03.00 pagi.480Please respect copyright.PENANAvgaRtbp9p3
Tempat banyak orang menyebut kota ini sebagai kota metropolitan, Jakarta.
Udara angin pagi yang semilir berhembus, menerpa wajahku. Hembusan dinginnya mampu menemus kulitku yang hanya tertutup kain usang dan kumal yang entah sudah berapa lama kupakai di tubuh kurusku. Kutengadahkan wajahku menyambut belaian angin yang menari-nari diatasku. Langit masih kelam. Malam masih ingin menidurkan orang dalam mimpinya. Mengerutkan sudut bibir membentuk senyuman, namun tidak denganku malam ini.
Sunyinya sepi malam menyadarkanku akan kesendirianku saat ini. Hatiku suram, sangat berkebalikan dengan bintang yang berkelap-kelip dengan indahnya di langit yang kelam seolah ingin menunjukkan bahwa mereka bahagia disana. Jakarta masih sepi dini hari. Perkataan orang bahwa Jakarta adalah kota dimana setiap hari adalah siang rupanya salah, adakalanya kota ini juga lelah.
Lelah akan semua image yang disandangnya. Lelah akan kehidupan perkotaan yang keras dan selalu monoton. Kuhirup nafasku dalam-dalam, menghirup sejuknya udara dini hari yang masih asli, terhindar dari polusi. Sejuknya udara yang aku rindukan setiap pagi. Setidaknya hembusan Karbondioksida yang aku keluarkan membawa turut serta kesuramanku.
Kupandang sekelilingku, banyak orang yang masih terlelap dalam tidur mereka. Meringkuk dalam rumah kardus yang mereka buat. Beralaskan kardus bekas dan beratapkan langit malam. Sekali-kali mereka menarik selimut kumal yang menutupi setengah badannya. Mungkin tak akan cukup hangat, namun cukup agar menghalau rasa dingin yang menusuk tulang.
Aku merapatkan sarungku dan bersandar pada tembok beton, yang katanya menghabiskan dana rakyat sampai triliunan itu. Harga yang cukup mahal untuk sekumpulan semen dan pasir yang saling melekat satu sama lain. Di seberang jalan, samar-samar kulihat seorang anak kecil yang dituntun oleh kedua orang tuanya mengais sampah, mencari sisa makanan yang ada di tempat sampah di dekatnya. Aku terus memerhatikan keduanya, anak itu mungkin kelaparan sehingga ia tak dapat tidur dan memilih terbangun karena rasa lapar yang menggerogoti tubuh mungil nan kurusnya itu mengingat ini masih terlalu pagi.
Lama kuperhatikan mereka, lalu aku melihat wanita tua yang nampak seperti ibunya itu menemukan sebungkus makanan yang tertutup kertas plastik yang kucel itu. Ia nampak bahagia. Berhasil menemukan sesuap nasi untuk putri kecilnya yang kelaparan itu. Ia membuka bungkus itu lalu menyuapi anaknya dengan nasi yang entah masih layak makan atau tidak itu. Namun, anak itu tampak lahab menerima suapan nasi itu. Sementara, ayahnya terlihat masih mengais sampah mencoba menemukan benda berharga yang bisa dijual.
Mungkin, aku tak berada dalam pihak yang bisa menghakimi orang lain. Namun, jika itu aku. Aku tak akan membuat anak jika keadaan ekonomiku masih sulit. Apalagi jika aku gelandangan seperti ini. Aku tak ingin anakku nanti menderita. Namun, apa yang sedang aku pikirkan aku saja masih anak-anak.
Namaku Bryan. Entah nama panjangku apa. Yang kutahu ibu panti dulu selalu memanggilku dengan nama Bryan. Aku seorang bocah laki-laki gelandangan berumur 10 tahun. Seharusnya aku sudah duduk di bangku Sekolah Dasar saat ini. Namun, apa dayaku. Keluarga saja aku tak punya.
Dulu aku tinggal di panti asuhan, ada orang yang berbaik hati mau merawatku. Sayangnya saat aku berumur 7 tahun panti asuhan itu ditutup karena tidak ada donatur lagi. Semua anak yang tersisa berujung menjadi anak jalanan seperti aku saat ini. Tanpa keluarga, tanpa rumah dan tanpa uang.
Lelah memikirkan nasibku aku memilih berbaring lagi. Agak merapatkan diri pada dinding beton keras yang masih bau toko itu. Jembatan Flyover ini adalah tempat favoritku, setidaknya aku tak perlu khawatir akan kehujanan lagi. Jembatan ini baru diresmikan 3 bulan yang lalu, itulah mengapa aku menyebutnya masih bau toko. Kami semua para gelandangan yang terlantarpun segera menyerbu tempat ini sebagai tempat tidur.
