Beginilah rutinitasku, Mar Cuthbert, 27 tahun dan tukang berangan – angan.
Penampilan necis….
Seragam putih….
Stetoskop….
Ketiga hal tersebut tidak cocok bersanding pada namaku, apalagi stetoskop. Meskipun ibu menamaiku “Cuthbert” yang artinya adalah pintar dan cerah. Bukan berarti nama menjadi penentu arah takdir. Namun, karena nama itu aku punya panggilan baru, Tn. Smartass. Itu sebabnya aku paling pintar berangan – angan menjadi dokter.
Sebagai pencari nasib dari seluruh penjuru mata angin, roda takdir berhenti pada tulisan “Petugas Kebersihan”. Kini aku menetap dan bekerja di rumah sakit jiwa, sebagai petugas kebersihan.
Eternal Bridge Mental Hospital, menawarkan permulaan yang cukup murah hati. Dua belas pound per jam dan tersedia kamar untuk pekerja, walau terbatas hanya lima kamar. Untungnya, tiga dari kamar tersebut menjadi hak tinggal bagi tim petugas kebersihan.
Karena secara teknis, mereka bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian Eternal Bridge Mental Hospital. Tentu mereka selalu mengawali pagi sekali dan pekerjaannya dibagi – bagi. Misalnya, aku yang bulan ini kebagian shift mencuci pakaian.
Secara keseluruhan, aku termasuk beruntung. Biaya hidup di Irlandia Utara lumayan adil dengan gajiku saat ini. Walau memang tidak bisa dipungkiri…
(Bagaimana mengikuti pola pikir si wanita umur 37?)
Ny. Strangle, adalah satu – satunya nemesisku saat ini. Keadaanku tambah buruk karena ia akan mengecek hasil cucianku. Ruang laundry, masih satu bangunan dengan kamar mess karyawan, dan aku berusaha keras untuk mencegah Ny. Stangle masuk.
Well, meskipun itu tidak mungkin….
Langkah kaki normal Ny. Strangle secepat pelari maraton amatir. Setidaknya bukan ninja, tapi tetap saja ia berhasil melewati koridor penghubung taman dan menuju mess karyawan. Setidaknya ia berhenti…
Well¸tepat setelah berbelok ke kiri. Di mana enam blok mesin cuci dan terlihat empat bak cucian berdiam di atas meja.
“Errm… Ny. Strangle, saya pa-pastikan semua cucian bersih dan sesuai standar operasional….”
Wanita itu belum menggubrisku. Kedua matanya tajam fokus pada empat bak cucian. Ny. Strangle kemudian mengambil pakaian pada salah satu bak, sambil membaui satu per satu. Menatapnya melakukan itu membuat otak liarku membayangkan hal jenaka.
(Kucing… mengais tanah mengubur tinjanya…. Atau, si tukang mesum?)
“Berapa lama pakaian ini dikeringkan?”
“Ennggh… satu bak setiap du-dua kali p-putaran pengeringan se-sepuluh menit!” Seperti sebuah sidak saja, membuatku gugup salah tingkah.
Ia diam sesaat, tangannya meraba dasar bak.
“Masih agak basah. Anda bisa tambahkan lima menit untuk ukuran pakaian yang cukup banyak dalam sekali jalan. Lima belas menit dua kali tepatnya.” Jelasnya singkat, kemudian berjalan menuju rak detergen yang berada di pojok bawah
(Duh, cepatlah pergi wanitaaaa….)
Ia membungkuk, menciptakan lekukan indah dan mengecap garis istimewa menonjol bulat oval bawah pinggang. Tangannya menyapih poni kanannya, lalu membenarkan kaca mata pandangnya. Meski roman mukanya kaku dan serius, bisa kukatakan kalau mataku sedikit enggan berpaling.
Sedikit menyebalkan mengakui, tapi terkadang Ny. Strangle tampak lebih muda lima belas tahun.
(Duh, jangan terburu – buru pergi wanitaaa….)
“Berapa banyak deterjen yang anda gunakan?” Ia menoleh ke belakang, membuatku terperanjat. Fantasi liarku hancur.
(Fiuh… bikin kaget saja….)
Aku ikut berjongkok, sambil mengambil dua botol deterjen yang telah kosong terpakai tadi pagi.
“Um… Satu botol tersisa sedikit, sedangkan botol lainnya tinggal seperempat. Saya memperkirakan itu karena beberapa pakaian tampak sangat lusuh kecoklatan. Selain itu baunya dua kali menyengat dari biasanya. Jadi… well begitulah,”
(Eh? Aku bisa bicara normal dengannya?)
Betapa mengejutkannya rasa takut dan gugupku berangsur – angsur turun. Apakah karena Ny. Strangle menjaga nadanya agar tidak terdengar menyentak walau sedang agak frustasi?
Mendengar penjelasanku, Ny. Strangle terdiam. Tangan kanannya menggantung di dagunya, dengan mata terpejam dan isi otak yang berkecamuk. Bahkan terduduk di marmer putih.
“Sa-saya menggunakan cara yang anda referensikan beberapa hari yang lalu. Memberi air pada sisa detergen lalu mengocoknya sampai berbusa.”
“Ya, tapi… hasilnya tak seperti ini.” Ia beranjak lalu melangkah dan mengambil beberapa kain di bak pencucian. “Bagaimana bisa sewangi itu dengan kuantitas deterjen yang sedikit?”
(Ah, itukah yang Ny. Strangle permasalahkan?)
Otakku mulai memencet bel.
“Mu-mungkin ini sedikit aneh… tapi Tn. Gusto punya beberapa bahan dapur yang hampir kadaluwarsa…. Jadi saya campurkan baking soda, cuka putih dan empat buah lemon sebagai pewanginya ke dalam timba kecil yang telah berisi larutan deterjen.”
Ny. Strangle spontan menaikkan salah satu alis matanya dengan heran.
ns 18.68.41.177da2