“Andai waktu bisa diputar ulang”, pernyataan klise itu terus menggema di pikiranku sejak melihatnya. Manik coklatnya seakan mengintimidasiku, bibirku bahkan mengatup sulit digerakkan saat berhadapan dengannya. Tapi aku tidak akan melontarkan pertanyaan basi terhadap diriku sendiri tentang kenapa aku sebenarnya, karena aku paham betul apa yang sedang kuhadapi.
Pagi ini tidak berbeda dari pagi hari biasa di bulan Januari, hujan turun tanpa kenal lelah. Aku berusaha meraih kacamata diatas nakas kayu bermotif ukiran naga, sayangnya dengan mata yang masih sayup-sayup tak memberiku banyak bantuan, “Pyarrrr.....” tanpa sengaja aku malah menjatuhkan segelas susu yang sepertinya sudah diletakkan ibu setengah jam lalu. Aku beranggapan begitu karena cairan putih tersebut tidak lagi mengeluarkan uap panas.
Dengan malas aku memutuskan beranjak menarik tubuhku dari pulau kapuk, kupakai kacamata yang kini menjernihkan pengelihatanku. Satu-persatu pecahan gelas kaca kuambil, hingga terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku. Belum sempat kupersilakan masuk, bayangan orang tersebut sudah ada dihadapanku. Terlihat sosok dengan tubuh berisi memamerkan gigi putihnya kearahku, wajah teduh itu yang sudah hampir 5 tahun terakhir menghiasi hari-hariku.
Ia mengulurkan tangan, seolah mengisyaratkan untuk membantu, tapi dengan cepat kutepis uluran tangan keriput itu, aku segera berlari menjauh, kubenamkan wajahku pada boneka kucing bermotif tuxedo, dengan cepat cairan bening membanjiri wajahku yang mulai memerah karena berusaha meredam amarah. Tampaknya perbuatanku itu sudah terlalu biasa baginya, dia justru tidak segan semakin mendekatiku, berusaha mengelus pipiku yang kata orang-orang chubby. Aku berteriak semampuku, tapi sepertinya tidak ada harapan lagi, tangan keriputnya terlanjur berhasil menerobos pertahananku. Dibelainya pipiku yang saat ini semakin memerah. Kudengar dia berucap lembut “Nak...percayalah Ibu tidak ingin menyakitimu, Ibu hanya ingin kamu mendapat yang terbaik.” Mendengarnya berucap aku muak, seakan ingin memuntahkan isi perutku, aku memejamkan mataku, seperti ada kepingan ingatan perlahan tersusun membentuk puzzle tapi kekurangan satu bagian terpentingnya. Keningku mulai berdenyut, mungkin aku harus beristirahat kembali, daripada menikmati hari dengan hujan pembawa kenangan.