Angin bergerak berputar, membawa desis hembusan, berbisik lirih akan seorang putri yang terbuang. Rambutnya hitam bagai arang, bibirnya sememerah darah, dan kulitnya seputih salju yang turun diawal musim dingin, dia adalah sang putri yang tak mendapat takdir yang baik dalam hidupnya.
Sepasang mata hitam yang terlihat tangguh itu menatap sebuah hutan yang tertutupi salju, pohon-pohon mengkerut kedinginan, saling memeluk dengan dahan yang rapuh.
Snow White melangkah menghampiri pohon tua didepannya, mengelus kerutan yang disisipi butiran es, salju tampak sama seperti dirinya, ditakdirkan terbuang, banyak diumpat karna menyusahkan, padahal dirinya juga tak mengharapkan takdir yang buruk jatuh padanya.
Beberapa waktu telah berlalu, dimana dalam ingatannya terukir jelas saat sang ibu tiri membuangnya kedalam hutan ini. Tangan pucat itu masih mengelusi bongkahan kayu yang berdiri menjulang dihadapannya, tatapannya semakin kuat.
Hari dimana ia tahu sakit yang didera ibundanya bukanlah karna sakit biasa, tapi dari racun yang disematkan pada sebuah apel, pemberian seorang wanita licik yang dengan baik hatinya sang ibu tolong beberapa waktu lalunya, beralih menggoda baginda raja setelahnya, memberikan apel yang sama dengan ibundanya di kemudian hari, sebagai menutup wanita itu membuang dirinya agar hak kerajaan menjadi miliknya selaku ratu terakhir.
Sungguh, Snow White dilahirkan ditengah kasih sayang yang melimpah, dia tumbuh menjadi gadis yang baik hati atas didikkan ibunya, dan kedewasaan membuatnya semakin mengerti apa itu arti kepintaran.
Gadis itu melangkah dengan hentakan yang kuat, menyusuri hutan, beberapa butiran es yang jatuh dari dahan-dahan pohon menyertai langkahnya, semakin kedepan sebuah terowongan tertangkap penglihatannya.
Saat ini salju adalah bagian dalam dirinya, serupa, walau terlihat lembut diluar, walau nampak seperti selimut yang melindungi seluruh hutan, butiran es itu dapat mematikan saraf karna dinginnya. Genggaman tangannya mengerat atas tekad yang semakin membulat.
Lorong gua tak sepenuhnya gelap jika semakin ditelusuri, jalanannya semakin menurun, dan berakhir dengan pemandangan yang tak akan disangka. Ini adalah perjuangannya selama tiga tahun, yang akan dia persembahkan untuk sang ibu tiri.
Bukan, dia tidak berniat membalas dendam, hanya satu hal kecil yang diinginkan Snow White.
"Siapkan semuanya! Waktu kita tidak banyak." Teriakan itu terdengar tangguh, tak menyangka gadis selembut Snow White yang dulunya hanya tahu cara berteman dengan kelinci sekarang memimpin para penduduk yang tak terurus akibat kepemimpinan si ibu tiri.
Takdir buruknya tak sepenuhnya buruk, saat dirinya kala itu diasingkan dihutan tanpa berbekal apapun, berjalan tak tentu arah hingga matahari tiga kali menampakan wujudnya, disaat tubuhnya tak mampu lagi menuruti kemauannya, seorang lelaki kerdil paruh baya menolongnya, membawanya kerumah kayu yang berada ditengah hutan, bersama keenam putranya.
Disaat itulah kedewasaan menghampirinya, mencari-cari apa yang sebenarnya dia inginkan dan mencapainya.
Hingga sekarang, hutan yang dianggap terkutuk oleh semua orang, menyembunyikan Snow White dibawahnya.
"Kau sudah kembali?" si kerdil yang menjadi kakak tertua para kerdil lainnya telah berdiri disamping Snow White, ikut mengamati perkembangan rencana mereka.
"Ya, persiapannya sudah semuanya berjalan?" Snow White berkata tanpa menoleh, matanya masih sibuk mengamati berkilo-kilo apel dalam bak kayu besar, beberapa orang memilah-milahnya, memasukan yang sesuai kedalam gerobak sedangkan yang tak sesuai kedalam keranjang kayu yang lain.
"Semuanya berjalan baik." Si kerdil tertua menatap gadis cantik disampingnya, gadis tangguh yang berjuang hingga sejauh ini, gadis yang ditemukan ayahnya dalam keadaan sekarat dihutan, gadis yang bermetamorfosis sebelum waktunya, gadis yang di saat kamatian ayahnya dia sudah berjanji untuk terus melayaninya hingga keinginan kecilnya terwujud.
"Malam ini kita kirim semuanya!" Tutup Snow White sebelum berbalik pergi.
