
Perkenalkan, namaku Fajri. Aku berusia 28 tahun, dengan tubuh berkulit sawo matang, tinggi sekitar 170 cm, dan badan yang agak gemuk. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang proyek. Di usia seperti ini, seharusnya aku sudah menikah, namun karena kesibukan yang menyita setiap hariku, soal pernikahan tak pernah terpikirkan. Kejadian ini terjadi dua tahun yang lalu, saat aku ditugaskan ke kota Surabaya. Di sana, perusahaan menyediakan rumah kontrakan khusus bagi para pegawai. Untukku, diberikan sebuah rumah sendiri karena aku lebih banyak berada di lapangan daripada di kantor. Akibatnya, aku jarang bertemu dengan rekan-rekan kerja di kantor—hanya ada enam orang yang standby di sana, termasuk atasan. Di antara mereka, terdapat tiga wanita dan tiga pria. Para wanita umumnya tinggal dekat dengan area kantor, sedangkan pria-pria adalah perantau yang disediakan mes untuk mereka. Suatu hari, sebuah berkas yang awalnya aku suruh untuk dikirim ke rumah justru nyasar ke kantor karena keengganan untuk menempuh jarak yang lumayan jauh. Meskipun kantor telah disediakan ruang khusus untukku, aku pun jarang datang ke sana. Saat itulah aku menghubungi Jihan, sekretaris di kantor, untuk menanyakan keberadaan berkas itu.
Fajri: "Han, ada berkas masuk atas nama saya di kantor?"
Jihan: "Iya, Pak. Sudah saya taruh di ruangan Bapak."
Fajri: "Oh begitu, bisa diantar ke rumah nggak, Han?"
Jihan: "Maaf, Pak. Saya lagi tidak ada di kantor. Saya izin kemarin bersama Pak Hanif karena Ibu saya tiba-tiba sakit, Pak."
Fajri: "Oh, begitu ya. Siapa yang masih ada di kantor sekarang?"
Jihan: "Hanya Bu Jizah, Pak. Yang lainnya ikut Pak Hanif rapat ke Jakarta."
Fajri: "Oke, Han. Terima kasih ya. Semoga Ibu cepat sembuh."
Jihan: "Iya, Pak. Sama-sama. Terima kasih atas doanya."
Aku menutup telepon dengan napas panjang, dan dalam hati aku bersiap menceritakan kisah-kisah yang pernah kurasakan selama bekerja di Surabaya. Mungkin nanti, aku akan berbagi cerita dari kota lain, namun kali ini fokusku tertuju pada pengalaman bersama Bu Jizah. Untuk informasi, Bu Jizah adalah office manager di kantor. Dia berusia 33 tahun dengan perawakan yang kecil; tinggi perkira 160 cm, badannya mungil, dan kulitnya putih bersih. Dia telah menikah dan memiliki seorang anak berusia satu tahun. Selalu tampil syar'i di kantor, Bu Jizah tak pernah mengenakan cadar. Sifatnya yang pendiam membuatnya jarang terlibat dalam interaksi dengan rekan-rekan kerja, termasuk aku. Biasanya, ia hanya terlibat jika ada urusan kantor yang berkaitan langsung dengannya. Namun, pada hari itu, segalanya berubah drastis. Pandanganku terhadap Bu Jizah bertransformasi 180 derajat, menandakan awal dari rangkaian peristiwa yang akan mengubah segalanya.
