Blitz lampu dari ratusan kamera menghadang Kang-Jae yang akan masuk ke dalam mobilnya. Ia baru saja selesai menghadiri acara penghargaan dan menjadi salah satu dari penerima penghargaan itu. Karenanya ratusan wartawan sudah menunggu dirinya dan para selebriti lainnya keluar dari gedung terbesar di Busan itu.
Dengan ketampanan dan karismanya ia menolak wartawan yang berebut bertanya padanya dengan sopan.
"Kang-Jae, tolong ungkapkan perasaanmu!" Teriak salah satu wartawan.
"Tentu saja senang." Jawab Kang-Jae santai.
"Menurutmu apakah memang kamu pantas mendapatkan penghargaan ini?" Tanya wartawan lainnya.
"Lusa. Lusa kita bertemu lagi. Maaf. Sungguh maaf, hari ini aku harus melanjutkan perjalananku." Ucap Kang-Jae pada para wartawan. "Selamat malam semuanya." Salamnya setelah ia masuk ke dalam mobil sembari melambaikan tangannya pada para wartawan yang merasa kecewa.
Kang-Jae menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang, membuka jas hitamnya, lalu memeriksa ponsel genggamnya.
"Hari ini kamu luar biasa! Luar biasa menawan! Kontrak iklan pun langsung banjir saat mereka selesai mengumumkan kamu pemenangnya!" Seru sang manager, Lee Hyun-Bong. "Bagaimana kalau kita minum untuk merayakannya?" Sambungnya memberi saran.
"Oh tidak sekarang, Hyung. Aku ingin langsung ke hotel saja." Tolak Kang-Jae sembari melonggarkan ikatan dasi yang dikenakannya.
"Baiklah. Kita bisa melakukannya lusa". Ucap Lee Hyun-Bong sedikit kecewa.
"Hyung, apa ibuku tidak meneleponmu?" Tanya Kang-Jae tidak memperdulikan kekecewaan Lee Hyun-Bong.
"Tidak." Jawab Lee Hyun-Bong cepat. "Memangnya Nyonya Jung bilang akan menelponmu?"
Kang-Jae mengacuhkan pertanyaan Lee Hyun-Bong dengan pertanyaan lainnya. "Apa kita tidak bisa ke Seoul malam ini, Hyung?"
"Maaf. Tidak bisa. Kita baru akan berangkat besok pagi. Pukul 7.30 kita sampai Seoul."
"Baiklah." Ucap Kang-Jae lirih. "Apa kita bisa mampir dulu ke apartemen ibuku sesampainya di Seoul?"
"Tentu. Kenapa tidak. Jadwalmu besok pukul empat sore. Itu pun hanya acara radio dan pengambilan gambar untuk iklan mobil Jia." Jawab Lee Hyun-Bong cepat. "Tapi kenapa?"
"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin melihatnya."
"Aigoo, dasar kau anak manja!" Ledek Lee Hyun-Bong, sembari menolehkan badannya kebelakang, karena ia duduk di sebelah supir. "Bawakan buah kesukaan Nyonya Jung sekalian. Akan aku belikan di supermarket terdekat. Kamu bisa menungguku di coffee shop."
"Thank's, Hyung...".
"Tapi sungguh tidak ada apa-apa kan?" Tanya Lee Hyun-Bong penasaran.
Kang-Jae tidak menjawab.
"Kim hwang-Jae?" Panggil Lee Hyung-Bong dengan nama asli Kang-Jae.
"Hyung... dua hari ini aku bermimpi yang sama." Ucap Kang-Jae kemudian. "Aku kehabisan nafas. Saat itu muncul wajah ibu tapi dia menghilang. Firasatku tak enak, Hyung."
🍎🍎🍎
Kang-Jae menunggu Lee Hyun-Bong di Coffee Shop tanpa penyamaran. Hasilnya beberapa pelayan dan pelanggan Coffee Shop langsung saling berbisik dan memfoto Kang-Jae diam-diam, bahkan ada beberapa ibu-ibu yang minta berfoto dan tandatangan.
Penghargaan artis pria pendatang baru terbaik di Busan kemarin telah mengubah segalanya dalam hitungan jam.
