******
Chapter 2 :
Dreamboat14Please respect copyright.PENANAt3CtJ7GSAN
******
14Please respect copyright.PENANAHhd50agAjU
SELIN berlari tergesa-gesa melalui koridor lantai dua itu. Jantungnya berdebar kencang, wajahnya panik, ia menggigit bibirnya gelisah. Ia berlari sekencang mungkin, melarikan diri, hingga seluruh pemandangan di samping kanan dan kirinya hanya tinggal sekelebat. Anehnya, dia tidak merasa lelah sama sekali. Degupan jantungnya bertalu-talu, tetapi bukan karena lelah akibat berlari, melainkan karena salah tingkah setengah mati.
“Apaan—apaan itu tadi?!” ucap Selin panik. Otaknya kembali memutar kejadian yang baru saja terjadi di kamar tamu itu. Suara berat ayah Lucian, tubuh proporsionalnya, senyum miringnya, lalu otot bisep dan trisepnya—sial, semuanya seksi—dan Selin semakin gelisah. Pipinya merona. Rekaan ulang terkait apa yang baru saja ayah Lucian ucapkan padanya itu juga tidak membantu sama sekali.
14Please respect copyright.PENANAjtFWlYcTlc
“Sweet. It’s pleasure to meet you, Selin. See you around.”
14Please respect copyright.PENANAVqE4F19sVg
Itu terdengar biasa saja, ‘kan? Seharusnya begitu. Iya, harusnya itu biasa saja! Tapi sampai di kalimat ‘See you around’, mengapa mendadak lutut Selin semakin lemas? Sial, ini tidak normal. Tuhan, masa iya Selin nervous dan merasa ter‘undang’ hanya karena kalimat itu? Ah, Selin seumur-umur bukanlah orang yang horny-horny amat. Dia biasa-biasa saja. Iya, dia sebelumnya normal.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, mungkin dilf energy atau sexual aura dari Om Juan-lah yang terlalu kuat, sampai-sampai apa pun yang terucap dari mulut Om Juan bisa disalahartikan oleh Selin. Otaknya jadi mampu membayangkan sampai ke mana-mana. Ah, ini kacau. Malu banget sama Om Juan kalau seandainya otak mesum Selin ini terbongkar dan ketahuan sama Om Juan.
Selin berlari menuruni tangga spiral menuju ke lantai satu dengan terburu-buru. Dia masih memakai handuk; kalau saja dia tidak memegang ujung handuknya dengan erat, niscaya handuk itu akan jatuh dan Selin akan berlari seraya telanjang. Namun, itu semua tidak terlalu dipikirkan oleh Selin saat ini; otaknya sibuk memikirkan betapa mengerikannya kemesuman dirinya hanya karena Om Juan menyapanya barusan. Otaknya juga sibuk mencerna apa yang sedang terjadi sejak tadi: dia yang bertemu Om Juan secara tiba-tiba dalam keadaan hanya memakai handuk, dia yang meninggalkan pakaiannya di dalam kamar tamu hingga harus kembali lagi melihat Om Juan yang hanya memakai boxer itu, dia yang meminta Om Juan untuk menutup mata, hingga seluruh obrolan-obrolan mereka pada saat setengah telanjang. Siaaaal, apa, sih, yang baru saja terjadi padanya?
Saat ia berlari di area lantai satu, kebetulan ia melihat Maxi yang baru saja keluar dari salah satu kamar tamu. Maxi melebarkan matanya begitu ia melihat Selin yang lari-lari dengan wajah panik seperti baru saja melihat hantu. “Lah, Sel—”
Selin langsung menarik lengan Maxi dengan cepat dan kuat, dia menarik Maxi masuk kembali ke dalam kamar tamu tersebut hingga mereka berdua kini berada di dalam. Rasanya jantung Maxi jadi ikut-ikutan mau copot; dia kaget karena Selin langsung menariknya masuk ke dalam seolah tak ada hari esok. “Hei, Selin, ada apa, sih?!Kamu baru ngeliat apa?!”
“Nanti aja aku cerita!!” jawab Selin panik. Selin langsung membuka handuknya di depan Maxi dan memakai pakaian gantinya cepat-cepat. Maxi spontan menganga, memperhatikan semua gerakan Selin dari belakang dan berkata, “Hah?? Kamu kenapa coba?!”
Selin hanya diam; gadis itu tak menjawab apa pun. Dia hanya terus memakai pakaiannya dan setelah selesai, dia pun menarik tangan Maxi untuk keluar dari kamar itu. “Ayo ke luar.”
Maxi makin bingung. Dia mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya. “Lin, kamu kenapa, sih?Cerita dulu!!”
Selin yang berjalan di depannya—meski seraya memegang tangannya—itu hanya mendengkus dan berkata, “Nanti aja. Nanti aku ceritakan. Ayo kita balik ke kamar Lucian.”
Mendengar jawaban Selin, mau nggak mau Maxi hanya bisa mengedikkan bahu. Dia pun menghela napas, memutuskan untuk menyerah. Dia sebetulnya begitu penasaran, tetapi ia tahu bahwa Selin ini agak susah untuk dibujuk. Jadi, dia hanya bisa menunggu sampai nanti Selin memutuskan untuk menceritakannya sendiri. Haduh, demi Tuhan,Maxi ini sebenarnya adalah orang terkepo sedunia, tetapi dia mampu sedikit menahannya untuk Selin. Kurang baik apa lagi coba dia? Ini baru yang dinamakan sahabat. Tiba-tiba Maxi jadi merasa bangga sendiri.
