x
California adalah Negara yang mendapat julukan The Golden State. Dimana suku yang beragam tinggal di Negara bagian Amerika Serikat itu. California memiliki pemandangan alam yang indah dengan menampilkan lembah tengah yang luas, gunung tinr tersaji,nas, dan ratusan mil pesisir yang indah. Terlebih di kota bagiannya, Los Angeles. Banyak wisatawan yang datang kemari hanya untuk mengambil gambar di Hollywood Sign. Salah satu ikon yang sudah terkenal di kota ini. Juga tak ketinggalan mereka wajib mengunjungi tempat dimana beratus-ratus karya dibuat. Universal Studio Hollywood. Tempat yang juga menjadi ikon di kota Los Angeles itu seolah tak pernah tidur. Selain disibukkan dengan membuat film, juga para pengunjung yang tak kenal lelah untuk tetap berada di lokasi. Meskipun malam tiba. Seperti yang dilakukan gadis berambut hitam yang memiliki warna merah muda di kedua sudut pipinya. Selaras dengan warna bibirnya. Kedua netranya nyaris tak berkedip. Angin malam yang menyelusup di sela pori kulitnya pun tak membuat sunggingan di sudut bibirnya mereda.
Seperkian jam ia tak lelah berdiri dan menatap aktor muda yang tengah beradu akting,beberapa meter didepannya.
"Sky!! Ayolah. Ini hampir tengah malam!" ajakan itu tak hanya sekali terdengar. Mungkin jika bisa dihitung, itu adalah ajakan atau lebih tepatnya paksaan yang ke-17 kalinya dari perempuan berambut pirang yang tengah berdiri diantara kegelisahan. Di pikirannya terpenuhi wajah garang ayahnya ketika melotot dengan kumis tebalnya yang berjengit keatas sesekali. Itu lebih mengerikan dibanding bertemu dengan vampir,pikir gadis 21 tahun itu.
"Sebentar lagi." Sky mengatakan itu tanpa menatap atau melirik sedikitpun pada sahabatnya tersebut.
"Kau sudah mengatakan itu dua jam yang lalu, Sky!"
"Benarkah?"
"Lihat! Ini sudah hampir pukul 11 malam! Ayahku akan membunuhku nanti!"
Sekejap Sky melebarkan mata serta menelan ludah berat. Seolah listrik tegangan tinggi mengalir di jaringan otaknya.
"Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?!" teriaknya.
Gadis itu berpangku tangan dan menjengitkan satu alisnya. "Sekarang kau menyalahkanku?"
"Jangan banyak bicara! Ayo cepat pulang!"
Sky bergegas berlari dan mengambil sepeda putihnya yang ia letakkan begitu saja di trotoar. Mengayuh dengan kencang. Seakan-akan ingin segera pergi ke kamar mandi karena menahan kencing. Tak mempedulikan Chloe yang jauh tertinggal di belakang.
"Jayden, akan membunuhku! Dia pasti membunuhku!" gumaman itu terus berulang sepanjang ia mengayuh. Hingga ia dan Chloe berpisah di persimpangan. Sedikit lambaian serta teriakan mereka lontarkan dan masing-masing menghilang dibalik lampu penerangan jalan.
910Please respect copyright.PENANAibkLloBVch
Debar jantung Sky semakin kencang terdengar. Saat ia tiba di depan rumah bertingkat serta dikelilingi pagar besi yang tinggi. Membuka satu sisi pintu yang kecil lalu menuntun sepeda kayuhnya perlahan. Mengendap-endap seperti seorang pencuri. Meletakkan sepedanya di depan garasi yang tertutup, dan kembali berjalan. Sky menghela nafas yang panjang sebelum membuka pintu utama. Semakin tak karuan debar jantungnya, saat ia telah masuk ke dalam rumah. Dimana keadaannya sedang gelap. Sky sedikit curiga, tak biasanya lampu di ruang tamu dimatikan. Tapi ia tak mau berlama-lama di tempat itu. Segera berlari kecil,di saat bersamaan tiba-tiba lampu menyala dengan terang. Membuat langkah Sky terhenti.
"Darimana kau?!" suara seorang laki-laki menggema. Cukup membuat tubuh Sky gemetar hebat. Ia pun terdiam sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk memutar tubuhnya agar berhadapan dengan laki-laki yang tengah bersandar pada tembok, tepat dibelakangnya.
"J-jayden.. K-kau belum tidur?" nada bicara Sky sangat kikuk.
