoba membimbing tangan suaminya agar mengikutinya. Namun Fadli menghalangi pergerakan itu.
"Mau kemana dek?" tanya Fadli.
"Tadi katanya mau sekarang, ayo ke kamar." ajak Mira.
"Ah ngapain di kamar, di sini saja. Lagian kita cuma berdua di rumah." kata Fadli lalu mulai melepaskan pakaiannya satu per satu hingga telanjang bulat.
Mira tersenyum melihat kejantanan suaminya yang sudah menegang keras. Sepertinya Fadli benar-benar sudah tidak tahan setelah tadi pagi sempat dia goda. Mira mulai berlutut di bawah tubuh Fadli, namun pria itu justru menarik tangan Mira agar tetap berdiri.
"Nggak usah diisepin kayak kemarin ya dek. Nanti Mas keluar lagi, Mas pengen langsung ngewe aja." kata Fadli terus terang pada Mira.
Mira patuh pada permintaan suaminya, lalu berdiri dan membelakangi Fadli. Tubuhnya menghadap meja makan, dua tangannya bertumpu pada sisi luar tempat biasanya mereka menghabiskan makanan. Dalam posisi menungging seperti ini, bongkahan padat nan menggairahkan pantat mulus Mira langsung tersaji di hadapan Fadli. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung memelorotkan celana dalam sang istri hingga tanggal seluruhnya.
Mira membuka lebar-lebar kedua kakinya, tujuannya jelas agar mempermudah Fadli melakukan penetrasi. Fadli menelan ludahnya sendiri saat melihat pemandangan yang begitu mempesona di depan matanya. Fadli membelai lembut dan meremas mesra punggung istrinya yang masih tersembunyi di balik kain daster. Sesaat dia juga menjamah pantat Mira yang semok bahenol, meremasnya dengan sangat gemas.
Mira merasakan ujung gundul kontol sang suami mulai menggesek-gesek permukaan vaginanya. Pelan-pelan hingga menimbulkan sensasi gatal enak pada diri Mira. Tubuhnya menegang, bersiap menerima lesakan batang kelamin sang pejantan.
"Ahhhhhh....." Fadli mendesah nikmat saat kontolnya mulai tenggelam di dalam vagina Mira.
Kehangatan liang senggama Mira ditambah jepitan dinding-dinding di dalamnya membuat mata Fadli merem melek. Kedua tangan Fadli mencengkeram erat pinggul Mira. Kontolnya mulai ditarik dan didorong kembali ke dalam vagin. Berulang kali Fadli melakukannya dengan sangat perlahan untuk mengendalikan sensasi agar tidak segera mencapai klimaks. Tubuh sintal Mira dalam posisi menungging semakin menambah gairah Fadli. Pria itu berusaha sekuat tenaga agar tak meledak dalam waktu cepat seperti biasanya.
"Emmmcchhh…Cepetin dong Mas…" pinta Mira saat merasakan gerakan suaminya yang sangat lambat.
"Ahhh...kalo dicepetin nanti Mas cepet keluar dek!" Fadli masih bertahan dengan gerakan tubuh yang lambat. Kontolnya keluar masuk dengan kecepatan pelan.
"Nggak apa-apa Mas, nanti kita maen lagi." bujuk Mira agar suaminya menusuk vaginanya dengan lebih agresif.
Tak mau membuat istrinya kecewa, Fadli akhirnya menambah ritme sodokan kontolnya. Dengan mencengkram pinggul Mira kuat-kuat, pria itu menggoyang tubuh istrinya dari belakang dengan cepat. Bunyi tumbukan kontol yang keluar masuk di dalam vagina becek terdengar nyaring memenuhi ruang makan, beriringan dengan bunyi kaki-kaki meja yang bergesekan permukaan lantai.
“Aaaahhhh! Iya gitu Mas! Entotin Mira Mas! Aaahhh!”
Racauan mesum dari bibir Mira makin membakar birahi Fadli. Pria itu sekuat tenaga menghentak tubuh istrinya yang berdiri menungging. Sesekali satu tangannya menampari pantat Mira, tak cukup keras tapi sudah bisa membuat racauan Mira makin nyaring.
“Aaaaahhh! Terus Mas! Mentokin kontolmu Mas!!”
"AAAAAHH!!!" Fadli mendesah panjang.
Baru saja Mira merasakan enak tiba-tiba lubang kencing Fadli lebih dulu menyemprotkan sperma. Sejenak Mira menoleh ke belakang, dilihatnya Fadli sudah kembang kempis mengatur nafas. Pinggangnya berhenti bergerak karena sudah menuntaskan hajat. Mira tersenyum, menyembunyikan kekecewaanya atas performa buruk sang suami dalam hal urusan seksualitas.
"Udah keluar ya?"
“U-Udah dek…” Fadli masih berusaha mengatur nafasnya yang tersenggal-senggal.
Mira bergerak ke depan, kontol Fadli yang mengecil dengan mudah keluar dari liang senggama istrinya itu. Mira kemudian berbalik badan dan berlutut di bawah tubuh Fadli. Tanpa rasa jijik sedikitpun Mira mulai mengulum kontol sang suami, menyesapi sisa-sisa sperma yang masih tertinggal di sana.
“Maaf ya dek, Mas keluar cepet lagi.” Ujar Fadli seolah tau dia tak pernah bisa bertahan lama ketika bersetubuh dengan Mira.
“Nggak apa-apa Mas. Selama Mas Fadli puas, Mira juga seneng kok.” Balas Mira setelah tuntas membersihkan batang kontol Fadli dengan mulutnya.
“Nanti malam kita coba lagi ya dek.” Kata Fadli sembari mengelus rambut Mira.
“Iya Mas, kapanpun Mas Fadli mau, Mira selalu siap.” Ujar Mira sembari menyembunyikan kekecewaannya. Dia tau nanti malam pasti suaminya itu akan tidur pulas dan tak lagi menyentuhnya.
“Ya sudah, Mas mandi dulu kalo gitu.”
“Mau dimasakin air panas Mas?” Tawar Mira.
“Nggak usah dek, Mas mandi pake air dingin saja.” Fadli kemudian melangkah pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Mira seorang diri di ruang makan.
Mira kembali duduk di kursi yang sama. Mengingat kembali apa yang baru saja terjadi padanya. Mira tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Hubungan intim bersama Fadli tidak mampu memuaskan nafsunya. Kenikmatan yang dirasakannya bukanlah dari suaminya sendiri, melainkan dari orang lain.
"Ada apa denganku?” Desis Mira dalam hati.
1536Please respect copyright.PENANAQ8UD2zDOQl
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.51da2