298Please respect copyright.PENANAxtc7v897jM
“Si Puput itu tidak tahu kah pendapatan ekonomi kampung kita 70 persennya itu dari hasil jualan gorengan? Gorengan tanpa minyak masa iya masih layak di sebut gorengan?”
Satu dati sekian banyak coretan itu terpampang pada dinding kumuh sebuah toilet nomor 13 yang berdiri tegak mandiri di tengah perkampungan. Konon katanya, toilet itu merupakan saksi bisu yang masih eksis atas sejarah gugurnya pahlawan melawan para penjajah dahulu.
Para pahlawan diceritakan menggunakan toilet itu sebagai alat komunikasi rahasia untuk mengumpulkan informasi serta menyusun strategi melawan tentara jepang. Meski banyak simpang siur mengenai kebenarannya, tetap saja alasan mengapa toilet itu diberi label angka 13 sangat masuk akal.
Sudah sejak lama orang-orang Asia bagian timur mempercayai bahwa 13 adalah angka pembawa sial—bahkan sampai ke peradaban yang sudah sangat maju ini, mungkin itulah alasan para pendahulu membangun toiletnya dan melabelinya dengan angka 13. Supaya tentara jepang tidak berani mendekatinya apalagi sampai masuk.
Entah bagaimana, setelah setengah abad lebih fungsi toilet itu tak pernah padam. Masyarakat di sana lebih memilih mencurahkan isi hati mereka melalui tulisan di tembok lusuh lengkap dengan bau pesing—yang kadang tidak disiram— ketimbang harus update melalui jejaring sosial yang banyak orang pakai.
Mulai dari ketua RT setempat hingga anak-anak ingusan pun selalu memakai toilet itu meski hanya sekedar sembunyi untuk bermain petak umpet. Tapi tentu saja, setelah membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel di pantatnya, mereka selalu mendapat informasi penting yang tidak akan bisa didapatkan di mana pun. Ibarat kata menyelam sambil minum air.
Dibandingkan dengan toilet pada umumnya —yang selalu mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan atau matikan keran air jika tidak dipakai, justru pada bagian atas pintu toilet itu terdapat satu tulisan yang tercetak rapi “Selalu bawa alat tulis sendiri dan berikan informasi yang kamu punya”. Kasarnya, siapa saja yang menggunakan toilet itu wajib meninggalkan informasi apa pun untuk didiskusikan bersama.
Setiap sisi tembok terisi penuh dengan coretan-coretan yang memanjakan mata siapa saja yang sedang buang hajat di sana atau sekedar kencing. Tapi untuk sekedar kencing rasanya tidak akan ada waktu untuk membaca satu persatu tulisannya apalagi sampai ikut nimbrung.
Keamanan toilet itu melebihi sistem yang dipakai oleh gedung putih di Amerika. Bagaimana tidak, setiap kali tembok itu penuh dengan coretan-coretan tentang keluh kesah kehidupan mereka—sampai ke kekesalan terhadap kinerja para petinggi negeri, maka akan ada tim khusus yang mengecat ulang toilet itu sehingga semua informasi terjamin kerahasiaannya.
Sebagian masyarakat mengeluhkan sistem coret-coret di tembok pada masa sekarang adalah kurang tepat. Mereka beranggapan seharusnya masyarakat di sana lebih memilih untuk memanfaatkan teknologi yang sudah ada. Ada pula yang memberi usul untuk menggabungkan antara teknologi dan sistem yang masih dipakai turun temurun.
“Alangkah baiknya di masa depan toilet ini ada sistem voice note. Sangat lelah untuk terus menulis di tembok ini.” Tulis salah seorang warga yang ingin teknologi ikut dapat membantu mempermudah komunikasi di toilet itu.
“Tidak boleh! Toilet ini adalah peninggalan leluhur kita. Lagi pula cara ini adalah yang paling aman dari mata penguntit. Coba lihat sudah berapa orang yang ditangkap gara-gara mengkritik para petinggi? Sistem toilet ini sudah paling aman dan tidak boleh diubah.” Timpal satunya lagi menggunakan spidol warna merah tua.
Ada pula seseorang yang mencoba mengalihkan ke pembahasan tentang kenaikan minyak goreng.
“Bagaimana dengan masalah minyak goreng?”
“Saya setuju dengan bapak yang menggunakan spidol merah di atas.”
“Maaf, tapi saya ini perempuan, Bu.” Balasnya.
“Lho, jangan panggil saya ‘Bu’. Saya itu laki-laki.” Balasnya lagi.
“Sudah saya bilang teknologi harus masuk ke toilet ini. Fitur foto profil harus segera diterapkan.”
Sepertinya keadaan terlihat semakin rumit. Terlebih lagi ada beberapa keluhan tentang toilet yang semakin lama semakin bau dan kotor. Jika ini tidak ditindak lanjuti, beberapa penikmat yang hanya sekedar membaca tanpa buang hajat dikhawatirkan akan pergi mencari toilet lain atau pindah ke jejaring sosial.
