Yongseung mengacungkan tangannya ke langit "Húro mi hellë, lyenya nauva venya!" ucapnya lantang.
Sebuah cahaya ungu tiba-tiba memancar mengitari badai. Angin badai mulai berputar tidak beraturan, petir-petir mulai menggila. Cahaya ungu itu lalu membentuk seperti ular dan membelenggu petir-petir itu. Yongseung mengepalkan tangannya seakan menahan petir-petir itu agar tidak lepas. Sekarang ia harus merapal satu mantra lagi.
"Findelësse!" tak lama ular itu menggulung tubuhnya dan menyatu dengan petir-petir itu menjadi sebuah bola bercahaya. Yongseung merasakan aliran listrik panas mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa, tapi ia harus menahannya. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah.
"(y/n)! Sekarang!" teriaknya seraya melempar bola bercahaya itu ke arah (y/n). Ia melihat bola itu melesat kencang diantara guyuran hujan dan terpaan angin layaknya meteor. Ia bernafas terengah-engah. Tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin dan lemas. Matanya buram dan kemudian semua menjadi gelap...
***
(y/n) melompat kearah bola itu untuk menangkapnya sebelum akhirnya ia terguling jatuh diatas tanah yang becek. Ia menatap botol yang berada digenggamannya. Tampak kilatan-kilatan cahaya kecil menari-nari didalam botol itu. "Akhirnya, kita mendapatkannya," batinnya lega.
(y/n) bangkit dari tanah becek itu lalu menatap langit. "Yongseung!" panggilnya. "Kita mendapatkannya!"
Ia menunggu suara Yongseung terdengar dari langit. Namun ia tidak mendapat jawaban. "Yongseung!" panggilnya sekali lagi. Sekali lagi ia tidak mendapat jawaban. Jantungnya mulai berdegup kencang. Rasa takut dan khawatir yang sebelumnya ia buang muncul lagi dibenaknya. (y/n) pun mulai berlari menerjang badai.
"Yongseung!" ia terus meneriakkan namanya tanpa henti. Pakaiannya basah dan penuh lumpur, namun ia tetap berlari. Tanpa sadar air matanya mulai mengalir di pipinya bercampur air hujan yang masih membasahinya. "Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin!" batinnya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat sosok biru cemerlang terbang kearahnya. Sosok biru itu makin lama makin terlihat besar. (y/n) tidak bisa melihat secara jelas, namun ia yakin itu adalah seekor griffin.
Burung raksasa itu mulai mendekat dan terlihat sosok yang menungganginya. Seorang laki-laki berambut hitam kebiruan memakai syal berwarna merah dengan payung besar ditangan sedang bersama seseorang yang terkulai lemas dipelukannya—itu Yongseung.
Griffin itu mendarat perlahan ke tanah. Laki-laki berpayung itu mulai berbicara. "Apa kau temannya?" tanyanya.
(y/n) pun menjawab dengan suara parau. "Ya, dia temanku," ujarnya. "Apa yang terjadi padanya?"
"Aku melihatnya jatuh dari pusaran badai saat aku hendak terbang menuju Twilight Forest," ujar laki-laki itu. "Dilihat dari kondisinya, sepertinya ia kelelahan,"
Laki-laki itu menatap (y/n). Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu maupun laki-laki yang ia selamatkan tapi ia merasa harus menolong mereka. "Kau sebaiknya ikut aku," ujarnya. "Aku akan mengantar kalian berdua pulang, tidak baik berlama-lama dengan cuaca seperti ini,"
(y/n) mengusap air matanya dan menerima tawaran laki-laki itu. Kini mereka terbang kembali ke pondok bersama seorang whisperer yang menolong mereka.
(y/n) berbonceng dibelakang sedangkan Yongseung yang masih tertidur tetap dalam dekapan laki-laki itu. Badai memang sudah mereda tapi hujan masih saja deras. Untungnya payung yang dimiliki laki-laki itu sangat unik—payung itu bisa memperlebar diri menyesuaikan kondisi hujan atau badai yang dihadapi—sehingga mereka akan aman untuk sementara.
"Aku Yeonho Inglebert dari Redmoor," ujar laki-laki itu. "Kau bisa memanggilku Yeonho,"
"Aku (y/n) Delarosa, sedangkan temanku itu bernama Yongseung Percyvell," ujar (y/n). "Terima kasih sudah membantu kami,"
"Ah, itu memang sudah seharusnya. Siapa juga yang senang terjebak dalam amukan badai 'kan?" ujar Yeonho.
"Tapi, kalau boleh tahu... Apa yang sedang kalian lakukan disana?" tanyanya.
(y/n) terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab. "Sebenarnya kami sedang menjalankan misi," ujar (y/n). "Kami harus mencari bahan-bahan ramuan untuk guru kami,"
"Dan salah satu bahannya adalah petir badai, jadi kami menangkap petir-petir disana,"
"Ternyata jadi mage lumayan merepotkan ya," gumam Yeonho. "Tapi menarik juga, sayang sekali aku bukan seorang mage,"
Tak lama kemudian hujan mulai mereda. Dibalik awan yang samar tampak langit malam yang cerah penuh bintang-bintang. Disana tampak bulan purnama memancarkan sinar lembutnya kepada mereka. Entah mengapa melihat hal itu membuat suasana hati (y/n) menjadi tenang dan sejenak melupakan tubuhnya yang kedinginan karena basah kuyup.
"Sudah reda rupanya," gumam Yeonho seraya menutup payungnya. "Senang sekali bisa bertemu langit cerah seperti ini lagi,"
Pemandangan indah malam itu terasa panjang sampai-sampai mereka hampir lupa kalau sudah sampai di Twilight Forest, desa tempat magang (y/n) dan Yongseung sekaligus desa yang dicari Yeonho.
"Baiklah, sepertinya kita sudah sampai," ujar Yeonho. "Sekarang berpeganglah yang erat, karena kita akan mendarat dengan cepat!"
(y/n) memeluk pinggang Yeonho dengan erat dan tak lama kemudian sang griffin mulai menukik tajam.
Banyak hal yang terjadi seharian ini. Meskipun ada kendala disana-sini, tapi mereka bisa mengatasinya dengan baik. Ia tidak sabar menceritakan pengalaman ini pada Prof. Dongheon.
170Please respect copyright.PENANA8bQSzAAyUV