Di tengah hujan lebat, mereka berdiri di pintu masuk kafe yang telah lama ditinggalkan. Hati mereka seperti kota mati, tanpa riuh rendah, hanya kenangan lama yang mengendap di sudut-sudutnya.
Barangkali kamu ingat, aku yang kamu buat mati di hati. Itulah yang terbersit di benak Adam ketika dia pertama kali bertemu dengan Risa setelah berpisah begitu lama. Kenangan itu masih terukir dalam ingatannya, dan dia bertanya-tanya apakah Risa juga merasakan hal yang sama.
"Kamu ingat, kan?" tanya Adam, mata birunya menatap Risa dengan rasa harap yang dalam.
Risa mengangguk perlahan, lalu senyum manis muncul di wajahnya. "Tentu saja aku ingat. Kafe ini adalah tempat pertama kita bertemu." Risa merenung sejenak, mengingat kembali saat-saat indah ketika takdir mempertemukan mereka di tempat yang sama.
Adam tersenyum, lalu bertanya, "Ingat juga saat-saat kita pertama kali berbicara?"
Risa tertawa lembut, mengenang pertemuan pertama mereka yang penuh tawa. "Oh, tentu saja. Kamu tak bisa berhenti bicara tentang buku favoritmu."
Adam meraih secangkir kopi dan berkata, "Kafe ini punya kenangan manis lainnya, bukan hanya pertemuan kita."
Risa mengernyitkan dahi, penasaran. "Apa yang kamu maksud?"
Adam menjawab, "Ini tempat kita merayakan ulang tahun pertama hubungan kita."
Risa menggeleng-gelengkan kepala, merenungi perjalanan waktu yang telah mereka tempuh bersama. "Waktu terasa begitu cepat berlalu, ya?"
Adam menatap Risa dengan penuh cinta, "Iya, tapi setiap momen bersamamu begitu berharga."
Risa tersenyum dan menjawab, "Sama, Adam. Setiap kenangan di kafe ini akan selalu istimewa bagi kita."
Mereka saling pandang, dan dalam keheningan yang indah, kenangan itu hidup kembali, mengisi hati mereka dengan kehangatan yang tak terlupakan.
Risa menggigit bibir bawahnya, mengingat ketidakpastian yang ada pada saat itu. "Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berdebar-debar saat itu."
Adam memegang tangan Risa dengan lembut, mengingat betapa berani dia harus berbicara dengannya waktu itu. "Kau adalah orang yang membuat hatiku hidup kembali saat itu.
Risa tersenyum getir, berpikir tentang bagaimana perjalanan cinta mereka telah membentuk kisah hidup mereka. "Dan kau adalah yang membuat hatiku mati di akhirnya."
Mata mereka saling bertemu, berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mereka ucapkan.
"Kita telah melewati begitu banyak bersama," kata Adam dengan suara yang penuh dengan rasa syukur.
Risa mengangguk setuju. "Dan kafe ini adalah saksi bisu dari semua itu."
"Kenapa dulu kita harus membuat semua keputusan itu, Risa?" tanya Adam, suaranya penuh keraguan.
Risa mendesah dalam hati. "Kita berdua terlalu keras kepala, Adam. Kita selalu berdebat."
Adam tersenyum kecil, mengingat kenangan-kenangan manis. "Tapi itu juga yang membuat kita begitu kuat sebagai pasangan, bukan?"
Risa mengangguk, mengenang saat-saat mereka bersama. "Iya, tapi juga yang akhirnya membuat kita melemparkan segalanya."
Mereka berdua merenung, dan suasana hening menyelimuti mereka. Risa meraih tangan Adam dengan lembut, mencoba mengekspresikan perasaannya. "Kita memang sepasang pecundang, ya?"
Adam menatap Risa dengan penuh pengertian. "Sepertinya begitu, Risa."
Risa memikirkan kata-kata Adam dan berkata, "Mungkin kita seharusnya lebih bijak dalam mengambil sebuah keputusan."
Namun, di antara rasa menyesal dan kesedihan yang mendalam, ada kelegaan dalam pertemuan mereka. Meskipun hati mereka mungkin mati satu sama lain, mereka masih bisa berbicara dan berbagi cerita, setidaknya untuk satu malam yang hujan ini.
"Jadi, apa yang kamu lakukan sejak kita terakhir bertemu?" tanya Adam.
Risa tersenyum kecil. "Aku belajar menerima kenyataan dan berusaha untuk hidup tanpamu."
Adam tersenyum. "Dan aku belajar mengenali kesalahan yang telah aku buat dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik."
ns 15.158.61.6da2