Namanya Revan Anggara Kusuma, tetapi teman-temannya lebih suka memanggilnya Revan. Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang tenang, kisah hidupnya mulai menggelora saat ia memasuki masa remaja yang penuh harapan dan tantangan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhnuoo8MHxa
Revan dilahirkan dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia sering ditinggal kedua orang tuanya yang tanpa henti berjuang mencari nafkah. Keterbatasan ekonomi seolah menempatkannya di tepi cinta, membuatnya tumbuh sebagai tuna asmara di usia yang masih belia.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAC4lNSbiSm
Ibunya melakukan beragam pekerjaan serabutan, bergelut dengan segala jenis usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, ayahnya, seorang kuli panggul beras di pasar, terpaksa bekerja keras demi nafkah keluarga yang semakin menumpuk. Setiap harinya, Revan bersama kakaknya menyibukkan diri menyiapkan keperluan sekolah, tapi seringkali dia harus melakukannya seorang diri.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3HBMxGqbkL
Kisah ini berawal pada suatu siang yang mendung di kelas enam SD. Hujan turun dengan deras, menciptakan suasana melankolis di luar jendela. Teman-teman sebayanya dijemput oleh orang tua mereka dengan payung yang penuh kehangatan, sementara Revan hanya bisa menatap hujan dengan rasa getir di hatinya, berbisik pelan, “Aku iri pada mereka.”
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ49mq1pgYMS
Tiba-tiba, suara lembut Ibu Reni, guru dan wali kelas yang muda dan anggun, memecah lamunan Revan. “Revan, kamu tidak pulang? Di mana jemputanmu? Apakah kamu tidak bawa payung?” tanyanya, sorot matanya penuh kepedulian.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2ihqMgPBvk
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa payung. Dan tidak ada yang jemput, Bapak dan Ibu saya sedang bekerja,” jawabnya dengan nada yang datar, berusaha menyembunyikan rasa sedih.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoflKvaPVXH
Mendengar jawaban itu, Ibu Reni tersenyum lembut, seakan memahami. “Oh, jadi orang tuamu sedang bekerja ya? Jika begitu, mari Ibu antarkan,” tawarnya dengan nada menenangkan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdaXQd9ps3l
Menerima tawaran itu terasa seperti beban di pundaknya, tapi rasa khawatir untuk merepotkan mengalahkan keraguannya. “Tidak usah, Bu. Saya akan menunggu hingga hujan reda,” jawabnya pelan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGAsjhRena2
“Tidak apa, Van. Mari Ibu antarkan. Sekolah sudah sepi, dan hujan masih deras. Kita tidak tahu sampai kapan hujan ini akan berhenti,” lanjut Bu Reni, mengajak Revan untuk segera pergi.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLlkiRHqSNp
Dengan berat hati, dia mengangguk dan mereka bergegas pergi dengan sepeda motor, mengenakan jas hujan. Revan duduk di belakang, memeluk Ibu Reni erat-erat agar tidak terjatuh. “Apa tidak masalah, Bu, kalau begini? Saya malu,” tanyanya dengan suara pelan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLk4L18ZcDA
“Tidak masalah, demi keselamatan kita,” jawab Bu Reni, menyemangatinya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvAoPYVaWqL
Momen perjalanan menuju rumah terasa singkat, meskipun hujan terus mengucurkan air dari langit. Setibanya di depan rumah, Bu Reni memberi isyarat telah sampai dengan tepukan lembut di bahunya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKeFjIrTEOa
Revan melompat dari motor dan berlari ke dalam rumah, berusaha menghindari air hujan yang masih mengalir deras. Namun sebelum melangkah masuk, ia menoleh sekali lagi ke arah Bu Reni yang melambaikan tangan. Sebagai tanda terima kasih, ia menundukkan kepala dengan penuh rasa syukur.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡj2BLd2Ipgr
