Seorang ayah mempunyai dua orang anak. Yang sulung seorang perempuan. Si Bungsu laki laki. Pria separuh baya berusia lima puluh lima tahun itu ingin putranya kuliah dan menyandang gelar sarjana, sementara untuk putri sulungnya, ia berkata seperti ini,
"Nduk, bapak hanya buruh pabrik, sementara ibumu hanya jualan kecik kecilan di rumah. Besuk habis lulus sekolah, langsung kerja saja yo. ndak usah melanjutkan kuliah. Biar adikmu Tangguh yang kuliah. Dia kan laki laki, jadi harus pinter biar tidak di sepelekan orang. Biar bisa mengangkat derajat martabat orang tua".
Si sulung yang mendengarkan ucapan sang ayah merespon,
"Ayah, Tini pengin kuliah. Tini juga pengin pintar biar ayah dan ibu bangga, biar bisa mengharumkan nama keluarga. Tini janji akan rajin belajar. Nilai Tini dari TK X sampai sekarang TK XII bagus bagus. Ayah sudah melihatnya kan? Tini pengin jadi dosen yah. Kalau perempuan pintar itu untungnya banyak yah. Kalau perempuannya pintar maka negeri ini akan selamat dari kebodohan". Semangat membara si sulung mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
Sang ayah tertawa. Lalu katanya,
"Kata siapa perempuan pintar bisa menyelamatkan negeri nduk?".
"Tini pernah ngobrol sama mbak Tumini yah. Keren lho yah, mbak Tumini bisa kuliah karena dapat beasiswa. Ia bilang, kelak jika menikah dan punya anak, ia bisa mendidik anak anaknya lebih baik karena ia berpendidikan".
"Dan kau juga pengin seperti itu?".
"Benar yah. Tini ingin kuliah sampai S3".
"Tapi nduk, uang ayah hanya cukup untuk biaya kuliah satu orang. Kamu kan anak paling tua. Adikmu cuma satu. Ngalah yo nduk, biar adik laki lakimu yang kuliah".
Tini menghelai nafas berat. Tekadnya kuliah begitu memfosil dalam darahnya. Ia tak mau seperti ibunya yang hanya lulusan sekolah menengah pertama atau sang ayah yang putus sekolah saat duduk di kelas dua sekolah menengah atas.
Ia bertekad ingin keluar dari lingkaran benang kusut warisan keluarga besar ayah dan ibu yang mentok sekolah sampai menengah atas atau menengah kejuruan. Ia ingin membuktikan pada orang orang yang nyinyir mengatakan kalau keluarga besarnya memang digariskan untuk tidak berpendidikan tinggi.
"Yah, bagaimana kalau kita berdua berjanji" Ucap Tini tegas
"Janji opo nduk?". Tanya sang ayah
"Janji ya ayah kalau nanti Tini mendaftar ke perguruan negeri, ujian dan lulus, maka ayah harus membiayai kuliah Tini. Nanti Tini akan kerja paruh waktu ayah. Tini janji nanti waktunya Dhek Tangguh kuliiah, Tini yang membiayai. Jadi ayah bisa tenang, tidak perlu khawatir lagi". Kata Tini mencoba bernego dengan ayahnya.
Laki laki dengan rambut hampir penuh uban itu menghembuskan nafas. Ia tahu putrinya begitu menggebu ingin melanjutkan pendidikan. Hatinya seperti teriris. Lalu ucapnya,
"Kalau maumu begitu, ndak papa nduk. Ayah setuju. Maafkan ayah menjadikanmu nomor dua".
Hati Tini senang bukan main. Ia tentu tak mau jadi nomor sekian. Ia punya hak yang sama dalam meraih pendidikan. Tangannya mengepal semangat langit. Semangat tanpa batas.
625Please respect copyright.PENANAYIINoItGah
625Please respect copyright.PENANAiyYK4ESW1l