Perlahan-lahan memejamkan mata. Menatap atap rumah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Memutar otak, terpikirkan bahwa hari ini adalah hari senin yang membuat siapa saja malas.
Bagiku? Entahlah, mau itu hari yang mana. Semuanya sama bagiku, hari libur juga bukanlah hari libur yang sebenarnya. Tanpa kusadari, terbiasa dengan semua hal yang telah kulalui selama ini.
Kaki yang menyentuh lantai, rasa dingin menyebar di telapak kaki. Memandang ke arah pintu, itu terlihat terbuka sedikit celah. Yah ... ini sudah sering terjadi dan aku sudah tahu siapa pelakunya.
Beranjak dari atas kasur, membuka gorden kamar yang ada di samping kiri kasur. Cahaya mentari langsung menyilaukan mataku, namun semuanya sama di mataku.
“Lapar ... ”
Menoleh ke belakang dan menatap ke atas pintu. Terdapat jam dinding dengan jarum pendek yang menunjuk waktu kurang dari jam delapan pagi. Dengan segera, aku melompat beberapa kali sampai kesadaranku sepenuhnya terkumpul.
“Waktu untuk pergi ke sekolah adalah lima menit jika ngebut pakai sepeda. Memberi makan Kolbi dan Hanoman tiga puluh detik. Untuk mandi, tiga menit kurang.”
Semua spekulasi yang dilakukan bersamaan dengan ucapan dan pikiran. Membuatku terbiasa dengan analisa penggunaan insting jomblo. Itu bukanlah kemampuan khusus, namun insting yang aku asah selama tiga tahun.
Lagipula, aku bisa merasakan niat jahat yang disembunyikan manusia di sekitarku. Hanya manusia, untuk hewan cukup kumengerti tingkah mereka.
Pergerakan kecil, tingkah laku, kontak mata, pola napas, perubahan dalam ekspresi, dan kebencian. Ini adalah caraku mendapatkan informasi dan memprediksi pikiran maupun pergerakan lawan bicara.
Manusia biasanya memperlakukan seseorang dengan bodoh. Ada juga yang sama baik dengan takaran yang sama, itulah masyarakat.
Kulupakan semua materi dan ide yang memasuki pikiranku. Segera pergi menuju dapur, di situlah terpasang kamar mandi ditambah toilet. Hemat tempat, hemat segalanya.
Mendapati dua ekor kucing yang membuat langkahku terhenti untuk mengambil handuk. Tatapan kucing jenis anggora campuran persia himalaya itu. Seperti meminta pajak jalan jika ingin menginjak wilayah kekuasaannya.
“Beri kami makan, kau bisa lewat semaumu.”
Itulah yang aku pikirkan ketika saling bertatapan dengan kucing pejantan. Warna rambut putih tulang dengan bercak kuning membuatku gemas ingin merangkulnya dan melemparnya ke atap rumah.
Ketika aku berjongkok memberi makan kucing dengan pakan. Salah satu kucing berambut hitam yang lain bernama Hanoman, mengelus-elus kepalanya ke kaki kananku. Dengan satu penuh wadah berisi pakan kucing, aku tinggalkan dan segera pergi menuju kamar mandi.
Sebetulnya aku menyebut dua warna kucingku itu bukan untuk membedakannya. Ada alasan khusus untuk hal ini dan itu adalah suatu hal yang rahasia.
Menatap wajah sendiri di pantulan cermin, tak kusangka bahwa aku cukup ganteng. Meskipun menganggapnya dengan ganteng, aku tidak terlalu tahu menahu dengan standar ketampanan seorang laki-laki.
Penampilanku yang kucel, rambut medium yang berantakan setelah bangun tidur. Aku terpikirkan untuk mencukur rambut hitam kecoklatanku ini. Tapi biarlah, aku menyukai gaya rambutku ini.
Satu bulan telah berlalu semenjak penerimaan murid baru di SMA. Selama satu bulan itulah, satu kelas berisi dua puluh sembilan individu. Individu itu tergabung menjadi beberapa kelompok, untuk kelompokku adalah para laki-laki yang kurang kerjaan.
Sudah satu bulan tidak melatih fisikku lagi. Pada momen terakhir itu, membuatku frustasi dan hilang semangat setelah menyadari ‘itu’ hilang dari pandanganku.
Dalam tiga menit, tubuhku telah sepenuhnya bersih setelah kugosok sampai mampus. Segera membilasnya dan mengeringkan seluruh anggota badanku dari atas ke bawah. Keluar dari kamar mandi seraya merendahkan suara langkah kakiku.
“Jomblo! Dah pagi! Bangun woi! Panda! Panda!”
Suara berisik dan menjengkelkan itu terdengar setiap hari sibuk. Kedua orang tuaku jarang sekali bangun pagi, tanpa kusadari tingkat kemalasan keluargaku bagaikan panda.
Dengan setengah telanjang handuk yang menutupi tubuh bagian bawah. Berjalan cepat ke arah pintu, membukanya ditambah sedikit tenaga.
*Brakk
Pada saat itu kusadari, aku lupa dengan membuka slot kuncinya dan membuat suara gaduh dari pintu. Setelah kubuka slot kunci, terdapat seorang remaja seumuranku.
