Bismillahirrahmanirrahim. Itu adalah kalimat yang sangat istimewa. Jika diartikan kira-kira artinya begini, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Itu, adalah kata yang biasanya diucapkan oleh setiap muslim ketika akan melakukan sesuatu. Dan kalimat itu juga adalah salah satu kalimat yang sering diucapkan oleh pria itu. Bagiku, di satu sisi dia adalah seorang pria sederhana dan biasa. Tapi, di sisi yang lain, dia juga salah satu orang paling istimewa yang pernah aku temui.
Ini adalah kisah tentang orang yang mencintai malam-malamnya bersama Tuhan.
#####
Namanya, Alif Muhammad Ramadhan. Dia adalah seorang pria yang lumayan tampan dengan tinggi sedang dan kulit putih. Wajahnya agak lonjong dengan rahang agak besar menandakan ketegasan pada dirinya. Matanya tidak terlalu besar, tapi juga sama sekali tidak sipit. Ada sempil pipi di pipi kanannya yang membuat para wanita semakin tergila-gila padanya. Jika berbicara, dia akan melakukannya perlahan-lahan dan tegas. Bisa dikatakan hubungan kami juga cukup unik.
Selama tinggal di tempat tinggalku sekarang selama beberapa tahun. Aku sering bertemu dengannya. Tapi, nyaris jarang berbicara atau bahkan bertegur sapa dengannya. Karena, aku sendiri bukan orang yang merasa harus kenal dengan semua orang. Pekerjaankulah, yang membuatku nyaris setiap hari bertemu dengannya. Pekerjaanku adalah seorang penyiar radio malam. Aku akan mulai siaran dari jam delapan malam sampai jam satu pagi. Kemudian, setiap kali aku pulang. Saat itu pulalah Alif biasanya baru keluar dari kamar mandi dengan wajah, tangan, rambut dan kaki yang basah. Karena, dia telah berwudhu dan selalu melakukan rutinitasnya setiap sepertiga malam.
Melakukan sholat tahajud.
#####
Mungkin, kalian bertanya-tanya. Bagaimana bisa aku dan Alif bertemu setiap hari? Jawabannya adalah karena kami tinggal di tempat tinggal yang sama. Kami tinggal di sebuah rumah yang disewakan oleh pemiliknya. Bu Rositah nama pemilik asli rumah ini. Beliau adalah seorang janda yang hanya punya dua anak dan anak-anaknya itu sudah dewasa semua. Karena merasa rumahnya yang kecil itu terlalu besar untuknya. Akhirnya dia menyewakan tempat ini dan dia sendiri mencari tempat tinggal yang lebih sederhana.
Rumah ini adalah sebuah rumah dengan dua lantai dan lima kamar. Dua di bawah dan tiga di atas. Masing-masing kamar punya kamar mandi. Baik di bagian atas atau bawah sama sekali tidak ada meja makan, ruang tamu ataupun ruang-ruang lainnya yang memang pada dasarnya ada pada sebuah rumah. Bagian bawah hanya digunakan sebagai garasi dadakan. Karena itu, setiap kali keluar dari kamar. Aku harus berhati-hati agar tidak menabrak salah satu dari motor-motor milik penghuni lain.
Bagian atas ditempati oleh Alex yang kuliah di jurusan psikologi UNPAD, Catur yang bekerja kantoran dan Wisnu yang kuliah di jurusan matematika UNINUS. Sementara, bagian bawah ditempati olehku yang seorang mahasiswa sekaligus penyiar dan Alif yang juga masih kuliah sambil bekerja. Mungkin, karena kondisi rumah yang seperti itu. Baik aku atau penghuni lain jarang sekali saling mengobrol. Karena, kami terlalu sibuk dengan urusan kami masing-masing. Aku sendiri baru selesai siaran pukul satu pagi dan baru sampai rumah sekitar jam dua. Setelah itu, aku akan tidur dan harus bangun jam lima subuh untuk siap-siap kuliah.
“Aku sudah selesai. Aku pulang dulu Mas.” kataku pada Mas Abdul. Dia adalah seniorku di radio. Mas Abdul adalah pria dengan badan agak gemuk dan berwajah putih dengan sikap humor yang tinggi. Pria itu menganggguk sambil tersenyum, tapi kemudian dia bertanya, “Apa kamu tidak apa-apa pulang jam segini? Kamu tidur dulu aja di kursi di sana! Beberapa hari ini kamu nyaris tidak tidur, ya? Matamu hitam tuh!”
Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. Pertanda jika aku menolak ajakannya dengan halus. Beberapa hari ini, tugas kuliahku menumpuk dan aku kesulitan mengerjakannya kecuali jika mengurangi waktu tidurku yang sedikit itu. Akibatnya, bagian bawah mataku pasti terlihat hitam karena kelelahan. Untungnya, sekarang sudah selesai semua. Satu-satunya keinginanku sekarang adalah tidur yang nyenyak untuk mengembalikan energiku yang hilang. Aku keluar dari stasun radio, naik motor, mengenakan helm dan menjalankannya perlahan-lahan. Aku harus hati-hati dan jangan sampai gegabah. Salah-salah aku bisa celaka di jalanan ini. Bandung saat ini, sudah tak jauh berbeda dengan Jakarta yang selalu banjir setiap hujan dan juga ‘selalu hidup’ setiap malam. Padahal. dulu Bandung terkenal karena keasrian dan juga kesejukan udaranya. Sekarang, asap-asap kendaraan bermotor sudah meracuni udara kota ini.
Aku sampai di rumah sekitar jam tiga pagi.
Setelah aku baru sampai dan memasukan motorku ke dalam rumah. Ketika melepaskan helm, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Alif keluar dari sana. Tangannya memegang sebuah Al-Quran kecil berwarna emas dan menempelkannya dekat dadanya. Dia tersenyum kepadaku dan akupun balas tersenyum seadanya.
“Kau baru pulang?” tanyanya. Aku hanya mengangguk perlahan.
“Tunggu sebentar.” katanya sambil masuk ke dalam kamarnya dan beberapa saat kemudian dia keluar sambil membawa bungkusan. “Ini bubur ayam dan masih hangat, tadi kebetulan saya beli banyak makanan dan akhirnya gak habis. Mumpung, kau baru pulang. Nih, makan aja!”
Sebenarnya, aku selalu mengajarkan pada diriku agar tidak sedikitpun menerima pemberian orang. Tapi, karena perutku lapar dan aku juga malas memasak mi instan. Akhirnya, kuterima juga bubur itu. Tapi, sayangnya, bahkan sebelum aku menerima bungkusan itu. Kepalaku terasa pusing dan tiba-tiba semuanya terasa gelap.
#####
Aku pingsan untuk pertama kalinya dalam hidupku dan di saat itulah aku berkenalan dengan Alif. Waktu itu, dia yang bersusah payah menghubungi rumah sakit karena suhu tubuhku memanas sampai empat puluh derajat celsius! Dia juga yang menghubungi keluargaku dan meminta mereka datang ke sini. Dokter memberi tahuku jika aku sakit tifus dan harus dirawat selama berminggu-minggu di rumah sakit.
Begitulah, sejak kejadian itu, kami menjadi teman akrab. Selama beberapa tahun terakhir ini, hubunganku dengannya mirip seperti Sherlock Holmes dan Watson yang tinggal bersama dalam satu rumah. Orang-orang yang tinggal di tempat kos inipun berganti silih waktu. Alex yang telah lulus akhirnya pindah. Begitu pula, Catur dan juga Wisnu. Tapi, aku dan Alif tetap tinggal di kos kami ini.
Alif adalah pribadi yang menyenangkan. Dia sangat pendiam. Tapi, pendiamnya adalah pendiam yang hangat. Maksudku, bukan pendiam yang dingin dan tanpa hati. Kami sering mengobrol dan bercanda layaknya saudara. Terutama, jika ada liga sepak bola di televisi. Kami bisa tidak tidur semalaman. Tapi, sesibuk apapun Alif, seseru apapun liga sepak bola di televisi, atau sesakit apapun dirinya. Dia tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat sunat tahajud.
“Sholat fardhu adalah yang paling penting Ahmad.” katanya padaku. Saat itu, kami sedang duduk dengan santai di loteng (saat itu, hanya kami berdua di tempat kos karena anak-anak yang lain sedang pergi. Aku sedang libur dari pekerjaanku di radio.) Ditemani dengan rokok, kopi dan juga beberapa panganan kecil.
“Aku tak suka dan tak ingin memaksakan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah memaksakannya. Kau faham, kan?” katanya menatapku. Aku mengangguk perlahan, “Bagiku, islam bukan bagaimana memakai peci atau berpakaian seperti haji. Tapi, lebih dari bagaimana bersikap.” Aku hanya diam mendengarkan penuturannya. Ya, insya Allah aku faham. Dulu, saat di pesantren, aku pernah tidak mengenakan peci selama beberapa hari. Kemudian, guru itu tampaknya tidak suka dan bertanya padaku.
