TENG216Please respect copyright.PENANAbEsnaDsvsj
216Please respect copyright.PENANAbtr2uXWuPG
TENG216Please respect copyright.PENANAWTzpO8b0OS
216Please respect copyright.PENANA9FIPzT0FJL
TENG
Dentang lonceng tua nan berdebu kala jarum jam menunjuk angka 12.216Please respect copyright.PENANAoFCtX7CzgH
216Please respect copyright.PENANAHSR28dYYXv
Tahun baru tiba. Meja emas di antara dua orang yang satu berambut putih dan yang lain kisaran umur kepala 4 menjadi saksi bisu dibacakannya pronostica, petuah Sir Zein yang setiap tahunnya diberikan kepada pemimpin pulau kecil, Na’s Adras.
Sebuah pulau bahkan tidak ada yang tahu bentuknya kenampakan dari atas. Tanah subur yang menjadi kehidupan orang orang menyapa menyebut tempat tinggal mereka adalah Na's Island.
Empat mutiara mengelilinginya.
Mata air sukma di sebelah utara menjadi cermin masa emas.
Hutan rimba dengan pohon berbaris nan menari di selatan kunci kesuburan dan menjadi arti sejuk.
Pegunungan praja di timur menjulang tinggi nan gagah menantang mentari pagi ufuk.
Bukit hijau dandelion impian ber permadani rumput karana menjadi pintu terbenam surya.
Elemen elemen terlukiskan di pigura perak yang dipajang berjejer di tembok ruangan ini.
“Ariane. Jangan biarkan dia menikah. Keturunannya, akan membunuhmu” setelah diam cukup lama, kalimat itulah yang diucapkan Sir Zein.
Adras berfikir dalam diamnya. Jika Ariane putri semata wayangnya tidak punya buah kasih, siapa yang akan mewarisi Na’s Island ini waktu dirinya sudah tua nanti?
Akan tetapi, ego Adras merasukinya karena takut mati. Hatinya berkata tak tega apabila tidak bisa melihat masa keemasan Na’s Island di generasinya.
Na's Adras bukanlah raja. Para penduduk di Pulau memilihnya menjadi orang yang dianggap paling. Kepiawaiannya memecahkan masalah hingga kepandaiannya yang mencetuskan sistem demokrasi pulau menghasilkan otonomi yang menjadi peraturan bagi daerah otonom.
Selama kurang lebih 20 tahun, Na's Island selalu dalam kebahagiaan sampai sampai banyak orang yang mengkhawatirkan akan datang bagai besar atau langit mendung yang iri pada kedamaian pulau cantik ini.
***
Di depan cermin bersudut kanan mutiara bintang berbentuk bulan, seorang gadis cantik berkuku jari manis merah muda tengah menyisir rambut panjang gelapnya. Kulit putih bersihnya dan wajah merona merah muda kontras dengan warna kulit ayahnya yang sawo matang. Mungkin anak perempuan ini lebih memiliki kemiripan dengan ibundanya yang kini tenang di atas sana.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” suara lembut pelayan terdengar dari balik pintu. Gadis yang dipanggil Ariane itu menghentikan kegiatannya di meja rias dan beranjak untuk membukakan pintu kamarnya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Ariane selepas membuka pintu berwarna putih itu.
“Kemasi barang barang mu. Mulai nanti malam, kau tidur dekat dengan bintang di langit” jawab Adras tak meninggalkan kesan wibawanya.
“Dimanakah itu, Ayah?” cicit Ariane takut merasa ada yang tidak beres.
“Menara” singkat Adras memberi kode tersirat pada Ariane untuk bergegas.
***
Ariane yang kini genap berusia 17 Tahun tak berani melawan hanya sekedar bertanya mengapa. Disinilah dirinya sekarang. Berdiri memandang langit malam yang enggan menghadirkan bintang.
“Na’s Ariane, saya membawa bunga terompet jingga yang engkau minta” suara bariton membuyarkan lamunan Ariane.
“Masuklah, Alex,” si empu yang dipanggil namanya langsung membuka pintu kamar menara Ariane.
“Ini Na’s Ariane” Alex memberikan bunga yang dibawanya ke Ariane dengan berjongkok.
