(Forgive me for the chapter covers, awalnya nggak nyangka bakal posting di luar platform Wattpad...)
11Please respect copyright.PENANAW03f4R2Oby
******
Chapter 1 :
Butterfly in the Dark
******
11Please respect copyright.PENANAXUpD5CodbL
HARIN menghela napas berat. Malam ini tubuhnya lelah sekali, punggungnya terasa amat pegal akibat terlalu lama membaca di perpustakaan kampus. Menghabiskan waktu hingga malam di perpustakaan kampus demi menyelesaikan tugas ternyata adalah ide yang buruk. Saking lelahnya, rasa lapar akibat belum makan malam pun tidak lagi terasa. Yang tersisa hanyalah lelah.
Harin mengerang tatkala ia memijit leher bagian belakangnya seraya memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lehernya terasa sakit juga; ia berasa sedang membawa beban seberat dua karung beras di punggung hingga ke bagian lehernya. Kakinya pun jadi lemah—rasanya enggan sekali dibawa berjalan jauh malam-malam seperti ini—tetapi dia harus pulang. Dia ingin cepat-cepat sampai apartemen, mandi, lalu langsung membanting tubuhnya ke kasur. Ah, itu terdengar sangat menggoda sebab seluruh tulangnya serasa remuk malam ini. Jalanan di lorong yang sedang ia lalui itu pun gelap, sepi, dan sialnya, lampu jalan yang ada di depan apartemennya juga sedang rusak sejak seminggu yang lalu.
Untungnya, hampir tidak pernah ada kejahatan di sekitar sana. Mudah-mudahan rekor itu bertahan sampai hari ini, setidaknya, soalnya Harin betul-betul tidak ada tenaga untuk berlari demi menghindari penjahat. Apartemennya ada di depan sana, sekitar dua puluh langkah lagi. Mengapa dua puluh langkah terasa seperti jauh sekali?
Ah, Harin lupa. Dia juga sedang ada masalah hari ini. Masalah yang membuat rasa lelahnya bertambah menjadi dua kali lipat.
Dengan berjalan seraya terus menghela napas lelah, Harin pun akhirnya hampir sampai di depan apartemennya. Ia sudah melihat pagar putih apartemennya dari tempat ia berdiri sekarang. Apartemennya bukanlah jenis apartemen yang di daerah terasnya terdapat begitu banyak lampu. Lampunya seadanya, hanya menerangi hingga ke pagar. Di seberang apartemennya itu—terpisah oleh jalanan yang sedang Harin lalui—ada sebuah pohon yang tinggi dan di sebelahnya berdirilah lampu jalan yang sedang rusak. Harin melihat ke arah pohon rimbun tersebut sejenak, out of habit. Mata Harin agak sayu karena sedang lelah, tetapi di dalam penglihatan mata lelahnya itu, ia mampu melihat ada sebuah siluet berwarna hitam yang berdiri di bawah pohon tersebut.
Harin memicingkan matanya; ia menajamkan penglihatannya. Dia ada firasat bahwa dia hanya salah lihat karena matanya sedang lelah, tetapi ia juga penasaran sebenarnya siluet itu sungguhan atau tidak. Namun, mungkin lebih bagus kalau itu tidak sungguhan, soalnya Harin tidak mau mendapati kemungkinan-kemungkinan yang tidak ia inginkan.
Namun, tak lama kemudian, siluet itu maju ke depan. Ke arah Harin.
Melangkah mendekat.
Harin pun terenyak, dia spontan berhenti melangkah dan semakin menajamkan matanya. Kali ini, matanya terbuka penuh. Rasa lelahnya jadi agak hilang; siluet yang dia lihat itu agaknya nyata. Siluet itu bergerak mendekatinya.