14Please respect copyright.PENANAjnid5z3c4V
******
14Please respect copyright.PENANABQ411zSFwc
Sejak tadi, Selin hanya melamun. Mereka semua kembali mengerjakan tugas; Dylan, Aria, Lucian, dan Maxi sudah sibuk berdiskusi dan berbagi pendapat satu sama lain. Maxi dan Aria beberapa kali menyadarkan Selin dari lamunannya, tetapi agaknya lamunan itu selalu kembali dan kembali lagi. Dia tak bisa berhenti memikirkan apa yang tadi terjadi di antara dia dan ayah Lucian, atau lebih tepatnya, dia tak bisa berhenti memikirkan ayahnya Lucian.
Tiba-tiba, ada sebuah ketukan di pintu kamar Lucian. Ketukan di pintu itu sukses memecahkan lamunan Selin; Selin langsung menoleh ke arah pintu tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada teman-teman Selin; mereka semua spontan menoleh ke arah pintu.
“Ya?” jawab Lucian singkat, merespons ketukan pintu itu.
“Tuan Muda Lucian,” ucap seorang laki-laki di balik pintu tersebut. “Tuan mengajak Anda dan teman-teman Anda untuk makan malam bersama, Tuan Muda.”
Spontan semua orang yang ada di sana merasa heran sekaligus mulai panik. Tidak bohong, jantung Selin tiba-tiba seolah berhenti berdetak setelah satu degupan kencang berupa “Deg!” tatkala mendengar pemberitahuan itu.
Haduh, gimana ini? Gimana?
Makan malam bersama? Huaaaa mampus! Selin masih belum normal, nih!
“Woy, Lu!!!!” bisik Maxi panik, ia sontak menganga dan langsung mencecar Lucian. “Kok ayahmu ada di rumah?!! Bukannya katanya masih ada di China?!!”
“Aku juga nggak tau, nih!!” jawab Lucian, dia ternyata ikutan panik. “Kok tiba-tiba Ayah ada di rumah, ya?!!”
“Lah, kamu aja nggak tau, apalagi aku!!” bisik Maxi panik. Mereka jadi berdebat sendiri.
Diam-diam Selin membatin, ‘Iya, Lucian, ayahmu udah balik. Tadi aku ketemu sama dia dalam keadaan nggak pakai baju yang senonoh.’ Jujur, Selin rasanya hampir mau menangis dan menggali tanah untuk mengubur dirinya sendiri hidup-hidup tatkala mengingat kenyataan itu.
Aria dan Dylan juga panik, tetapi belum mengucapkan apa-apa. Mereka berdua juga kaget mengetahui bahwa ternyata ayahnya Lucian ada di rumah dan ayahnya itu malah sudah mengetahui keberadaan mereka.
Aaaaagh!
Lucian diam selama dua detik, sampai akhirnya pemuda itu mulai menjawab.
14Please respect copyright.PENANAFRQO63NK0q
“Oke, Diego. Sebentar lagi kami ke luar. Ayah udah pulang, ya?”
14Please respect copyright.PENANAbrdNDemVJw
Pria di balik pintu tersebut—yang sebenarnya merupakan head butler di mansion itu—lalu menjawab, “Iya, Tuan Muda. Tuan baru saja pulang sekitar dua jam yang lalu.”
Lucian pun menghela napas. “Oke, Diego. Bilang sama Ayah, tunggu sebentar, ya. Kami akan turun.”
“Baik, Tuan Muda,” jawab Head Butler Diego, kemudian terdengarlah bunyi ketukan langkah sepatunya yang mulai menjauhi pintu kamar Lucian.
“Ayo kita ke bawah,” ajak Lucian langsung. “Sorry, ya, aku juga nggak tau kenapa Ayah udah pulang. Mungkin dia ada perubahan jadwal atau gimana, tapi aku janji, Ayahku nggak bakal marah, kok. Dia bukan ayah yang galak. Ayo kita turun dulu aja, sekalian kalian bisa kenalan.”
Akhirnya, mereka semua mengangguk.
Hm…sejujurnya walau sedikit mendadak, mereka penasaran juga, sih,bagaimana wujud asli Mr. Zacharias yang begitu terkenal di beberapa belahan bumi ini akibat bisnisnya yang tersebar di banyak negara. Dia adalah pebisnis sejati yang banyak dikagumi orang-orang, sampai sering dijadikan contoh pada saat dosen menerangkan soal bisnis.
…dan kali ini, sosok billionaire itu akan mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.
14Please respect copyright.PENANAzgqPPSOLGq
******
14Please respect copyright.PENANAp1utr9ZLna
Begitu sampai di ruang makan, mereka semua melihat sosok ayah Lucian yang duduk di kursi paling ujung meja makan itu. Meja makan yang ada di ruang makan tersebut adalah sebuah meja makan panjang yang masing-masing ujung kanan dan kirinya memiliki satu kursi, lalu di tengah-tengahnya berjajar beberapa kursi yang saling berhadapan. Di atas ruang makan tersebut tergantung beberapa lampu kristal megah yang mengelilingi satu lampu kristal yang paling besar; lampu kristal terbesar itu tepat berada di atas meja makan, di bagian tengah. Namun, posisi kursi-kursi dan lampu kristal itu tak begitu penting saat ini, sebab ada sebuah ciptaan yang jauh lebih rupawan tengah duduk di sana. Seorang pria dewasa, matang, dan berparas menakjubkan. Kedua siku pria itu tertumpu di atas meja, jemarinya saling terjalin di depan dagu. Pose itu membuat otot bisepnya jadi terlihat semakin kentara. Semakin tercetak jelas. Bentuk wajah yang simetris, garis rahang yang tajam, hidung yang mancung, bibir yang menggoda, serta baju kaus putih polos yang mencetak bentuk tubuh sempurnanya, semuanya seratus persen sukses membuat Maxi, Aria, dan Selin menahan napas. Aria padahal sudah beberapa kali melihat Om Juan (meski bukan di mansion itu), tetapi rasanya tetap saja kagum tiap kali melihatnya. Maxi bahkan sampai ternganga. Dia hampir saja berdecak kagum, untung saja urat malunya masih tersambung. Untung saja otaknya belum mengalami korsleting sehingga dia masih mampu menahan dirinya untuk tidak berteriak kagum atau mengeluarkan air liur.