“Kau tahu kenapa aku selalu meminta dibawakan bunga terompet jingga?”terima Ariane memandang layu bunga ditangannya.
“Tidak Na’s Ariane” jawab Alex sekenanya masih dalam posisi berjongkok dihadapan Ariane.
“Jangan formal padaku, Alex. Kau adalah temanku” bibir Ariane berdecak sebal dengan tingkah pengawal menara yang seumuran dengannya ini.
“Maafkan aku...A..ria..ne” Alex ragu terpatah ucapannya seraya berdiri dan memposisikan tubuhnya disamping Ariane.
“Jangan sering mengucap maaf. Dunia ini kejam” Ariane berbalik arah menghadap laki laki disebelahnya ini.
“Kau cantik malam ini, Ariane” Alex balas memandang Ariane lekat.216Please respect copyright.PENANAnRhIDggwXR
216Please respect copyright.PENANA0rFLaG4ks5
Jarak mereka semakin dekat. Raut muka Ariane merona merah seperti apel. Deru nafas Alex menerpa wajah Ariane.
Keduanya menutup mata, seperti bulan yang kini tertutup awan. Malam itu adalah saksi yang mengundang petir untuk menyambar memberitakan bahwa ini buruk.
***
“Kenapa sudah 2 minggu ini perutku membuncit? Padahal aku tidak napsu makan” Ariane bertanya pada pantulan dirinya di cermin besar kamarnya.
“Apa benar kata Alex kalau ayah mengurungku di menara agar aku terus melajang? Tapi yang telah aku lakukan..” lirih Ariane berfikir keras meratapi nasibnya terpotong oleh pintu kamarnya yang terketuk.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” mendengarnya, Ariane panik dan berjalan kesana kemari.
“Masuklah, pintu tidak aku kunci” teriak Ariane seraya memposisikan tubuhnya di ranjang dengan berbalut selimut.
“Ariane, apa kau sakit?” sesaat setelah Adras masuk, dirinya langsung menghampiri Ariane yang terbaring dan mengarahkan tangannya di dahi putrinya ini untuk memeriksa suhu badannya.
“Aku tidak apa apa, Ayah” sangkal lembuh Ariane manatap ayahnya sambil tersenyum.
“Aku khawatir padamu. Aku akan pergi ke utara selama 7 bulan di otonom Bradia” raut mimik cemas terarah dari Adras ke anak satu satunya ini.
“Aku akan baik baik saja, Ayah” kembali Ariane mengukir senyum manisnya meyakinkan.
“Bila kau butuh apa apa, katakan pada Sir Aura” dengan menggenggam tangan mungil Ariane, Adras sebenarnya tidak tega meninggalkan putrinya.
Hanya anggukan yang dibalas Ariane bahwa dirinya nanti akan mengomukasikan segalanya pada Sir Aura perawat pribadinya sekaligus ibu dari Alex.
***
7 BULAN KEMUDIAN
“Sir Aura, aku mohon rahasiakan hal ini..” ucap pasrah Ariane yang wajahnya pucat pasi seraya terbaring lemah menahan rasa sakit.
“Saya sangat bodoh Na’s Ariane, tidak mengetahuinya dari awal. Harusnya nona tidak berjuang sendirian. Saya siap jika setelah ini penggal adalah hukuman pantas untuk saya.”
Ariane memang menyembunyikan bahwa dirinya berbadan dua. Hanya Alex yang sesekali datang untuk memberikan bunga terompet jingga. Rahasia menjadi milik mereka berdua sampai masa kelahiran tiba.
Malam ini.
Dengan terbaring lemah dalam menara yang tak terlihat indah, Ariane pasrah akan keadaan.216Please respect copyright.PENANA6F0NY3phCZ
216Please respect copyright.PENANAvb7CwzTHTk
Dia merasa hal ini takdir. Walau ia tidak tahu ditujukan pada siapa.
“Selamatkan luke dan lucas” selepasnya, Ariane tidak sadarkan diri. Terpaksa Sir Aura menyayat rahim Ariane dan mengangkat bayi mungil yang kembar.
Tangisan dua bayi itu bersahutan. Untunglah mereka di menara, dengan cepat Sir Aura memotong tali pusar dua bayi laki laki itu dan memandikannya.