"Bagaimana aku bisa tidur? Ketika adik kecilku masih berkeliaran di luar sana, tengah malam seperti ini?" Jayden terus berbicara seraya mengayunkan kaki yang berselimut celana piyama itu kearah Sky. Semakin membuat Sky ketakutan. "Pergi kemana kau kali ini?" katanya, dengan sedikit tersenyum miring. "Pasar tradisional? Panti asuhan? Atau ke tempat ibumu? Di Pembuangan sampah!" kata-kata Jayden yang paling akhir membuat ekspresi gadis yang memiliki tinggi 158 senti itu berubah. Ia sedikit kesal dengan perkataan kakak pertamanya itu. Ditambah, Jayden memberikan penekanan pada kata-kata itu yang seolah mencemooh Sky.
"Jaga bicaramu, Jayden! Jangan bicara seperti itu tentang ibuku!" nada Sky sedikit mengeras. Namun Jayden justru mendengus serta kembali melontarkan ejekan.
"Tak bisakah kau bersikap layaknya bangsawan? Atau jika itu sulit, kau hanya perlu bersikap sedikit sombong karena kau hidup dengan keluarga terkaya di California, nona! Jangan bersikap seperti anak jalanan yang biasa masuk ke bar kumuh! Menjijikkan!"
Sky sejenak menundukkan kepala kemudian mendengus singkat. "Haruskah aku sepertimu? Bangga dengan kekayaan orang tua kita? Sedangkan kau setiap harinya hanya berfoya-foya bersama gadis itu?" Sky menatap serta menyentakkan kepala pada gadis yang tengah berdiri beberapa meter di belakang Jayden dengan mengenakan dress piyama. "Kau harusnya malu. Ayah kita, tinggal di pinggiran Kota. Rumahnya sangat sederhana! Bahkan tak memiliki pagar! Bagaimana bisa kau disini bersenang-senang seolah tak memikirkan ayah? Jika aku menjadi kau.. Aku akan memakai 'topeng hitam' di kepalaku saat keluar rumah!"
Perkataan Sky berhasil membuat Jayden naik Pitam. Ia berjalan cepat kearah Sky, mencengkram dagu Sky sehingga mulutnya mengerucut.
"Kau tahu apa tentang aku? Apa kau tahu kehidupanku? Apa kau tahu apa yang ada di pikiranku? Apa kau tahu tentang apa yang aku lakukan?! Kau tak tahu apa-apa tentang aku!" gemeretak gigi Jayden menunjukkan betapa marahnya dia.
"Lalu.. Kau tahu apa tentang ibuku? Bukankah sewaktu kecil kau pernah menyayanginya? Bukankah ibuku merawatmu, Jayden? bagaimana bisa kau menghina seseorang yang telah merawatmu dengan penuh kasih sayang!"
"Diam!!" teriak Jayden. "Sekali lagi kau berbicara, aku tak segan-segan akan mematahkan rahangmu!"
910Please respect copyright.PENANAOzEuKQVj2X
Marah bercampur gugup. Itu yang dirasakan Sky. Melihat kedua mata coklat Jayden terhiasi jaringan otot halus yang memerah serta bau mulut yang sangat menjijikkan. Tunggu! Sky mengerutkan kening.
"Kau mabuk?"
Jayden memang memiliki sifat tempramental. Dia kasar dalam berbicara. Namun ia tak pernah memukul Sky, kecuali saat dia dibawah pengaruh alkohol. Dia tak akan segan jika harus membuat Sky babak belur ataupun lawan bicaranya yang lain. Itu sebabnya, Jayden sangat ditakuti di rumah tersebut.
Seringaian Jayden membuat Sky menggelak ludah.
"Kau takut, Sky? Kau takut aku akan memukulmu?"
"Lakukan saja.. Tapi setelah kau memukulku, aku sangat berharap kau berhenti menghina ibuku!"
Jayden semakin geram dengan kalimat yang dilontarkan Sky. Bukan berarti Sky tak hilang nyali, ketika mengatakan itu. Tapi karena logikanya sudah tertutup dengan cacian dari kakaknya tersebut. Tampan memang. Tapi sayang, Lidahnya bercabang layaknya lidah ular.
"Babe.. Hentikan. Lebih baik kita kembali tidur."
Ajakan kekasih yang telah bersamanya beberapa bulan itu, membuat amarah Jay sedikit mereda.
"Ternyata seorang Jayden bisa menjadi lemah hanya karena gadis seperti itu."
Jayden yang sebelumnya telah melepaskan cengkraman tangannya, kini kembali meremas pipi Sky dengan penuh kekesalan. Sementara tangan yang lain tengah siap mengayun. Sky hanya mampu mengerutkan wajah serta memejam, di saat yang bersamaan seseorang menahan tangan Jayden.