“Dimana peci kamu?” tanyanya. Sebenarnya, peciku hilang dan aku sudah mencarinya kemana-mana. Tapi, aku tidak mungkin langsung mengatakan padanya. Tiba-tiba saja, dia berkata, “Pakailah pecimu atau nanti kamu akan dikeluarkan dari...” Dia menyebutkan salah satu nama partai waktu itu. Aku sendiri bertanya-tanya, apa islam hanya berdasar peci atau pakaian? Jika, memang islam hanya berdasarkan memakai peci atau pakaian tertentu. Berarti, pasti akan banyak sekali orang yang tidak benar. Tentunya bukan bermaksud berpolemik tentang hukum peci. Aku hanya tidak senang dengan orang-orang yang menilai kebaikan orang dari apa yang mereka kenakan.
“Apa keinginan terbesar dalam hidupmu?” tanyaku pad Alif.
“Kau sendiri?” tanya Alif.
“Kau ini ditanya malah balik nanya.” kataku dan kami berdua tertawa dengan santai. Akhirnya, aku menjawab omongannya lebih dulu.
“Aku ingin hidup sebagai muslim yang baik.” kataku sambil menatapnya. Dia tidak menjawab langsung pernyataanku itu. Tapi, terdiam sebentar. Dia menghirup rokoknya perlahan dan mengeluarkannya perlahan-lahan pula. Matanya yang tajam, tapi lembut menatap ke langit dan berkata, “Aku ingin meninggal sebagai muslim yang baik.”
Aku hanya diam. Aku tak berani menyalahkan apa yang dia katakan. Sebab, apa yang dia katakan adalah hal yang benar. “Setiap orang, wajib memenuhi lima kewajiban utama yang Allah bebankan atasnya. Atau, minimal empat kewajiban utama jika memang haji belum bisa terlaksana. Tapi, ingatlah Ahmad! Allah akan memanggil siapapun yang menurut-Nya paling pantas pegi ke tanah suci-Nya.”
“Setelah, semuanya lengkap. Barulah setiap muslim berhak menentukan amalan sunat mana yang akan dia pilih.” katanya perlahan. Alif berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Dan, sholat tahajud adalah amalan yang aku pilih untuk mendekatkan diriku pada Allah. Tahajud itu menenangkan hati dan membuat rasa cinta pada-Nya bertambah, Ahmad.”
Tak lama kemudian, ponselnya mengeluarkan bunyi alarm yang kencang menandakan waktu sholat tahajud sudah tiba. Setelah itu bunyi itu selesai dia menatapku, aku tidak mengatakan apapun dan hanya tersenyum santai padanya. Karena sudah hafal kebiasannya itu aku sama sekali tidak tertarik untuk mengatakan apapun. Uniknya, Alif sama sekali tidak pernah memintaku apalagi sampai memaksakku melaksanakan sholat tahajud. Seperti yang dia katakan, seseorang tak berhak memaksakan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah memaksakannya pada manusia. Dengan begitu, manusia bisa mendekatkan dirinya pada Allah dengan amalan yang dia sukai tanpa perlu merasa terbebani. Alif kemudian berdiri sambil berkata, “Bismillahirrahmanirrahim...”
Dia melangkahkan kakinya pergi ke lantai bawah. Tak lama setelah itu, aku mendengar suara air berjatuhan di kamar mandi. Alif sudah berwudhu dan sebentar lagi dia akan melakukan sholat tahajud. Selama, bertahun-tahun berteman bersamanya, dia tak pernah sekalipun meninggalkannya sholat sunat malam itu.
Aku masih duduk di loteng rumah. Menghirup asap rokok yang merusak paru-paru, tapi sudah terlanjur membuatku kecanduan. Jika, ibuku tahu aku masih tetap merokok. Dia pasti akan memarahiku habis-habisan. Aku membiarkan diriku hanyut dalam pikiranku sendiri. Aku tak bisa mengatakan jika aku muslim yang baik saat ini. Selama ini, aku selalu berusaha agar semua rukun islam bisa terpenuhi secara sempurna. Meski, rukun haji yang kelima belum bisa aku penuhi untuk saat ini.