Saat itu, hangat menyelimuti hatinya. "Apakah inilah yang dirasakan teman-teman saat mendapatkan kasih sayang orang tua?" pikirnya. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, sesuatu yang langka dalam hidupnya, meski seketika itu juga ia menyadari betapa mahalnya perasaan itu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡu5CYyCuQp9
Keesokan harinya di sekolah, setelah bel berbunyi, Bu Reni masuk ke kelas dengan senyum ramah. Dia mengabsen muridnya hingga tiba di nama Revan. “Revan Anggara Kusuma,” panggilnya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrvNdjYuqF6
“Hadir, Bu,” sahut Revan, mencoba menutupi kegugupan yang menggelora di dalam dada.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkPhF8Tt0rx
Kekhawatiran melintas di wajah Bu Reni. “Kamu tidak enak badan, nak? Sepertinya kemarin saat Ibu antar, badanmu terasa hangat?” tanyanya dengan sorot mata prihatin.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQ0o3KrituL
“Ah, tidak, Bu. Begini adanya. Cuma kalau hujan atau cuaca dingin, tubuhnya agak hangat,” jawabnya sedikit ragu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlhQfQyx57r
Senyum di wajah Bu Reni mengisyaratkan lebih banyak daripada yang bisa dia pahami. Ada sesuatu yang mendalam dalam tatapan itu, seolah menyimpan rahasia yang menggelitik rasa ingin tahunya. Dia merasakan bahwa tawaran tumpangan di tengah hujan adalah pintu menuju sesuatu yang lebih besar.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaPyWDdAy3E
Seiring waktu belajar dimulai, harapan dan rasa penasaran mengendap di benak para murid. Bel istirahat berbunyi, dan seluruh siswa berlarian keluar, mengekspresikan kegembiraan. “Revan, kamu tidak ikut keluar?” tanya Bu Reni penuh rasa ingin tahu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9q6Jdh7Ug0
“Tidak, Bu. Saya ingin tetap di kelas,” jawabnya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXTon6Wbg9D
“Oh, kebetulan sekali. Ibu ingin sedikit mengobrol,” ucap Bu Reni dengan nada hangat yang membuatnya bersemangat.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQiPz4lfdIy
“Baik, Bu,” sahut Revan, merasakan antisipasi akan perbincangan yang lebih akrab.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8L9jkEHRVP
Bu Reni meminta Revan untuk mengambil kursi dan duduk di sebelah mejanya. Pembicaraan pun diawali dengan hangat.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuz6eZ0ZPNR
“Kenapa kamu tidak jajan, Van?” tanya Bu Reni penasaran.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyNSn48WBOj
“Saya tidak pernah jajan, Bu,” jawabnya singkat, meski sedikit canggung.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡb2rKTHE5Hh
“Tidak bawa uang saku?” tanya Bu Reni lagi.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLAu4cJbbXj
“Ya, Bu,” jawabnya lagi, meski dalam hati mulai terbesit pertanyaan tentang motivasi di balik pertanyaan itu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXO0h9BrtRy
“Siang hari di rumah, kamu bersama siapa, Van?” tanya Bu Reni dengan nada yang lembut.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGVKiXhv7Mo
“Sepulang sekolah, saya sendiri, Bu. Kakak baru pulang sore. Ada apa, Bu?” Revan menjawab sambil menatap guru dengan tatapan penasaran.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNZUQmn2O1T
“Ohh, tidak ada alasan khusus. Hanya ingin tahu sedikit tentangmu,” jawab Bu Reni, meninggalkan pintu pertanyaan terbuka di antara mereka.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQdF0P4zCm1
“Baik, Bu. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanyanya, rasa ingin tahunya semakin menguat saat perbincangan ini terasa semakin menyenangkan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnlbGRbeOnt
“Tidak ada. Namun, bagaimana kalau setelah sekolah nanti, Ibu mengajak kamu makan bakso? Setuju?” Bu Reni mengusulkan sambil tersenyum, dan membuatnya terkejut.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAU859seeub