Kemarin ia masih bisa leluasa membeli kopi di Coffee Shop, tanpa harus takut dikerubuti penggemar. Tapi lain dengan hari ini. Baru sampai di bandara pun sudah banyak penggemar yang menghadangnya.
"Maaf. Maaf kami permisi dulu. Sampai jumpa. Terima kasih semuanya." Lee Hyun-Bong berusaha mengeluarkan Kang-Jae dari para penggemar yang berebut foto Kang-Jae. "Kau masuk duluan. Aku harus kembali ke toko untuk membeli topi dan masker. Mulai hari ini hidupmu berubah."
"Juga satu americano". Pinta Kang-Jae.
"Tidak. Kamu sudah terlalu banyak kopi. Sebaiknya kamu istirahat saja sesampainya di atas. Sudah. Naiklah. Waktu terus berjalan".
Tanpa berkata Kang-Jae pun masuk lift sendiri, hanya ditemani sebotol air mineral dan sekantong penuh apel.
"Aku akan menyusul." Ucap Lee Hyun-Bong kemudian.
"Ya." Jawab Kang-Jae singkat.
Saat hendak menekan tombol tutup pada lift, terdengar teriakan dari luar.
"Tunggu. Tunggu. Aku naik lift juga."
Lee Hyun-Bong melangkah menghindari seorang gadis yang terburu-buru akan masuk lift.
"Terimakasih." Ucap gadis itu pada Kang-Jae. "Aku lantai tujuh, please." Sambung gadis itu, yang sesampainya di dalam lift langsung sibuk menggendong tasnya.
Lee Hyun-Bong mengamati gadis itu. Ia takut kalau gadis itu adalah salah satu penggemar Kang-Jae, yang berarti ia harus mengantar Kang-Jae ke atas.
Kang-Jae pun memerhatikan gadis disebelahnya.
"Kau tidak akan menutup lift ini?" Tanya gadis itu.
Lee Hyun-Bong dan Kang-Jae bertatapan.
"Kalau kalian masih ingin bersama, ayo naik!" Sambungnya.
"Pergilah." Ucap Lee Hyun-Bong merasa aman.
Pintu lift pun tertutup. Kang-Jae menekan tombol lima.
"Maaf. Tolong lantai tujuh". Pinta gadis itu sembari tersenyum manis.1054Please respect copyright.PENANAln4lMgHabu
Kang-Jae membalas senyuman gadis itu sembari menekan tombol tujuh.
"Terima kasih". Ucap si gadis.
Kang-Jae melirik gadis itu. Ia yakin sekali bahwa sikap gadis itu memang natural, tidak dibuat-buat, yang artinya adalah gadis itu benar-benar tidak tahu siapa dia.
"Syukurlah". Ucap Kang-Jae dalam hati.
Perjalanan ke lantai lima menggunakan lift adalah perjalanan yang sulit bagi Kang-Jae. Panjang dan melelahkan.
Kang-Jae adalah salah satu orang dari banyak orang yang menderita claustrophobia. Penyakit ini baru Kang-Jae derita sejak tujuh tahun yang lalu akibat kecelakaan yang pernah ia alami di Chuncheon.
Ketika itu Kang-Jae sedang berada di dalam lift hotel bersama keluarga saat bencana alam menerpa Korea Selatan tahun 2011 lalu. Kang-Jae beserta keluarga terjebak di dalam lift beberapa jam akibat aliran listrik yang terputus.
Saat kejadian Kang-Jae dan keluarga tidak merasa begitu panik karena keterjebakan mereka di dalam lift. Namun karena setelah keluar dari lift itu, ia mengetahui keadaan diluar sangat kacau: seperti longsor, banjir, dan bahkan banyak korban jiwa. Bahkan mobilnya pun ikut terseret banjir, ia dan keluarganya pun shock berat.
Sejak saat itu ia sering mulai merasa cemas ketika menginjakkan kakinya ke dalam lift.
Sama seperti hari ini.
Kang-Jae menghitung dengan seksama lantai yang ia lalui melalui monitor.
Sudah lantai 2.
Tangannya mulai berkeringat. Tenguk dan keningnya pun mulai berkeringat saat memasuki lantai 3.