14Please respect copyright.PENANAkhrozzEEIC
Gila, woy, ini beneran bapaknya Lucian?
Culik aku, Om!
14Please respect copyright.PENANAhPgbLDOP1y
Selin pun menatap ke arah Maxi dan spontan membatin seperti, ‘Yeah, Maxi. I know. I know. Kita sepemikiran.’
I mean, yang benar saja. Itu sungguhan pria yang sudah punya anak sebesar Lucian?
Dia terlihat seperti buah terlarang yang merah merekah, juicy, matang sepenuhnya, dan tinggal dimakan.
Ah. Jadi pengen makan, ‘kan.
Mulai lagi, deh.
14Please respect copyright.PENANAaDxKfS4Al1
“Halo,” sapa ayah Lucian seraya tersenyum kepada mereka semua. “I’m Lucian’s dad. Nice to meet you.”
14Please respect copyright.PENANA3bT9CBsDpV
Damn.
Damn.
‘Suaranya brooooo,’ batin Maxi. ‘Buseeeet. Daddy banget ini!’
Maxi pun spontan menoleh ke arah Selin. Melihat tatapan mata Maxi, Selin langsung paham total. Seolah bertelepati, Selin pun mengangguk seraya memejamkan matanya. Menyetujuinya dalam diam. Melipat bibirnya. Seolah berkata, ‘Iya, say, iya. Sangat Daddy. Aku paham maksudmu. Paham banget.’
“Ah—haha…iya, Om,” jawab Maxi setelah menatap ke arah ayah Lucian kembali. Sekuat tenaga mengusahakan agar suaranya tidak terdengar serak atau bergetar, soalnya lututnya mendadak jadi lemas. “Nice to meet you too, Om.”
“Selamat malam, Om,” sapa Dylan dengan sopan.
Om Juan tersenyum. “Malam. Ayo, silakan duduk. Kita makan malam dulu, ya. Sambil ngobrol-ngobrol. Baru kali ini Lucian bawa temen-temennya ke rumah.”
Mereka semua pun tertawa awkward. “Ah—iya, Om, baru kali ini,” jawab Maxi. Maxi pun menyikut-nyikut Selin dan Aria, seolah mau bilang, ‘Woy, bantu jawab ngapa, sih? Lemes neh!’
Laknatnya, Selin dan Aria malah menyikut balik. Seolah menyerahkan semuanya kepada Sang Sepuh Maximilian. ‘Kamu aja, woy, kamu lebih kuat.’
Kemudian, mereka semua duduk. Selin, Aria, dan Maxi duduk di sebelah kanan, sementara Dylan dan Lucian duduk di sebelah kiri. Jadi, posisinya ayah Lucian ada di depan sekaligus di tengah-tengah mereka semua.
Banyak sekali makanan yang sudah berjajar di atas meja. Ada daging ayam, daging sapi, salad, buah-buahan, seafood, sayuran, dessert, berjenis-jenis minuman….what a feast. Lengkap sekali. Ada beberapa lilin, beberapa napkin… Ini benar-benar seperti acara dinner orang kaya. Mereka sedang dijamu. Ketika mereka baru duduk, ada beberapa pelayan yang masih mengantarkan makanan-makanan tambahan, sampai akhirnya pelayan-pelayan itu merunduk hormat pada mereka dan permisi ke luar.
“Jadi,” buka Om Juan seraya menuangkan air putih ke gelasnya. “kalian semua satu jurusan, ya, sama Lucian?”
“Iya, Om,” jawab Dylan. “Satu jurusan.”
Aria dan Maxi manggut-manggut. Selin hanya diam saja; detak jantungnya betul-betul bertalu-talu. Rasanya dari tadi dia nyaris tak sanggup melihat wajahnya Om Juan, meskipun kalau dilirik sesekali, memang benar Om Juan ini tampan sekali. Luar biasa. Om Juan in casual attire…is so damn hot.
Tapi Selin benar-benar deg-degan. Dia seakan tak sanggup melihat keindahan sempurna itu saat ini. Ingatannya soal apa yang terjadi tadi masih menghantuinya.
Om Juan lalu mengangguk, tersenyum, dan meminum air putihnya. Tatkala ia menaruh gelas itu kembali ke atas meja, suaranya kembali terdengar.
“Kalau Aria dan Dylan… Om sudah beberapa kali lihat,” katanya. “soalnya Dylan udah temenan sama Lucian dari SMA…dan Aria adalah pacarnya Lucian.”
Lucian tersenyum. Dylan dan Aria mengangguk-angguk.
Seraya memiringkan kepala, Om Juan pun kembali berkata, “Kalau kamu, siapa namanya?”
Melihat Om Juan menatap ke arahnya, Maxi langsung agak kikuk dan bergetar. “Uhh—um… Maxi, Om. Elena Ruby Maximilian.”
“Oh… Salam kenal, Maxi,” sapa Om Juan, pria itu tersenyum. Maxi mendadak bahagia sekali mempunyai nama ‘Maxi’ soalnya nama itu terdengar bagus sekali tatkala diucapkan dengan lidahnya Om Juan. Melihat dirinya sudah ditanya, Maxi jadi mulai menunggu kapan giliran Selin ditanyai juga. Soalnya, dia dan Selin-lah yang belum dikenal oleh Om Juan sebelumnya.