Terkadang, ada beberapa Satpol PP yang berpatroli dan mengusir kami. Beralasan bahwa kami menganggu keindahan kota. Namun, bagaimanapun kami akan tetap kembali. Karena kami tidak punya tempat tujuan lagi. Kupandang sekelilingku sekali lagi, banyak orang disini sama sepertiku tanpa seorangpun yang aku kenal. Perlahan aku memejamkan mata dan meringkuk. Untung saja aku sudah mengganjal perutku dengan sepotong roti yang aku dapatkan sebagai hasil mengamenku seharian sehingga aku tak perlu lagi mendengar suara ayam jago di perutku.
Sinar mentari pagi perlahan menyinari wajahku. Suara kendaraan yang berlalu lalang membuat kegaduhan yang akhirnya berhasil membangunkanku. Sudah siang. Jika diperhatikan dari jarak matahari dengan posisinya. Pasti ini sudah sekitar jam tujuh pagi. Aku bergegas bangun, mengucek mata. Melipat satu-satunya sarung yang aku punya. Yang aku dapatkan dari hasil memulung. Saat itu aku beruntung menemukan sarung ini diantara tumpukan sampah. Masih bagus, tidak robek dan hangat. Saat itu juga aku langsung mencuci dan menjemurnya. Alhasil sarung inilah yang selalu menyelimutiku setiap malam, membelaku dari hawa dingin yang menusuk.
Akupun berdiri, melipat kardus yang kujadikan alas. Meletakkan sarungku didalamnya lalu menyempitkannya di antara beton. Aku sudah menandai tempat ini sebagai rumahku. Jadi, aku akan meletakkan barang-barang yang aku anggap berharga di tempat ini. Kuambil alat musik sederhana yang aku buat menggunakan beberapa tutup botol itu, namun sepertinya ada orang yang sudah mendahuluiku.
Terlihat beberapa anak yang seumuran denganku sudah menongkrongi lampu merah yang ada didepan. Tentu saja aku harus mengurungkan niatku untuk mengamen hari ini. Sebuah pelajaran yang aku dapat setelah 3 tahun hidup di jalanan, bahwa jangan pernah memasuki teritori yang sudah di dahului orang lain sepetimu. Kalau kau tidak ingin dikeroyok. Yah mungkin sedikit memar akan melengkapi hariku.
Kuletakkan alat musik kesayanganku. Menyelinapkannya di antara sarung dan kardus bekasku. Lalu mengambil kantong kresek putih yang sudah kumal. Sepertinya, aku harus memulung hari ini. Aku berjalan mencari tempat sampah yang mungkin masih menyimpan sedikit harta karun didalamnya. Aku bergerak lincah memungut setiap botol plastik maupun kardus yang di tinggalkan orang. Tangan mungilku mengorek tempat sampah lebih dalam lagi berharap menemukan sisa-sisa remah roti atau nasi atau setidaknya benda yang dapat kumakan untuk sarapan hari ini.
Kuseka peluh yang membasahi wajahku dan duduk sebentar untuk beristirahat di tepi trotoar. Banyak orang berlalu-lalang, separuh badan trotoar dipenuhi oleh orang-orang berjualan, apapun itu yang bisa menghasilkan uang. Mulai dari tukang jam, sepatu, tukang asongan, maupun tukang becak yang bahkan tak mau kalah, sudah bertengger disana. Orang-orang yang lewat nampak sibuk semuanya. Berjalan dengan kaki cepat agar tak terlambat. Beberapa diantaranya terlihat melirik arlojinya beberapa kali, sambil menunggu dengan tidak tenang bis yang akan membawa mereka menuju kantornya. Ah, andai saja.
Aku memerhatikan diriku sekali lagi. Aku dekil, kumal dengan baju yang masih utuh namun terlihat usang yang sepertinya begitu longgar dibadanku. Celanakupun begitu kotor sampai aku sendiri lupa warna aslinya. Aku memakai sandal jepit yang bahkan sudah aku tambal sana-sini. Sekedar agar kakiku tak melepuh menginjak aspal.