"Kau juga ingin babak belur, Judson?"
Jayden memelototi pria yang tengah mengenakan bloushe hitam, berdiri tepat di samping Sky. Menggenggam pergelangan tangan Jayden yang masih terangkat di udara.
"Tentu saja tidak," suaranya terdengar halus dan indah. "Tapi.. Apa kau ingin Darel segera pulang hanya karena melihat wajah Sky membiru? Darel sedang menghubungiku sekarang. Dan tentu saja dia mencari adik kesayangannya, Sky."
"Ah, brengsek!"
Menghempaskan tangan pria anggun yang tengah mengganggu aksinya tadi. Hembusan nafasnya menderu kesal. Memutar bola matanya dengan cepat.
"Urusan kita belum selesai, nona! Aku akan menunggumu, sampai si brengsek itu berhenti menelpon!" Mengacungkan jari manis kearah Sky.
Sedangkan Sky acuh tak acuh, berlari kecil menaiki tangga yang beberapa meter berada tepat di depan pintu utama. Masuk ke dalam kamar yang berada di depan tangga. Disusul oleh Judson. Sky merebahkan diri di atas ranjang yang dibungkus oleh selimut berwarna perak metal. Menghela nafas sepanjang mungkin.
"Kau memang bandel, Sky."
"Aku hanya lelah dengan sikapnya, Judson."
Sky bangkit dan duduk diatas ranjang. Memainkan selimut dengan jarinya. Sementara Judson berdiri dengan melipat kedua tangan di dada.
"Kau tidak takut? Jika dia benar-benar ingin memukulmu?"
"Tentu saja, takut. Beruntung ada kau," katanya dengan unjuk gigi. "Tapi, kau benar-benar hebat! Kau sedikitpun tak memiliki rasa takut pada,Jayden."
"Siapa yang mengatakan seperti itu?"
"Eh? Bukankah seperti itu?"
"Tentu saja aku takut,bodoh."
"Tapi.. Ekspresi wajahmu sungguh tenang saat menghadapi dia tadi?"
"Tsk. apa kau pernah melihatku berubah ekspresi? Meskipun ketika aku sedih atau marah?"
"Ah, benar. Kau memang seperti sebuah patung yang bernyawa."
Judson memang berbeda sifat serta karakter dengan Jayden. Sosoknya sangat berwibawa dan sangat tenang. Bicaranya pun sangat halus. Oleh karena itu, hanya dia saja yang tak pernah merasakan ringannya tangan Jayden. Bahkan ketika ia mengetahui jika ibunya telah meninggal saat melahirkan dia, Judson tidak menangis ataupun tersenyum. Hingga akhirnya ia mendapat julukan patung bernyawa. Di rumah ini, hanya Judson yang sanggup atau lebih tepatnya peduli dengan keselamatan Sky. Meskipun tahu, sedikit membahayakan jika harus berurusan dengan kakak pertamanya tersebut. Tapi ia sudah berjanji pada Darel untuk menjaga gadis cantik yang menjadi keluarga perempuan satu-satunya di rumah tersebut. Dan karena Jayden tengah menunggu di luar kamar, Sky pun harus keluar melewati jendela kamar Judson. Meskipun berada di lantai dua, ia tak sedikitpun merasa takut ketika harus berjalan menyusuri atap. Karena, tidak hanya sekali ia melakukan itu. Bisa dikatakan, itu adalah 'ritual' wajib baginya. Beruntung kamar Sky berada tepat di samping kamar Judson. Melangkahkan satu persatu kaki putihnya, masuk ke dalam kamar. Melongokkan kepala kearah kakak keempatnya tersebut, begitu ia di dalam kamar.
"Judson! Terima kasih. Berkat kebohonganmu jika Darel menghubungiku, aku berhasil lolos dari malaikat maut," teriaknya lirih. "Aku menyayangimu!"
Judson hanya tersenyum miring serta menggelengkan kepala,melihat tingkat Sky.
"Pantas saja Darel sangat menyayanginya. Dia sangat manis."
Menyebutkan nama Darel, ia teringat jika beberapa puluh menit yang lalu memang Darel menghubunginya melalui Skype. Judson bergegas menarik jendela kebawah, lalu berjalan cepat pada meja yang tidak jauh dari tempat ia berdiri sebelumnya. Duduk pada kursi seraya menatap layar PC yang menunjukkan seorang pria tengah tertidur di atas meja.
"Tsk. Bahkan dia masih mengingat Sky, meskipun sangat lelah," ucap Judson dengan melipat tangan di dada.
910Please respect copyright.PENANAMmjcq9H1EW
ns 15.158.61.5da2