#13819Please respect copyright.PENANA3MZQbxFiKD
Aku Tak Siap Kehilangan Istriku
3819Please respect copyright.PENANAOJmDYDliTY
Di lorong rumah sakit aku tak berhenti menangis. Menunggu istriku yang sedang menjalani operasi. Sudah 30 menit, aku duduk dan bersandar pada tembok dengan perasaan was-was. Air mataku tak berhenti mengalir.
“Aldi, tenang nak, semua akan baik-baik saja,” ibuku menenangkan.
Aku masih menangis.
Ketakutanku begitu besar siang itu. Di pikiranmu berkecamuk bayang-bayang yang buruk atas keselamatan istriku. Aku tak mau kehilangan dia, sosok wanita yang sangat aku sayangi.
Istriku, Ana, harus menjalani operasi pengangkatan rahim atau histerektomi. Dia menderita fibroid rahim atau tumor jinak yang bersarang pada jaringan ikat dan otot polos dinding rahimnya.
Inilah yang menjadi penyebab kami masih belum bisa memiliki keturunan hingga 2 tahun pernikahan kami. Dokter telah menyarankan untuk operasi angkat rahim karena sudah parah, berukuran besar, dan mengakibatkan perdarahan berat.
Mertua, orangtuaku, dan kakak iparku ikut menemaniku di sana. Mereka sudah berusaha menenangkanku, tapi percuma. Aku begitu panik saat itu. Apalagi sebelum dibawa ke ruang operasi, aku di sampingnya, melihatnya menjerit kesakitan hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Sekitar 1 jam kemudian, operasi selesai. Perawat memberikan penjelasan ke kami. Operasi berhasil dilakukan, namun istriku masih tak sadarkan diri. Aku masih panik berat saat itu. Namun perawat juga berusaha menenangkanku. Katanya butuh waktu beberapa jam untuk istriku bisa sadar kembali. Tapi penjelasannya tetap tak bisa bikin aku tenang.
Beberapa jam kemudian, akhirnya aku bisa sedikit tenang. Istriku sudah sadar. Kemudian ia dibawa kembali ke kamar inap. Aku terus memegang tangannya dengan erat. Aku sangat bersyukur. ***
3819Please respect copyright.PENANABV4UaS7ZZe
#2
Ipar yang Baik
3819Please respect copyright.PENANA7pQCrcRPU9
Singkat cerita, istriku sudah dibolehkan pulang dan menjalani rawat jalan untuk pemulihannya pasca operasi.
Aku dan Ana selama ini hanya tinggal berdua di Kota Jakarta. Kami jauh dari mertua dan orangtua. Sehingga mertua meminta kakak iparku, Tia untuk menemani kami. Membantu kami hingga keadaan istriku normal kembali.
Pasca operasi itu, kami dipastikan tidak punya keturunan. Padahal usia Ana masih 29 tahun. Kakak iparku sangat perhatian ke Ana. Ia membantu merawat adik kandungnya itu dengan sangat tulus.
Jarak usia Ana dengan kakaknya sekitar 4 tahun. Saat ini Tia berusia 33 tahun. Namun ia sudah menjanda dan belum sempat dikarunia anak juga. Karena usia pernikahannya sangat singkat, berujung perceraian. Aku tak begitu paham apa masalah perceraiannya.
Jadi, sehari-hari kami bertiga di rumah ini. Saat Ana kutinggal kerja, apapun kebutuhan Ana, kakaknya yang memenuhi. Termasuk yang memandikan dan menyuapi makan istriku, kakak iparku yang membantu.
Sudah satu bulan, kami hidup bertiga di rumah ini. Saat ini istriku sudah mulai bisa beranjak dari tempat tidur, tentunya dengan bantuan kami. Namun dia harus duduk di kursi roda.
