SATU
Mendung. Aku, tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya, memilih untuk tidak mengenakan jas hujan ataupun payung dalam rangka menghadapi tangisan sang langit. Aku lebih memilih untuk menikmati momen-momen sebelum hujan, di mana ada sebuah kehangatan muncul─akibat kalor yang dilepaskan saat proses apapun itu, aku tidak peduli─dan melingkupiku. Rasanya seperti alam semesta memeluk dan memberiku rasa hangat yang mendamaikan.
Namun, seakan tidak ingin membiarkanku diliputi kehangatan lebih lama, rintik-rintik hujan mulai mengguyur halte bus tempatku bersinggah di bawah naungan langit malam. Aku sedang menunggu bus tidak jauh dari kampusku, Universitas Atma Jaya, setelah seharian penuh mencari referensi di perpustakaan umum dekat sana untuk penelitianku.
Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha untuk bertahan di tengah terjangan angin malam. Aku mendengar kasak-kusuk di sekitarku mengenai cuaca yang tidak mendukung perayaan tahun baru ini. Ya, hanya tersisa lima jam lagi menuju tengah malam. Jika hujan tidak segera berhenti, hari ini akan menjadi malam tahun baru yang menyedihkan karena kemungkinan besar pesta kembang api dan konvoi-konvoi di jalan raya tidak dapat dilaksanakan.
Oh wahai langit, mengapa engkau menangis? Seketika, hatiku terasa pilu. Entah mengapa, tangisan langit selalu membuatku ingin menangis juga, meratapi hidupku yang menyedihkan ini. Kuakui saja bahwa aku bukan seorang dengan kepribadian cerah, positif, energik atau sederet karakter lain yang bernada sama.
Aku, Lavenia, usia 19 tahun, telah resmi dinobatkan sebagai mahasiswi paling tidak dikenali di kampus. Ibarat ada sebuah kalimat, namaku tidak akan terpisah dari kata ‘hah’ dan ‘siapa?’. Jika pun ada yang mengenali namaku, kata sifat seperti ‘tertutup’, ‘misterius’, dan ‘suram’ terus menempel pada gambaran diriku. Hanya satu yang mereka lewatkan, yaitu fakta bahwa aku terkadang juga melankolis dan over dramatis, terutama pada saat-saat hujan seperti ini.
Pikiranku tidak lepas dari keluhan dan ratapan pada Yang Maha Kuasa mengenai hidupku ini. Andai saja aku punya banyak teman, pasti mereka dapat membuat hidupku lebih berwarna. Jika saja aku menerima tawaran beasiswa ke UK, yang lalu kutolak mentah-mentah karena aku takut tidak dapat beradaptasi. Jika saja dulu aku lebih sering menghabiskan waktu di kelas dibandingkan menyendiri di tengah gundukan buku perpustakaan. Jika saja hidupku tidak sesepi ini. Jika saja… jika, jika dan selamanya hanya jika.
Aku sedang memandang lurus ke jalan raya saat tiba-tiba kurasakan lengan bawahku terkena sesuatu yang panas. Aku menengok ke kanan dan hanya berjarak tak sampai lima senti, kulihat terdapat segelas minuman yang uapnya masih mengepul. Dengan segera, aku berusaha mencari sosok yang memberikanku minuman tersebut. Namun, hanya ada sesosok laki-laki tak kukenal yang sedang berdiri di dekat halte tersebut. Dari penampilannya yang mengenakan kaos putih bergaris serta celana jins belel, aku rasa ia juga mahasiswa sepertiku.
“Permi─” bus yang telah datang menggagalkan rencanaku untuk bertanya pada lelaki itu. Lagipula, aku akan sangat malu kalau ternyata bukan dia yang memberiku minuman itu. Merasa terpanggil, lelaki itu menengok, tetapi aku sudah terlanjur berderap menuju bus sambil membawa segelas minuman tadi. Meski demikian, aku masih sempat melihat fitur-fitur di wajahnya yang terbilang lumayan. Oke, sebenarnya menawan tapi apalah bedanya. Toh, ia hanya seorang asing yang tidak ada sangkut-pautnya denganku.
Di gelas minuman yang kupegang terdapat sebuah tempelan kertas bertuliskan, “Segelas teh hijau hangat di saat hujan. Happy New Year’s Eve! Dari: Seorang Teman.”
Detik itu juga, perasaan hangat menelusup ke dalam hatiku, bersamaan dengan hangatnya teh hijau yang kusesap.
───
ns 15.158.61.16da2