Singkat cerita, aku mendorong motorku dengan tegas dan melaju keluar dari lokasi proyek menuju kantor, meski jarak yang ku keluhkan bukanlah masalah. Hanya kemacetan yang membuatku enggan, terutama karena aku tahu tak mungkin meminta bantuan Bu Jizah untuk mengirim berkas—ia selalu diantar pulang oleh suaminya. Setibanya di kantor, aku mendapati pintu yang terbuka setengah, sesuai dengan kabar dari Jihan bahwa seluruh rekan kerja sudah bersama Pak Hanif kecuali Bu Jizah. Aku segera masuk dan berniat mengambil berkas, lalu pulang ke rumah agar tidak bertemu dengan Bu Jizah dan menimbulkan kecanggungan. Tanpa membuang waktu, aku naik ke tangga menuju ruanganku di lantai dua dari ruko yang dikontrak perusahaan. Saat melangkah, aku menangkap secercah cahaya yang memancar dari lubang kecil di tangga, berasal dari WC kantor yang terletak tepat di bawahnya. Rasa penasaran mendorongku untuk mendekat dan mengintip melalui lubang tersebut. Dengan cepat, aku mengeluarkan HP dan menempelkan lensa ke celah itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok wanita yang selama ini kukenal sebagai sosok yang pendiam dan selalu menjaga jarak. Di dalam kamar mandi, dengan berani ia membuka pakaian sampai telanjang, hanya menyisakan jilbab sebagai sisa sisa kesopanan. Dalam posisi jongkok, dengan gerakan yang eksplisit dan tanpa ragu, ia memamerkan aksi masturbasinya—terlihat jelas ia dengan leluasa menggerakkan "terong" di dalam memeknya sambil meremas payudara bagian kiri. Aku terpaku menyaksikan sisi lain dari Bu Jizah yang benar-benar tak pernah kuduga. Aku segera beralih ke mode video dan merekam setiap detil selama kurang lebih dua menit. Aktivitasnya yang vulgar dan terbuka itu entah bagaimana membuatku semakin terhubung dengan pemandangan yang mengejutkan itu. Setelah beberapa saat, aku pun merasa sudah cukup dan memutuskan untuk menghentikan rekaman, lalu buru-buru kembali ke ruanganku. Dalam perjalanan, berbagai pikiran berputar dalam benakku. Bagaimana mungkin wanita yang selama ini terlihat alim dan tertutup bisa berubah drastis seperti itu? Aku bertanya-tanya apa yang kurang dalam hubungannya dengan suami, sambil meracik ide jahat yang kemudian menjadi awal dari mimpi buruk Bu Jizah—sebuah skenario di mana ia akan terjebak dalam situasi yang melampaui batas kewajaran. Tak lama setelah aku tiba di ruanganku dan melakukan persiapan lebih lanjut, terdengar suara pintu WC terbuka dengan keras. Itu tandanya, Bu Jizah telah menyelesaikan aktivitas intimnya. Aku menunggu sejenak hingga semuanya tampak matang, lalu aku mengirim pesan melalui chat.
Fajri: "Assalamu'alaikum Bu, Ibu di kantor ya?"
Jizah: "Iya Pak, Bapak mau ke kantor?"
Mungkin karena suara keran yang keras, Bu Jizah tak menyadari bahwa aku sudah berada di kantor sejak 10 menit yang lalu. Aku menegaskan,
Fajri: "Saya sudah di kantor, Bu."
Jizah: "Maaf Pak, tadi saya kena sakit perut. Mungkin pas saya di WC, Bapak masuk ya? 🙏"
Dalam hati, aku terbahak kecil; sungguh lucu, ukhti satu ini, setelah saja tergeletak dalam aktivitas masturbasi, masih berani mengelak. Aku terus menggoda,
Fajri: "Sakit perut atau sakit yang lain, Bu?"
Jizah: "Maksud Bapak gimana ya?"
Tak lagi kusia-siakan kesempatan, aku langsung mengirimkan video rekaman yang kudapat tadi. Aku menunggu beberapa saat dalam keheningan, sementara Bu Jizah lama membalas pesan. Ketika akhirnya pesan masuk darinya, aku tahu bahwa permainan kekuasaan dan kehinaan baru saja dimulai—sebuah babak baru yang penuh dengan eksploitasi vulgar dan keji, di mana segala batasan moral dan kewajaran perlahan akan hilang.
Jizah membentak dengan suara serak penuh amarah, "KAMU HAPUS VIDEO ITU, ATAU SAYA LAPORKAN KE POLISI!!!" Teriakan itu menggema, memecah keheningan ruangan, sementara aku hanya menyambutnya dengan senyum sinis. Dalam relung hati, aku merasa bangga—ukhti yang selama ini kukira patuh kini menunjukkan keberanian yang sia-sia.
