Prolog
Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlhZWLrZa51
Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbGxcnEU0rO
Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡREyfFWE4lQ
Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWvjWU3NkHU
Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7EEmawezsw
Dan di sinilah semua dimulai kembali.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaX6b7jgoDt
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkht8QEdtP0
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAOvulYZjaH
Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLsq6ER2o4z
Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCDBjiASiWZ
Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSzfwz5TJYh
Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKpqdMxsLnG
Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI72jr40yo3
"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDJOzGJCYV7
"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqVgXhZhlOc
Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLVqNiW37Fu
Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡASnAsus8Nj
"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ393i8ynvV7
"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuJJbw0vXJG
Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdQiPwvKeGk
Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ12dnQQFzUd
Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCxy57tZiPh
Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe7aol6LvA2
"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3NC5A8APGs
Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHYBxKhP82E
"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhdncJyNYeu
Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMqm63sLcDT
Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxMynXgjWi9
"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdC6wzpcm16
Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1uGdHwtbcm
Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjpwNLvHqda
Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTHAItjW9MZ
Desi sudah bersama orang lain.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI8c8eKAqsI
Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡl5mLxO1TxW
Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."
Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6SPNTFGxfK
Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6DBpfBIV0s
"Vis, boleh ngobrol?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpGOXi4DCUy
Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgDKDD6IWLm
"Tentu, Des. Ada apa?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgEeM9Rbf12
Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpw9YcUZnMs
"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIslgT4FNE8
Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡovOeNmuCOW
Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZ7Dw8caemr
"Vis," katanya pelan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcbAn3muBX3
"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSJhQQ96cBO
Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb49FjqWP5Q
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKx1OPRzpND
Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡogRT5Dx9Zj
"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZGJnuDNhsD
Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFKtNaSGuLB
Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUXXpeGEZhE
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTSSVOxoNIM
"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1AvRyaIEtu
Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxyEkL7vEJx
Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2SyFPXrLR1
Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7a13fdGo0g
"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw3DR2y8Om7
Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzKt0TI67dx
Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEgek9xpFIc
Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuwlPbS6Sz8
Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRKuBtsk0jr
Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4aLWXYGyov
"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdDn5W2giMZ
Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBxLzXVmb4Z
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgyZonNeoTx
Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSGs7b8FwK0
Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxjk5OvFwa8
"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmGUPYj6OWQ
Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoIN3lyjVvB
"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXGDx9rZa7B
Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb0ENtqMH5N
Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIq7dPZvKXQ
Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIngP0Zxpzl
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbJ9UJzk4Se
"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxuukjLMeRH
Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRkbKDLeqgu
"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeoB6oKZcHr
Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOyH8clb84w
"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhEKrID9CVv
Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUjO0TDONvU
Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0jss44wlK8
Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxjWtkhcDuf
Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.
Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjI7gx0oOlJ
Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbxt36IZGBe
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKXr0kv81RS
Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡj7K1aHzRd2
Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnZ3KiqOFeE
Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0M4g5lIOxD
"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.
Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgoMtiXThDn
Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEwKuGDtbFF
Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbOdw9AuEQe
"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXv5PM1ILZ9
Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7umNjcZpo9
Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOyGdy4AYPJ
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhfsVOKrmb4
Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsbolFphj0J
Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaZsalzjInl
Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5olxLIN8T9
Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ96zn2T5POK
"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdYjXFQdFPi
Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0NMzzWlub0
Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlQStKlinGw
Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNkLwWURVdz
Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7sk1dbMbUd
Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBQDgI8B3tf
"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmOcvFqs3Du
"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxuymXSrYsA
Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgYDY7xOpnu
Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkiGeYIG7NJ
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡos0OUs9gLI
---
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzkJ0dvYbyP
Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEPOx0Ckz9o
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn1nhEM9Wun
Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqOvcihPpAB
Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkbBtrK81t8
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.
152Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI3OdY1MK0N
