Mereka berlima sudah ada di mobil Daniel menuju rumah Dave. Kali ini Daniel mengemudi, Cordie di kursi depan dan sisanya dibelakang, karena Cordie tak mau bersebelahan dengan Anson yang selalu jahil itu. Selama di mobil, ponsel Cordie sudah berdering beberapa kali tapi Cordie me-reject nya.
“siapa? Lelaki itu lagi?” tanya Daniel dibalik kemudinya.
Cordie pun menghela napas kasar dan mengangguk. Memang sudah sekitar dua minggu ini seorang pria bernama Jack slalu mendekati Cordie. Padahal mereka semua juga sudah tahu kalau Jack itu memiliki julukan ‘pria hidung belang’ di kampus. Jack terkenal dengan kepandaiannya memikat wanita untuk ditiduri dan kemudian ditinggal. Memang pergaulan di universitas itu sungguh perlu dijaga. Jika tidak, maka akan terseret ke pergaulan yang tidak baik. Dan beruntung mereka berlima sampai sekarang memiliki persahabatan yang sehat.
“hati-hati dengan Jack. Dia tidak mudah menyerah. Dia pasti akan mengejarmu sampai dapat, Cordie” ucap Daniel dengan nada khawatir. Memang sejak Jack mendekati Cordie, mereka berempat selalu waspada supaya Jack tidak sampai mendekat pada Cordie ketika di kampus. Mereka benar-benar melindungi Cordie.
Tanpa sadar, mereka sudah sampai di rumah Dave. Mereka pun turun dan disambut senyum ramah ibu Dave. Ibu Dave memang sangat ramah dan baik kepada mereka. Setiap mereka kumpul dirumah Dave, ibu Dave akan menyiapkan banyak makanan ringan untuk mereka santap.
“hallo Cordie.. kenapa semakin hari kau bertambah cantik saja” ujar ibu Dave gemas kepada Cordie yang disambut gelak tawa yang lainnya. Setelah dirasa cukup untuk memberi salam pada ibu Dave, mereka beranjak ke kamar Dave di lantai 2. Markas mereka selama ini adalah kamar Dave. Sebenarnya itu tidak layak disebut kamar karena terlalu besar.
“woahhh... entah sudah berapa kali aku masuk kamarmu tapi tetap saja aku kagum, Dave” ucap Anson penuh decak kekaguman sambil melihat-lihat kamar Dave. Didalam sana terdapat ranjang tidur ditengah, kemudian disebelah kanannya terdapat sofa besar beserta meja bulat berukuran sedang didepannya. Tidak lupa sebuah televisi tepat menghadap ranjang tidur Dave. Selain itu masih ada ruangan kecil dibelakang televisi yang berisi mini bar dan menyediakan banyak minuman maupun makanan ringan. Tidak lupa ada kamar mandi besar juga didalam kamar itu. Sungguh kamar impian semua orang.
Anson menjatuhkan dirinya ke ranjang tidur, Daniel dan Kiana mendudukkan diri ke sofa dan Cordie yang menuju mini bar untuk mengambil minuman. Sedangkan Dave sendiri masih harus mengganti pakaiannya di kamar mandi. Sembari menunggu semua temannya bersiap, Kiana sudah lebih dulu membuka lembaran tugas yang akan mereka kerjakan. Daniel melirik singkat ke arah Kiana sebelum akhirnya tersenyum simpul,
“Kiana.. kau bisa istirahat sebentar sebelum mulai mengerjakan. Kita baru saja sampai” ujar Daniel sambil tetap menatap Kiana yang fokus pada lembaran tugas tanpa menjawab pertanyaannya. Daniel hanya tersenyum dan kembali berkutat pada ponselnya.
“jadi.. kalian mau apa untuk makan malam? Biar ibuku yang memesankan” tanya Dave setelah keluar dari kamar mandi dan langsung berguling disebelah Dave. Mereka berempat pun saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya Kiana menjawab, “malam ini sepertinya pizza”. Semuanya menganggukkan kepala setuju dengan pilihan Kiana. Memang selama ini Kiana yang selalu mengambil keputusan-keputusan remeh seperti memilih makanan dan yang lainnya akan dengan mudah setuju.
Dave pun mengikuti jejak Kiana untuk membuka lembaran tugas kampus dan mulai memahaminya. Kiana yang sudah memahami betul bagaimana tugasnya pun menjelaskan kepada yang lain kemudian mulai membagi tugas sama rata untuk mereka berlima. Setelah itu Kiana, Dave, Daniel dan Cordie sudah mulai mengerjakan. Berbeda dengan Anson yang masih belum beranjak dari ranjang tidur dan memejamkan matanya, entah memang tertidur atau tidak. Yang lainpun tidak mempermasalahkan Anson sama sekali karena mereka tahu Anson pandai dan walaupun dia paling akhir memulai tugas, dia akan tetap menjadi pertama yang selesai. Bahkan Cordie sering iri dengan kepandaian Anson.
“aku heran dengannya. Dia terlihat sangat malas dan jarang belajar. Tapi kenapa dia sangat pandai?!” ujar Cordie jengkel sambil menatap Anson yang bermalas-malasan.
“itu sudah takdirnya” jawab Daniel singkat dan itu membuat Cordie mendengus kesal mendengarnya. Mereka berempat pun melanjutkan tugas mereka masing-masing sambil sesekali berdikusi. Sekitar satu jam kemudian barulah Anson bergabung dan mulai mengerjakan tugasnya.
‘Drtttt...drrrt..’