Istriku masih merasakan sakit di tubuhnya. Namun sudah tak sesakit dulu. Tubuhnya juga masih lemas. Dokter mengingatkan, agar istriku tak banyak bergerak. Apalagi sampai capek. Dia harus banyak-banyak istirahat agar cepat pulih.
Aku dan Tia selalu berusaha menghibur istriku. Kami kerap bercanda bertiga untuk membuat istriku tertawa. Kami harus membuat Ana bahagia, karena ini juga bisa mempercepat kesembuhannya. ***
3819Please respect copyright.PENANAYypD5eNVjb
#3
Makin Dekat dengan Ipar
3819Please respect copyright.PENANANvEsYrPQgu
Sudah satu bulan lebih, aku dan iparku yang awalnya sama-sama kaku dan canggung, kini mulai mencair. Aku sudah banyak interaksi dengannya, utamanya soal istriku.
Sekilas tentang Tia, dia sosok wanita yang tak jauh berbeda dengan istriku. Soal kecantikan, bentuk dan tinggi tubuhnya, hampir sama. Mungkin yang perbedaan yang paling menonjol adalah, Tia lebih banyak berbicara, sementara Ana lebih pendiam.
Satu lagi perbedaan yang cukup jauh adalah, istriku begitu taat beragama, namun hal itu tak kulihat di Tia. Ana seperti ayahnya yang banyak paham ilmu agama, sehingga menjadi orang terpandang di desanya.
Saat sakit sekalipun, istriku masih berusaha tetap sholat dan mengaji di atas kursi roda maupun di kasur.
Saat awal-awal tinggal di sini, Tia selalu memakai pakaian tertutup bahkan memakai hijab di rumah. Ia sepertinya menghormati aku. Namun lama-lama, ketika kami sudah akrab, ia mulai tidak memperhatikan pakaiannya.
Ia sudah tidak memakai hijab di rumah. Bahkan ia sudah biasa saja ketika memakai pakaian minim di rumah. Di hadapanku, ia tak malu meski hanya pakai celana pendek dan tanktop aja. Tak hanya itu, keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk saja, Tia juga biasa saja sekarang.
Kakak iparku dengan pakaian minim, kini menjadi pemandangan sehari-hari di rumahku. Mataku tak bisa menolak, aku akhirnya sering memperhatikan Tia. Bagaimana kulihat kulitnya yang putih, sama dengan istriku. Kemudian paha dan belahan dadanya, sudah jadi konsumsi mataku tiap hari.
Apakah aku terangsang melihatnya? sebagai lelaki, tentu. Penisku juga jadi berdiri ketika melihatnya. Namun pikiranku masih waras, dia adalah kakak iparku. Kakak kandung istriku. Aku hanya bisa melihatnya saja, tidak bisa melakukan hal lebih padanya.
Terlepas dari itu, Tia sudah sangat membantu kami selama ini. Perhatian ke adiknya juga tidak berkurang sedikit pun. Ia sepertinya sangat ikhlas merawat adiknya.
Termasuk soal urusan dan kebutuhan di rumah ini, otomatis iparku yang semuanya menghandle. Seperti cuci baju, makan, hingga kebersihan rumah. Bahkan yang menyiapkan baju dan sepatuku sebelum berangkat kerja, Ita juga melakukan. Lama-lama, seperti dia yang menggantikan peran istriku. Aku jadi merasa, Tia telah memberikan perhatian lebih aku.
“Aldi, mau makan apa hari ini?”
“Aldi, bajunya sudah aku seterika, sudah siap dipakai.”
“Aldi, kalau pulang jangan malam-malam, kasihan istrimu.”
Itulah beberapa dialog yang sering terucap dari mulutnya. Lama-lama terasa dia memberikan perhatian lebih ke aku. Lama-lama aku jadi nyaman dengan dia.
Selain sering mengobrol bertiga dengan Anak, kami pun juga sudah mulai sering ngobrol berdua saja, saat Ana tidur. Atau saat berada di dapur, ketika aku membantu memasak. ***
ns 15.158.61.51da2