Keluhan kerap kali terlihat dalam kolom ‘Kritik dan saran’ pada bagian tembok sebelah kanan. Bahkan saking kesalnya sampai ada yang mengkritik dengan tulisan berwarna emas kecokelatan.
“Bagus sih kita berdiskusi dalam toilet ini, tapi tolong, tai siapa ini yang belum disiram! Mana tainya encer lagi. Menghancurkan aroma dan reputasi demokrasi saja.”
Bukan satu atau dua kali kejadian tai yang dibiarkan menggenang begitu saja oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Padahal air dalam ember selalu terisi penuh dan gayungnya tak mungkin hilang sebab sudah diikat dengan kuat ke kepala paku yang ada di atas kran air. Siapa pun itu pastinya akan punya kesempatan untuk mendapat jackpot yang tak terduga jika memang sial. Apalagi jika orang itu habis makan sambal sepuluh sendok lengkap dengan jengkol satu piring, matilah sudah.
Ada juga yang mengeluhkan tidak konsistennya masalah-masalah yang sedang di bahas.
“Aduh, masalah minyak goreng naik pun belum selesai. Ini kok malah bahas yang lain. Si Puput bisa-bisanya malah menyalahkan kita yang antre rebutan minyak? Ini jelas melukai harkat dan martabat kita sebagai ibu rumah tangga. Apa tidak ada yang berani memberi pelajaran si Puput?”
“Iya, Bu. Saya jengkel banget sama si Puput. Masa iya harga minyak naik malah kita yang disuruh ganti dari menggoreng jadi merebus. Mana ada bakwan direbus.” Timpalnya setuju.
“Percuma, Bu. Puput kan anaknya pak RT. Jangan macam-macam deh, yang ada nanti malah kita yang diusir.”
“Husss.... nanti pak RT baca bisa berabe!”
Semakin dilihat lebih dalam ke sudut kanan toilet, ada sebuah topik yang tertulis secara beruntun ke bawah dan hampir tak terbaca karena pudar. Bisa di pastikan topik pembicaraan itu sudah sekitar kurang lebih 3 bulan yang lalu. Kali ini terlihat seperti diskusi yang didominasi oleh pemuda pemudi yang berbincang tentang keadilan terhadap para koruptor. Kira-kira obrolannya seperti ini,
“Coba kalian lihat berita. Katanya terdakwa kasus suap malah di mendapat pemotongan masa tahanan dengan dalih bersikap baik dan kooperatif. Bukankah semakin lawak orang-orang di atas sana?”
“Cih. Untuk sekarang saya lebih percaya tukang ramal daripada anggota dewan . Pantas saja pak presiden terdahulu berniat membubarkan mereka.”
“Wah, enak ya sekarang kalau jadi penjahat. Tinggal senyum-senyum tipis depan pak hakim, potong deh masa tahanan.”
“Yang lawak itu sebenarnya kita. Masih saja mau mencoblos para elite itu. Yaa meski tidak semua buruk, sih.”
“Ya habis bagaimana lagi. Kata bapak saya golput itu bukan pilihan. Katanya orang yang golput itu tak punya prinsip dalam hidupnya.”
“Kamu yang di atas saya, siapa bapak kamu itu?”
“Nama bapak saya Bakri. Kenapa memangnya?”
“Pasti sebelum pemilihan dapat satu kardus mi instan. Pantas jika bapak kamu bilang begitu.”
“Hey! Jangan sok tahu kamu kalau bicara! Ehh... kalau menulis! Yang benar 4 dus mi instan + uang 100 ribu.”
Setiap sudut ruangan toilet hampir tiga perempat bagiannya penuh dengan coretan-coretan yang menggelitik sampai yang membuat geleng kepala. Setiap orang yang masuk ke toilet itu akan mendapat suasana yang beda dan menegangkan.
Bagi kaum pria menengah ke atas, akan sangat menyenangkan jika sambil menyeruput secangkir kopi dan menghisap satu batang rokok sembari menunggu tetesan terakhir jatuh ke dalam lubang kloset. Seperempat bagian yang masih kosong seakan menunggu tangan-tangan demokrasi masyarakat di sana agar menemukan topik yang baru untuk segera didiskusikan sebelum pengecatan ulang. 298Please respect copyright.PENANAdLginEX8Ih
298Please respect copyright.PENANA29zum6hjwq
Sialnya pada satu hari, masyarakat setempat kaget saat menonton siaran berita di televisi. Pemerintah dan jajarannya telah membuat dan mengesahkan Undang-undang Toilet yang isinya mengatur tentang hakikat penggunaan toilet untuk proses buang hajat dan tidak untuk keperluan lain. Semua masyarakat yang menyaksikan itu menghela napas panjang merasa tak percaya. Dan saat itu juga gugur sudah perjuangan mereka menyusul pahlawan terdahulu. Mereka tidak belajar dari ketidaktahuan para pahlawan bahwa tentara jepang dilatih untuk tidak takut kepada angka 13.
ns 18.68.41.146da2