Seorang perempuan mengangkat tangan sesaat setelah sesi tanya jawab dibuka. Acara peluncuran buku seorang penulis di toko buku Artmedia cukup ramai dihadiri oleh pembaca muda. Penulis yang dikenal dengan nama pena Wicaksara baru saja menerbitkan buku keduanya setelah lama tidak menghasilkan karya. Banyak orang yang menganggap kalau karya kedua Wicaksara sebagai karya perdana karena belum banyak pembaca yang mengenalnya lewat buku pertamanya.
"Mas Wi," sapa perempuan itu, "Saya Renata dari Bekasi. Cukup jauh saya ke Depok, karena saya sudah menunggu karya Mas Wi sejak karya yang pertama."
Wicaksara tersenyum mendengar kata-kata Renata yang dianggapnya sebagai pujian atas hasil kerjanya, "Terima kasih, Mba Renata."
"Saya ingin bertanya, mengapa di buku Mas Wi yang pertama, tokoh utamanya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan diri ke arah kereta yang sedang melaju?"
Senyum Wicaksara terhenti. Pertanyaan Renata membuatnya mendadak tidak nyaman. Dia menatap moderator acara seolah meminta persetujuan atas pertanyaan di luar konteks buku keduanya. "Maaf, Mba Renata. Buku kedua saya menceritakan tentang hal-hal romantis dengan akhir cerita yang manis. Harapan saya, buku pertama saya menjadi satu-satunya karya saya yang berakhir tragis."
Beberapa mata memandang Renata. Mungkin karena mereka belum pernah membaca buku pertama Wicaksara. Karena memang jeda penulisan kedua buku Wicaksara terpaut sampai 3 tahun lamanya.
"Ah iya, buku kedua Mas Wi memang cukup menarik. Bahkan sangat menarik sehingga membuat saya penasaran alasan apa yang membuat Mas Wi mengubah haluan ide cerita Mas Wi."
Wicaksara menghela nafas seraya tersenyum, "Banyak hal yang bisa mengubah sikap kita dalam menghadapi hidup. Sebenarnya semangat saya dalam menulis tetaplah sama, hanya kini saya ingin lebih banyak menuliskan betapa manisnya cinta dan kehidupan."
Renata mengerling. Senyumnya menandakan kepuasan atas jawaban yang diberikan. Setelahnya satu dua orang mengajukan pertanyaan terkait dengan buku Wicaksara yang baru. Acara peluncuran buku Wicaksara di Artmedia diakhiri dengan sesi tanda tangan. Renata sengaja mengambil kesempatan terakhir agar bisa sekali lagi berbicara lebih jauh dengan penulis idolanya.
"Terima kasih ya, Mba Renata," ujar Wicaksara seraya menyerahkan buku yang sudah dibubuhi tanda tangan pada Renata, "Saya tidak menyangka ada yang masih ingat buku pertama saya."
Renata tersenyum. Matanya menatap manja. Dari balik sakunya dia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Wicaksara, "Panggil saja Ren. Setahun yang lalu saya pernah menghubungi Mas Wi lewat sosial media Mas Wi, tapi tidak memberi hasil apapun."
"Ah, iya... Saya menutup semua akun sosial media sejak dua tahun lalu. Terkadang hidup perlu dinikmati tanpa gawai yang berisik."
"Tanpa bermaksud mengganggu Mas Wi. Saya akan senang jika akan ada diskusi terkait tulisan Mas Wi secara personal," Renata melirik ke arah kartu nama yang baru saja dia berikan. Dia pun pamit pergi meninggalkan Wicaksara bersama kru dari Artmedia yang berbenah sehabis acara. Wicaksara memperhatikan kartu nama di tangannya.
Renata Lia Rachma.
Entah mengapa Wicaksara merasa nama tersebut seperti pernah hadir dalam ingatannya.
***
Benar saja. Pertemuan Wicaksara dengan Renata di acara peluncuran bukunya membuatnya penasaran juga. Entah karena pertanyaannya yang tidak disangka-sangka, atau kerlingan matanya yang manja. Pada akhirnya dia menghubungi Renata lewat pesan singkat di gawainya.
