TROTOAR BATU DAN MALAM SEPENUH HATI
Lampu jalan berpendar sampai jauh temaram, menyelinap masuk disela dedaunan dan berkejaran dengan angin malam. Malam begitu setia kepada detik waktu yang melingkar kaku dipergelangan tangan. Saat ramai orang-orang pulang ke pangkuan dia turun dari angkutan dengan pijakan pasti di trotoar disusul langkah bersekian resah yang terlepas.
“trotoar ini rapih dan panjang” dia bilang itu pelan. Kemudian dia berhenti di persimpangan jalan yang jadi tambatan dan melihat daun pintu kaca tak malu buka tutup memanjakan matanya. Dibalik pintu itu ada kisah berjuta kata tak tertuliskan, lembaran-lembaran kosong berterbangan di langit-langit hatinya. Maka dia berjalan cepat menuju pintu itu dan membukanya kemudian lalu bersegera.
Dia tunggu hangat hati dari api tak berjelaga merasuk sangat dalam hingga berjuta candela berkumpul. Sampailah di sebuah tangga angkuh gedung tinggi, anak tangga terakhir yang dia lihat, setangkup rindu bersambut raga manis dan gemulai dengan senyum hangat, tak beralasan waktu untuk mengakhiri pertemuan itu. Berbait-bait kalimat dia ingin simpan di atas kertas putih dilipat kecil-kecil dalam saku terdalam agar abadi, yang bisa dia buka saat kehilangan berwujud seperti nyata.
Dalam sinar mata iris coklat yang hampa ketiadaan keduanya saling bertemu sampaikan pesan-pesan hati, mengikat yang terlepas, menghimpun yang berparak, seraya bak memuja di altar dewa dalam legendanya. Lingkaran tangan dipinggang jauhkan keraguan hati. Lafal kata bagai tangisan bidadari lirih ke cuping telinga.
“aku di sini sepenuh hati” bisikan itu sampai di telinganya. Bergema menguntai doa agar disatukan dalam janji. Lalu mereka berjalan diatas trotoar batu tenggelam di malam sepenuh hati menunggu malam-malam menjemput dipangkuan.