Aku segera membalas, "Silakan, Bu. Kalau Ibu bersikeras, saya rela menghadapi penjara. Tapi ingat, jika video ini tersebar, reputasi Ibu akan hancur total. Bayangkan, suami Ibu bisa langsung menceraikan Ibu, apalagi anak Ibu yang masih kecil. Semua itu terserah keputusan Ibu sekarang."
Aku terheran-heran dengan sikap Bu Jizah yang tak menyadari posisi sebenarnya. Sementara itu, pikiranku terus memutar strategi baru, berbalut ancaman yang lebih mengerikan. Aku yakin penjara bukanlah masalah besar bagiku—selama satu tahun, aku bisa bebas lagi. Apalagi, kedekatan dengan petinggi di daerah ini memberi aku kekuatan yang tak bisa dianggap remeh.
Tak lama kemudian, Bu Jizah menggerutu, "Apa sebenarnya yang kamu inginkan sekarang? Kalau soal uang, saya bisa transfer detik ini juga!" Di sana, aku merasa sinis. "Uang? Uang memang mudah didapat, Bu. Saya tak mau berdebat lewat chat. Kalau Ibu bersedia, datanglah ke ruanganku, kita selesaikan ini di sini."
Aku mengakhiri chat dengan santai. Dengan gerakan yang sudah kususun dari tadi, aku merogoh tas, mengambil sebungkus rokok, lalu menyalakannya satu batang. Sambil menikmati hisapan asap itu, aku mendengar suara langkah kaki di tangga yang samar. Tertawa kecil, aku menyadari bahwa rencana tahap pertama telah berjalan sesuai rencana. Tanpa permisi, Bu Jizah tiba-tiba memasuki ruanganku.
Aku menyambutnya dengan nada mengejek, "Eh, Bu Jizah, kenapa Ibu tidak menyapa? Terus, kenapa mata Ibu tampak bengkak, penuh air mata?" Aku memandang jelas wajahnya—mata yang sembab dan berkaca-kaca menyiratkan bahwa ia telah berpikir matang untuk mendekat. Namun, nafsu liar dalam diriku mengalahkan nurani, dan aku bertekad menjalankan rencanaku tanpa mundur.
Tak lama kemudian, Bu Jizah membentak lagi, "Diam kamu!!!! Jadi, apa sebenarnya yang kamu inginkan?!" Sambil menunjuk tajam ke wajahku, ia mencoba menegaskan kekuasaannya. Aku hanya tersenyum sinis, lalu membuka laci mejaku dan mengeluarkan selembar kertas yang sudah kusiapkan sejak tadi.
"Mudah saja, Bu," kataku dengan nada dingin, "di kertas ini tertulis semua permintaan saya. Tanda tangan saja jika Ibu setuju, dan saya akan langsung menghapus video yang mengancam itu." Dalam sekejap, aku merebut kertas yang tergeletak di atas meja. Aku melihat mata Bu Jizah melebar saat ia membaca isi dokumen tersebut. Ternyata, kertas itu adalah rencana terakhirku, dengan tulisan yang tak bisa diabaikan:
Dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan, saya, selaku pihak kedua, menyetujui semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak pertama.
Nama : Jizah Fadilah (sebagai pihak ke-2)
Umur : 38 Tahun
Alamat : Jl. Hj. Satu – Satunya
Pekerjaan : Office Manager
Teks itu, dengan segala eksplisit dan kekejamannya, menutup babak awal dalam permainan kekuasaan kami. Di sana, di tengah ruangan yang penuh ketegangan dan ancaman, sebuah perjanjian kotor telah terbentuk—sebuah titik balik di mana Bu Jizah, yang selama ini dikenal sebagai wanita yang tertutup dan patuh, kini terjebak dalam jerat kehinaan yang kuatur dengan tangan dingin dan kejam.
Aku memulai dengan sebuah pernyataan tertulis yang menegaskan bahwa aku, Fajri Irman, bersedia menuntut kepatuhan mutlak dari pihak kedua. Dengan penuh perhitungan dan tanpa paksaan, aku menuliskan:
Dengan ini menyatakan akan patuh dan tunduk terhadap seluruh ketentuan yang telah ditetapkan oleh pihak pertama.
Nama : Fajri Irman (disebut sebagai pihak ke-1)
Umur : 28 Tahun.
Alamat : Jl. Hj. Dua – Duanya.