Mereka berbincang-bincang tentang buku-buku yang pernah mereka baca. Rupanya Renata juga menyukai tulisan-tulisan karya Andrea Hirata dan Ahmad Tohari, tanpa disadari percakapan mereka yang hanya sambil lalu melalui pesan singkat berlanjut menjadi diskusi serius. Wicaksara pun akhirnya tahu kalau Renata mengenal tulisannya dari adiknya. Lewat koleksi bacaan adiknya, Renata menemukan buku bersampul merah karangan Wicaksara. Dari pesan singkat Renata, Wicaksara mendapat banyak cerita tentang bagaimana dia sangat menyayangi adiknya yang mengalami obsessive compulsive disorder, yang kemudian meninggal dunia karena suatu hal yang tidak bisa diceritakan. Hingga pada akhirnya, di bulan-bulan berikutnya, percakapan mereka merambah pada komunikasi via suara.
Tak dapat dipungkiri, Wicaksara selalu terkesan mendengar suara Renata di ujung corong telepon. Mendengar tawanya saja sudah membuat semangat dirinya meningkat berlipat-lipat. Pembicaraan mereka pun meluas begitu saja. Mengkritisi masalah sosial dan budaya yang terjadi di sekitar mereka. Renata bekerja sebagai konsultan ketenagakerjaan di salah satu perusahaan kecil di Bekasi. Ada idealisme yang sempat disampaikan lewat cerita-ceritanya tentang bagaimana sebuah perusahaan harus menyejahterakan karyawan baik dari sisi finansial maupun sisi kemanusiaan. Ada kekaguman dalam benak Wicaksara mengetahui lawan bicaranya memiliki intelektual dan kepekaan yang tinggi.
Tahun dimana Wicaksara menelurkan buku kedua setelah hiatus begitu lama, rupanya menjadi tahun paling produktif baginya. Karena berikutnya, dalam hitungan minggu saja, sudah ada deretan judul buku yang siap diterbitkan. Semua itu tak lain berasal dari suntikan semangat yang selalu diberikan oleh Renata. Secara sengaja maupun tidak. Buku ketiga dan keempatnya keluar hanya berselang dua bulan. Dan tidak sampai empat bulan berikutnya sudah siap dua judul buku lagi di meja editor. Tentu saja pihak penerbit perlu mengatur strategi terkait penerbitan bukunya. Meski semua buku-buku Wicaksara belum bisa dimasukkan kategori best seller, namun penjualannya sudah cukup menjanjikan.
Kehadiran Renata hampir di setiap peluncuran bukunya memunculkan keberanian dalam benak Wicaksara untuk menyatakan perasaan yang selama ini dia rasakan. Ingin sekali dia menanyakan, apakah hubungan mereka bisa berlanjut dari sekadar hubungan penulis dan penggemarnya?
Namun rupanya Renata selalu berkelit setiap kali Wicaksara mengajaknya makan secara pribadi, atau minum-minum di kafe dekat Artmedia di jalan Margonda Raya. Ada saja alasannya untuk menghindar dari ajakan Wicaksara. Acara kantor, bertemu kolega, rapat sampai malam, dan lain sebagainya. Hal ini membuat Wicaksara bimbang, apakah perasaannya saja yang berkembang menjadi rasa suka yang mendalam? Lantas, apa maksudnya komunikasi yang mereka jalin selama ini? Untuk apa dia berusaha menghadiri setiap acara peluncuran buku Wicaksara?
Menulis memang akhirnya menjadi muara atas kegundahan hati dan pikiran Wicaksara. Sejatinya apa yang dia bagi dalam kisah-kisah di bukunya, adalah pengejawantahan dari pengalaman dan perasaan yang dia miliki. Dia selalu menyematkan kalimat saat saat tanda tangan di buku-bukunya, "Menulislah, maka kau akan bahagia. Menulislah, maka kau akan terbebas."
***
Menjelang peluncuran buku kelima, Wicaksara mendapatkan pesan dari Renata,
"Aku mungkin tidak bisa hadir kali ini. Sebagai gantinya, maukah kau menandatangi bukumu untukku dan menyerahkannya padaku langsung?"
Wicaksara berbinar dan wajahnya cerah seketika. Selama ini ajakannya selalu tertolak, apakah ini pertanda perasaan Wicaksara akan disambut dengan baik oleh Renata? Tanpa berpikir lama, Wicaksara membalas pesan singkat Renata, "Ren, aku akan berikan bukuku langsung padamu."
"Hari ke-26 di bulan ke-9. Aku akan menunggumu di kafe dalam stasiun kereta."
"Mengapa kafe yang di dalam stasiun. Apakah kita akan merencanakan petualangan?"