Namun, alih-alih menanyai Selin, Om Juan justru hanya melihat ke arah Selin. Selin yang bisa merasakan seluruh tatapan kini berubah mengarah kepadanya itu refleks langsung menoleh ke sekeliling. Sampai akhirnya, dia membalas tatapan Om Juan.
Tepat ketika Selin balik menatap ke arah Om Juan, pria itu pun memberikan Selin senyuman lembut.
Namun, hanya seulas senyuman. Tanpa pertanyaan, ‘Siapa nama kamu?’ seolah dia sudah tahu nama Selin. Maxi agak mengernyitkan dahi, dia jadi sedikit bingung.
Dengan kikuk, Selin pun hanya tersenyum balik pada Om Juan. Ia tak tahu reaksinya ini terlihat menggelikan atau tidak, pokoknya balas senyum dulu aja, deh!
“Jadi, kalian tinggal di mana?” tanya Om Juan lagi. Mendengar pertanyaan itu, satu per satu dari mereka mulai menyebutkan lokasi rumah mereka masing-masing. Suasana saat itu jadi agak mencair karena Lucian dan Maxi mulai berdebat terkait di mana lokasi rumah Maxi sebenarnya. Selin sebetulnya sudah tidak heran lagi dengan Maxi yang selalu saja bisa lupa alamat lengkap rumahnya sendiri. Bahkan Selin dan yang lain justru lebih hafal alamat rumahnya daripada dirinya sendiri. Om Juan bahkan sempat tertawa dengan perdebatan mereka dan God damn it, he’s so gorgeous. Inikah yang namanya surga? Soalnya kok ada bidadara seksi di sini.
Selin dan teman-teman ceweknya benar-benar dibuat cengo.
Hingga tiba-tiba, Om Juan mulai bertanya.
14Please respect copyright.PENANApDQfts0uHt
“Kalau Selin, rumahnya di mana?”
14Please respect copyright.PENANAOcFAPRoqIH
Spontan semuanya terdiam.
Selin langsung menatap ke arah Om Juan dan meneguk ludahnya.
Maxi dan teman-temannya juga langsung menatap ke arah Selin. Lucian malah melihat ayahnya dan Selin secara bolak-balik. Di dalam benak teman-teman Selin kini terdapat pertanyaan yang sama, yaitu:
14Please respect copyright.PENANARC7kRHBtub
“Kok Om Juan udah tau nama Selin?”
14Please respect copyright.PENANA3ablr6654E
Dada Selin jadi berdebar. Ia meremas celananya sendiri dari bawah meja. Kemudian, dengan napas yang tertahan, Selin pun mulai menjawab.
“Di Woodlands 167, Om.”
“Hmm…” Om Juan berdeham. Pria itu mengangguk samar, lalu memiringkan kepalanya. “Lumayan jauh juga, ya, dari sini.”
Selin tersenyum canggung, sampai akhirnya dia jadi sedikit tertawa hambar. “Ah—haha, iya, Om. Lumayan.”
“Masih jauh rumah Aria dan Dylan, kok, Dad,” sahut Lucian. “Rumah Selin sama Maxi masih agak di tengah-tengah, kalau dari sini.”
Om Juan pun tersenyum, menatap Selin agak lama, lalu mengangguk. Kemudian, ia mulai mengambil sendok dan garpunya. “Ayo, kita makan dulu.”
Dengan ajakan dari Om Juan itu, mereka semua pun mulai makan. Suasana semakin mencair tatkala mereka makan, sebab sesekali mereka mengobrol meskipun tahu bahwa sebetulnya tidak baik makan sambil berbicara. Namun, percayalah, makan sambil ngobrol memang seseru itu.
Hingga akhirnya, setelah selesai makan, Om Juan pamit duluan. Ia hanya memberitahu mereka dengan kalimat singkat seperti: “Om duluan, ya. Ada yang masih mau Om selesaikan.”
Setelah mereka semua menjawab, “Iya, Om, silakan.”, Om Juan pun pergi meninggalkan ruang makan itu.
14Please respect copyright.PENANA3ZIrAwASrz
******
14Please respect copyright.PENANA65gvdXXBoB
Setelah selesai makan, begitu keluar dari ruang makan tersebut, Selin langsung menarik tangan Lucian dan berlari menuju ke salah satu kamar tamu yang ada di lantai satu. Lucian yang sedang berjalan sambil menggoda Aria pun sontak membelalakkan mata, terkejut karena mendadak tangannya ditarik kencang oleh Selin. Genggaman tangannya pada Aria jadi terlepas; dia jadi ikut-ikutan berlari karena ditarik oleh Selin. “Lin, ada apa, nih?!! Lin!!”
Selin pun menoleh ke belakang dan mendelik kesal. “Sini dulu kamu!!” Lalu menarik tangan Lucian lebih kencang. Jadi, mereka benar-benar berlari ngebut menuju ke kamar tamu terdekat. Setelah sampai di kamar tamu tersebut, Selin pun membuka pintunya, lalu masuk ke dalam dan langsung mengempaskan tubuh Lucian dengan kencang ke dinding kamar bagian kiri. Lucian sampai mengerang, ‘Ow!’ dan mengusap-usap bahunya dengan dramatis.
“Sakit, lho, Lin. Patah tulang, nih, kayaknya,” ujarnya seraya merengek. Namun, meski merengek, matanya mengerling jenaka; dia sedang menahan tawa. Sayangnya, Selin memang tidak menutup pintu kamar itu kembali, saking tidak sabarannya.