Pekerjaan : Site Supervisor.
Di bawah ini, tercantum poin-poin mutlak yang wajib dipatuhi oleh pihak kedua tanpa ruang untuk penolakan:
° Pihak kedua wajib patuh terhadap setiap perintah dari pihak pertama, tanpa kecuali.
° Pihak kedua harus menjadi budak pihak pertama selama surat ini belum resmi dicabut.
Dengan ini, saya sebagai pihak kedua menyatakan setuju dengan semua poin di atas. Apabila saya melanggar, saya bersedia membayar denda sebesar 1,5 M, dan perjanjian ini bersifat final serta saya siap diadili atas tuduhan penipuan.
Hormat saya,
Jizah Fadilah Fajri Irman
1336Please respect copyright.PENANAfyuCWUKqzC
(Pihak ke-2) (Pihak ke-1)
Setelah memastikan bahwa setiap detail tertuang dalam kertas tersebut, aku memandang ke arah Bu Jizah dengan tatapan tajam. Dengan nada yang dingin dan penuh kendali, aku bertanya, "Gimana, Bu? Apa Ibu setuju dengan perjanjian ini? Kalau setuju, silakan tanda tangan. Pikirkanlah dengan matang apa yang akan terjadi jika Ibu menolak."
Bu Jizah terdiam sejenak, hanya terpaku dengan pandangan kosong. Aku tahu betul bahwa di balik sikapnya yang biasanya pendiam, ada kecemasan yang semakin membuncah. Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, ia akhirnya menggerutu dengan suara yang lemah, "Apa tidak ada cara lain selain ini?" Nada itu mencerminkan penyerahan dirinya, seolah semua kekuatan telah hilang.
Tanpa ragu, aku melanjutkan dengan nada yang tak menunjukkan ampun, "Tidak ada, Bu. Sesuai isi surat, denda yang harus dibayar adalah 1,5 M. Waktu saya sangat terbatas, jadi saya tidak punya ruang untuk negosiasi."
Tak lama kemudian, Bu Jizah mencoba menggoda dengan harapan agar persyaratan dapat dikurangi, "Apa tidak bisa dikurangi? Nanti saya akan cicil, tapi saya butuh waktu."
Aku tertawa sinis, dengan suara yang penuh ejekan, "Hahahaha… Masih mau nego terus, ya? Kalau tidak mau, ya sudah." Sambil berpura-pura mengutak-atik HP, aku melirik ke arah Bu Jizah, menyaksikan bagaimana matanya yang mulai sayu dan lesu meneteskan air mata dari sudutnya—tanda jelas bahwa penyesalan sudah mulai menyusup ke dalam hatinya atas perbuatan yang telah terjadi.
Dalam ruangan yang penuh dengan ketegangan dan kekuasaan, aku merasakan kemenangan yang pahit. Aku tahu bahwa dengan setiap kata dan setiap ancaman, aku semakin mengikat nasibnya ke dalam jaring kehinaan yang telah kuciptakan. Pemandangan itu, meski eksplisit dan vulgar, adalah saksi bisu dari dominasi yang tak terelakkan—di mana Bu Jizah kini terjebak dalam perjanjian kotor yang kupaksakan tanpa ampun.
Dengan suara yang parau dan terbata, Jizah akhirnya mengucapkan, “Baaaaaik… lah paaaaak… saya akan tanda tangan ini.” Suara itu bagai hembusan angin segar di tengah teriknya siang, meski di baliknya terselubung kepasrahan dan keputusasaan yang mendalam.
Fajri tertawa sinis sambil bangkit dari kursinya. Dia dengan gesit mengambil tripod yang telah dipersiapkannya dan menyusunnya tepat di depan meja, memastikan kamera mengarah langsung ke wajah Jizah. “Hahaha… kalau dari awal memang begini, rasanya lebih asyik,” ujarnya dengan nada mengejek. “Saya tak mau Ibu tampak seperti terpaksa dalam rekaman ini.”
Jizah mencoba mempertahankan suara lemah namun masih terdengar jelas: “Kenapa harus direkam semua, padahal saya sudah setuju tadi…” Fajri memotongnya dengan ketus, “Tanpa rekaman itu, surat perjanjian kita tak akan kuat. Kita tak punya banyak waktu untuk berdebat, Bu. Silakan ke WC, bersihkan muka Ibu—pastikan tampil biasa saja saat direkam.”