“Ah, tidak usah, Bu. Nanti yang lain jadi iri dan malah merepotkan Ibu,” tolaknya, meskipun hatinya bergetar mendengar tawaran itu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeilQv0DD3v
“Tidak masalah, Van. Kita bisa pulang belakangan agar tidak ada yang tahu,” jawab Bu Reni dengan senyuman yang hangat.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9khaHk22aX
“Baiklah, terserah Ibu,” ungkapnya, merasakan kegembiraan menyusup ke dalam jiwanya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGeAWhNuNVW
Tak lama, bel berbunyi menandakan akhir istirahat. Teman-temannya yang kembali dari kantin langsung memasuki kelas, sementara dia duduk terdiam, memikirkan momen-momen berharga yang baru dialaminya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQbw2ZCGTZM
Pelajaran dimulai, tetapi pikirannya melayang antara kenangan hangat dari perbincangan bersama Bu Reni dan harapannya terhadap kejutan yang mungkin ada di depan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNniLpfIUFp
Saat bel pulang berbunyi, semua bersiap, tetapi dia tetap duduk, mengamatinya teman-teman yang bersalaman dengan Bu Reni. Dia hanya menunggu dengan penuh semangat di dalam hati.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡprCMyHprFU
“Revan, ayo. Teman-teman sudah pulang. Hari ini Ibu ingin mengajak kamu makan bakso di pertigaan. Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Bu Reni dengan senyumnya yang mempesona.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFtbedF2ZKr
“Tidak, Bu. Saya justru sangat menyukai bakso,” jawabnya, wajahnya berseri-seri.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6367dQt2lM
“Yuk, kita pergi,” ajak Bu Reni, dan dia pun segera membereskan barangnya, mengikuti langkahnya menuju sepeda motor.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw3SoN22akO
“Siap, Van? Ayo naik,” perintah Bu Reni lembut.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRw9tM6cueE
“Baik, Bu,” jawabnya, mendaki motor dengan debar jantung yang semakin kencang.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡI1qnU5NgQw
“Pegangan, Van. Ibu ingin merasakan kehangatanmu lagi,” ucap Bu Reni, dan pernyataan itu membuatnya terkejut.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw2G1VGq9gf
“Hah? Apa, Bu? Maksudnya bagaimana?” tanyanya, berusaha memahami makna di balik kata-kata itu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcyujvvcjOK
“Eh, tidak ada apa-apa. Pegangan saja sudah,” jawab Bu Reni sambil tertawa, membuatnya merasa aneh tetapi sekaligus terhibur.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4gUyUNCHEy
“Baik, Bu,” balasnya, kembali pada posisi pegangannya saat motor mulai meluncur.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDKi2UQfSEr
Mereka melaju menuju warung bakso, menikmati hidangan yang menggugah selera sambil bercanda dan tertawa. Setelah perut kenyang, Bu Reni mengantarnya pulang.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBkjgNvr1ML
Saat tiba di rumah, dia tidak menyangka akan menawarkan Bu Reni untuk mampir, hanya untuk basa-basi, ternyata tawarannya diterima dengan senyuman.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7MDLsHq1u5
“Waduh, Bu. Ibu benar-benar mampir? Maaf, tadinya saya hanya bercanda,” ungkapnya, sedikit terkejut dan gugup.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwK3N7a5x4L
“Oh, tidak apa-apa, Van. Walau hanya basa-basi, Ibu tetap ingin mampir,” jawab Bu Reni dengan nada penuh kehangatan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡqllYLOWZwe
“Baik, Bu. Terima kasih, dan maaf jika sebelumnya kurang sopan,” ujarnya, merasa senang sekaligus canggung.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWK4E3n8FjF
“Tentu tidak masalah, kan Ibu juga belum pernah mampir ke rumah kamu,” Bu Reni menjelaskan sambil memandang sekeliling.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpnVuc1Z87G
“Ya, memang begitu, Bu,” sahutnya, tersenyum.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpc5YppxmOJ