Hingga akhirnya, sosok itu pun keluar dari area gelap yang ada di bawah pohon itu. Ia terlihat seolah tengah keluar dari kegelapan malam. Perlahan-lahan, tubuhnya yang tinggi itu pun terlihat akibat terkena sinar lampu remang-remang dari balik pagar apartemen Harin. Sinar lampu itu sesungguhnya hanya berupa sedikit pias, tetapi berhasil membuat sosok tinggi itu terlihat walau samar. Sinar itu mampu mencetak bayangan tubuhnya di aspal jalan kecil tempat Harin berdiri, mengonfirmasi bahwa: benar, itu adalah manusia.
Namun, begitu Harin melihat bentuk tubuh sosok itu dengan jelas, mencium aroma yang khas dari sosok itu, serta style-nya yang terlihat familier, jantung Harin jadi seakan berhenti berdegup sejenak. Napasnya sontak tertahan. Kemudian, degupan jantungnya berubah total; degupannya kini menjadi lebih intens.
Oh Tuhan.
Harin kenal sosok ini.
Tidak. Ini… Jangan-jangan…
11Please respect copyright.PENANAs6HSdmm51h
“My Rin,” panggil sosok itu dengan suaranya yang dalam; suara khas yang terdengar berat. Suara yang amat Harin kenali. Suaranya seakan mengonfirmasi siapa dirinya pada Harin.
Harin benar. Dugaannya benar.
Tak ayal, Harin melihat sosok itu lagi; tubuhnya yang kekar dan tinggi semakin maju dan akhirnya benar-benar terlihat oleh Harin. Cahaya lampu dari balik pagar itu kini telah menerangi wajah tampannya, garis rahangnya yang tajam, hidung mancungnya, hoop earrings di telinganya yang bertindik, serta tato di lehernya. Sosoknya yang memakai leather jacket berwarna hitam dengan jeans yang juga berwarna hitam, rambut hitam kecoklatannya, semuanya kini terlihat jelas di mata Harin.
Ini adalah Jeon Jungkook.
11Please respect copyright.PENANA23JIOtvTkI
Kekasihnya.
11Please respect copyright.PENANAxmAsTZ0mSI
“…Jungkook?” Harin masih ingin memastikan, padahal sudah jelas-jelas itu memang adalah Jungkook. Berdiri di sana, berhadapan dengannya, dan menatapnya dengan intens.
Jeon Jungkook. Pemuda berwajah tampan dan bertubuh kekar yang kuliah di satu universitas dengan Harin, tetapi berbeda jurusan. Pemuda itu adalah seorang pembalap mobil yang andal; dia mahasiswa dari jurusan Bisnis. Berbeda dengan Harin. Harin merupakan seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika andalan kampus, mahasiswi top yang terkenal rajin dan cerdas, tetapi dia bukan tipe-tipe gadis kutu buku berkacamata. Dia cantik. Cantik dan cerdas. Kulitnya putih, rambutnya panjang sepunggung dan berwarna hitam kelam, seperti malam yang gelap.
Dengan panggilan dari Harin tersebut, Jungkook pun memiringkan kepalanya, tersenyum tipis, lalu mendekati Harin. Semakin pemuda itu melangkah mendekat, semakin jelas pula tercium aroma tubuhnya yang begitu wangi, segar, dan khas di indra penciuman Harin. Ketukan langkahnya di aspal terdengar begitu jelas, entah karena jalanan ini sedang sepi, atau karena Harin terlalu fokus kepadanya.
Tatkala pemuda itu sudah berada sangat dekat dengan Harin, dalam waktu sepersekian detik, Harin mendadak merasa tubuhnya dipeluk. Sebelah tangan pemuda itu meraih pinggang bagian belakang Harin, kemudian meraih tubuh Harin untuk mendekat ke dada bidangnya. Harin pun kini telah merasa berada di dalam pelukan pemuda itu sepenuhnya. Terasa hangat dan begitu familier. Aroma tubuhnya menyeruak di sekitar Harin, begitu memabukkan. Harin kemudian merasa kening, pipi, serta lehernya dicium-cium kecil oleh bibir lembut milik pemuda itu. Napas pemuda itu terasa begitu hangat di wajah dan leher Harin, hampir membuat Harin merasa lemah dan ingin keadaan itu terus berlanjut. Terutama saat ini Harin sedang lelah. Pelukan tersebut jelas mampu membuat orang yang lelah jadi terlena seketika. It makes you wanna surrender. Giving in.