Dalam langkah yang penuh keraguan dan terpaksa, Jizah berjalan ke arah WC di pojok ruangan. Di dalam hati Fajri, kegembiraan menguasai; semua rencananya berjalan sesuai skema. Dia merasa sudah sepenuhnya mengendalikan situasi—bahwa Jizah kini berada dalam genggamannya, siap untuk dipermainkan sesuka hati. Beberapa menit kemudian, Jizah kembali dari kamar mandi. Wajahnya kembali tersusun seolah-olah tak terjadi apa-apa, namun kerutan kelelahan dan kepasrahan masih terlukis jelas. Fajri mengisyaratkan agar Jizah duduk di meja, tepat di belakang tripod yang telah disusun dengan cermat.
“Baik, Bu. Siap?” perintah Fajri sambil memberikan instruksi dengan ketegasan yang tak terbantahkan. “Kita akan mulai. Pada hitungan tiga, Ibu tanda tangani kertas itu dengan ekspresi normal, menghadap ke kamera,” jelasnya, sambil memastikan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan agar pengambilan rekaman tak perlu diulang.
Jizah hanya mampu menjawab, “Baik Pak,” dengan suara yang masih terdengar ragu.
Fajri kemudian mengarahkan, “Oke, standby… satu… dua… tiga… Lakukan, Bu!” Tanpa ada keraguan yang tampak, Jizah menandatangani kertas itu dalam satu pengambilan. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi terpaksa; seolah-olah penyerahan diri ini sudah menjadi rutinitas yang ia tak berdaya hadapi. Fajri memeriksa tanda tangan tersebut, memastikan materai tertekan sempurna. Di matanya, itu adalah bukti mutlak: Jizah kini resmi menjadi budak—miliknya hari ini dan untuk selamanya.
“Baiklah, Bu. Karena Ibu telah menandatangani berkas ini, silakan Ibu atur HP saya. Video Ibu sudah tersimpan di galeri—hapus sendiri saja,” ujar Fajri sambil menyodorkan ponselnya dengan senyum penuh kepuasan. Video itu, yang merekam momen intim saat Jizah melakukan masturbasi, sengaja ia biarkan seolah-olah hanya ada di HP, padahal sebenarnya sudah diamankan di FD pribadinya.
Jizah, dengan tangan yang masih gemetar karena ketakutan dan malu, mulai mengutak-atik HP tersebut. Setelah beberapa saat, ia mengembalikan ponsel itu dengan suara pelan, “Baik Pak, saya rasa sudah cukup.”
Kemudian, Fajri menyambung dengan nada yang lebih keras dan penuh otoritas, “Untuk perintah pertama, Ibu jawab dengan jujur apa yang akan saya tanyakan. Jangan pernah berbohong, karena Ibu tahu apa yang akan terjadi jika berani menentang saya.”
Dengan nada lemah, Jizah menjawab, “Baik Pak.” Suaranya kini menunjukkan penundukan total, ia tahu betul konsekuensi yang akan menimpanya jika mencoba melawan.
Fajri menatap tajam dan bertanya, “Jadi, apa alasan Ibu melakukan masturbasi tadi di kantor?” Hening sejenak menyelimuti ruangan sebelum Jizah, dengan nada yang serak dan penuh keputusasaan, akhirnya berkata, “Jadi, Pak, setelah melahirkan, saya jarang sekali mendapatkan sentuhan atau perhatian dari suami saya. Hari ini, karena kantor sepi, saya terangsang habis saat menonton film porno, dan rasa kesepiannya membuat saya begitu terpicu. Saya tahu ruangan ini diawasi oleh CCTV, jadi saya memilih WC agar tidak terlalu mencolok.”
