Di Altar itu, duduk seorang pemuda yang sedang khidmat memunajatkan doa kepada Tuhan. Keadaan begitu tenang, ia begitu menikmati ceritanya dengan sang Pencipta. Ia kadang tersenyum, lalu menangis dalam heningnya, lalu tersenyum lagi, dan menangis lagi. Entah apa yang sedang diadukan nya hingga sebegitunya. Sudah entah berapa lama ia berada di Altar itu, hingga akhirnya suara dari si mbok menghentikan nya. "Mas Egi... Ada Mas Arif nih". Egi pun beranjak dari Altar dan menghampiri sumber suara.
Egi : "Eh rif, udah lama? Sorry tadi aku lagi curhat sama Tuhan. Hehehehe... "
Arif : "Hahaha, baru aja nyampe gi, loh kau kenapa nangis? Ada masalah? "
Egi : "Eh, gak ada apa-apa kok rif. Aku lagi rindu sama ayah dan ibu aja, jadi tadi curhat panjang kali lebar sama Tuhan tentang mereka. Hehehehe"
Arif : "Waahh, maaf aku ngeganggu waktumu gi, gaktau aku kalo kau lagi Quality Time sama Tuhan. Aku pulang lah..."
Egi : "Yeeee, suek. Biasa aja kali. Emang kerjaanmu gitu kan? mengganggu ketentraman hidupku terus."
Arif & Egi : "Hahahaha..."
Begitulah pertemanan Egi dan Arif, Arif adalah sahabat Egi dari kecil, mereka tumbuh bersama, besar bersama, bahkan Egi sudah menganggap Arif sebagai abang kandung nya sendiri. Karena usia Arif memang setahun lebih tua dari Egi. Apalagi semenjak Egi kehilangan sosok Ayah dalam hidupnya, Egi merasa Arif adalah orang yang tepat untuk membimbingnya.
Saat itu ayah Egi meninggal karena sebuah kecelakaan di perjalanan, saat itu Egi masih berumur 14 tahun,dan Ibunya pergi ke luar kota meninggalkannya bersama si mbok. Semenjak itu ibunya tak pernah menemui Egi. Karena kejadian itu, Egi sempat mengalami depresi yang sangat berat, seminggu ia tak keluar kamar. Itu adalah kehilangan pertama yang sangat berat yang pernah dialami Egi. Disitulah Arif memberikan pengertian dan terus membujuk Egi agar mau berdamai dengan hatinya, membujuk Egi agar ikhlas menerima kenyataan, dan terus memberikan motivasi kepada Egi. Awalnya Egi menentang setiap penjelasan dari Arif, bahkan Egi sempat mengatakan bahwa Arif tak tau bagaimana rasanya kehilangan dalam hidupnya, terlebih lagi kehilangan sosok yang mejadi pembimbing hidupnya.
Seketika wajah Arif berubah, Arif terdiam, tak mampu berkata-kata. Egi pun terus-terusan menanyakan Arif tentang hal tersebut sembari menangis. Arif yang terdiam dan tersudut oleh pertanyaan Egi itu, akhir nya membentak Egi dengan mengatakan "Iya aku tak tau rasanya, karena aku tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah dan ibu semenjak kecil. Aku tak tau rasanya dibimbing mereka, aku tak tau. Aku tak punya orangtua!!! Puas kau?" Arif pun tak kuasa menahan air matanya, tangis Arif pecah sepecah-pecahnya.
Mendengar perkataan Arif, Egi sontak terdiam. Egi tak menyangka, bahwa selama ini, Arif hidup tanpa orangtua, hidup tanpa kasih sayang dari ayah dan ibu, tak punya pembimbing dalam hidupnya. Tapi kenapa? Kenapa Arif begitu damai, seolah dia begitu terarah hidupnya, seolah hidupnya terbimbing, kenapa?
Tanpa pikir panjang, Egi merangkul Arif dan meminta maaf, Egi tak bermaksud menyinggung Arif, dan Egi tak tau perihal tersebut. Egi merasa menyesal telah membuat Arif sedih, mengungkit masalalunya Arif, dan berkata kasar kepadanya, Egi sangat menyesal. Tapi begitulah Arif, Arif tidak menyalahkan Egi atas kejadian tadi, Arif menganggap bahwa kejadian tadi hanya karena ketidaktahuan Egi tentang dirinya. Dari situlah Egi menganggap bahwa Arif begitu dewasa, dan Egi pun menjadikan Arif sosok pembimbingnya setelah ayahnya tiada.
Hari itu langit begitu nyaman, kicauan burung memanjakan telinga, tiupan angin memanjakan mata untuk terlelap. Egi yang baru saja selesai mandi, duduk di depan tv dengan secangkir teh buatan si mbok. Nikmat ia menyeruput teh itu, sambil terus menekan tombol remote di tangannya.
"Krrrrriiiiinnggggg...." suara telepon rumah itu mengagetkan Egi yang ada didepan tv. Berlari ia kearah sumber suara itu, namun apa yang terjadi? tiba-tiba Egi menjatuhkan teleponnya, air matanya seketika jatuh ke pipi. Ia memukul dinding sekuat tenaga, seperti ada penyesalan dalam dirinya. Egi berteriak melampiaskan emosinya, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya di telepon itu. Arif ditemukan tewas di dalam kamarnya, Arif diduga overdosis obat-obatan terlarang.