Namun, selelah-lelahnya Harin, untungnya otaknya masih berfungsi. Logikanya masih berjalan. Meski rasa lelahnya serta degupan jantungnya tidak seirama dengan jalan pikirannya, ia tetap ingin memenangkan jalan pikirannya. Logika yang ia miliki.
Ya. Hari ini hubungannya dengan Jungkook tidak baik-baik saja. Mereka sedang bertengkar sejak tadi siang.
Spontan, Harin pun melepaskan pelukan itu. Dia kemudian mundur selangkah, lalu menatap Jungkook dengan tatapan kesal. Keningnya berkerut; alisnya hampir menyatu. “Apa yang kau lakukan di sini?! Pulang sana.”
Mata Jungkook sedikit melebar.
“Sayang, aku ingin bertemu denganmu,” jawab pemuda itu, sedikit terdengar frustrasi. “Seharian ini kita tidak bertemu.”
“Aku tidak ingin bertemu dengan pembohong. Mana mobilmu? Pulang sana. Aku sedang tak ingin melihatmu.” Harin mendengkus kesal. Gadis itu langsung bergerak ke samping, berencana untuk berjalan meninggalkan Jungkook di sana. Namun, naas, dengan cepat lengannya ditahan oleh Jungkook. Lengan Harin berasa kecil jika dibandingkan dengan tangan kekar Jungkook.
“Mobilku sengaja kuparkir sedikit jauh dari sini, agar kau tak melihatnya,” jawab Jungkook, kemudian pemuda itu mendekati Harin lagi agar mereka kembali saling berhadapan. “Jika kau melihat mobilku, niscaya kau akan berlari menghindariku dan aku takkan bisa berbicara denganmu.”
“Kau pikir jika seperti ini, aku ingin berbicara denganmu?! Tidak. Tetap tidak,” balas Harin. “Lepaskan tanganku.”
“Setidaknya dengan begini aku punya kesempatan untuk berbicara denganmu. Dengar aku.” Genggaman tangan Jungkook pada lengan Harin terasa semakin mengerat; pemuda itu enggan melepaskan Harin begitu saja. “Sayang, aku ke sini karena aku tak mau kau terus marah padaku.”
“Kalau kau tak ingin aku marah padamu, seharusnya kau tidak berbohong padaku!!” teriak Harin pada akhirnya. Kekesalannya sejak tadi siang akhirnya tumpah semua—tidak, ini sebenarnya adalah kekesalan yang sudah ia pendam sejak lama—dan ia pun mengempaskan tangan Jungkook yang tengah menahannya itu dengan kuat. Sangat kuat, sebab ia tahu kekuatan Jungkook amatlah sulit untuk ia kalahkan. “Kau terus berbohong, terus membohongiku, dan kau berharap aku tidak marah padamu?! Apa kau gila?!”
“Rin, aku berbohong padamu karena aku tak ingin kau marah padaku,” ujar Jungkook frustrasi. Dia kembali menahan tangan Harin. Dia pun mencoba untuk memegang kedua pipi Harin, tetapi kedua tangannya langsung diempaskan begitu saja oleh Harin.
“Bullshit, Jungkook,” jawab Harin. “Kau selalu berbohong, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Alasannya seringkali seperti ini, agar aku tak marah padamu. Tidak masuk akal. Otakku tak bisa mencernanya sama sekali. Aku tak ingin mendengarmu lebih jauh. Pergilah. Pergi sana.”
“Sayang,” panggil Jungkook. Suaranya terdengar amat serius, begitu mengintimidasi. “aku berbohong padamu soal balap mobil hari ini karena aku tahu kau akan marah padaku jika aku bilang bahwa aku mengikutinya. Kau menyuruhku untuk istirahat sejenak karena mobilku hampir bertabrakan dengan mobil Hyun terakhir kali. Namun, hari ini ada race penting, Sayang, dan senior menuntutku untuk ikut.”