Jawaban itu, meski datang dengan kejujuran yang membuat Fajri terkejut, justru semakin menguatkan posisinya. Di balik kekejaman dan dominasi yang telah ia lakukan, Fajri merasa semakin yakin bahwa ia benar-benar memiliki kendali penuh atas Jizah. Di matanya, kejatuhan dan penundukan Jizah hanyalah pertanda bahwa ia telah mencapai tujuannya—memastikan bahwa ia dapat terus memainkan dan menggunakan Jizah sesuai dengan keinginannya, tanpa ada yang berani menentang. Setiap kata, setiap tindakan yang terjadi di ruangan itu, tertuang dalam rekaman yang menjadi saksi bisu atas dominasi dan kekuasaan yang tak terbantahkan. Bagi Fajri, momen itu adalah puncak kemenangan; sementara bagi Jizah, ia hanyalah seorang pion yang tak berdaya, terjebak dalam situasi yang tak pernah ia impikan namun harus ia jalani.
Fajri: (Menepuk tangan perlahan, suaranya menggema di ruangan pengap berlapis karpet merah) "Ibu paham betul perintahku dan makna surat ini. Tapi kita belum selesai." (Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja kayu usang di antara mereka) "Apa benar suamimu menolak ranjang hanya karena bekas pisau bedah? Atau..." (Bibirnya menyungging sinis) "...ada lubang lain yang lebih menggoda di luar?"
Jizah: (Keringat dingin menggelincir di pelipisnya. Tangan menggenggam erat ujung gamis katun longgar yang menutupi tubuh gemulai) "Dia... dia bilang tak tahan melihat kulitku tercabik-cabik, Pak. Sejak operasi Caesar bulan lalu, setiap mau dekat-dekat..." (Suaranya tercekat, mata menghindari tatapan lelaki di seberang)
Fajri: (Mendecak kesal, bangkit dari kursi hingga bayangannya menutupi wajah Jizah) "Dasar munafik! Lelaki sejati takkan lari dari medali perang seorang ibu." (Kakinya melangkah mendekat, aroma musk parfumnya menusuk hidung) "Tunjukkan. Sekarang."
Jizah: (Tubuhnya menegang bagai patung. Nafas tersengal ketika bayangan Fajri menyelimuti seluruh tubuhnya) "B...buka baju? Tapi Pak—"
Fajri: (Menggebrak meja hingga gelas bergetar. Suara rendahnya mengiris) "Surat itu jelas menyebut ketaatan mutlak. Atau Ibu ingin kukirim fotokopi khusus untuk tetangga sebelah?" (Telapak tangan kasar menyentuh pundak Jizah, jempol menggosok tulang selangkangan melalui kain tipis)
Jizah: (Menggigit bibir hingga berdarah. Jari-jari gemetar meraih hem gamis, mengangkatnya centimeter demi centimeter. Kaki ramping terbuka perlahan, membeberkan jejak jahitan berwarna merah muda di atas pubis. Celana shot hitam ketat memperjelas lekuk labia yang basah oleh keringat takut)
Fajri: (Mendesis puas. Jari telunjuknya menyusur garis luka yang masih sembab) "Dia gila menolak ini." (Kuku tajam mencakar perut bawah, membuat Jizah terkesiap) "Kulihat... (suara menjadi parau) ...bagian lain yang lebih menggoda." (Ibu jari menekan kuat area klitoris yang membengkak di balik kain. Jizah menjerit kecil)
Fajri: (Tiba-tiba menarik tangan, tertawa getir) "Turunkan. Dan kunci pintu. Kencang." (Sambil membuka kancing jeans, kontol sepanjang pisau daging yang sudah menggembung keluar. Urat-urat berdenyut liar di batang kemaluan yang mengkilat oleh cairan pre-ejakulasi)
Jizah: (Tersedak. Lutut lemas menahan beban tubuh. Matanya terpaku pada monster berdaging yang mengarah ke wajahnya. Bau amis sperma memenuhi rongga hidung) "P-Pak... anak saya—"
Fajri: (Mencekik leher Jizah, memaksanya berlutut) "Surat ini memberiku hak atas semua lubangmu. Mulai dari yang di perut..." (Kontolnya menampar pipa nasolabial Jizah) "...sampai yang selalu basah di selangkangan."
