“Sha, ada seseorang yang ingin Papa kenalin. Ini Tante Wulan.”
“Halo, Resha,” sapa seorang ibu berumur pertengahan tiga puluhan sambil tersenyum. Senyum yang keibuan dengan sedikit rasa simpati.
Tante Wulan mengulurkan tangannya. Resha menyambutnya dengan canggung. Ia sudah tahu apa yang akan Papa lakukan setelah perkenalan ini, tapi ia tidak berniat untuk menolak keputusan Papa. Selama Tante Wulan bukanlah tipe ibu tiri yang selalu ada dalam kisah-kisah sedih dan menyayat hati yang sering ada di tv, Resha oke-oke saja.
“Ini Nico, Sha. Dia anak Tante Wulan yang umurnya lebih tua setahun dari kamu.”
Nico tidak mengulurkan tangannya seperti apa yang ibunya lakukan. Ia hanya memperhatikan Resha dari ujung kepala sampai ujung kaki. Resha yang diperhatikan begitu merasa sedikit tersinggung. Dia pun sama sekali tidak berniat untuk mengulurkan tangannya duluan.
***
SMA Pusaka Bangsa atau yang lebih keren disebut PusBang masih sepi saat Resha sampai di gerbang dan berpapasan dengan beberapa teman-temannya. Resha bolos seminggu dengan alasan ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Padahal dia nekat terbang ke Jepang untuk menonton band kesukaannya, [Alexandros], yang minggu lalu melangsungkan tour final di Makuhari Messe. Gadis itu berharap tidak ada yang curiga kalau alasannya untuk bolos itu fiktif belaka.
“Gimana konsernya? Seru?” sapa seorang cowok ber-hoodie abu-abu saat Resha duduk di bangkunya.
“Sstt! Jangan keras-keras. Nanti kalau ada yang kepo gue bisa dipanggil guru BK,” keluh Resha. Cowok ber-hoodie itu cuma cengengesan sambil melepaskan hoodie-nya dan menaruhnya di dalam tas. Rambut medium cut ala oppa Korea-nya sedikit berantakan setelah melepas hoodie abu-abunya. Earphone yang sedari tadi bertengger di telinganya pun segera ia lepas.
“Siapa suruh bolos seminggu nggak ngajak-ngajak. Mana bolosnya jauh lagi sampe ke Jepang. Nggak bakalan ngasih oleh-oleh buat teman sebangku?”
Resha memutar bola matanya sebal. Dia membuka tasnya dengan malas dan memberikan sebuah plastik hitam berukuran sedang pada cowok tersebut.
“Buat tutup mulut. Sori kotaknya udah gue buang, takut diperiksa bea cukai. Awas lo kalo ember kemana-mana,” ancam Resha.
“Wah makasih banget, Sha! Siap gue nggak bakalan ember kemana-mana kok.” Teman sebangku Resha yang bernama Rega itu segera memasukan plastik tersebut ke dalam tasnya. Cowok itu sempat jingkrak-jingkrak sebentar seperti baru saja memenangkan undian mobil dari tutup botol minuman. Kemudian dia bergegas ke luar kelas sambil bersiul-siul bahagia. Tujuannya tidak salah lagi pasti kantin.
Resha dan Rega teman sebangku karena absennya berurutan. Sebenarnya sebagian besar penghuni kelas XI IPA 3 mengeluh dengan sistem tempat duduk sesuai absen ini. Sistem yang aneh banget, nggak tahu dimana faedahnya. Sebagian besar jadi tidak bisa bergosip dengan teman-temannya yang lain. Tapi hikmah dari sistem tempat duduk sesuai absen ini, mereka jadi lebih akrab selain dengan teman sepergaulan.
XI IPA 3 sudah mulai ramai. Sebagian besar cewek-cewek di kelas sibuk meributkan hal-hal yang berbau instagram sedangkan para cowok riuh dengan siaran langsung pertandingan bola tadi subuh.
“Eh lo jangan lupa love foto gue yang kemaren, ya!”
Samar-samar terdengar obrolan geng rumpi XI IPA 3. Mereka sibuk cekikikan dan mata mereka tak lepas dari ponsel yang sebagian besar didominasi dengan logo buah yang tergigit.
“Sial!” Rega yang baru kembali lagi dari kantin terlihat kesal. Dia segera bergabung dengan para cowok yang masih asyik membahas pertandingan bola.
“Kenapa, Ga?” tanya Widia, salah satu anak geng rumpi penasaran. Sepertinya ada bahan gosip baru lagi, pikirnya.
“Kepo amat sih, lo!” seru Rega masih kesal.
“Alah paling dia belum bisa move on dari Fitria terus barusan nggak sengaja ketemu,” celetuk Leni, salah satu anak geng rumpi juga. Geng rumpi ini beranggotakan Widia, Leni, dan Anggun. Tiga cewek pemburu gosip yang kecepatan dan keakuratan informasinya bisa mengalahkan agen intelejensi negara.
“Berisik dasar tukang gosip!” dilemparinya cewek-cewek tersebut dengan gumpalan kertas tapi sayangnya tidak kena.
Geng rumpi hanya bisa mencibir kelakuan kenakak-kanakan Rega seraya kembali ke bangku masing-masing, karena Pak Ilyas guru Biologi sudah berada di kelas. Pak Ilyas membagikan sebuah kertas yang disinyalir tes kecil. Seluruh penghuni XI IPA 3 mengeluh kompak.