"Sepertinya kau kepanasan." Ucap gadis disamping kanannya.
Kang-Jae membalasnya dengan senyuman. Kang-Jae memerhatikan gadis itu sesaat.
Satu lantai lagi. Batin Kang-Jae.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya gadis itu lagi.
Kang-Jae tersenyum paksa. "Tidak perlu kha..."
Belum selesai ucapan Kang-Jae tiba-tiba lift berguncang. Lampu berkelap-kelip. Mati dan kemudian hidup kembali. Botol air mineral dan kantung plastik buah apel yang Kang-Jae genggam sedari tadi sudah berhamburan di lantai lift. Termasuk gadis yang bersamanya pun tersungkur ke belakang.
Kang-Jae yang panik menekan tombol emergency dengan kasar.
"Petugas? Ada apa? Kami di lantai empat."
Tidak ada jawaban.
Kang-Jae terus menekan tombol darurat dan berteriak meminta pertolongan.
Namun tetap tak ada jawaban.
Kang-Jae mulai panik. Nafasnya mulai tersengal-sengal. Ia berusaha bernafas sekuat mungkin. Mengingat kembali yang ia pelajari bersama terapis beberapa tahun yang lalu.
"Kamu tidak apa?" Seru gadis itu.
Kang-Jae tidak menjawab. Dia sudah dalam keadaan 'tidak sadarkan diri'.
Wajah Kang-Jae pucat, nafasnya tersendat-sendat, dan banyak mengeluarkan keringat.
"Aduh... bagaimana ini?" Seru sang gadis panik.
Gadis itu membetulkan duduk Kang-Jae. Melepaskan kancing kemeja yang di gunakan Kang-Jae. Membuka botol air mineral Kang-Jae dan berusaha memberi pertolongan pertama pada Kang-Jae dengan memberikan minum.
"Kamu bisa minum?"
Kang-Jae mengulurkan tangannya. "To...long."
"Iya. Pasti. Tunggu." Gadis itu menyimpan botol air minum di sebelah Kang-Jae kemudian mengeluarkan telpon genggamnya
Seperti sedang mencari sesuatu, gadis itu sibuk sendiri dengan telepon genggamnya. "Apa sih namanya?" Ucapnya pada dirinya sendiri. "Oh!" Serunya seperti mengingat sesuatu, dan kembali sibuk dengan telpon genggamnya. "Oke." Ucapnya kemudian dan menyimpan sembarang telpon genggamnya.
"Kamu harus tarik nafas yang dalam. Ayo. Yah.. hembuskan. Pintar. Ayo sekali lagi!"
"Apa kalian baik-baik saja?" Panggil seseorang dari interkom.
"Hallo, Pak. Kami dua orang di dalam sini. Kami terjebak di lantai empat. Bisa cepat keluarkan kami? Disini ada penderita astro.. aduh. bu-bukan. Clau-clauseu-claustrophobia! Dia harus segera keluar dari lift. Hallo? Pak? Hallo? Argh..." gadis itu mengeram sebal. "Tenang saja. Kamu pasti baik-baik saja. Kamu percaya aku kan? Aku akan menolong kamu."
Tidak ada yang bisa Kang-Jae lalukan selain mempercayai satu-satunya orang yang terjebak bersamanya di lift, Kang-Jae pun mengangguk pelan.
"Bagus. Sekarang kamu harus atur nafasmu. Pejamkan matamu. Anggap kamu sedang di pantai. Luas. Panas namun melegakan. Atur nafasmu. Ya. Bagus. Lakukan terus."
Gadis 'penolong' terlompat kaget saat mendengar dering telpon genggam yang seperti suara tembakkan milik Kang-Jae.
"Mana telpon genggammu?" Tanya si gadis tanpa bermaksud menunggu jawaban Kang-Jae langsung menggeradah saku celana Kang-Jae.
"Hallo? Aku Ankaa. Aku sedang bersama pemilik telpon genggam ini. Kami terjebak di lift. Sepertinya dia penderita clauseu-apalah namanya itu. Tolong. Ia sedang menggigil sekarang."
to be continue...
ns 15.158.61.20da2