Kepulan asap dari Kopaja, yang menurutku terlalu memaksakan diri melayang di udara membentuk awan pekat hitam. Bersalip-salipan dengan rival-nya memperebutkan penumpang. Akupun terus melangkahkan kakiku, mengorek tempat sampah demi tempat sampah. Namun, tiba-tiba tanganku menemukan sebuah benda berkilau indah. Kalung. Heranku. Siapa yang tega membuang kalung secantik ini disini. Kalung ini berwarna putih, indah dan bandulnya adalah sebuah cincin yang nampak mahal. Kuusapkan kalung itu ke bajuku. Menghilangkan noda yang menutupinya.
Kira-kira berapa harganya ya, batinku. Mahal kah?. Mungkin ini bisa menganjal perutku hari ini, pikirku. Namun, jika kalung ini berharga maka tidak mungkin pemiliknya akan membuangnya ketempat sampah. Ah, ya sudahlah. Aku menyukai kalung ini. Aku akan memakainya saja. Aku mengalungkan kalung itu melingkari leherku dan menyembunyikannya dibalik bajuku.
Di seberang jalan nampak anak-anak jalanan sebayaku sedang mengerumuni sebuah mobil. Sampai sang pemilik mobil melemparkan sebuah makanan dari balik jendela dan melaju pergi. Anak-anak itu terlihat memperebutkan makanan itu. Aku menjerit dalam hati. Apa orang kaya itu tak punya perasaan. Memberikan makanan yang tidak seberapa jumlahnya dengan cara melemparkannya pada sekelompok anak jalanan yang kelaparan, apa ia tak berfikir bahwa anak-anak itu akan saling bergelut dan melukai satu sama lain hanya demi sepotong roti.
Kami memang anak jalanan. Namun, kami bukan sampah. Muak dengan pemandangan itu, aku beranjak pergi. Menuju ke rumah salah seorang penduduk yang membeli barang bekas,
“Oh...kau yan. Dapat berapa banyak kau hari ini?” tanya seorang pria paruh baya yang kerap disapa Atong itu.
“Pak Atong. Hari ini saya juma dapet dikit pak. Mau buat beli sarapan dulu. Selakunya.” Jawabku riang.
“Sini, tak timbang sek.” Kata Atong bercampur dengan logat Jawanya.
“ 5000 rupiah ini. bolehkah?” tanyanya padaku.
“Iya, paman. Selakunya aja.”
Paman Atong menumpahkan isi kresekku lalu menyodorkan selembar uang lima ribuan sambil mengembalikan karungku yang sudah kosong. “Terimakasih, paman.” Ucapku riang. Setidaknya aku bisa membeli sebungkus nasi dan air milik mak Cici. Salah seorang penjual keliling yang selalu menjajakan jajananya di gang depan. Setelah celingukan sana-sini, akhirnya aku menemukan mak Cici yang sedang bersandar di pojokan sambil menunggu ada pelanggan datang.
“Mak Cici,” Sapaku.
“Eh...kamu yan. Mau beli nasi?” tanyanya sumringah.
“Iya mak. Kaya biasanya aja.” Jawabku sambil menyodorkan uang lima ribuan padanya. Mak Cici menyambut uluran uang dariku lalu mulai menaruh sebungkus nasi dan air di dalam sebuah plastik, dan menyodorkan padaku.
“Makasih mak.” Tanganku menyambut plastik itu. Mak Cici hanya menaggapiku dengan tersenyum. Akupun segera beranjak dan mencari tempat makan yang nyaman. Aku segera membuka bungkus makanan itu, melahabnya dengan riang. Kuperhatikan samar-samar jalanan di hadapanku.
Kehidupan jalanan bukanlah kehidupan yang aku inginkan untuk kujalani di hidupku yang hanya sekali ini. Namun, apalah dayaku saat ini. Yang terpenting untuk saat ini adalah aku bisa makan. Kuperhatikan anak kecil manis yang sedang duduk di kursi penumpang sebuah mobil yang berhenti karena lampu merah di depanku.
Sungguh beruntung ia, pikirku. Bisa sekolah , punya orang tua kaya yang bisa menghidupinya. Makan minum sepuasnya. Tak seperti aku yang sekarang. Hanya anak jalanan yang harus berjuang dengan begitu keras untuk mendapatkan sesuap nasi.
Selesai makan aku lalu beranjak lagi mengais sampah yang bisa kutukar menjadi rupiah. Tak kuhiraukan sinar mentari yang membasahi badanku, entah bagaimana caranya aku harus bisa makan untuk kedua kalinya hari ini. Aku tak mau tidur dengan perut keroncongan ditambah hawa dingin yang menusuk tulang.