“Biarin aja patah sekalian,” ujar Selin.
“Waduh.” Lucian terbelalak. “Ini cewek jahat banget astaga.”
Selin kemudian menjewer telinga Lucian dengan kencang, sampai pemuda itu mengerang kesakitan. Lucian lalu berteriak, “Iya, iya, Lin, iya! Ampun! Ada apa, sih?”
Selin pun melepaskan jeweran tersebut dan mulai bertanya, “Kamu kenapa nyaranin aku mandi di lantai dua? Aku baru sadar, soalnya kayaknya banyak kamar tamu di lantai satu. Maxi juga mandi di lantai satu.”
Mendengar pertanyaan itu, Lucian tiba-tiba jadi mengernyitkan dahi, sedikit memiringkan kepala. Mata pemuda itu menoleh ke arah lain; dia tampak seperti sedang berpikir sejenak.
“Hm…nggak ada kenapa-napa, sih,kamar mandi itu bagus aja buat cewek. Dari seluruh kamar mandi, kamar mandi itu doang yang ada ornamen-ornamen ceweknya. Memang dikhususkan untuk tamu-tamu cewek. Soalnya, kan, memang jarang ada tamu.” Lucian mengedikkan bahu, lalu melanjutkan, “Tadinya, kan…kamu doang yang mau mandi. Makanya kamu yang aku tawarin mandi di sana. Eh ga taunya Maxi juga ikutan mau mandi. Makanya ya udah, nggak mungkin juga kalian satu kamar mandi berdua, ‘kan? Nanti jadi suka sesama jenis.”
Selin yang sedang menyimak jawaban Lucian dengan serius itu pun perlahan mengangguk. Dengan penjelasan dari Lucian itu, dia kini berhasil melepaskan satu pertanyaan dari benaknya. Satu rasa penasarannya sudah terpenuhi. Namun, kerutan di dahinya belum pudar. Masih ada pertanyaan lain yang tersimpan dan mengganjal di otaknya.
“Satu lagi,” ujar Selin kemudian. “Ayah kamu biasanya mandinya di mana?”
“Eh?” Lucian malah bertanya balik. Seolah dia salah dengar.
Selin mendengkus. “Gini, lho, Lu, ayah kamu biasanya man—”
14Please respect copyright.PENANA31vv0jOetN
“Ehh eh eeehh, ada apa neeh? Ada gosip apaan, nih?!!”
14Please respect copyright.PENANA85nF3Q6Smn
Sontak Lucian dan Selin langsung menatap ke arah sumber suara itu. Betapa terkejutnya Selin saat melihat bahwa rupanya Maxi dan Aria sudah berjalan masuk ke ruangan dan menatap mereka berdua dengan kerlingan jail. Mata mereka berdua juga berbinar, seolah menunggu asupan nutrisi berupa gosip terbaru. Gosip ter-hot. Melihat itu, Lucian jadi terkikik geli.
Dengan excited, Aria dan Maxi langsung mendekati mereka berdua. Maxi kemudian langsung berdiri di depan Selin, berkacak pinggang seraya mengeluarkan tatapan yang berarti, ‘Kasih tau, cepet! Spill!’
Selin menganga. Rasanya keringat dingin mau meluncur dari dahinya. Dia kebingungan setengah mati, alisnya menyatu karena sibuk berpikir. “Aduh, gimana, nih? Mau bilang gimana, nih? Halaah, kepergok!”
Akhirnya, karena merasa seolah terjebak, tertangkap basah, dan tertekan, Selin jadi tidak punya pilihan lain.
Mau tidak mau, dia harus menceritakan semuanya.
Menatap ke depan, Selin pun mendapati teman-temannya sudah menatapnya dengan mata yang melebar karena penasaran. Teman-temannya sudah menunggu kalimat apa yang mau diucapkan oleh Selin. Mata mereka berbinar ingin tahu, termasuk Lucian. Mereka bahkan hanya diam dan berdiri tegak; tubuh ketiganya benar-benar menghadap ke arah Selin, seperti sedang menghadangnya. Kalau orang tidak tahu soal ini dan tiba-tiba mengintip, mereka akan mengira bahwa Selin sedang di-bully oleh tiga orang temannya.
Selin pun menghela napas.
Dengan berat, Selin mulai membuka mulutnya. “Tadi, pas aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi yang kupakai, tiba-tiba ada ayah kamu berdiri di depan kamar mandi itu. Mau mandi juga di situ. Soalnya cuma pakai boxer dan bawa handuk.”
Maxi, Aria, dan Lucian spontan membelalakkan mata, mereka semua terenyak kaget. Aria bahkan menutup mulutnya dengan kedua tangannya, dia betul-betul terkejut dan tak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Selin. Jika itu terjadi padanya, mungkin dia akan pingsan di tempat, atau pura-pura pingsan saja, saking malunya.
Maxi yang tadinya menganga lebar, mulai mencengkeram bahu Selin dengan kuat dan mengguncang-guncangkan tubuh Selin dengan brutal. “Hah?!! Kok bisa?! Terus gimana? Gimana, Lin?!!”
“Pantes aja Om Juan udah tau nama kamu tadi!” komentar Aria, dia mulai menyusun seluruh puzzle yang tadinya masih acak-acakan di otaknya. “Kalian sempat kenalan?”
Hidung Selin tampak berkerut; ia terlihat berpikir keras bagaimana cara menjelaskannya dengan benar. “Aku tadinya sempat lari karena kaget, tapi aku lupa kalau baju gantiku masih ada di atas kasur. Makanya aku balik lagi ke kamar itu. Kukira nanti pas aku udah sampai sana, Om Juan sudah masuk ke kamar mandi. Taunya belum.”