Cordie melirik ponselnya yang bergetar dan memuat bola matanya kesal. Daniel yang menyadari itupun langsung merampas ponsel Cordie dan menghembuskan napasnya kasar setelah melihat sebuah pesan di ponsel itu.
“Jack lagi?” tebak Dave dan dijawab anggukan oleh Daniel. Ia membacakan pesan yang Jack kirim kepada yang lain sebelum melempar asal ponsel Cordie ke sofa. Anson langsung melotot menahan amarah setelah mendengar penuturan Daniel, begitu juga dengan Dave yang menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
“dasar pria gila. Bagaimana bisa dia dengan entengnya minta bertemu dengan Cordie di sebuah hotel?!!” teriak Anson penuh penekanan. Dave pun memandang Cordie dengan prihatin dan berkata “Cordie.. kau benar-benar harus hati-hati. Jack sudah mulai beraksi dan dia akan terus seperti itu sampai mendapatkanmu”.
Cordie menatap semua temannya dengan pandangan menenangkan.
“tenang saja.. aku akan baik-baik saja dan aku tak akan pernah menemuinya” jelas Cordie dengan tersenyum berharap supaya teman-temannya tidak perlu khawatir.
“jangan pernah berdua dengan Jack sekalipun di kampus, Cordie” tutur Daniel serius.
“tidak akan. Lagian aku tahu kalian juga tidak akan membiarkan hal itu berjadi, kan?” kekeh Cordie mengingat perlakuan keempat sahabatnya yang sangat protektif pada Cordie jika menyangkut hal seperti ini. Karena mereka tahu Cordie mudah mempercayai ucapan pria manapun.
‘tok..tok..’
Perhatian mereka teralihkan dengan suara ketukan pintu kamar Dave yang kemudian memperlihatkan ibu Dave tersenyum ramah pada mereka semua.
“Dave.. pizza kalian sudah datang. Ambil dibawah” ujar ibu Dave yang dijawab anggukan oleh Dave kemudian bergegas keluar dari kamarnya.
“aku akan membantumu, Dave” teriak Kiana sambil mengikuti langkah Dave turun ke ruang makan. Dave tersenyum singkat dan menunggu sampai Kiana menyamai langkah kakinya dan berjalan bersama.
Sementara Dave menyiapkan makanan yang akan mereka bawa, Kiana duduk di kursi yang ada di dapur untuk menunggu. Dave dengan telaten menyiapkan semuanya dengan rapi.
“Kiana.. bagaimana dengan pria yang mendekatimu itu?” tanya Dave memulai pembicaraan. Kiana mengangkat sebelah alisnya bingung dengan pertanyaan tiba-tiba itu.
“Dave.. kau tahu tentang Harry?” tanya Kiana sambil memperhatikan Dave lekat. Seingat Kiana, ia belum memberitahukan masalah Harry pada semua sahabatnya. Dave mengangkat kepala dan menatap balik ke arah Kiana. Mata coklat Dave menatap lekat pada Kiana yang membuat Kiana sedikit memundurkan wajahnya kikuk.
“Kiana.. sekalipun kau belum bilang. Siapa yang tak bisa menebak gerak-gerikmu ketika ada Harry didekatmu” jelas Dave sambil tetap menatap Kiana. Kiana sedikit kikuk mendengar perkataan Dave. Ia merasa tertangkap basah didepan sahabatnya itu.
“oke.. baiklah.. aku akan cerita. Harry memang mendekatiku sudah sekitar dua bulan dan aku menanggapinya dengan sopan. Tapi kami belum ada apa-apa” jelas Kiana singkat namun masih menimbulkan banyak pertanyaan di otak Dave.
“kau tahu itu bukan sebuah penjelasan, Kiana” ujar Dave lagi tapi kali ini sudah memalingkan pandangan dari Kiana dan kembali berkutat menyiapkan makanan. Kiana mendengus ringan melihat reaksi cuek Dave. Kiana memang sudah terbiasa dengan sikap cuek Dave, tapi terkadang sikap itu juga masih membuatnya kesal. Kiana memang masih belum cerita kepada sahabatnya, tapi ia pasti akan cerita meskipun belum tahu kapan. Entah mengapa Kiana sedikit malu jika harus menceritakan tentang Harry.
Dave menyerahkan nampan yang berisi beberapa piring kepada Kiana untuk dibawa dan Dave membawa sisanya. Dave mulai melangkahkan kakinya dengan diikuti oleh Kiana. Mereka jalan beriringan tanpa ada percakapan sampai di kamar Dave.
“woahhh... pizzaaaa” teriak Anson dan bergegas mengambil sepotong pizza yang ada diatas meja, diikuti oleh yang lain yang juga mengambil pizza. Mereka mulai makan dalam hening karena lapar.
“Kiana.. makan dengan perlahan atau kau akan mati tersedak” peringat Daniel yang menatap Kiana makan dengan semangat sampai mulut penuh. Kiana pun mengangguk malu dan menuruti perkataan Daniel. Daniel memang sangat perhatian dengan segala hal kecil yang dilakukan para sahabatnya, setidaknya itu yang Kiana rasakan tentang Daniel. Selalu memperhatikan hal-hal kecil dan mengoreksinya. Kebalikan dengan Anson yang seakan tak pernah peduli dengan hal yang dilakukan para sahabatnya.
“tadi Harry bertanya tentangmu padaku, Kiana” jelas Anson singkat dan jelas namun mampu membuat tiga pasang mata lain langsung menatap Kiana penuh tanya. Kiana menelan pizza nya pelan dengan mata menunduk setelah mendapat tatapan dari sahabatnya.
ns 15.158.61.54da2