Lampu temaram di ruang studi bergaya minimalis itu menyoroti wajah Bu Jizah yang pucat, kerudung kremnya sedikit miring menampakkan helai rambut hitam yang lepas. Fajri bersandar di kursi kulit hitam, kaus kaki hitam menyentuh lantai marmer dingin sementara tangan kirinya dengan santai menggesek batang penis tebalnya yang sudah tegak, memantulkan bayangan dramatis di dinding. "Tenang, Bu... Barang berharga ini kan sudah jadi hak ibu," gumamnya sambil menjentikkan ujung kemaluannya, memamerkan tetesan pra-ejakulasi yang mengkilat di ujung. "Sabarlah... Kita baru di babak pengenalan."
Dia mengamati reaksi korban: leher Bu Jizah berdenyut cepat, jemari gemetar mencengkram tepi meja kayu eboni. Bau musk parfum pria itu bercampur aroma anyir prekum yang mulai memenuhi udara. "Ehh... Hhmmm..." Rintihan tercekat keluar dari bibirnya yang kering, mata cokelatnya terpaku pada ritual penis yang dipertontonkan—seolah menyaksikan ular kobra sedang memantrai mangsanya.
Dengan gerakan teatrikal, Fajri meraih gelas kristal bertatahkan emas dari rak di belakangnya. "Ini akan jadi upacara penyucianmu," bisiknya sinis sambil menempatkan wadah di bawah aliran urinnya yang deras. Cairan kuning pekat menyembur deras, memenuhi ruangan dengan bau amonia menyengat. Bu Jizah menyipitkan mata saat percikan pertama menghantam dasar gelas, menciptakan pola gelembung-gelombang kecil yang absurd.
"Lihatlah... Warna keemasan ini lebih berharga dari madu," godanya saat gelas hampir penuh, mengangkatnya ke cahaya hingga cairan itu berpendar seperti anggur busuk. Kontol basahnya masih menetes saat dia meletakkan gelas di atas nampan perak, sengaja membiarkan alat vitalnya terbuka—simbol dominasi yang tak terbantahkan.
"Puasakan dahagamu, Bu." Gelas itu didorong ke arah wanita separuh baya itu, cairan di dalamnya bergoyang membentuk pusaran kecil. Detak jam dinding kayu jati terdengar seperti hitungan detik eksekusi. Bibir Bu Jizah bergetar saat mencium bau menusuk hidung, refleks muntah ditahannya dengan menggigit lidah sendiri.
"Anggap ini tirta amerta—air penobatan budak pilihan," tambah Fajri sambil mengetuk-ngetuk kontraktor perjanjian di atas meja. Suara kertas yang digesek itu membuat Bu Jizah tersentak. Dengan gemetar, tangannya yang berkeringat mencengkeram gelas, air mata panas mulai menggenang.
Glek... Glek... Suara tenggorokan yang tercekik. Dua tegukan pertama membanjiri mulutnya dengan rasa pahit logam, membuat perutnya mual. Uekk! Sebagian cairan keluar kembali melalui hidungnya yang kemerahan. "Maaf, Pak... Saya... Akan mencoba lagi," desisnya parau, memaksakan sisa urin yang hangat itu masuk ke kerongkongan.
Fajri menyilangkan kaki dengan angkuh, mengamati setiap kedutan otot wajah korbannya. "Kau tahu kenapa ini perlu?" bisiknya sambil menggesek puting susu kiri yang keras melalui kaus tipis. "Karena air seni adalah cermin jiwa—dan hari ini, kau meminum jiwaku."
Ketika gelas kosong kembali ke meja dengan bunyi 'klik', Fajri sudah berdiri dengan sebatang kretek di jari. "Langkah kedua," ujarnya sambil menyulut api yang menerangi raut wajah dinginnya. "Budak sejatiku harus bisa menari di antara asap dan api."
Dia meniupkan kepulan asap tebal ke arah hidung Bu Jizah yang masih tersumbat bau amonia. "Hisap dalam-dalam... Biarkan racun ini membersihkan sisa moralitasmu." Tangan kanannya meraih erat rambut wanita itu, memaksa mulut yang masih basah oleh urin untuk mencengkram filter rokok.