Diukir nama Luke di bahu kanan bayi yang keluar pertama dan Lucas di bahu kiri bayi satunya. Seraya menitikan air mata, Sir Aura membasuh wajah cantik Ariane tiga kali untuk menghormatinya yang sudah menyelesaikan urusannya di dunia yang fana ini.
“Na’s Ariane, Na’s Adras baru saja memasuki gerbang” suara yang dikenal Sir Aura menuntunnya untuk membuka pintu.
“Ibu kenapa menangis? Dimana Ariane?” Alex panik dan bergegas menerobos masuk hingga sampai di samping tempat tidur Ariane.
“Kau sebut nona siapa!? Tanpa Na’s? Bisa bisa nya kau menerobos masuk kamar gadis, anak durhaka!” Sir Aura marah terhadap sikap lancang putranya.
“Ariane...hanya tidur, kan?! Dia..dia..tidak mungkin..” Alex terduduk lesu dilantai.216Please respect copyright.PENANAdvhfLoNJfI
216Please respect copyright.PENANAsIuFNFfmu8
Si bayi kembar kembali menangis.
“Luke... Lucas...” panggil Alex kepada si mungil yang menangis. Alex pun tak kuasa menahan tangis.
“Dari mana kau tahu nama mereka?!” ibu Alex semakin kacau benar benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini.
“Aku yang memberi nama mereka ketika Ariane bilang laki laki kembar” lirih Alex menjelaskan.
“Apa katamu?!” Sir Aura mendaratkan tamparannya di pipi anaknya.
“Jadi kau... Luke dan Lucas...?” suara tergagap akibat tangis Sir Aura yang semakin menjadi. Dirinya benar benar hancur.
“Maaf ibu, saya pasti bertanggung jawab” Alex berlutut dan meyakinkan ucapannya barusan.
Terdengar langkah kaki menaiki tangga menara.
“Cepat bawa mereka” ibu Alex menunjuk dua bayi yang dibedong kain sutera.
Tak pikir panjang Alex menggendong bayi bertudung kuning terlebih dahulu dan keluar menara lewat jendela. Sir Aura tak tinggal diam menyembunyikan bayi dengan tudung hijau di balik peti duduk berselimutkan selendang.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” dari balik pintu terdengar suara. Hal itu tak diindahkan Sir Aura.
Di sisi lain, Adras curiga. Dirinya memerintahkan untuk mendobrak pintu di depannya ini.
BRAK!
“Apa yang terjadi di sini?!” murka Adras selepas pintu berhasil terbuka dan menampakan Sir Aura tengah menata selimut tempat Ariane tertidur untuk selama lamanya. Adras langsung menghampiri putri yang dirindukannya.
“Hukum saya, Na’s Adras” seketika itu, Sir Aura berlutut.
“Jelaskan! Sejelas jelasnya!!” tegas Adras memerintah.
“Hukum saya, Na’s Adras” Sir Aura menunduk dan bercakap lirih.
“Kau!...” kalimat Adras terpotong oleh suara tangisan bayi. Dicarinya asal suara itu dan menemukan hal tidak terduga di sana.
“Hukum saya, Na’s Adras” berkali kali berucap, hanya kalimat yang sama dari mulut Sir Aura.
Pandangan Adras hanya fokus pada satu hal. Digendongnya bayi bertudung hijau itu dan di bawanya keluar dari menara tanpa mengucap sepatah kata pun.
Langkah demi langkah serasa berat bagi Adras. Kini matanya menatap lurus ke depan mengarah pada jurang bukit belakang rumahnya. Kakinya terhenti di ujung tanah. Dilihatnya lagi bayi kecil di dekapan. Sudut bibir Adras terangkat membuat lengkungan indah yang sama dengan si bayi yang kini tengah tersenyum.
