#4
Kebutuhan Biologis
3568Please respect copyright.PENANAmvRW5UuFjF
Malam itu aku pulang kerja lebih cepat, aku jadi ada waktu untuk menyuapi makan istriku. Aku berada di kamar dengan istriku. Sementara iparku di luar, sedang fokus dengan ponselnya.
Memang ketika aku di rumah, aku meminta iparku beristirahat saja, biar aku yang menghandel urusan rumah dan istriku. Namun kadang dia, tetap saja ingin tetap membantu aku. Dan aku tentu tak bisa melarangnya.
Di dalam kamar itu, aku suapi istriku dengan penuh kasih sayang. Dia duduk di atas ranjang dan bersandar. Tadi sepulang kerja aku membawakannya rendang. Istriku pun dengan lahap makan.
Sambil menyuapinya, aku dan istriku mengobrol. Kami bicara banyak hal, dari rasa syukur atas keberhasilan operasi hingga rencana nanti liburan ketika dia sembuh. Kemudian ia juga minta maaf, karena dipastikan tak bisa memberikan momongan.
“Sudah sayang, jangan bicara soal itu. Fokus ke kesehatanmu, itu yang utama. Aku sudah sangat senang dan bersyukur sudah melewati ini,” ucapku.
Ana jadi meneteskan air matanya. Aku menenangkannya. Kuusap air matanya. “Pokoknya, Ana mau bilang minta maaf mas,” ucapnya.
“Nyawa kamu sangat penting bagiku, operasi ini adalah pilihan yang terbaik,” kataku terus menenangkan.
Aku tidak mau di membahas soal anak. Itulah yang sebelumnya memperburuk kesehatannya. Ia selalu merasa bersalah karena sudah 2 tahun tak kunjung hamil. Hal ini berpengaruh pada psikisnya, Ia jadi sering tidak mood makan, bahkan sampai sakit saat mengetahui hasil testpack-nya negatif.
Kami sudah melakukan berbagai cara dan upaya agar bisa punya momongan. Berbagai obat, jamu, dan semua saran dokter kami lakukan. Namun tak kunjung ada hasilnya. Sampai istriku jatuh sakit cukup lama dan diagnosa fibroid rahim yang sudah cukup parah dan harus menjalani operasi pengangkatan rahim.
Kemudian istriku juga membahas soal kebutuhan biologisku selama ini. Dia menanyakan apakah aku kuat sudah berbulan-bulan sejak dia sakit, tidak pernah berhubungan lagi dengannya hingga saat ini.
“Jujur sayang tidak kuat,” ucapku, jujur.
“Terus kalau gak kuat gimana mas?” tanya istriku sambil tersenyum mendengar jawabanku.
“Jujur lagi ya sayang, aku coli. Hehe,” ucapku berbisik, takut ipar mendengarnya.
“Hahaha,” istriku tertawa mendengar jawabanku. ***
3568Please respect copyright.PENANAwL97pmGh6C
#5
Obrolan Malam dengan Ipar
3568Please respect copyright.PENANAZQkvhR8N34
Setelah aku suapi, tak lama kemudian istriku tidur. Kubiarkan dia istirahat. Lalu kuselimuti dia. “Selamat tidur sayang,” ucapku, sambil mencium kening, pipi, dan bibirnya.
Aku kemudian ke teras rumah untuk merokok dan mendengarkan suara gemericik air di kolam ikan. Inilah caraku tiap malam, untuk sejenak menghilangkan penat dan menenangkan diri atas musibah yang menimpa kami.
“Aldi, ini kubuatkan kopi.” Tia datang dan menyodorkan kopi hitam ke aku.
“Eh mbak, repot-repot saja. Terimakasih banyak,” jawabku.
Biasanya, aku buat kopi sendiri. Tapi tadi, agak capek, aku jadi malas buatnya.
“Biasanya ada kopi, kulihat sekarang gak ada kopinya. Biar tambah mantap merokoknya. Haha,” Tia tertawa kecil.
Aku jadi tambah merasa diperhatikan oleh dia.
Tia kemudian duduk di depanku. Kami kemudian berbincang-bincang. Mataku sempat fokus kulihat belahan dadanya. Karena ia hanya memakai piyama minim yang sering dipakainya sebelum tidur.
“Tia sudah tidur ya?. Kamu ngobrol apa saja tadi?” tanyanya.
“Ya ngobrol soal kesehatannya mbak,” jawabku singkat.
“Aku dengar juga ngobrol yang lainnya, yang lebih seru. Haha,” katanya, sambil tertawa lagi.
“Apa itu mbak?” tanyaku penasaran.
“Kamu sering coli ya. Haha,” iparku tertawa. Tapi aku malu mendengarnya.
“Kalau coli gak apa-apa, awas sampai kamu main perempuan di saat istrimu sakit. Aku tak akan diam,” katanya, serius.
“Ya mangkanya itu mbak, aku sangat sayang sama Ana. Tak mungkin aku menghianatinya. Itulah satu-satunya cara saat aku pingin,” jawabku, lalu kuseruput kopi buatan iparku.
“Kopinya enak mbak,” ucapku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Kasihan ya, sudah lama tidak begituan,” Tia masih membahas soal itu.
“Mbak juga lama kan, gak gituan. Kalau kepingin gimana? Haha” kataku tiba-tiba berani mengucapkan itu. Meskipun kususul dengan gelak tawa.
“Ha? udah-udah jangan bahas itu,” Tia menolak merespon ucapanku.
“Mangkanya jangan mulai dulu bahas itu mbak. Haha,” kataku sambil tertawa.
Saat mengobrol dengannya, birahiku jadi naik, melihat baju yang dipakainya dan obrolan yang sedang kami bahas. Diam-diam penisku mengeras.
Kami pun makin akrab lagi setelah itu. Obrolan-obrolan kami selanjutnya jadi semakin luas, tidak hanya soal kesehatan Ana saja. Tia juga sering-sering mancing ngobrolan hal-hal yang mengarah ke seksual, ketika kami berdua. Aku pun menanggapinya. ***
ns 15.158.61.51da2