Dia mencari kunci pintu yang tersembunyi di bawah tanaman hias, lalu membukanya dengan hati-hati dan mempersilakan Bu Reni masuk, meskipun hatinya berdebar tak karuan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡikyeksDoRC
“Mari, silakan masuk, Bu. Maaf, tidak ada hidangan yang bisa disajikan,” ungkapnya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7sTtdAcunZ
Bu Reni duduk di kursi tua yang tampak nyaman. “Tidak apa-apa, Van. Kita baru saja makan,” sahutnya dengan senyuman menenangkan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8CaImID6Uj
“Oh iya, terima kasih sudah memaklumi, Bu,” jawabnya, merasakan ketenangan di dalam hati.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLytgCal2Ue
“Jadi, kalau di rumah sendiri begini, ngapain, Van? Tidak ganti baju dulu?” tanya Bu Reni, memperhatikan penampilannya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡodSIdE1uxh
“Oh, iya. Saya ganti baju dulu, Bu,” jawabnya, berlari cepat ke kamar yang tidak jauh dari tempat Bu Reni duduk.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlsXPjoWkSQ
Kamar itu hanya ditutup tirai, dan saat dia masuk, tanpa sengaja tirai itu sedikit terbuka. Ia terkejut mendengar suara Bu Reni.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡddaBmDLv7o
“Kalau masuk kamar, tirainya ditutup, Van,” ucap Bu Reni sambil berusaha membetulkan tirai tersebut, nada suaranya bercanda.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdLdgvzqCxE
Kekagetannya membuatnya berusaha menjelaskan, “Eh… iya, Bu. Tadi sudah ditutup, tetapi tidak tahu jika terbuka lagi.”
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6bWr5tKEWg
“Ya sudah, tidak apa-apa. Untung saja Ibu di sini,” jawab Bu Reni, membuatnya merasa malu campur senang dalam momen yang tak terduga.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhgsXwaMxDg
“Ah, Bu, jangan nakutin begitu,” balasnya, berusaha mengalihkan rasa aneh yang menghinggapi.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7WR9cTBJy8
“Tidak, Van. Ibu hanya bercanda,” ucap Bu Reni dengan senyuman, menghapus kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikiran Revan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPYE8lH81S6
Bu Reni melanjutkan obrolan ringan mereka, berbagi cerita dan tertawa, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Namun, ketika saat berpamitan tiba, seakan ada kekosongan yang menyelimuti hati Revan, membuatnya merasa bahwa momen tersebut adalah awal dari suatu cerita yang baru.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDHQoPgr0Fk
“Revan, sepertinya sudah siang. Ibu mau pulang dulu, ya?” ujar Bu Reni lembut, menyentuh hati Revan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡh1vTKwHKQL
“Oh, iya, Bu. Baik. Mari saya antar ke depan. Maaf ya, Bu, tidak ada yang bisa saya sajikan,” jawabnya, berusaha menjaga tata krama.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLHML4Dgd71
“Tidak apa-apa, Revan. Ibu sudah cukup senang bisa berbincang denganmu,” balas Bu Reni, senyumnya hangat dan menenangkan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmGqpM69ARf
“Terima kasih, Bu, atas pengertiannya,” ucap Revan, merasa lega.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3GC25Cja4I
“Ya, Van. Ibu pamit, ya.” Ucap Bu Reni
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEMrKdNad7w
Namun, sebelum pergi, Bu Reni mengajukan permintaan yang mengejutkan. “Tapi sebelum pulang, Ibu boleh menciummu di pipi, kan?” tanya Bu Reni dengan tatapan serius.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmNSjOG7g5u
Revan merasa dikelilingi oleh pertanyaan yang membingungkan. “Hah? Maksudnya gimana, Bu? Untuk apa, ya?” tanyanya dengan keraguan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡk5OX6MduYV
“Mencium pipi Revan sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemani Ibu berbincang dan makan,” jelas Bu Reni, berusaha mengurangi ketegangan yang mulai terasa. “Kalau tidak boleh, ya tidak apa-apa.”