Egi yang masih dalam keadaan sedih dan emosi, bergegas menuju ke rumah Arif. Ternyata benar, rumah Arif telah ramai para pelayat. Tapi Egi masih tak percaya dengan kabar itu, ia mencoba mencari keluarga Arif untuk menanyakan perihal tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan dari keluarga Arif, Egi terdiam. Ia masih belum mampu menerima kenyataan, sahabat yang ia anggap seorang yang dewasa, yang mampu membimbing dirinya, malah mati dengan mengenaskan dan dengan cara yang tidak dewasa.
Sepulangnya Egi dari prosesi pemakaman Arif, tingkah laku Egi mulai berubah 180 derajat. Egi menjadi pemurung, anti sosial, dan enggan berinteraksi dengan siapa pun. Ia merasa jatuh sejatuhnya. Bagaimana tidak, sosok Arif yang begitu ia idolakan, sosok yang begitu ia hormati, kini telah hilang, bahkan dengan cara yang menurutnya sangat bodoh. Ini adalah kali kedua ia kehilangan sosok pembimbing.
Berhari-hari ia tak keluar kamar, bahkan makanannya harus sampai diantar oleh si mbok. Egi enggan melakukan apapun, Egi begitu kacau, ia masih tak terima dengan kenyataan yang ia hadapi. Si mbok yang semakin takut dengan tingkah laku Egi yang mulai melewati batas wajar, mencoba memberi penjelasan kepadanya, mendorong pemikiran Egi agar berdamai dengan hatinya dan ikhlas menerima kenyataan. Namun ia tak lagi percaya dengan orang lain, dia menganggap semua orang sama saja, berkata begitu dewasa dihadapan orang lain, namun tak sesuai dengan keadaan yang mereka hadapi.
Setelah beberapa hari mengurung diri dikamar, sepertinya kini Egi telah berdamai dengan keadaan yang menimpanya. Egi kembali ke kegiatannya sehari-hari, keluar dari sumpek nya udara kamar dan menghirup udara segar. Terlepas dari itu, sepertinya ada sedikit perbedaan dalam diri Egi. Ia menjadi seorang yang begitu tenang dan begitu optimis. Melihat hal itu, si mbok bangga kepada Egi, ia mampu melewati masa suramnya. Ya, itulah Egi yang baru. Egi yang mampu berdamai dengan keadaan, Egi yang dulunya selalu tergesa-gesa dan ceroboh, kini menjadi sosok yang begitu tenang dan dewasa.
Tapi, apa yang sebenarnya terlihat di luar, tak sejalan dengan keadaan saat ia sendirian. Egi yang begitu optimis, energik dan tenang, ternyata memiliki area kelam dalam hatinya. Saat ia sendirian, ia berubah menjadi orang yang begitu pesimis, selalu merasa bersalah, dan merasa tak berguna. Awalnya kedua sifat itu bisa ia kontrol, namun lama kelamaan ia tak bisa membedakan kondisinya, sifatnya menjadi tidak menentu, ia mulai tidak bisa meredam area kelamnya. Kadang ia merasa sangat bahagia, kadang ia merasa putus asa. Kadang ia begitu optimis, kadang ia menjadi begitu pesimis. Egi menjadi sosok yang gampang marah. Kehidupan Egi mulai terganggu, apalagi belakangan ini, Egi sering merasakan putus asa, merasa paling berdosa, tak berguna.
Lantas ia pun mulai mencari cara agar dapat melewati fase itu, akhirnya ia menemukan obat penenang sebagai solusi dari masalah itu.
Waktu terus berjalan, dan sepertinya Egi mulai bisa mengatasi permasalahannya, ketika ia merasa putus asa, Egi akan menelan obat penenang agar pikirannya tetap rileks. bertahun kebiasaan ini Egi lakukan, hingga pada suatu malam, mood Egi yang berubah drastis mulai dirasakannya, Egi mencoba mencari obatnya, sepertinya ia menjadi ketergantungan dengan obat tersebut, ia lupa letak obat tersebut, semua dibongkarnya, seisi kamar jadi berantakan. Ia seperti orang gila, kebingungan , ia terlalu bergantung dengan obat itu. Setelah ia menemukan obat itu, langsung ditelannya 8 butir sekaligus. Awalnya ia merasa begitu tenang, ia merasa semua sudah baik-baik saja, namun yang terjadi setelah itu diluar dugaan Egi, badan Egi mulai terasa panas, degup jantung mulai tidak beraturan, Egi jatuh tergeletak tak sadarkan diri, dari mulutnya keluar buih putih. Tidak ada yang tau kejadian ini, hingga pagi hari ketika si mbok mencoba membangunkan Egi, si mbok melihat tubuh Egi sudah terbujur kaku, kulitnya sudah pucat. Egi meninggal karena overdosis obat-obatan. Obat yang katanya penenang itu benar benar membuat Egi pergi dengan tenang. Egi pergi meninggalkan sejuta tanda tanya, apa sebenarnya yang terjadi?Mungkinkah apa yang dialami oleh Arif sama dengan yang dialami oleh Egi? Tak ada yang tahu. Dan keluarga Egi memilih untuk merahasiakan penyebab kematian Egi.1185Please respect copyright.PENANANj6F8hH6Tp
T A M A T
ns 15.158.61.20da2