Aku memasuki rumah Kak Diana. Dia baru sajabercerai dengan suaminya yang ketahuan selingkuh. Tertangkap basah, ketika kakakku ikut penataran di sebuah hotel. Tanpa sengaja, ketika sama-sama membuka pintu, Kak Diana melihat dengan jelas, dengan jarah tak sampai dua meter, pintu depan kamarnya, dibuka dan keluarlah Suaminya dengan seorang perempuan. Langsung Kak Diana menjerit dan teman2nya penataran pun menyaksikan kejadian itu. Suami kak Diana pun tak bisa berkutik. Permohonan cerai di pengadilan agama pun dikabulkan oleh hakim.
“Ayo masuk jangan bengong,” kata Kak Diana padaku. Aku memasuki rumahnya yang mungil, pemberian ayahku. Kak Diana adalah seorang eksekutif muda di sebuah perusahaan Jepang. Mataku langsung tertuju ke pada belahan dasternya yang tak terkancing. Dan… pentil teteknya membayang didasternya yang tipis.
Cepat Kak Diana mengancing dasternya. Dan aku menyelanya dengan cepat, tanpa sadar.
“Kok di kancing kak? Kan keren, kancingnya lepas begitu?”
Kak Diana melototkan matanya.
“Bener lo kak. Putih mulus dan aduhaaaaaiii…” kataku pula nakal.
Kuletakkan ranselku di sofa dan aku langsung ke belakang mengambil air dari kulkas. Terasa air dingin melintas di kerongkonganku dengan nikmatnya. Kak Diana naik ke sebuah tempat tidur kecil dekat ke pintu menuju teras belakang ruah. Di sana ada sebuah novel. Kayaknya Kak Diana dari tadi membaca buku itu. Dia mengangkat sebelah kakinya, hingga pahanya yang mulus putih pun terbentang. Aku mendekatinya dan duduk di dekat pinggangnya.
“Suami kakak itu bodoh dan tolol…!” kataku ketus.
“Ikh… tahu apa kamu?”
“Kakakku begini cantiknya, dia masih selingkuh juga,” kataku memujinya.
“Sudahlah. Nasi sudah jadi bubur. Duu juga aku tak mau dijodohkan dengannya, tapi ayah memaksa. Ya.. itu jadinya…”
Aku pun mencubit pipi Kak Diana dengan geram. Usia kami hanya terpaut dua tahun, membuiat kedekatan kami sebelum dia kawin membuat kami sering bercanda. Kak Diana belas mencubit pipiku. Kuat sekali dan aku kesakitan. Kublas mencubitnya dan dia mengelak. Lalu aku berusaha mendapatkan pipinya. Sampai akhirnya aku menindih tubuhnya. Dan… bukan mencubitnya, kini aku malah mencium bibirnya yang lembut. Lalu aku merebahkan diriku tidur di sisinya.
“Yoyok… nanti kelihatan orang, kita jadi malu nih..” katanya. Aku tersenyum. AKu memeluknya dengan kuat dan menenpelkan bibirku kembali di bibirnya yang pink.
“Semua pintu sudah terkunci.”
“Jadi kamu mau apa?”
“Aku mau mencium sepoerti tadi,” dan langsung dia kupeluk dan kucium. Kupermainkan lidahku dalam mulutnya.
“Yok… aku takut. Nanti ada orang…” AKu semakin berani. Jika tidak ada orang, berarti bebas, bisik hatiku dan aku sangat bernafsu. Sebenarnya sudah lama aku mengidamkan tubuh kakakku yang cantik dan padat berisi serta putih itu.
“Boleh aku mengatakan sesuatu dengan jujur dan tulus,” bisikku pula.
“Apaaaa?” Kak Diana mendesah. Walau usianya sudah 25 tahun dan aku hampir 24 tahun, dia tetap kelihatan seperti masih kelas 3 SMA, manja dan suaranya mendesah.
“Kak.. aku mencintaimu. AKu mau Kak Diana menjadi pacarku.” Kami diam sejenak. Kak Diana tak menjawab. Dia hanya memejamkan matanya. Kutatapmatanya dan dari sela-sela kelopak mata itu, menetes dua butir air mata membasahi pipinya.
“Apa karena aku janda, lantas kamu ngomong sembarangan, Yok?” desahnya lagi.
“Maaf kan. Bukan. Bukan itu. Sejak kita masih SMA, aku sudah mencintai Kak Diana. Tapi aku tak berani, mencintai kakak sendiri. Aku mencintai kak Diana. Mau ya jadi pacarku?” Aku mengecup bibirnya dengan lembut. Kubelai tembutnya yang pendek. Kutarik tubuhnya mirik ke arahku. Kak Diana melingkarkan satu tangannya ke leherku. Tangan kiriku sudah berada di tengkuknya dan membelai punggungnya. Sbelah tanganku membelai pantatnya yang padat berisi. Bibir kami masih rapat dan lidah kami sudah menari-nari bersama.
“Kak, aku mencintaimu. Jadilah pacarku…” bisikku ke telinganya. Kak Diana masih memejamkan matanya. Kutarik daster mini itu ke atas dan tanganku sudah mengelus pantatnya yang masih di balut celana dalamnya. Kontolku sudah menegang dan keras. Terasa olehku aroma nafas Kak Diana memburu.
“Yok… apa kata orang, kalau kita pacaran. Kita ini kan saudara kandung?”
“Kita tak perlu mengumumkannya kepada publik kok, Kak. Cukup kitaberdua saja yang tau.”
“Tapi…”
“Sudahlah. Yang penting kita sama-sama mencintai dan cinta itu milik kita berdua saja.”
“Kamu sungguh-sungguh, Yok? Bukan menyenangkan hatiku yang baru empat bulan menjanda?”
Kucium langsung bibirnya dan aku memeluknya dengan kuat dan erat.
“Aku sunguh-sungguh kak. Kak tidak tau, kalau semalaman aku menangis, saat kakak akad nikah.”
“Kenapa?”
“Aku tak rela Kakak Menikah dengan laki-laki lain. Aku mencintaimu. Sungguh.”
Kak DIana tersenyum. Ditariknya tengkukku dan dia pun merapatkan bibirnya ke bibirku. Kembali kami berciuman.
Sore itu kami tertidur pulas di atas tempat tidur kecil di belakang rumah mungil Kak Diana. Setelah adzan sekitar pukul 16.00 kami sama-sama terbangun. Kak Diana tersenyum padaku dan dia bangkit menyiapkan minum teh sore. Kemudian setelah menyikat gigi, kami duduk di teras belangkang rumah yang ditumbuhi tanaman hias.
Diteras itu aku menunjukkan lamaran kerjaku setelah aku lulus jadi arsitektur. Kak Diana mengamati lamaranku dan dia tersenyum.
“Tak terasa adikku sudah jadi seorang arsitektur juga. Hebat.”
“Hus… aku bukan adiknya Kak Diana lagi. Tapi pacar,” kataku.
“Tu… kamu aja masihmeyebutku kakak.”
“Lalu….”
“Kalau di rumah panggil namaku aja dong…”
“Ya…” Kami pu tersenyum. Terasa janggal memanggil nama Diana, tanpa mendahului kata Kak atau kakak di awal namanya. Akhirnya aku memanggilnya Dai, karena di biasa huruf “i” dalam bahasa inggtris dibaca ai. Jadi di, jadi dai. Dia tersenyum dan dia menciumku dan memelukku. Nampaknya Kak Diana senanang sekali.
ns 15.158.61.8da2