“Lah, terus gimana?!” cecar Maxi. Maxi jadi ikutan panik.
“Ya Om-nya masih duduk disituuuu, Maxiiiii!” rengek Selin. “Mampus banget aku tadi, seriusan. Terpaksa minta tolong Om Juan tutup mata dulu, biar aku bisa lari ambil bajunya ke dalam.” Selin menutup wajahnya frustrasi.
Namun, tatkala mendengar itu, Lucian justru tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya sampai tertunduk ke bawah, ia tertawa pontang-panting seraya memukul-mukul lututnya sendiri.
“WHAHAHAHAAHAHAH!!!” Lucian tertawa keras. Sontak tak bisa menguasai dirinya sendiri. “HAHAHAHAHAHAH—Lin, astaga, ya Tuhan—HAHAHAH!”
Aria dan Maxi yang tadinya menganga karena nggak habis pikir—kalau Selin bakal ngomong gitu ke Om Juan—pun, jadi ikutan tertawa karena ketularan Lucian. Tawanya Lucian itu sungguh menular. Akibatnya, Aria dan Maxi jadi ikutan menertawai Selin.
“EH! Kalian ini apaan, sih, kok malah ketawa coba?!! BANTUIN NGAPA! Makanya kan aku bawa Lucian ke sini, mau nanya kenapa ayahnya malah mandi disituuuuu!!! Kan Om Juan punya kamar mandi sendiri…!” Selin hampir nangis. Frustrasi banget, sumpah. Mana diketawain lagi.
Lucian yang masih mencoba untuk menghentikan tawa kerasnya itu pun akhirnya mulai mengelus dadanya dan mengatur napas. Ia pun mulai berusaha untuk berbicara dengan normal. “Sebenarnya Ayah nggak pernah mandi di situ, sih,” jawab Lucian. Dia masih menahan tawanya. “tapi mungkin dia ngedengar kayak ada aktivitas di kamar itu, makanya dia ke sana. Kamar itu, kan, sebelahan sama kamarnya.”
“Lah, tapi kamar Om Juan kan besar banget, Lu, masa iya kedengaran?” tanya Maxi heran. Aria pun mengangguk menyetujui.
“Hm…” Lucian menaruh jemarinya di dagu, terlihat berpikir. “Iya, sih. Selain besar, kamarnya juga kedap suara. Mungkin dia sudah dengar ada yang mandi di kamar sebelah sebelum dia masuk ke kamarnya. Dalam artian, dia ngedengar suara itu saat dia baru pulang dan baru mau masuk ke kamarnya. Kan sudah kubilang, di rumah kami jarang ada tamu. Jadi, mungkin dia mau tau siapa yang mandi di kamar tamu itu.”
“Ya kalau memang penasaran, kan, bisa langsung masuk aja pada saat itu. Kenapa harus pas sudah ganti baju dan cuma memakai boxer?” tanya Maxi. Aria dan Lucian spontan tertawa terbahak-bahak.
“Gini aja, kemungkinan dia udah nungguin dan Selin belum kunjung keluar. Kami semua merasa, kok, kalau Selin dan Maxi mandinya lama,” ujar Lucian. “Bisa jadi dia udah nunggu sebentar dan Selin belum kunjung selesai. Jadi, dia pun masuk ke dalam kamarnya dulu, naruh barang-barang yang dia bawa, dan membuka bajunya. Dari situ kayaknya dia mulai berencana untuk mandi di sebelah aja, sekalian mau liat siapa yang mandi di sana.”
“Kamu mulai mengarang indah, Sayang,” ucap Aria yang sontak dihadiahi tawa kencang oleh Lucian. Maxi pun jadi ikut-ikutan tertawa.
“Lho, tapi itu adalah logika yang paling masuk akal, untuk ukuran Ayahku,” jawab Lucian. “Hanya itu yang bisa kupikirkan, sebagai seorang anak yang udah tinggal sama dia sejak kecil.”
Mendengar itu, ketiga perempuan yang ada di situ hanya bisa manggut-manggut.
“Jadi, kalian sempat kenalan tadi?” tanya Lucian pada Selin. Mereka bertiga pun kini kembali menatap ke arah Selin.
“Iya. Ngobrol-ngobrol sebentar, soalnya dia nanya aku ini temannya Lucian atau bukan dan nanya-nanya soal kenapa kita semua nginap di sini. Terus aku juga bilang bahwa yang kita tau, dia pulangnya besok. Kita nggak tau kalau dia pulang hari ini,” jawab Selin dengan nada yang sudah pasrah.
“Terus Om Juan jawab gimana?” tanya Aria.
“Ya…katanya dia pulang lebih cepat karena meeting dan kunjungannya selesai lebih cepat daripada apa yang udah direncanakan. Jadi, dia langsung pulang,” jelas Selin.
Mulut Maxi dan Aria pun membulat membentuk ‘O’ tatkala telah mendengarkan seluruh penjelasan dari Selin. Jujur, itu telah menjawab pertanyaan di benak mereka semua sejak makan malam tadi.
“Tapi jujur, aku nggak nyangka kamu bakalan nyuruh Ayahku untuk tutup mata,” ujar Lucian tiba-tiba. “Ayah jadi diperlakukan dengan imut-imut begitu. Astaga, ya Tuhan, HAHAHAH!”
Aria dan Maxi tertawa lagi. Mendengar itu, Selin pun jadi ikutan tertawa. Iya juga, ya, dia baru sadar. Bisa-bisanya dia menyuruh Om Juan melakukan hal seimut itu…dan bisa-bisanya Om Juan setuju!