Tak terasa senjapun tiba, aku duduk di rumah betonku membuka sebungkus nasi yang kudapatkan setelah bermandi peluh seharian ini. Tempe, adalah menu favoritku. Apa yang bisa didapatkan oleh bocah jalanan berusia sepuluh tahun ini. Tempe adalah satu-satunya makanan yang bisa aku beli untuk mengganjal perut. Aku tak tahu bagaimana rasanya daging, dan aku harap aku benci daging sehingga aku tak perlu membayangkan bagaimana rasanya. Daging hanyalah sebuah makanan mewah yang bisa di dapatkan jika aku menabung selama seminggu dan tanpa makan.
Setelah kenyang aku segera menata tempat tidur kardusku lalu memejamkan mata. Setelah agak terlelap aku terbangun karena merasa ada seseorang yang menendangku, “Hey...Bangun.” Bentaknya.
“Ah..ada apa ini. Kalian siapa?” tanyaku sambil mengucek mata.
“Sana Lo pindah aja. Ini tempat kami mulai sekarang.” Usirnya. Kutatap mereka bergantian, rupanya anak-anak ini yang tadi pagi mendahuluiku mengamen di lampu merah depan. Jumlahnya ada 6 orang dan mereka semua lebih besar dariku. Dengan insting alami akupun berisngsut pergi. Menundukkan kepala tanpa membantah perkataan mereka.
Aku berjalan menjauh, samar-samar kutoleh mereka sedang menempati suatu tempat yang kuklaim sebagai rumahku. Aku hanya bisa mendengus kesal. Sekarang aku tak punya tempat berteduh lagi. Aku tak mungkin kembali. Yang ada aku hanya akan dihajar. Dan aku tak ingin bonyok-bonyok malam ini. Setidaknya aku harus menunggu agar fisikku kuat dan aku tumbuh besar dan bisa berkelahi membela diri.
Aku memandang langit malam. Ah...untung saja malam ini adalah malam yang cerah. Setidaknya aku tidak harus buru-buru mencari tempat baru karena hujan. Aku berjalan gontai menyusuri jalan. Jalannya masih ramai. Sepertinya para pegawai kantoran itu sedang lembur kerena ini adalah akhir bulan. Yah, dulu secara tidak sengaja aku mendengarkan obrolan para pekerja saat aku sedang memulung, mereka bilang saat akhir bulan mereka harus closing-an atau apalah itu. Namun, bagiku setiap hari sama saja. Aku harus selalu bergerak menemukan makanan. Entah itu weekend atau hari biasa.
Aku terduduk di pinggir trotoar, kurapatkan kain sarung kumalku lebih dalam menyelimuti tubuhku. Aku tak sempat membawa kardus bekas dan alat musikku karena aku terlalu takut saat itu. Hahhh...pandanganku beralih pada kafe yang ada dibelakangku. Kerlap-kerlip indah, aku suka tempat itu. Pasti makanannya mahal. Apakah suatu saat nanti aku bisa masuk tempat seperti itu. Semoga saja.
Aku harus segera menemukan tempat baru. Aku berjalan menyusuri jalan sampai aku menemukan sebuah gang, kutelusuri gang itu dan aku menemukan sebuah gerbong kereta yang sudah rusak dan ditelantarkan. Aku berjalan mendekat sambil mengamati pemandangan sekitar. Tempatnya bagus. Saat aku menoleh ke atas aku masih bisa melihat jembatan flyover yang kokoh itu diatas. Mungkin masih bisa menghalau hujan walau tempat ini bukan tepat dibawahnya.
Dibelakang gerbong itu tak berjarak jauh ada sebuah sungai yang dibendung. Sepertinya cukup bersih, karena tak ada bau amis tercium. Masih asri. Banyak rumput tumbuh. Tempat ini dekat dengan jalan raya namun masih terlindung. Sepertinya aku akan aman disini, batinku. Aku berjalan memasuki gerbong itu. Sudah rusak dan hampir berkarat disana-sini. Kudorong pintunya dan mengamati sekelilingnya, banyak ruang yang bisa aku jadikan tempat tidur. Hanya ada 2 gerbong tersisa, walau sudah usang tapi sepertinya masih kokoh.480Please respect copyright.PENANA5i2D38CaDm
Aku memilih sudut kereta, membersihkannya dengan tanganku lalu berbaring meringkuk di pojokan. Ah...nyamannya. sungguh nyaman disini. Tak kuat menahan kantuk akupun tertidur. Saat aku terbangun aku tak lagi mendapatkan sinar matahari diatas kepalaku. Tempat ini sepertinya terlindung. Kulipat sarungku. Lalu beranjak bangun.
ns 15.158.61.8da2