“Akhirnya bangun juga, jika aku tidak datang. Sepertinya kau akan telat dan pakai bajumu bego.”
“Telat jidatmu! Duluan saja.”
Sosok pria seumuran denganku. Rambut hitam kecokelatan medium. Ia cukup tampan dan populer di sekolah, apalagi dirinya sudah mempunyai seorang pacar.
“Aku menolak, aku akan berangkat bersamamu. Alasannya hanya satu, mungkin kau akan terkena musibah.”
Dia mengucapkannya disertai senyuman kecil tanpa ada niat apapun. Inilah yang membuatku kesal berhadapan dengannya. Menurutnya, penderitaanku lebih menarik dari pada penderitaan orang lain yang pernah ia lihat.
“Sebentar, hari ini akan kubawa Kolbi bersamaku.”
“Ini sudah keberapa kalinya kau membawa kucing ke sekolah? Berandalan membawa kucing, sungguh manis sekali.”
“Aku tampol ya!”
* * * * * *
Seperti biasa, mengendarai sepeda menuju sekolah dengan isi tas beberapa buku tanpa ada alat tulis. Mungkin ini sebuah misteri, setiap alat tulis maupun penghapus. Jika lima detik saja ditinggal di atas meja, maka dalam enam detik akan hilang tanpa jejak.
Pelakunya? Tentu saja, itu aku. Karena itu, tanpa kusadari isi kolong meja milikku penuh dengan bolpoin yang aku ambil.
“Astaga ... apa yang aku lakukan selama ini ... ”
Duduk di bagian samping kiri dekat jendela. Ruangan kelas ini ada di lantai dua, lebih menyenangkan di lantai atas namun akan menyebalkan jika panggilan alam mendesak. Sedangkan toilet ada di lantai satu.
Temanku yang tadi pagi, berada di kelas yang berbeda denganku. Di kelas ini, aku adalah individu yang terlihat kesepian di mata orang lain.
Tempat duduk milikku bukan berada di sudut, namun ada di depannya. Aku bukanlah seorang protagonis, hanya orang biasa dengan keterampilan yang berbahaya. Sudah sebulan, di samping kanan tidak ada seorang pun yang menempatinya.
“Pelajaran pertama adalah Kimia. Pilihan terbaik adalah tidur sambil mendengar penjelasan guru.”
Pikirku seraya melihat jam dinding yang terpasang di atas papan tulis hitam. Penggunaan papan tulis hitam yang memakai kapur lebih baik dari pada papan tulis putih. Hanya saja, debu dari kapur cukup berbahaya bagi pernapasan.
Ketika mencoba beberapa kali untuk mengheningkan suara yang masuk melalui telinga. Suara bel masuk sekolah berdentang, tidak ada cara lain lagi selain bangun dan memberi hormat terlebih dahulu kepada guru.
Ketika melirik ke tas yang ditempatkan pada samping meja. Terdapat kepala kucing yang muncul melalui sela-sela resleting yang terbuka. Kutarik resleting itu, mengangkat kucing bernama Kolbi dan aku tempatkan di atas meja.
*Sreek
Suara pintu kelas dengan jenis digeser terdengar olehku. Para murid di kelas ini segera kembali ke bangku masing-masing. Menahan kepalaku dengan tangan kanan, mengganjal daguku di atas meja.
“Tidak seperti biasa, irama langkah kakinya beraturan. Biasanya dia ... ”
Pada saat itu kusadari, perubahan sifat yang dilakukan oleh guru kimia itu tidaklah wajar. Ada alasan tertentu di balik semua itu, ini membuatku penasaran.
“Pagi anak-anak!”
“Pagi!”
“Hari ini, kita kedatangan murid baru pindahan dari sekolah lain.”
Setelah mengatakannya. Guru kimia itu menoleh ke samping kiri, menggunakan bahasa isyarat dengan gerakan tangan. Kode itu memiliki maksud agar murid baru itu masuk ke kelas.
Tatapan setiap murid di kelas ini tertuju pada sosok perempuan yang melangkahkan kakinya dengan pelan. Sosoknya yang begitu indah, baru kali ini aku melihat siswi yang begitu cantik. Siswi itu berdiri di depan kelas, mencoba memperkenalkan dirinya meskipun diselimuti perasaan malu.
Rambut coklat sampai punggung, wajah yang amat manis dan cantik membuat siapa saja terpesona kepada sosoknya yang anggun.
Aku sangat terkejut. Sungguh sekali, baru kali ini aku terkejut dalam hidupku. Siswi itu tidak bicara sepatah kata pun, ia memperkenalkan dirinya dengan tulisan tangan yang tercantum pada buku catatan kecil.
Halaman pertama menunjukkan namanya. Halaman kedua menunjukkan kondisi tubuhnya. Dia bisu, setiap murid yang ada di kelas ini terkejut.
Untukku? Ya, aku sungguh terkejut seraya mengusap-usap Kolbi dengan tangan kiri. Bukan karena dirinya bisu atau apa. Sosok perempuan yang ada di depan kelas saat ini adalah ...
To Be Continue ....
ns 15.158.61.20da2