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKvVMTPQR1P
Dengan cepat, Revan menjawab, “Boleh, Bu,” tanpa melirik lebih dalam makna di balik permintaan itu.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjv1CR1Qlic
Dengan lembut, Bu Reni mendekat, dan dalam sekejap, bibirnya menyentuh pipi Revan. Detakan jantung Revan seperti alat musik yang berdentum tak henti-henti, membuat seolah waktu terhenti sejenak.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡa0tgNo1INI
Setelah pertemuan singkat itu, Bu Reni berpamitan pulang. Revan mengantarnya, langkahnya agak canggung namun penuh rasa ingin tahu. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bu Reni menoleh sejenak, meninggalkan jejak rasa yang tak bisa diungkapkan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeaaLRH9agW
Itulah awal mula keakraban mereka.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0tUmlSu7Sf
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡReV07w8v1F
***
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBkslLoy5Wo
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeqptufMCis
Keesokan harinya, Revan berjalan kaki menuju sekolah dengan penuh perasaan; meski sunyi, bayang-bayang kemarin menghantuinya, membuatnya merasa malu dan canggung setiap kali bertemu Bu Reni. Di kelas, selama pelajaran berlangsung, ia terdiam, bahkan ketika bel berbunyi menandakan waktu pulang. Sementara teman-temannya berebut untuk bersalaman dengan guru mereka, Revan tetap terpaku pada kursinya, tampaknya menanti momen yang tepat.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡddCEMhP4xl
“Revan, kenapa kamu tidak pulang?” tanya Bu Reni, penuh perhatian.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw0MZHoSgQi
“Anu, Bu. Revan mau pulang, tapi nunggu Ibu keluar dulu,” jawabnya dengan suara bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWmKg45Futn
“Loh, ada apa, Van? Apa Ibu menyulitkanmu?” tanya Bu Reni, dengan ekspresi sedikit khawatir.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLEjTbYvzvM
“Enggak, Bu. Revan hanya masih malu sama kejadian kemarin,” ungkapnya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ17eNWEHxM2
“Hahaha, malu kenapa? Bukankah Ibu tidak mempermalukanmu?” Bu Reni menggoda, matanya bersinar hangat.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrdXLp0B1fO
“Ya enggak sih, Bu, cuma Revan malu saja,” jawab Revan, merasakan jiwanya sedikit lebih tenang.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8gH0PxnLTj
“Ya sudah, mulai sekarang jangan malu-malu. Anggap saja Ibu ini kakakmu. Kamu tidak perlu canggung lagi,” Reni menghibur, memberikan ketenangan.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrOQ7O9osy9
“Emang boleh seperti itu, Bu?” tanyanya, berharap mendapatkan kepastian.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJeadTrxEXe
“Tentu saja boleh,” jawab Bu Reni tegas.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvJYa1Utl6a
“Baiklah, kalau begitu, Bu.” Ucap Revan mempertegas keadaan
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzjiRfZkR3H
Dari sanalah, keakraban mereka mulai berkembang. Percakapan hangat dan tawa mengisi hari-hari mereka, menjembatani jarak yang semula antara guru dan murid, menjadi seolah kakak beradik yang saling berbagi cerita.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEogjII5kps
Seiring waktu berlalu, kedekatan itu semakin erat. Namun, satu hari, dunia Revan terasa kosong ketika mendengar kabar bahwa Bu Reni sudah tiga hari tidak hadir di sekolah. Menyisipkan rasa khawatir tentang kesehatan Ibu Reni, Revan ingin segera menjenguknya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnwpNKzqWsV
Sepulang sekolah, ia cepat-cepat berganti pakaian dan menyiapkan segala yang dibutuhkan. Dengan sepenuh hati, ia menulis pesan kepada saudaranya, memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumah nenek yang tak jauh dari rumah Bu Reni.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡygo9hoM59c
Mengayuh sepeda barunya, jantung Revan berdegup kencang, bercampur antara kecemasan dan rasa ingin tahu. Tak lama, jarak tiga kilometer dapat dia lalui, dan akhirnya ia tiba di depan rumah Bu Reni. Keterikatan yang mereka jalin kini menuntut jawaban, dan Revan siap untuk mengungkapnya.
115Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYcnpFIo1RI