216Please respect copyright.PENANA6rKs4VS8bo
216Please respect copyright.PENANAQYaKMMdUtd
216Please respect copyright.PENANASSzO6BZF5Q
216Please respect copyright.PENANAEhRjC0XrkR
216Please respect copyright.PENANAHv7CSeFS5r
216Please respect copyright.PENANA0IZ2xR7tAg
216Please respect copyright.PENANAFTWlygvP1X
216Please respect copyright.PENANAyGAEbGpf9L
216Please respect copyright.PENANAXB6Ccrdees
216Please respect copyright.PENANA7g4UJISPcs
216Please respect copyright.PENANAv2HNJI6JmG
216Please respect copyright.PENANAJ8KuAMpEfx
216Please respect copyright.PENANA1J0S3Dy3mU
216Please respect copyright.PENANAi17JS9wew4
216Please respect copyright.PENANAyH4jo5efGW
216Please respect copyright.PENANArrlumaHJau
216Please respect copyright.PENANAOVhH4H3WKz
216Please respect copyright.PENANAqNrBPMvknB
216Please respect copyright.PENANAwmQMTp7Tcq
216Please respect copyright.PENANACqhitQtH0u
216Please respect copyright.PENANACcRDrTr1CM
216Please respect copyright.PENANAjBWhRrpRhb
216Please respect copyright.PENANAV2zxrN3riZ
216Please respect copyright.PENANAt4elikePRj
216Please respect copyright.PENANAcZqZutIP7x
216Please respect copyright.PENANA1zxB0e1WyC
216Please respect copyright.PENANA77uLBcR4kB
216Please respect copyright.PENANAbzufajsJKY
216Please respect copyright.PENANAhEXYqSd6JA
216Please respect copyright.PENANAVMYBdWFaXU
216Please respect copyright.PENANAcdp2mG4DT8
216Please respect copyright.PENANAvYqUjx7PEz
216Please respect copyright.PENANA0MbFPvwB1v
216Please respect copyright.PENANAPTteuhbnYy
216Please respect copyright.PENANAy0fTQvt2xg
216Please respect copyright.PENANAcqD27H43Qx
216Please respect copyright.PENANAKxP3TDphQq
216Please respect copyright.PENANAq4yeE3yjUy
216Please respect copyright.PENANAbFBQWtidBe
216Please respect copyright.PENANAYf6l4J9aGj
216Please respect copyright.PENANA53e708wR6d
216Please respect copyright.PENANAZ17FPlqa3P
216Please respect copyright.PENANAr58aPC0Hi9
216Please respect copyright.PENANAnSCIfpUL4q
216Please respect copyright.PENANA5Sx6x4McNT
216Please respect copyright.PENANAhDtkNU9w80
216Please respect copyright.PENANAyTXIPFcork
216Please respect copyright.PENANAHvhMii5keK
216Please respect copyright.PENANAYyyyx1poW4
216Please respect copyright.PENANARPRqEDZHfK
216Please respect copyright.PENANAAUYaThIZrL
216Please respect copyright.PENANAvlv3cwh2mt
216Please respect copyright.PENANAP9z1pKbMus
216Please respect copyright.PENANArE4yWV7AKc
216Please respect copyright.PENANAYWYqddFqiQ
216Please respect copyright.PENANA6vwDPBykJ1
216Please respect copyright.PENANAcUuGAmjFzD
216Please respect copyright.PENANAWnvTZhUMAz
216Please respect copyright.PENANA7DOA924ws9
216Please respect copyright.PENANADPLn1nnZmQ
216Please respect copyright.PENANA8ZWTPWielO
216Please respect copyright.PENANAWiGwzn5gMO
216Please respect copyright.PENANAB2rVntmV2U
216Please respect copyright.PENANAlIP69nG9kB
216Please respect copyright.PENANA4qvfWihCyS
216Please respect copyright.PENANAS2y3ZsmtQU
216Please respect copyright.PENANAmqsW2XCwGR
216Please respect copyright.PENANAInlmpsJKmx
216Please respect copyright.PENANAzfNxiVzFPc
216Please respect copyright.PENANAwlf6XGeKaF
216Please respect copyright.PENANAAigVWZc53e
216Please respect copyright.PENANADTFhAgd4p6
216Please respect copyright.PENANAYpfwzhHohT
216Please respect copyright.PENANAbiLcWszB83
216Please respect copyright.PENANAwz5bvhXVli
216Please respect copyright.PENANAR8SjdFm5DD
216Please respect copyright.PENANA56vSPwOtho
216Please respect copyright.PENANAkAi7NQVhLW
“Jika kau nanti membunuhku, itu sudah takdirku.”
ns 15.158.61.16da2