Desisan angin membawa pesan dingin, butiran-butiran es saling menari, membekukan udara sunyi di antara dahan yang bergesek kaku, Snow White berjalan dibawah tudung hitamnya, bibir merah itu berkilau diantara gigitan pemiliknya, mata selegam arang itu terpejam sejenak disertai hembusan panjang, telapak tangan sepucat es itu tergenggam erat, dibelakangnya enam lelaki kerdil berdiri mengokohkan hati.
Tiga gerobak dorong telah disambungkan dengan kuda didepan setiap gerobaknya, tiga orang yang berlaku sebagai kusir pun telah pada tempatnya hingga beberapa waktu terlewat sudah, kuda-kuda itu pergi menempuh perjalanan ke kerajaan bersama gerobak penuh apel didalamnya.
Kerajaan terbagi dalam dua dinding, dinding terluar adalah tempat para penduduk biasa yang saat ini telah kosong, beberapa bangunan kumuh masih berdiri dengan tidak terurus, bahkan disebagian kawasan terdapat bekas bangunan yang terbakar, hitam kayu tertutupi putih salju. Tiga kusir itu terus menjalankan kuda-kuda mereka memasuki dinding terdalam.
Mereka terhenti untuk pemeriksaan dinding dalam, dua orang berpakaian kerajaan dengan pedang tersimpan disabuknya terlihat garang, dengan mata berwarna merah dan hembusan berbau minuman keras. Menggeledah isi gerobak dengan kasar, diantara mereka mengambil beberapa apel dengan sembarangan hingga susunan yang sudah dibuat dalam gerobak longsor melompati pembatas gerobak dan jatuh ketanah, kain merah yang digunakan untuk menutup juga terlindas ban gerobak, menyeretnya hingga semakin banyak apel yang tumpah.
Dua kusir yang bertahan dengan gerobak yang masih baik segera meninggalkan salah satu temannya, bergerak menuju tengah kota, tempat bangunan megah dimana sang ratu tinggal.
Dibelakang, si kusir yang kurang beruntung mulai kuwalahan karna orang-orang mulai berdatangan, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dengan pakaian kotor yang dibeberapa bagian sobek, terlihat kelaparan dan langsung menjejalkan apel-apel yang menggelinding ke mulut mereka.
Disisi lain, Snow White telah sampai digerbang terluar, kakinya terus melangkah, berpijak membentuk jejak diputihnya salju dengan enam kerdil yang mengikutinya dari belakang, pandangan gadis itu kosong, kadang untuk sesaat berkedip untuk memandang sekitar lalu kosong lagi.
Hatinya bergemuruh, bangunan-bangunan penduduk yang dahulunya diperjuangkan sang ayah sekarang tak ubahnya menjadi tempat bersarangnya hewan pengerat, bahkan salju tak mampu menutupi sedihnya kayu-kayu yang ambruk saling menimpa satu sama lain.
Genggaman tangannya tak pernah longgar ketika pemandangan disekelilingnya sungguh mengiris jiwa, hingga saat gadis itu tiba di dinding terdalam, tangannya mulai melemas.
Beberapa orang terlihat tidur nyenyak di jalanan, kulit mereka membiru karna ditumpuki salju, beberapa apel terlihat disisi-sisi mereka.
Snow White masih terus berjalan, langkah kakinya sampai digerbang bangunan megah, tak jauh berbeda dengan diluar gerbang, disini juga orang-orang tertidur kaku dijalanan.
"Ada apa dengan mereka." nadanya terdengar datar tanpa kalimat tanya, tapi enam kerdil di belakang merasa salah satu dari mereka perlu menjawab.
"Mungkin mereka kelelahan dan tertidur." Jawab si kerdil nomor empat.
Snow White masih berjalan sampai langkahnya membawa dirinya keruang pertemuan, matanya semakin sayu, tatapannya terpaku di tempat terujung, dimana kursi kebanggaan keluarganya berada.
Snow White masih berjalan, walau enam kurcaci dibelakangnya telah terhenti, hingga dirinya berdiri beberapa langkah dari kursi besar itu. Dibawah kakinya tergeletak apel merah, dia mengenali nya, itu adalah salah satu apelnya.
Apel yang tumbuh dengan pohon beracun racikannya, apel yang menghilangkan ketidakadilan walaupun secara paksa.
Apel yang–
Mata Snow White menangkap sosok wanita yang tertidur dibawah kursi, gadis itu berlutut disisinya.
"Terima kasih untuk apelnya ibu, aku hanya mengembalikan apa yang telah kau berikan untuk ayah dan ibunda ku," Snow White tersenyum kecil, "Maaf aku kemari setelah kau menyuruhku pergi, bukannya aku tak menuruti perintahmu, aku hanya ingin pulang, ditempat dimana aku seharusnya berada."
Selesai.
Kamis, 01 September 2016, 09.42.31
ns 15.158.61.8da2