Seperti, yang dikatakan Alif. Seseorang tak boleh memaksakan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah memaksakannya. Alif adalah tipikal orang seperti itu. Dia adalah pria yang mencintai malam-malamnya bersama Tuhan. Dia melakukan shoat tahajud seperti orang-orang sholeh melakukannya. Dia tidak melakukannya karena menginginkan sesuatu atau karena memaksakan dirinya sendiri. Dia melakukannya karena dia mencintai Allah dan ingin bertemu dengan Allah dalam keadaan mulia.
Alif adalah seorang mualaf. Dia bukan muslim dari lahir. Tapi, baru masuk islam saat masuk SMA. Saat itu, dia terpaksa menyembunyikan islam itu dari keluarganya karena khawatir akan disiksa oleh keluarganya.
“Islam adalah agama terbaik yang pernah aku miliki Ahmad. Dalam agama ini, ada kebanaran mutlak yang tidak akan bisa disanggah jika islam mengajarkan untuk menyembah satu Tuhan dan jika Allah mengutus nabi-Nya yang mulia pada umat manusia. Itu adalah kebenaran mutlak yang tak bisa disanggah oleh siapapun.”
“Aku masuk islam saat masih SMA. Saat itu, aku adalah seorang siswa yang nakal, tapi sangat cerdas. Semua orang mengakuiku akan hal itu. Aku bahkan terbiasa, untuk memenangkan berbagai macam penghargaan di sekolah. Aku punya beberapa teman akrab dan mereka juga sudah seperti saudara bagiku. Meski, kau lebih baik dari mereka Ahmad.” kataya sambil tersenyum perlahan-lahan. Saat itu, aku hanya terkekeh dan berkata, “Tentu saja. Aku lebih dari mereka.”
Alif melanjutkan ceritanya, “Kau tahu Ahmad? Aku hidup di Jakarta yang merupakan kota metropolitan. Aku dan teman-temanku memang lebih liar daripada anak-anak SMA yang lain. Kami terbiasa hidup dalam glamor dan penuh dengan keliaran. Setiap pulang sekolah, aku jarang sekali langsung pulang ke rumah. Biasanya, aku akan bermain dengan kawan-kawanku. Mengendarai motor dan terkadang bermabuk-mabukkan. Tapi, bahkan, aku sendiri tidak pernah sekalipun menyentuh narkoba. Benda itu akan merusak tubuh dan pikiranmu Ahmad. Membuatmu tidak waras dan akan mencelakaimu.”
“Saat itu, beberapa kawanku memakai narkoba dengan gila-gilaan. Aku berusaha melawan dan akhirnya mereka menyerah untuk memaksaku menusukkan jarum berisi narkoba itu ke tubuhku. Tiba-tiba terjadi sesuatu yang menakutkan. Salah satu temanku tiba-tiba kejang-kejang. Wajahnya membiru dan kulitnya berubah menjadi pucat. Aku tak tahu apa yang terjadi Ahmad. Dia terjatuh dari kursi sementara suntikan yang tadi dia gunakan jatuh ke lantai. Selang tak berapa lama, busa keluar dari mulutnya dan tak lama kemudian dia mati...”
Alif terdiam sebentar waktu itu. Kulihat badannya sedikit gemetar ketika menceritakan hal itu. Tapi, akhirnya dia menyelesaikan kalimatnya,
“Dia mati Ahmad, di depanku.”
#####
Rokokku sudah hampir habis. Aku membuang abu rokok itu dengan jariku dan setelah itu kembali menghisapnya. Bayangan-bayang masa lalu antara aku dan Alif kembali ke dalam pikiranku.
“Sejak saat itu, aku mulai menjauh dari teman-temanku itu Ahmad. Aku sama sekali tidak berusaha menjelaskan apapun pada mereka. Aku membiarkan mereka sendiri menyangka aku menjauhi mereka. Di sekolahku, ada juga sebuah mushola kecil yang rapi dan terawat. Meski sedikit, ada siswa-siswa islam di sekolahku dan mushola itu milik mereka.”
“Saat itu sore hari, aku masih belum pulang dan sedang berjalan sendirian di sekolah. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya diam dan tak memperhatikan arah jalanku. Aku sedih Ahmad dengan apa yang kumiliki sekarang. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, siapa yang aku sembah? Selama ini, aku hanya menjadikan agama sebagai identitas kartu pelajar. Bukan, bagian dari kehidupanku sendiri. Tapi, saat itu, aku benar-benar ingin tahu siapa Tuhanku yang sesungguhnya. Tiba-tiba suara itu terdengar dari surau itu.”