“Berbohong tetaplah berbohong,” jawab Harin. “Kau bisa saja bilang padaku soal race penting itu dan memohon padaku, tetapi kau justru memilih untuk berbohong. Kau selalu memilih untuk membohongiku.” Mata Harin mulai memerah; dia hampir menangis. Dia sungguh tidak suka dibohongi terus menerus seperti ini. Banyak sekali kebohongan yang Jungkook katakan kepadanya. Terakhir kali, Jungkook pernah terlihat berdua dengan seorang perempuan mengobrol hingga tertawa, tetapi ketika Harin tanya, dia memilih untuk berkata bahwa dia dan perempuan itu hanya sedang mengerjakan tugas. Padahal jelas-jelas Harin melihat bahwa mereka hanya sedang mengobrol dengan akrab, tidak ada tugas yang sedang dikerjakan. Seolah Jungkook sengaja menutupinya. Sengaja membuat kebohongan yang kentara itu.
Kebohongan demi kebohongan itu sukses membuat Harin merasa tidak berharga. Tidak sama sekali dihargai. Tidak penting, sampai-sampai Jungkook memilih untuk membohonginya saja alih-alih jujur padanya. Jika ia penting bagi Jungkook, Jungkook takkan membohonginya. Jungkook pasti akan jujur padanya apa pun keadaannya. Namun, dia terus menerus dibohongi. Dia jelas-jelas sedang dipermainkan oleh Jungkook. Diremehkan. Tidak dihormati dan dihargai oleh kekasihnya sendiri. Kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun lamanya.
“Rin.” Jungkook menghela napas samar. “I told you that I don’t want you to be mad at me. I’m really sorry.”
“Pulanglah, Jungkook. Sungguh, pulanglah,” pinta Harin jemu. Dia menyisir rambutnya ke belakang dengan frustrasi, lalu menundukkan pandangannya. Tak ingin melihat wajah Jungkook. “Tinggalkan aku sendiri. Kumohon.”
Terdengar helaan napas berat Jungkook di depannya. Mereka berdua sama-sama diam, keadaan itu bertahan hingga sekitar empat detik lamanya. Udaranya terasa begitu berat, tekanannya tinggi. Hal itu nyaris membuat Harin sesak.
“Baiklah,” jawab Jungkook pada akhirnya. Suaranya terdengar begitu dalam. “tetapi syaratnya, besok kita pergi ke kampus bersama-sama.”
Harin mengernyitkan dahi. Mengapa jadi ada syarat seperti ini?
Namun, terserahlah. Harin sedang bad mood. Dia tak ingin berpikir lama-lama. Dia hanya ingin Jungkook pergi dari hadapannya agar ia bisa menyendiri dan beristirahat di dalam apartemennya.
“Terserah. Sekarang pulanglah. Pergi dari sini. Aku mau istirahat,” ucap Harin dengan cepat, ia pun langsung berjalan meninggalkan area jalan kecil itu dengan langkah yang lebar, menyeberanginya hingga sampai ke depan pagar apartemennya. Setelah itu, dia membuka pagar tersebut, masuk dengan cepat, lalu mengunci pagar itu kembali dari dalam.
Harin sungguh tidak ingin seperti ini. Rasanya dia jadi sangat emosional dan logikanya melawan ini semua. Tidak seharusnya dia membiarkan dirinya dibohongi terus menerus seperti ini, padahal dia tahu jelas bahwa dia sedang dibohongi dan dipermainkan. Dia merasa membiarkan dirinya bersikap bodoh hingga seluruh sel-sel di tubuhnya seolah meronta padanya untuk berhenti menoleransi ini semua.
Namun, benar. Hati memang selalu ingin diutamakan. Hati selalu berhasil membujuk seluruh logikanya untuk menurut. Rasa cinta yang sudah dipupuk bertahun-tahun itu membuat hatinya jadi melawan seluruh anggota tubuhnya dan anehnya, hatinya berhasil menang.