***
“SUMPAH GUA NGGAK BERCANDA, GUA TADI DISENYUMIN ADRIAN DI KANTIN!” suara lengkingan khas Leni terdengar sampai koridor depan perpustakaan yang berada di lantai dua. Resha yang tengah mendengarkan lagu di iPod-nya dengan volume super kencang pun reflek menoleh mencari sumber suara.
Dari kejauhan, Leni tampak masih histeris dan kedua temannya berusaha untuk membuatnya diam karena mereka sudah cukup membuat siswa-siswi yang berlalu lalang penasaran dengan apa yang terjadi. Tontonan yang sebenarnya tidak terlalu banyak membawa manfaat, tapi cukup menghibur untuk mereka yang butuh penyegaran saat musim-musim ulangan seperti sekarang ini.
“Si Leni kenapa, sih?” tanya Resha saat Rega menghampirinya. Rega hanya senyum menyeringai sambil duduk di sebelah Resha.
“Dia ngerasa disenyumin Adrian tadi di kantin. Padahal Adrian senyumin Fasya yang kebetulan ada di belakang dia.”
“Konyol. Dia sekarang masih histeris kayaknya hahaha,” Resha melepas earphone-nya dan memasukannya ke saku rok. “Eh, yang tadi pagi maksudnya, apa?”
“Yang tadi pagi apa?” Rega mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan Resha yang tiba-tiba.
“Kata Leni yang belum bisa move on dari Fitria itu? Ada berita apa aja selama seminggu gue bolos?”
“Oh itu, gue putus sama Fitria.”
“Serius, Ga? Kenapa?” tanya Resha tak percaya.
“Emang gue kelihatan kayak lagi bercanda?” Rega menghela napas. Dia menyandarkan punggungnya pada tembok pembatas sambil mengarahkan pandangannya ke langit-langit. “Dia suka sama cowok lain. Padahal waktu dia nembak gue, gue belum ada rasa apa-apa sama dia. Disaat gue udah mulai ngerasa nyaman, dia ninggalin gue.”
“Oh, gitu. Ya udah, move on, Ga.”
“Lo nggak ada simpati-simpatinya sama temen, ya? Orang lain mah menghibur temennya yang abis patah hati diajak makan atau diajak jalan-jalan gitu, cuma itu kalimat yang keluar?” Rega menghela napas kecewa. Memang salah curhat masalah percintaan dengan Resha. Resha mulai skeptis tentang cinta sejak orang tuanya bercerai tiga tahun lalu. Dia percaya bahwa happy ending itu cuma ada dalam dongeng-dongeng yang dulu sering ia dengar sebelum tidur.
“Ya, lo berharap gue ngomong apa lagi? Yang udah terjadi kan nggak bisa diulang lagi. Lagian cewek di sekolah ini bukan cuma Fitria.”
“Lo belum ngerasain yang namanya jatuh cinta sih, Sha. Coba lo pacaran, lo bakalan ngerasain apa yang gue rasain sekarang.”
“Sok tahu. Gue juga pernah ngerasain jatuh cinta, kok. Jatuh cinta sama [Alexandros]. Gue sampe bela-belain ke Jepang buat nonton konser mereka.”
“Suka dan nge-fans sama seseorang itu beda, Sha. Suatu hari lo bakalan tahu perbedaannya. Lo masih bocah, sih. Kayaknya masih lama lo bakalan ngerti perbedaannya apa.”
“Iya emang gue masih bocah,” Resha cemberut. Rega yang geli dengan muka cemberut Resha segera menarik rambut Resha yang terikat sehingga membuatnya semakin kesal. “Rusak nanti ikatan rambut gue, Ga. Jangan ditarik-tarik!”
Perpustakaan lantai dua memang spot yang bagus untuk melihat langsung ke lapangan basket. Tapi sayangnya tempat ini tergolong jarang didatangi siswa-siswi SMA PusBang karena rumor-rumor berbau mistis. Resha sama sekali tidak percaya dengan cerita bualan itu. Sudah berbulan-bulan dia nongkrong sendirian di koridor ini tapi tidak ada hal-hal aneh yang terjadi. Malah perpustakaan lantai dua punya hotspot wi-fi yang paling kenceng satu sekolah.
“Rega!” teriak seorang cowok. Mereka segera mengalihkan pandangan ke bawah mencari si sumber suara. Seorang cowok melambaikan tangan pada Rega di tengah lapangan basket. Walaupun mereka berdua melihatnya dari lantai dua, Resha dapat melihat cowok itu lebih tinggi dari Rega sedikit.
“Apa, Yan?” Rega balas melambaikan tangannya pada cowok itu.
“Jangan lupa nanti sore jadwal futsal dimajuin sejam.”
“Sip, thanks bro!”
Cowok itu segera bergabung dengan teman-temannya yang lain untuk bermain basket. Beberapa cewek yang melihatnya segera mendekat lapangan basket. Mereka sibuk ketawa-ketiwi melihat cowok-cowok yang tengah bermain basket.
“Siapa, Ga?”
“Lo nggak tahu dia siapa?” Resha dengan polos menggelengkan kepalanya. “Itu Adrian, anak XI IPA 4. Cowok yang bikin si Leni histeris tadi.”
“Oh, itu yang namanya Adrian. Temen ekskul futsal lo ternyata. Tapi kok gue belum pernah lihat, ya?”
“Serius? Kayaknya itu anak sering berkeliaran di sekolah, deh. Dia juga beberapa kali dateng ke kelas kita. Makanya jangan banyak bolos, lo. Nggak kenal sama temen satu sekolah sendiri, kan?”
Resha hanya mengedikkan bahu seraya meninggalkan koridor depan perpustakaan. Istirahat pertama sudah selesai.
ns 15.158.61.48da2