“Suara adzan..”
“Suara itu masuk ke dalam hatiku dan menguasainya secara sempurna....”
#####
Aku membuang puntung rokokku dan membiarkannya jatuh ke lantai bawah. Tenang saja, sama sekali tidak ada siapa-siapa di bawah. Aku berjalan perlahan ke bawah dengan tangan memegang dua gelas dan piring berisi panganan yang belum habis. Aku tidak tertarik menganggu Alif yang saat ini pasti sedang khusyuk.
Alif meninggalkan keluarganya dengan agama yang dia cintai ini. Demi islam. Dia belajar perlahan-lahan tentang islam. Bagaimana islam yang sesungguhnya. Apa arti islam yang sesugguhnya. Beberapa waktu lalu, Alif mengajakku pergi ke sebuah daerah di Jakarta.
Kami berdua naik motor Alif dan aku duduk di boncenginya di belakang. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah yang besar dan mewah. Rumah itu bercat putih dengan dua lantai yang besar, jika diibaratkan, rumah itu tiga kali lebih besar dari tiga kali tempat kos kami. Jendela dan pintu besar menghiasi rumah itu. Alif memberhentikan motornya dari jarak yang agak jauh. Kami turun dari motor dan melihat rumah itu dari kejauhan.
“Itu rumahku, Ahmad.” katanya memulai. “Saat aku mulai mempelajari islam dan masuk ke dalamnya. Aku merahasiakan tentang keislamanku dari mereka. Aku takut Ahmad mereka akan membenciku. Aku takut mereka akan membenciku.”
“Seringkali mereka mengajakku untuk pergi beribadah. Awalnya, aku bisa menolak dengan memberi banyak alasan. Aku sakit, ada urusan sekolah atau sekedar sedang malas. Saat, waktu puasa ramadhan tiba, aku juga berpuasa diam-diam. Tapi, lama-kelamaan mereka mulai curiga. Waktu itu adalah tanggal tiga puluh ramadhan. Hanya tinggal menunggu waktu untuk berbuka dan aku akan bisa menamatkan puasaku. Tiba-tiba sebelum maghrib tiba, ayahk memanggilku dan menyuruhku untuk makan. Aku menolak dengan halus dan mengatakan ‘Aku sedang malas makan ayah.’ Kemudian, tanpa banyak bicara aku berbalik, tapi ayahku langsung berkata ‘Apa kamu masuk islam?’ Kata-kata itu langsung membuatku terhenti. Aku membalikkan badanku dan sadar jika semua anggota keluargaku ada di meja makan itu.”
“Aku mulai gugup dan takut. Badanku gemetar saat ayahku berteriak, ‘Apa kau masuk islam?’ Aku tak bisa mengelak lagi saat itu, Ahmad. Aku mengangguk. Bayangkan saat itu Ahmad? Semua keluargaku langsung marah. Ayah dan beberapa kakakku menarikku ke kamar mandi dan menyiramiku dengan air. Bahkan, mereka menarik sabuk mereka dan memukulku seolah-olah aku ini sapi. ‘Dari semua agama, kenapa harus islam?’ teriak kakak-kakakku.”
“Aku berusaha melawan, ‘Memang kenapa dengan islam ayah? Islam adalah agama yang benar. Islam adalah menyembah Tuhan yang sesungguhnya. Allah! Tuhan yang sesungguhnya itu Allah!’ teriakku waktu itu. Mereka terus menyuruhku agar aku kembali pada agama mereka. Aku tak bisa, Ahmad. Aku tak bisa. Sampai akhirnya, mereka memintaku memilih, ‘Kau memilih islam dan keluar dari rumah ini atau kembali kembali pada agamamu dan akan kami berikan apa yang kau mau?’ Aku ketakutan waktu itu, Ahmad. Tapi, pada akhirnya aku berdiri dan membereskan pakaianku seadanya dan sebelum pergi, aku berkata pada mereka, ‘Aku memilih islam.’ Aku pergi dari kehidupan mereka saat itu. Aku melakukan apa saja agar bisa lulus SMA dan kuliah seperti sekarang.”
Saat itu, tiba-tiba saja pintu gerbang yang besar itu terbuka dan seorang pria keluar dari sana. Dia berbadan gemuk dengan rambut botak. Di saat yang bersamaan, seorang wanita berbadan kurus, tapi berwajah baik juga keluar mengantar pria itu. Wajah Alif tiba-tiba berubah dan dia membalikkan badannya. Aku bisa menebak siapa mereka.