Padahal sudah tahu jelas, tetapi malah membiarkan dirinya tetap tenggelam. Seolah pura-pura buta dan tuli. Pura-pura bodoh. Kadang Harin bertanya-tanya: apakah semua wanita seperti ini? Selalu mengutamakan perasaan dibandingkan logikanya, selalu mengutamakan apa yang hatinya rasakan walau otaknya sudah berkali-kali mengumpat padanya karena tidak kunjung melepaskan diri dari siklus yang tak pernah berakhir ini.
Harin pun naik ke lantai dua apartemen tersebut (apartemen itu hanya memiliki dua lantai dan tidak terlalu besar), lalu berhenti di depan sebuah pintu yang berada di tengah-tengah. Itu adalah apartemen kecil miliknya. Harin pun merogoh tasnya, mencari kunci pintu apartemennya dengan terburu-buru. Dia ingin cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Dia benar-benar muak dan kesal dengan semuanya, terlebih ia sedang lelah saat ini.
Ketika sudah berhasil masuk ke dalam apartemennya, Harin lantas menutup pintu itu dengan lumayan kencang. Dia langsung pergi ke kamarnya, meletakkan tasnya di atas meja belajar, lalu mengambil handuknya yang tergantung di gantungan handuk yang terletak di depan kamar mandi.
Ia butuh mendinginkan kepalanya. Setelah ini, dia harus memakai baju tidur hangat, lalu tidur. Dia sungguh lelah hari ini. Urusan besok biarlah terjadi besok. Dia benar-benar butuh istirahat sekarang.
11Please respect copyright.PENANA0Qjtg6RMmZ
******
11Please respect copyright.PENANACA74CM6OEu
“Hah..” Harin mengerang tatkala baru saja keluar dari kamar mandi. Rasanya lega sekali, hampir separuh bebannya seakan terangkat. Tubuhnya segar. Dia pun mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengusap-usapnya dengan gerakan cepat, sebelum tiba-tiba, ponselnya berdering.
Mata Harin melebar. Gadis itu kemudian mendekat ke arah meja belajarnya dan merogoh tas kuliahnya tadi, mencari ponselnya. Tatkala ia membuka kunci pola ponselnya, matanya mengernyit. Sebab ia melihat ada pesan dari tetangganya yang jarang sekali mengirimkan pesan kepadanya. Ini dari ibu-ibu yang ada di sebelah rumahnya.
Harin pun membuka pesan tersebut.
11Please respect copyright.PENANAN5ovEZkREH
Bu Nam 08.02 P.M
Harin, apakah laki-laki yang menunggu di luar itu pacarmu?
—Read, 08.03 P.M
11Please respect copyright.PENANAmuqOqTwJIu
Mata Harin terbelalak. Hah? Di luar?
Sebentar.
Tidak mungkin, ‘kan?
11Please respect copyright.PENANAanGBKcmaIp
Harin sontak langsung berlari ke ruang tamu dan membuka tirai jendela yang mengarah ke depan rumahnya. Jendela itu berada tepat di samping pintu. Jika kau melihat melalui jendela itu, kau akan bisa melihat ke bawah sana hingga ke luar pagar.
Betapa terkejutnya Harin saat mendapati bahwa,
11Please respect copyright.PENANADRGZSsMXoF
…Jungkook masih ada di sana.
11Please respect copyright.PENANAz3vdqqtngK
Dia tidak pulang!
11Please respect copyright.PENANAUAs4saAgBS
Spontan, Harin langsung masuk ke kamar lagi dan mulai mencari baju tidurnya dengan cepat. Dia menggerutu kesal seraya bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Jungkook tidak pulang? Kan tadi aku menyuruhnya untuk pulang! Apa yang ia lakukan, berlama-lama di depan sana?
Harin lalu memakai pakaiannya, menggantung handuknya kembali, dan menyisir rambutnya yang masih basah. Setelah selesai, dia pun mengambil kunci pagar, lalu keluar dari kamarnya dan berjalan menyusuri ruang tamu hingga akhirnya dia membuka pintu depan dan ke luar.