“Aduh, Lin, ada-ada aja,” ujar Maxi seraya menggeleng geli. “Bisa-bisanya ada insiden kayak gini. Haha! Mana setengah telanjang lagi!”
Saat Maxi mengatakan kalimat terakhirnya barusan, spontan Selin memukuli punggung gadis itu berkali-kali dengan kencang seraya berteriak dongkol, “Diam nggak?!”, tetapi Maxi dan teman-temannya yang lain malah tetap lanjut menertawai Selin dengan kencang.
Hal yang tidak mereka ketahui adalah, Dylan juga mendengar semua percakapan itu sejak tadi. Pemuda itu berdiri di luar, menyembunyikan dirinya di samping pintu.
Sejak awal hingga akhir, dahi Dylan berkerut. Ia mendengarkan semua cerita Selin seraya berpikir keras. Meski cerita Selin terdengar begitu lucu, konyol, dan menarik, entah mengapa Dylan merasa sedikit gelisah. Seolah akan ada hal yang terjadi, yang pastinya…
…tidak begitu Dylan senangi.
14Please respect copyright.PENANAHU7fR1bjGO
******
14Please respect copyright.PENANAcB50h2FZGF
Keesokan paginya, mereka semua sarapan di meja makan yang sama. Jika semalam Om Juan mengenakan pakaian kasual, maka pagi ini Om Juan terlihat…seratus persen menggoda, dalam artian yang berbeda dari semalam.
Sama-sama seratus persen menggoda, tapi kali ini lebih ke arah...formal. Dia mengenakan suit berwarna hitam dengan garis-garis berwarna putih. Kemejanya berwarna putih dan dia mengenakan dasi yang senada dengan jasnya. Rambutnya tertata rapi; ia terlihat begitu fresh. Begitu produktif. Tubuh tegapnya begitu mendukung pakaian yang sedang ia kenakan. Justru bukan pakaian itu yang membuat tubuhnya terlihat bagus; tubuhnyalah yang membuat pakaian itu terlihat perfect. Dia memiliki aura kepemimpinan yang sangat kuat. His manly smell, his styled hair that shows off his forehead, his aura of leadership, his sharp jawline, his smile, his nice-sculpted body and face, his ‘rich’ aura…
Man, this billionaire is perfect. He has it all.
Tidak banyak yang bisa mereka bicarakan pagi itu sambil sarapan, soalnya mereka semua mau pergi kuliah dan Om Juan juga akan pergi bekerja. Mereka hanya mengobrol sebentar, melakukan percakapan santai, hingga kemudian Om Juan pamit untuk keluar terlebih dahulu. Dia mau berangkat ke kantornya sebab ada meeting yang akan dia pimpin pagi ini.
Sepeninggal Om Juan, Selin dan teman-temannya kembali makan. Mereka semua menikmati hidangan sarapan yang tersedia di depan mereka dengan senang dan penuh rasa syukur. Kapan lagi bisa makan senikmat dan semewah ini di rumah orang kaya?
Namun, tak lama kemudian, ada seorang pria paruh baya yang rambutnya nyaris putih semua tampak berjalan masuk ke dalam ruang makan. Aria, Maxi, Selin, dan Dylan pun refleks melihat ke arah pria itu yang langkahnya terlihat agak tergesa tatkala menghampiri Lucian.
Kini, mereka semua sudah tahu bahwa pria itu adalah Head Butler Diego.
Lucian pun menatap Diego dengan santai dan menaikkan kedua alisnya. “Ada apa, Diego?”
“Tuan memanggil Anda, Tuan Muda,” ujar Diego dengan sopan. “Beliau menunggu Anda di depan mansion.”
Lucian sedikit melebarkan matanya, lalu menjawab, “Oh, oke.”
Menatap ke arah empat temannya—bukan empat, sih, soalnya yang satunya itu pacar—Lucian pun berdiri dan pamit. “Eh, aku ke sana dulu, ya. Ayahku manggil.”
“Oke,” sahut Dylan dan Maxi. Maxi mengacungkan jempolnya.
Selin hanya mengangguk, sementara Aria mulai tersenyum pada Lucian dan berpesan, “Hati-hati, ya, Sayang.”
Lucian pun mengedipkan sebelah matanya pada Aria. Dia lalu menjawab, “Oke, Sayangku.” dan langsung berjalan keluar dari ruang makan itu dengan diikuti oleh Diego.
Lucian berlari kecil menuju ke pintu utama mansion, lalu ketika berhasil keluar dari pintu yang sangat besar tersebut, Lucian pun lanjut berlari lagi hingga akhirnya dia mulai menuruni anak-anak tangga berwarna putih yang membentang luas di depan rumahnya. Tangga itu memberikan jalan untuk turun ke area aspal yang ada di tengah-tengah pekarangan mansion; aspal itu membelah pekarangan mansion tersebut yang super luas.
Tatkala menuruni tangga, Lucian sudah bisa melihat ayahnya yang berdiri di samping mobil. Mobil itu terparkir secara horizontal dari sisi Lucian. Ayahnya berdiri di samping pintu penumpang yang baru saja dibukakan oleh salah satu bodyguard.
Mendengar suara langkah kaki Lucian yang menuruni tangga, Juan pun menoleh ke arah Lucian dan memperhatikan anaknya itu. Lucian terus berlari kecil hingga akhirnya dia sampai di anak tangga terakhir. Dia sudah berdiri sekitar empat langkah di depan ayahnya.
“Yes, Dad?” buka Lucian; ia langsung menjawab ‘panggilan’ dari ayahnya itu.
Juan pun menatap Lucian dengan saksama, sampai akhirnya pria itu tersenyum tipis dan sedikit memiringkan kepalanya. “Lu, can you give me your friends’ number?”