Ruangan pengap itu dipenuhi asap yang menggantung seperti kabut pagi, bercampur aroma tembakau murahan dan parfum khas wanita paruh baya. Jizah, dengan gamis panjang berwarna krem dan jilbab mustard yang rapat menutupi rambutnya, duduk kaku di ujung sofa kulit yang sudah retak-retak. Matanya menatap rokok filter putih di tangannya, seolah benda itu adalah ular berbisa yang siap menggigit. Fajri, pria berbadan tegap dengan kemeja lengan pendek yang mengumbar bulu lengan kasar, menyipitkan mata sambil menggeser posisinya mendekati wanita itu. Napasnya berat, berbau alkohol, menusuk hidung Jizah yang masih bersih dari polusi kebiasaan buruk.
"Jangan ragu, Bu. Mulailah dengan menggigitnya perlahan…" ucap Fajri sambil menjulurkan korek api yang baru menyala. Nyala api itu bergetar di udara lembab, menerangi kerutan halus di sudut bibir Jizah yang mengeras menahan sikap.
Jari-jari kurusnya gemetar saat menempatkan rokok di antara bibir yang selama ini hanya digunakan untuk mengaji dan berdoa. Suara klik korek menyambar telinganya sebelum api menyulut ujung rokok, mengubah tembakau menjadi bara merah yang menyala-nyala.
"Tarik… pelan-pelan…" bisik Fajri, pupil matanya membesar saat melihat dada Jizah bergerak naik turun tak beraturan.
Asap pertama menyapu lidahnya seperti pisau karat. Jizah terbatuk kasar, kedua tangannya mencengkeram lutut sendiri sementara air mata mulai menggenang di ujung bulu mata. Gamisnya berkerut di bagian dada akibat tarikan nafas panik. "Hukk—! Maaf, Pak… Saya… tidak sanggup…"
"Jangan menyerah!" hardik Fajri tiba-tiba, membuat wanita itu terkejut. Tangannya yang besar mencengkeram bahu Jizah, menekan otot-otot kaku di bawah kain tipis. "Hisap lagi. Kali ini, tahan di tenggorokan sebelum kau hembuskan."
Jizah memejamkan mata, mengumpulkan sisa keberanian yang hancur sejak suaminya meninggalkan utang bertumpuk. Asap kedua mengaliri kerongkongannya, membakar seperti cairan logam panas. Kali ini, dia menahan derita itu—persis seperti menahan tangis saat debt collector mengancam akan menelanjangi anak perempuannya di depan sekolah.
Fajri tertawa parau saat melihat kepulan asap akhirnya keluar dari hidung Jizah. "Nah… Baru kau paham kenapa pria rela membakar uang untuk ini." Tangannya tak sengaja menggeser jilbab yang sedikit miring, menyapu keringat di pelipis wanita itu.
Lima batang rokok berserakan di lantai ketika Fajri akhirnya memerintahkan: "Sekarang, lepaskan gamis itu. Jilbabnya tetap pakai."
Jari-jari Jizah bergerak seperti robot, membuka kancing demi kancing dari leher hingga pinggang. Kain gamis jatuh menyeruak, mengungkapkan tank top katun usang yang membentuk bayang-bayang puting keras di baliknya. Bau tubuhnya—campuran keringat dingin dan parfum mawar—membuat Fajri mengendus-endus seperti predator.
"Siapa yang menyangka…" gumamnya sambil menjilat bibir, "…wanita sholehah sepertimu ternyata menyimpan tubuh semacam ini di balik kain sopan." Tangannya mencubit paha Jizah melalui celana dalam nilon tipis, membuat wanita itu menahan jerit.
Dengan jilbab yang masih menempel rapat—sekarang terlihat kontras dengan pose tubuh setengah telanjang—Jizah mengangkat tangan untuk menutupi payudaranya. Tapi Fajri segera menampar pelan tangan itu. "Tidak. Biarkan semua terbuka. Aku ingin lihat bagaimana agamamu berperang dengan nafsumu sendiri."
Di sudut ruangan, kaligrafi ayat Kursi tergantung miring, menyaksikan bagaimana tiap helai pakaian dalam berjatuhan. Setiap tarikan napas Jizah kini diikuti gerakan dada yang memantul, sementara asap rokok masih menari-nari di udara seperti roh jahat yang mengejek kesucian yang tersisa.
Bersambung…1336Please respect copyright.PENANACxdaq3kXgM