Nasib sial aku alami. Sebenarnya, aku bukan anak nakal yang melakukan pelanggaran berat. Aku tidak pernah terlibat dalam urusan narkoba ataupun mabok. Hanya saja, aku suka balapan. Itulah yang terjadi. Aku tertangkap melakukan balap liar setelah digrebek oleh patroli kepolisian. Sayang dan apes, saat kabur motorku tiba-tiba mogok. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Akibatnya, aku dimarahi habis-habisan ama orang tuaku. Aku tidak boleh main, semua fasilitas yang aku punyai seperti laptop dan playstation disita. Orang tuaku benar-benar marah sampai menghukumku untuk mengirimku ke rumah Budeku yang ada di pelosok. Dan ya, liburan yang seharusnya aku habiskan main-main dan foya-foya dengan teman-temanku harus berakhir di ladang, membantu Budeku mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Kata mama biar aku lebih mandiri.
“Ingat, kamu di sini belajar dan merenungi kesalahanmu. Kalau tidak setiap hal itu bisa kamu dapatkan seenaknya! Asalkan kamu tahu, papa sama mama kerja dari pagi sampai malam banting tulang agar kamu jadi anak baik, malah jadi anak bandel!” nasihat mama.
Masih terngiang-ngiang kata-kata mama. Aku agak menyesal sebenarnya. Lagipula, ini cuma apes aja sih. Kalau saja tidak ada patroli malam itu, mungkin juga kami masih selamat.
Dan inilah rumah budeku. Di sebuah tempat di pelosok desa yang masih asri, di lereng gunung. Jalanannya juga masih belum beraspal, hanya diberi jejalan batu kali. Persawahan luas membentang, kebun-kebun pohon rambutan dan mangga menjadi pemandangan yang biasa. Anak-anak berlarian di atas pematang sawah, bermain mencari belalang atau pun mencari belut sawah adalah pemandangan biasa yang terjadi di sini.
Sewaktu aku kecil, masih aku ingat kincir angin yang ada di depan rumah Bude. Di kincir angin itu ada tokoh petruk dan gareng yang seolah-olah dibentuk seperti menggerakkan kincir angin tersebut. Aku dulu yang membuatnya bersama Pakde. Sekarang, benda itu masih ada, menyambutku sebagai orang yang dulu pernah membuatnya.
Tanah berkerikil di depan halaman rumah Bude seperti menyambutku, seolah-olah bulan yang menyambut kaki Neil Amstrong saat mendarat di atasnya. Goblok, kenapa mendramatisir? Ini kan hanya tanah biasa, nggak perlu pakai bayangan slow motion, karena gravitasi bumi tidak seperti di bulan. Bude langsung keluar dari rumah saat melihatku yang baru saja turun dari mobil pengangkut sayur. Ya, aku tadi menumpang mobil bak terbuka dan duduk bersama para buruh tani mengangkut sayuran.
“Bude?” sapaku.
“Guntur,” jawab Bude dengan senyuman ramahnya. Aku langsung mencium tangannya. Seperti yang aku ingat, tangan Bude halus dan harum. Kulit kuning langsatnya benar-benar mempesona, tak hanya itu wajahnya juga cantik. “Ayo, masuk!”
Aku pun mengikutinya. Di dalam rumah tampak aku lihat Pakde Suryo sedang melihat ponselnya sambil mencatat sesuatu di buku. Segelas kopi tinggal separuh tampak terhidang di meja ruang tamu. Melihatku datang, Pakde pun sumringah.
“Akhirnya, ponakan Pakde yang nakal ini datang. Masuk, masuk!” sambut Pakde.
Aku langsung mencium tangannya. “Iya, Pakde.”
“Masukin barangmu ke kamar dulu, habis itu temui Pakde!” ucap Pakde.
Bude menggandengku, menuntun sampai ke kamar tamu. Kamar yang sederhana dengan keranjang yang rangkanya terbuat dari besi dengan kasur yang berisi kapas. Tentunya sangat berbeda dengan tempat tidur yang aku punyai di kota. Kamar ini yang akan jadi tempat tinggalku sementara selama aku di sini.
Aku langsung duduk di ranjang. Bude berjalan melintasiku. Bau parfumnya yang semerbak menusuk hidung. Bukan bau yang membuat eneg, tetapi bau yang wangi, sensual, sampai aku tak sadar kalau menelan ludah. Bude membuka jendela kamar, sinar matahari pun masuk. Aku baru menyadari kalau Bude ternyata memakai daster yang kalau terkena sinar matahari bisa terlihat menerawang. Saat itulah kusadari beliau tak memakai bra sama sekali, hanya celana dalam berwarna hitam yang terlihat menembus kain tipis dasternya. Saat Bude berbalik menghadapku, aku mencoba tenang dan tidak terkejut.
“Kamu sudah makan, Le?” tanya Bude.
“Belum, Bude,” jawabku.
Kembali lagi aku menelan ludah. Aku bisa melihat tonjolan pentilnya yang ngepas di daster tersebut. Sayangnya tidak terlalu kelihatan karena beliau menjauh dari jendela. Buah dada bude membuat pikiranku kemana-mana. Wanita itu pun berjalan meninggalkanku keluar kamar.
“Makan dulu atau mandi dulu, habis itu jangan lupa telpon ibumu!” katanya.
“Iya.”
Bude mungkin tidak menyadari, tapi aku adalah seorang remaja 17 tahun yang sudah mengerti tentang seks. Walaupun aku belum pernah melakukannya, setidaknya aku mengerti kalau di desa ini, aku akan mendapatkan pengalaman birahi yang tak akan terlupakan.
* * *
ns 15.158.61.48da2