Mata Lucian sontak melebar. Kini gantian Lucian yang memiringkan kepalanya bingung. Ia lalu bertanya, “Untuk apa, Dad?”
Juan masih tersenyum. Dia menegakkan posturnya dan bernapas samar. Setelah itu, suaranya kembali terdengar. “This is my first time knowing them face to face. Now that I think about it, I need to know their numbers so that I can ask them about you, in case something happens.”
“Oh,” ucap Lucian, dia mulai mengerti maksud ayahnya. Dia pun mengangguk. “Oke, Dad.”
“Hmm,” deham Juan. Dia pun mulai berencana untuk berbalik dan masuk ke dalam mobil tatkala tiba-tiba, Lucian memanggilnya kembali. Langkahnya pun terhenti.
“Dad, sebenarnya semalam ada apa sama Selin?” Seraya menanyakan hal itu, Lucian mulai tertawa. “Gimana, sih, ceritanya?”
Mendengar itu, Juan jadi tersenyum lagi. Dia agak tertunduk tatkala secara refleks, senyumannya berubah jadi kekehan pelan. “Ah, soal itu. Selinnya ada cerita?”
“Iya, Dad, dia panik banget, sampai marah-marah ke aku semalam,” jelas Lucian seraya tergelak. Dia betul-betul menggeleng geli. “Sebenarnya Ayah kenapa, sih, mandi di situ? Terus kenapa nggak langsung masuk ke kamar mandi pas Selin udah lari?”
“Oh…” Juan kembali terkekeh pelan—sungguh renyah—dan mulai berbicara, “Pas baru pulang dan mau buka pintu kamar, Ayah dengar suara shower dari dalam kamar itu. Lampu kamarnya juga hidup. Ayah tunggu sebentar, tapi orang yang ada di dalamnya nggak kunjung keluar. Jadi, Ayah masuk dulu ke dalam kamar dan naruh barang-barang bawaan dari China. Biar tau siapa yang mandi di situ, Ayah jadi berencana untuk mandi di sana.”
Jackpot! Dugaan Lucian benar.
“Pas Selin keluar dari kamar mandi, dia langsung kaget ngelihat Ayah dan langsung lari keluar dari kamar. Tapi Ayah lihat bajunya masih ketinggalan di atas ranjang. Ayah mau ngasih tau dia, tapi tiba-tiba ada chat penting dari kantor yang ada di China. Jadi, Ayah duduk dulu di kamar itu dan terkait baju Selin, Ayah menduga dia pasti akan kembali lagi buat ngambil baju itu. Kalau dia balik lagi, Ayah bisa sekalian nanya-nanya sama dia. Jadi, Ayah bisa membalas chat dari kantor sekaligus bertanya dan mengobrol langsung dengan Selin.”
Lucian pun mengangguk-angguk, mulutnya membulat membentuk ‘O’. “Ooooh… Jadi gitu, ya. Ya ampun, Dad, Selin panik banget itu, dari semalam!!” Lucian tertawa terbahak-bahak. “Dia malu banget katanya. Diliat dari reaksinya, kayaknya dia mau mengubur dirinya sendiri hidup-hidup semalam. Hahaha!”
Ayah Lucian, Juan, spontan tertawa renyah. “Ada-ada aja. Padahal dia nggak perlu malu kok. Kan sebagiannya salah Ayah juga. Terlalu waswas, soalnya rumah kita jarang ada tamu. Pelayan-pelayan juga nggak pernah pakai kamar tamu.”
Lucian pun mengangguk, membenarkan perkataan ayahnya. “Iya, bener banget. Tapi serius, aku ngakak banget waktu dia cerita kalau dia minta Ayah nutup mata supaya dia bisa lewat ngambil bajunya! Tolongggglah, astagaa! Yang bener aja?! HAHAHAH!”
Juan terkekeh geli. Jujur, dia pun sedikit terkejut pada saat itu.
“Lu, you should invite your friends over more often, because I’m not staying at home every day,” saran Juan. Dia tersenyum ke arah anaknya, kemudian melanjutkan, “I’m starting to worry because you always hanging out only with Aria; I thought you’re no longer have a friend.”
Lucian tertawa keras. Bisa-bisanya dia dikira nggak punya teman lagi. “Iya, Dad, iya. Aku bakal lebih sering mengundang mereka ke sini.”
Juan pun mengangguk dan tersenyum tipis. Setelah percakapan itu, Lucian mulai bergerak; pemuda itu berencana untuk berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum tubuhnya benar-benar membelakangi ayahnya, dia tiba-tiba bersuara lagi.
“Dad,” panggilnya—ya, dia kadang memanggil Juan dengan sebutan 'Dad' dan kadang dengan sebutan 'Ayah'—dan panggilan itu membuat Juan menoleh ke arah anaknya lagi seraya menyahut, “Hmm?”
Tiba-tiba, tidak ada angin dan tidak ada hujan, Lucian pun melanjutkan:
14Please respect copyright.PENANAo17wWMOVdA
“Selin itu single.”
14Please respect copyright.PENANAqjZlN8GPzt
Setelah mengatakan itu, dengan laknatnya Lucian mulai tersenyum miring pada ayahnya dan mengedipkan sebelah matanya. []
14Please respect copyright.PENANAjHgoIgChpm
14Please respect copyright.PENANAJirVwEcRej
14Please respect copyright.PENANAR1Nw4IVKkb
14Please respect copyright.PENANAxLKivsSIp8
14Please respect copyright.PENANAtstILfWMe9
14Please respect copyright.PENANArNoUJTCgxc
14Please respect copyright.PENANA2bE3fEOGOk