Renata hanya menjawab dengan emoticon senyum dan tawa. Wicaksara melihat layar gawainya sambil ikut tertawa.
Pada akhirnya hari yang dijanjikan datang dan Wicaksara merasakan kegugupan yang tidak biasa. Dia merasa seperti remaja yang baru mengenal kata asmara. Berkali-kali dibetulkan kancing kemeja slim fit warna krem yang dikenakannya. Sebentar kemudian dia membuka dua kancing teratasnya, kemudian mengancingnya lagi sampai atas, dan kembali membukanya lagi. Entah apa yang membuat pikirannya begitu sibuk dengan persoalan kancing kemeja.
Wicaksara duduk di salah satu meja di kafe stasiun dekat kampus Universitas Indonesia. Dia memilih duduk dekat jendela, karena dia bisa segera melihat Renata yang datang.
Tak berapa lama, Renata hadir dengan wajah cerah. Dia mengenakan kemeja warna broken white dipadu dengan celana longkar seperti kulot warna cokelat. Dia duduk dengan anggun dan meletakkan tas jinjingnya di atas meja. Dia tersenyum melihat Wicaksara yang masih terpaku dengan mata berbinar-binar.
"Ini bukunya?" Renata membuka percakapan.
"Ah, i-iya. Ini sudah kutandatangani."
Renata membuka halaman pertama setelah sampul dan melihat tanda tangan dibubuhkan di sana. Keningnya berkerut melihat nama di bawah tanda tangan Wicaksara. Melihat reaksi bingung di wajah Renata, Wicaksara angkat bicara, "Itu nama asliku. Wicaksara adalah nama penaku."
"Ah, begitu rupanya," sahut Renata, "Jadi... Dwi Aksara Wicaksono adalah namamu?"
"Iya," Wicaksara tersenyum sumringah. Dia bingung harus dibawa kemana pembicaraan mereka. Kepalanya mendadak kosong tanpa ide. Lebih parah dari kondisi kehabisan ide untuk menulis. Kali ini benar-benar kosong.
"Aku ingin menceritakan suatu hal padamu. Tentang adikku dulu."
"Ah iya, kau pernah menceritakannya sekilas dulu."
Renata menatap pemandangan di luar kafe. Sesekali suara kereta yang bising membuat mereka menghentikan ucapan. "Aku punya alasan mengapa memintamu hadir di kafe bising di dalam stasiun."
Renata membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku bersampul merah. Dia membuka halaman pertama setelah sampul dan memperlihatkannya pada Wicaksara. Di sana ada tanda tangannya dan nama lengkapnya di bagian bawah. Dwi Aksara Wicaksono. Dan di bagian atasnya ada nama yang lain yang sepertinya adalah si pemilik buku. Reny Thalia Rachma.
Seketika itu juga kening Wicaksara berkerut, dia menelan ludah yang terasa pahit di kerongkongan. Dia tidak mengerti dengan maksud Renata. Rupanya pertanyaan tentang nama aslinya tadi adalah kepura-puraan di hadapan Wicaksara. Mengapa demikian?
"Buku ini ada di dalam tas adikku yang ditemukan setelah kecelakaan yang menimpanya. Kepolisian mengatakan pada kami kalau itu kecelakaan, namun satu orang saksi mata menceritakan bahwa Thalia sengaja melompat saat kereta sudah melaju. Persis seperti yang ada di dalam cerita yang kau buat."
Wicaksara memegang buku merah itu dengan gemetar. Dia sama sekali tak menduga pertemuannya dengan Renata akan menguak sebuah kisah kelam bertahun-tahun yang lampau. Kemudian dia menyadari ada sesuatu yang mengganjal di tengah buku tersebut. Dia membukanya dan menemukan sebuah stik kecil alat pendeteksi kehamilan. Tanda dua strip biru yang mulai pudar membuat napasnya berhenti seketika. Kini dia melihat wajah Renata memiliki aura yang berbeda dari biasanya. Ada kesedihan dan amarah di dalam riak matanya yang berkilat-kilat.
Sirine tanda kereta datang berbunyi nyaring sekali. Wicaksara terhenyak dan tak bisa berkata apa-apa. Rasanya dia ingin keluar dari kafe tersebut dan melompat menyongsong kereta yang melaju. Namun apakah itu keputusan yang tepat?
- selesai -
ns 15.158.61.8da2