Alif menangis. Air mata keluar dari matanya. Sampai, bapak-bapak itu pergi dengan mobil sedannya. Alif melihat wajahnya ke langit dan berkata, “Kau tahu apa yang paling kutakuti saat itu? Ya, aku memang takut disiksa, aku juga sangat takut mereka akn membenciku. Tapi, yang paling membuatku takut. Bukanlah disiksa oleh keluargaku atau dibenci oleh mereka...”
Aku menyentuh bahu Alif dan dia menatapku sambil berkata, “Aku takut aku akan menyerah pada mereka dan aku kembali pada keluargaku. Lalu, aku meninggal dalam keadaan seperti itu. Itu yang paling aku takuti Ahmad. Itulah salah satu alasan kenapa aku nyaris tidak pernah meninggalkan sholat tahajud. Aku...” dia berhenti sebentar, kemudian berkata, “Aku ingin meninggal dalam keadaan ini. Aku ingin meninggal dalam keadaan islam.”
Pikiranku kembali ke masa kini. Aku meletakan gelas dan piring di tempat cucian piring. Menyalakan air dan mulai mencucinya dengan cepat. Kemudian, aku melangkah perlahan ke dalam kamar mandi dan menyalakan keran. Air mengalir menuju tangan, hidung, wajah, rambut dan juga bagian tubuh yang harus kena air wudhu.
Kemudian, aku melaksanakan sholat tahajud.
Ya, aku juga ingin merasakan bagaimana indahnya berduaan dengan Tuhan.
Berduaan dengan Allah.
Tak lama setelah itu, suara adzan terdengar menggema ke segala penjuru. Membangunkan hamba-hamba Tuhan yang imannya tebal. Aku melangkahkan kakiku perlahan mengetuk pintu kamar Alif. Aku ingin mengajaknya sholat berjamaah. Biasanya, Alif yang mengajakku. Tapi, khusus hari ini aku yang mengajaknya duluan. Aku mengetuk pintunya lagi.
Tapi, sama sekali tak ada jawaban.
Aku membuka pintunya perlahan-lahan dan Alif masih dalam kondisi sujud. Aku hampir tertawa. Alif sepertinya, ketiduran dalam keadaan sujud. Karena, tidak mungkin dia tidak mendengar adzan subuh itu. Aku menyentuh badannya, dan tiba-tiba saja dia terjatuh....
Perasaan geli berubah menjadi rasa takut. Aku menyentuh Alif lagi, tapi Alif tetap diam. Aku menggerakkan badan-badannya kembali. Tapi, dia juga tidak bergerak sama sekali. Aku menyentuh nadinya, sama sekali tidak terasa apapun. Aku juga menyentuh hidungnya, berharap bisa merasakan desah nafasnya. Tapi, aku juga tak bisa merasakan apapun.
Alif telah meninggal.
“Alif! Alif! Alif.....” kataku perlahan. Badanku gemetar, bukan karena takut pada kematian. Tapi, semuanya muncul begitu saja.
Allah telah mengabulkan permohonan Alif untuk meninggal dalam keadaan muslim. Saat itu, aku bingung harus mengucapkan apa. Apa aku akan mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raajiun? Bukankah kematian adalah salah satu kiamat dan bencana kecil? Atau apakah aku harus mengucapkan Alhamdulillah? Karena, Allah telah mengabulkan permohanannya dan kematian itu menjadi berkah baginya?
Tapi, anehnya mulutku malah mengucapkan sebuah kalimat yang lain. Kalimat yang merupakan kalimat favorit Alif. Kalimat yang menjadi awal dari setiap kegiatan seorang muslim. Mulutku mengucapkan kalimat itu secara perlahan, sementara hidungku mulai mencium bau wangi yang muncul dari tubuh Alif.
“Bismillahirrahmanirrahim...” kataku perlahan-lahan.
Ya, karena kematian adalah akhir dari sebuah perjalanan. Tapi, sebuah awal bagi perjalanan yang lain. Perjalanan yang sesungguhnya, karena hidup ini hanya sesaat saja dan kehidupan selanjutnya adalah abadi. Beberapa orang tidak percaya pada kehidupan kedua, tapi, bukankah aku percaya? Dan, Alif dan juga semua muslim di dunia ini juga insya Allah percaya. Karena itu, kalimat tadi sangat cocok dengannya.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Ya, kalimat semacam itulah.....
ns 15.158.61.6da2