Saat keluar dari apartemennya—seraya menutup pintu yang ada di belakangnya itu—Harin menatap ke luar pagar seraya menghela napas. Kali ini, dia benar-benar melihat Jungkook ada di sana, masih berdiri di depan pagar apartemennya. Bedanya, kali ini mobil sport berwarna hitamnya sudah terparkir di sana. Jungkook duduk di atas bumper depan mobilnya; kepalanya sedikit tertunduk dan kedua tangannya bersilang di depan dada.
Harin pun turun dari lantai dua. Dia berjalan menyusuri halaman depan apartemennya dan saat sampai ke dekat pagar, ia pun membuka kunci pagar tersebut. Tanpa ia sadari, suara yang ia timbulkan saat membuka kunci pagar itu sukses membuat Jungkook menoleh. Pemuda itu lalu bangkit dari posisi duduknya dan berjalan mendekat ke pagar. Pagar itu sebenarnya tertutup—tidak ada celah di antara besi-besi penyusunnya—jadi ia belum tahu itu Harin atau bukan.
Tatkala pagar itu berhasil terbuka, Harin bisa melihat Jungkook yang sudah berdiri tidak jauh di depannya dengan mata yang sedikit melebar. Tatapan mata itu kemudian berubah menjadi tatapan yang lembut tatkala ia mengetahui bahwa Harinlah yang membuka pagar. Harin pun menenggak ludahnya, lalu akhirnya tubuhnya keluar sepenuhnya. Ia menutup pagar itu kembali sebelum akhirnya ia berjalan mendekati Jungkook. Pemuda itu juga mulai berjalan ke arahnya.
“Sayang,” sapa Jungkook.
Harin langsung mengernyitkan dahi. Dia mulai kesal lagi. “Kan aku sudah menyuruhmu untuk pulang. Apa yang kau lakukan di sini?”
“…tapi kau datang menemuiku,” jawab Jungkook, ia memiringkan kepalanya seraya tersenyum.
“Ibu Nam yang tinggal di sebelah memberitahuku bahwa ada seorang lelaki yang menunggu di depan pagar,” jelas Harin. “Kau membuat mereka bertanya-tanya, Jungkook! Pergilah sebelum orang lain terganggu.”
“Orang-orang yang tinggal di sini seharusnya sudah mengenaliku, Sayang,” jawab Jungkook. “Aku sering ke sini; aku sering main ke apartemenmu, ‘kan? Itu sebabnya tetanggamu langsung bertanya padamu, padahal ada perempuan lain di sini yang belum menikah.”
Harin menggaruk kepalanya. Dia jadi pusing sendiri. “Jadi, ada apa kau menunggu di sini, Jungkook? Kan tadi aku sudah menyuruhmu untuk pulang…dan kau setuju.”
Alih-alih menjelaskan, Jungkook justru tersenyum miring.
Entah mengapa, leher Harin mendadak bergidik. Melihat senyuman Jungkook malam itu, di antara cahaya dari dalam pagar dan sedikit bintang di atas langit, Harin terpaku di pijakannya. Lidahnya mendadak kelu. Dia benar-benar ingin tahu apa arti senyuman Jungkook itu sampai-sampai ia tidak sadar bahwa Jeon Jungkook, kekasihnya itu, berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah yang perlahan tapi pasti.
Kemudian, saat sudah benar-benar dekat dengan Harin, Jungkook mulai mengulurkan jemarinya untuk mengusap kepala bagian belakang Harin dengan penuh kasih sayang. Senyum miringnya itu berubah menjadi senyuman yang lembut, tetapi agaknya penuh rahasia. Matanya menatap Harin begitu dalam; usapan di kepala Harin juga terasa sangat…nyaman.
Bersama dengan itu, suara Jungkook pun terdengar.
11Please respect copyright.PENANAWJXG3P0jAA
“You shouldn’t believe a liar, Baby.”
11Please respect copyright.PENANAv7VCdBjMVy
Itulah kata-kata terakhir yang didengar oleh Harin, sebelum akhirnya Jungkook mencium bibirnya dengan sensual. []
ns 15.158.61.6da2